Jumat, 25 September 2009

Kesaksian Rendra di Tahun 1967




oleh Asep Sambodja

Kesaksian Tahun 1967

Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu
Bumi bakal tidak lagi perawan
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga

Nasib kita melayang seperti awan
Menantang dan menertawakan kita
menjadi kabut dalam tidur malam
menjadi surya dalam kerja siangnya
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja
Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat suci
yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca


Apa yang hendak dikatakan Rendra dengan puisi “Kesaksian Tahun 1967”? Jawabannya sangat sederhana. Rendra ingin memberikan kesaksian mengenai kondisi Indonesia pada 1967. Dikatakan “kondisi Indonesia” karena sebuah karya seni, termasuk karya sastra senantiasa terkait dengan ruang dan waktu. Soal waktu sudah disebutkan secara eksplisit oleh penyair melalui judul puisi ini, lalu bagaimana dengan ruang?
Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa karya sastra tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada yang menciptakannya. Dalam hal ini, Rendra sebagai penyair dan dramawan besar Indonesia membaca kehidupan sosial politik di negerinya dan memberikan kesaksian melalui puisi tersebut.
Saya menilai kegelisahan eksistensial Rendra sangat menonjol dalam puisi itu, meskipun yang dibicarakan adalah persoalan kehidupan masyarakatnya. Persoalan-persoalan kehidupan itu diserap dan dihayatinya kemudian diekspresikan melalui “Kesaksian Tahun 1967” setelah mengalami proses pengendapan. Kata-kata yang digunakan Rendra sangat khas; idiom yang digunakannya juga terbaca dalam puisi-puisinya yang lain.

Bumi bakal tidak lagi perawan
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka

Inilah yang menarik: Persoalan di masyarakat yang dibaca oleh para penyair bisa sama, namun puisi yang tercipta bisa berbeda. Artinya, masing-masing penyair memiliki cara penghayatan yang berbeda-beda pula; baik penghayatan terhadap kehidupan maupun penghayatan pada setiap kata sebagai piranti puisi. Sebagai contoh, sebagian penyair Lekra yang saya baca cenderung menghadirkan kenyataan secara telanjang dalam puisi, sementara Rendra, misalnya, kenyataan itu telah mengalami pengolahan dalam dirinya, sehingga yang hadir dalam puisi adalah kenyataan dalam wujudnya yang lain, yang telah mengalami internalisasi dalam diri penyair.
Tahun 1967 di Indonesia adalah masa bulan madu rezim Orde Baru dengan kekuasaan. Soekarno telah menjadi bagian dari sejarah dan PKI sedang gencar-gencarnya digencet presiden baru. Situasi sosial politik yang digambarkan Rendra bisa terbaca dalam baris-baris simbolik seperti ini:

Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga

Bait kedua puisi “Kesaksian Tahun 1967” sarat dengan pergulatan hidup seorang Rendra yang penuh vitalitas. Ia bicara tentang nasib; sesuatu yang tak bisa lepas dari campur tangan Tuhan. Nasib sama seperti kehidupan itu sendiri. Sama-sama tidak ada kepastian. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi satu detik ke depan? Begitu juga dengan nasib, meskipun ada firman Tuhan yang mengatakan bahwa “Allah tidak mengubah nasib seseorang kecuali mereka mengubah keadaan.” Artinya, Tuhanlah yang memegang nasib kita. Sampai-sampai Rendra menulis, “Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini.” Hanya kematianlah yang pasti dalam kehidupan manusia. Selebihnya hanya teka-teki.
Karena ketidakpastian seperti itulah setiap insan membutuhkan pegangan atau pedoman. Hanya saja, pada saat itu, saat puisi itu ditulis, Rendra merasakan tak ada pedoman yang bisa menyejukkan hatinya, atau meluluhkan jiwa pemberontakannya. Kalaupun ada, maka pedoman atau “surat suci” itu “tulisannya ruwet tak bisa dibaca”.

Citayam, 26 September 2009

Goenawan Mohamad dan Manikebu



oleh Asep Sambodja

Dalam esai panjangnya, “Afair Manikebu, 1963-1964” yang terdapat dalam buku Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (2002), Goenawan Mohamad seolah-olah baru menyadari bahwa proses kelahiran Manifes Kebudayaan (Manikebu) tidak steril dari campur tangan militer. Ia menulis, “Dalam sebuah tulisan di tahun 1982, Wiratmo Soekito menyatakan bahwa ia bekerja secara sukarela pada dinas rahasia angkatan bersenjata” (hlm. 144). Menyadari hal itu, Goenawan Mohamad memberikan sebuah permakluman dengan mengatakan, “Mungkin suatu kecenderungan yang normal untuk beraliansi di antara mereka yang dimusuhi atau memusuhi PKI” (hlm. 144).
Pengakuan Wiratmo Soekito itu sekaligus membuktikan bahwa ada skenario militer untuk menghadapi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang berafiliasi dengan PKI—yang mendominasi wacana di bidang kebudayaan. Saya tidak tahu apakah militer saat itu sangat patuh pada pendapat Bung Karno yang mengatakan, “Angkatan perang tidak boleh main politik”, sehingga mereka tidak terjun langsung untuk berpolitik di bidang kebudayaan, melainkan menggunakan kaki tangannya seperti Wiratmo Soekito—yang saat itu sangat dikagumi oleh intelektual muda seperti Goenawan Mohamad—atau karena ada alasan yang lain.
Kita tahu bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa menghentikan langkah PKI saat itu adalah angkatan bersenjata, terutama Angkatan Darat, yang menolak gagasan Ketua CC PKI D.N. Aidit untuk mempersenjatai petani dan buruh sebagai angkatan kelima. Di bidang kebudayaan, karena Pramoedya Ananta Toer sering menggunakan istilah pengganyangan dan pembabatan, yang membikin takut sastrawan-sastrawan Manikebu sebagaimana diakui Goenawan Mohamad, membuat Lekra sebagai kendaraan PKI di bidang kebudayaan yang berfungsi memuluskan langkah PKI menuju kekuasaan. Karena itulah pihak militer—melalui Wiratmo Soekito—membuat suatu gerakan dengan memanfaatkan mahasiswa dan pekerja media; dalam hal ini Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dan H.B. Jassin serta D.S. Moeljanto. Ternyata gerakan yang bermula dari selembar kertas yang berisi pernyataan Manifes Kebudayaan ini cukup efektif untuk menguras energi sastrawan-sastrawan Lekra dan sastrawan-sastrawan prokomunis.
Ketika sastrawan Manikebu menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) pada Februari 1964, Angkatan Bersenjata mengklaim bahwa pihaknya berada di belakang KKPI. Goenawan Mohamad menilai konferensi itu merupakan suatu kegagalan, karena tidak ada satu sesi pun untuk membicarakan Manikebu. Selain itu, wartawan tidak berani meliput acara itu karena penyelenggaraan KKPI dikecam oleh Lekra dan PKI.
Tiga bulan kemudian, Manikebu dilarang oleh Presiden Soekarno, dan para penandatangan Manikebu menjadi gugup. H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo langsung mengirim surat permintaan maaf kepada presiden, antara lain, untuk melindungi sastrawan-sastrawan Manikebu dari pengganyangan yang lebih masif.
Yang menarik, Goenawan Mohamad mengakui bahwa “Kini memang harus diakui bahwa pengganyangan seperti itu belum sebanding dengan yang ditanggungkan para penulis dan cendekiawan prokomunis setelah hancurnya PKI secara keras dan berdarah beberapa waktu setelah 1965” (hlm. 108). Hanya saja, sayangnya, Goenawan tidak mengelaborasi pernyataannya itu. Setelah tahu bahwa yang dialami penulis dan cendekiawan prokomunis mengalami pengganyangan secara keras dan berdarah, apa pendapat Goenawan Mohamad? Apa yang dilakukannya? Hal ini tidak terjelaskan dalam sebuah tulisan panjang yang memang memfokuskan bicara soal Manikebu dari tahun 1963-1964. Tahun 1965-1966 memang tidak dibicarakan dalam tulisan itu, meskipun dia tahu bahwa justru pada tahun 1965-1966 itulah banyak darah yang tumpah. Bagaimana Goenawan Mohamad sebagai seorang sastrawan tidak tertarik menjelaskan hal itu?
Memang agak sulit untuk menghadirkan luka sastrawan-sastrawan Lekra dalam artikel yang ditulis pada Maret-April 1988 itu. Saat itu Presiden Soeharto yang menyerukan pembasmian PKI “sampai ke akar-akarnya” masih berkuasa. Wajar saja kalau Goenawan Mohamad tidak berani menulis kenyataan 1965-1966. Tidak hanya Goenawan saja yang takut, hampir semua intelektual di negeri ini takut pada Soeharto—hingga ia lengser keprabon madeg pandito.
Jadi, saya meragukan premis Goenawan Mohamad yang mengatakan Manikebu “merupakan serangkaian pokok pikiran, suatu pendefinisian sikap dasar beberapa sastrawan dan intelektual Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut waktu itu: kreativitas dan politik” (hlm. 107). Keraguan saya berdasarkan pengakuan Wiratmo Soekito—yang menulis konsep Manikebu—bahwa ia bekerja pada dinas intelijen angkatan bersenjata secara sukarela. Dengan demikian, upaya pendefinisian masalah kreativitas dan politik itu tidak murni dari sastrawan dan intelektual Indonesia. Ada udang di balik kerikil.

Citayam, 24 September 2009

Kamis, 24 September 2009

Catatan Tahun 1965 Taufiq Ismail


oleh Asep Sambodja

Kita tahu bahwa Taufiq Ismail adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang paling getol menyerang balik sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sikapnya yang antikomunis menempatkannya berada pada polar yang berhadap-hadapan dan saling bertolak belakang dengan sastrawan-sastrawan Lekra. Karena itu, tulisan-tulisan Taufiq Ismail yang menyoroti peristiwa seputar 1965 murni dari perspektif seorang Manikebuis sejati.
Dalam beberapa kesempatan, baik melalui tulisan maupun ceramah-ceramahnya—antara lain di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Teater Utan Kayu—ia selalu mengatakan sangat mengagumi Buya Hamka. Kekagumannya pada Buya Hamka itu dikarenakan Buya Hamka bisa memaafkan Pramoedya Ananta Toer dan orang-orang yang pernah menuduhnya sebagai seorang plagiator. Tapi, apakah Taufiq Ismail bisa memaafkan sastrawan-sastrawan Lekra yang pernah “mengganyangnya”?
Kalau kita membaca tulisan-tulisan Taufiq Ismail seperti dalam Prahara Budaya dan tindakannya yang mengeluarkan petisi penolakan hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer pada 1995, tampaknya Taufiq Ismail belum ikhlas memaafkan sastrawan-sastrawan Lekra. Bahkan dalam Prahara Budaya itu tampak jelas upaya Taufiq Ismail untuk lebih memerosokkan sastrawan-sastrawan Lekra yang nasibnya sampai sekarang ini seperti berada dalam comberan.
Dengan menggunakan perspektif kekinian, kita sekarang bisa membaca bahwa baik kelompok Lekra maupun kelompok Manikebu sama-sama merasa menyuarakan kebenaran. Dari kasus ini kita bisa menduga bahwa ternyata kebenaran itu relatif. Kalau dikatakan seseorang menyuarakan kebenaran, maka yang menjadi pertanyaan adalah kebenaran menurut siapa?
Sastrawan dan seniman Lekra berprinsip bahwa pada saat itu revolusi di Indonesia belum selesai, karena itu para sastrawan dituntut untuk menghasilkan karya sastra yang bisa memberi semangat pada rakyat Indonesia. Bukan karya sastra yang sentimental, cengeng, dan individualistis. Semua karya sastra yang diproduksi harus tunduk pada pendirian politik adalah panglima.
Sementara sastrawan Manikebu melihatnya dari sisi lain, yakni kebebasan berekspresi. Dalam menghasilkan karya sastra, seorang sastrawan bebas mengekspresikan apa saja dan boleh menulis tentang apa saja, bahkan boleh mengekspresikan kegelisahan eksistensial pengarang itu sendiri. Sastrawan bebas menulis puisi cinta, patah hati, atau apapun.
Dari sini kelihatan bahwa sastrawan Lekra menghasilkan karya sastra yang bertendens; ada maksud yang jelas dalam karya sastranya. Sementara karya sastra yang diciptakan sastrawan Manikebu cenderung tidak bertendens. Tapi, kalau membaca puisi-puisi Taufiq Ismail dalam Tirani dan Benteng, jelas sekali bahwa karyanya itu juga bertendens. Salah satunya adalah puisi berjudul “Catatan Tahun 1965”. Berikut saya kutip seutuhnya.

Catatan Tahun 1965

Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syaraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti Allah dipentaskan

(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)


Puisi “Catatan Tahun 1965” merupakan puisi deskriptif yang melukiskan suasana di tahun 1965. Tapi, sekali lagi, pelukisan suasana itu dilihat dari perspektif seorang Manikebu—yang saat itu beroposisi dengan sastrawan Lekra yang dekat dengan kekuasaan. Apa yang hendak dikatakan Taufiq Ismail melalui puisi itu tergambar sangat jelas melalui tulisan Taufiq Ismail berjudul “Sehabis Jam Malam di Stasiun Gambir” yang menjadi pengantar buku Tirani dan Benteng.
Kalau kita membaca puisi “Catatan Tahun 1965” dari perspektif sastrawan Lekra, misalnya, tidak ada soal “Genjer-genjer” jadi nyanyian—yang saat itu dipopulerkan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani. Tidak soal pula warna merah dikibarkan. Demikian pula tidak masalah mementaskan drama Matine Gusti Allah, sama tidak masalahnya mementaskan Masyitoh atau Bung Besar.
Kalau kita lihat dari perspektif yang lain lagi, memang penahanan terhadap Mochtar Lubis yang membongkar kasus korupsi Ruslan Abdul Gani dan penahanan Hamka yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno merupakan ketidakadilan yang nyata. Demikian pula pelarangan buku, pelarangan musik “ngak ngik ngok” merupakan pembelengguan kebebasan berekspresi.
Dalam pengantar buku Tirani dan Benteng, Taufiq Ismail menulis, “Ofensif di bidang seni budaya tampak pada pembakaran buku dan piringan hitam Beatles serta lagu populer Indonesia yang diejek sebagai lagu ngak ngik ngok di lapangan Ikada/Monas dan di kampus Universitas Indonesia oleh Lekra, Pemuda Rakyat, dan CGMI/PKI” (hlm. Xi).
Benarkah Lekra ikut membakar buku? Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku hal itu sama sekali tidak terbukti. Pembakaran buku-buku USIS itu dilakukan oleh Pemuda Rakyat sebagai protes terhadap Amerika Serikat setelah terbunuhnya Perdana Menteri Konggo, Patrice Emery Lumumba. Sastrawan Lekra mengaku tidak melakukan pembakaran buku. “Buat apa saya membakar buku mereka. Lebih baik buku itu saya bawa pulang dan saya koleksi di rumah,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Puisi yang menjadi ciri khas sastrawan Manikebu adalah puisi yang jauh dari slogan politik adalah panglima. Salah satu puisi Taufiq Ismail yang ditulis pada 1964 mencerminkan perasaan penyair yang sepi saat itu. Puisi “Oda pada van Gogh” memperlihatkan suasana hati itu:

Oda pada van Gogh

Pohon sipres. Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua

Langit berombak
Bulan di sana
Sepi. Sepi namanya

1964


Citayam, 24 September 2009

Rabu, 23 September 2009

Situasi 1964 di Mata Hartojo Andangdjaja



oleh Asep Sambodja

1964

Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa

di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa

maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di bumi Swiss
jauh dari Perancis

maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri


Hartojo Andangdjaja adalah penyair yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Tahun 1964 merupakan tahun pelarangan Manikebu oleh Presiden Soekarno. Bisa dibayangkan posisi sastrawan Manikebu yang tertindas karena penguasa melarang adanya manifes yang lain selain Manifesto Politik yang telah dikeluarkan Bung Karno. Manikebu dilarang, antara lain, karena dinilai ragu-ragu terhadap revolusi, sehingga kelompok ini dianggap sebagai kontra revolusi. Dan karena itu pula diganyang oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang pro Bung Karno.
Puisi “1964” memperlihatkan kesunyian atau keterasingan yang dirasakan oleh penyair. Sebagai salah satu penandatangan Manikebu, tentu saja Hartojo Andangdjaja merasa teraniaya. Ia belajar dari sastrawan-sastrawan dunia seperti Bertold Brecht, Voltaire, Boris Pasternak, dan Vladimir Mayakowsky. Hartojo Andangdjaja merasakan kehidupannya tidak jauh berbeda dengan kehidupan sastrawan-sastrawan itu, karena memiliki pandangan yang berbeda dengan penguasa pada zamannya.
Bertold Brecht adalah penyair dan dramawan terkemuka asal Jerman. Ia menjadi komunis setelah mempelajari Das Kapital Karl Marx. Brecht sempat berurusan dengan pemerintah komunis Jerman Timur karena puisinya yang mengkritik penguasa. Dalam sebuah puisinya, “Kepada Angkatan Mendatang”, Brecht menulis, “Zaman apakah ini, ketika bicara tentang pohon dianggap kejahatan.” Pada 1950, ia meninggalkan Jerman Timur dan menjadi warga negara Austria.
Voltaire adalah sastrawan terkemuka Prancis yang sering diasingkan gara-gara kritik dalam karyanya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Candide. Voltaire dinilai menanam benih-benih ateisme. Ia dituduh telah mempengaruhi publik Prancis dengan pikiran-pikirannya hingga meletus Revolusi Prancis 1789 dan mengantar Raja Louis XVI ke tiang guillotine. Akibat tulisannya yang tajam pula ia diasingkan ke sebuah desa kecil Ferney, di pinggiran Prancis. Tapi, Voltaire memiliki keyakinan sendiri, sebagaimana yang dikatakannya kepada Jean-Jacques Rousseau, “Kalau ada orang yang pantas mengeluh karena karya sastra, sayalah orangnya, karena sepanjang waktu dan di semua tempat, karya-karya sastra itu selalu membuat saya dikejar-kejar orang. Namun kita wajib mencintainya, walaupun sering disalahgunakan orang, seperti kita harus mencintai pergaulan di masyarakat, yang kehangatannya selalu dikacaukan oleh begitu banyak orang jahat; sebagaimana kita juga wajib mencintai tanah air, walaupun penuh dengan ketidakadilan; sebagaimana kita harus tetap mencintai dan mengabdi kepada Tuhan yang maha agung, walaupun prasangka dan fanatisme begitu sering mengotori pemujaannya.”
Boris Pasternak adalah sastrawan Rusia yang meraih hadiah Nobel pada 1958. Ia menolak pemberian Nobel itu akibat desakan pemerintahnya. Penyair dan novelis ini dikenal di dunia melalui karyanya Dr. Zhivago (1957), yang mengisahkan Revolusi Rusia dari sisi yang lebih sentimental. Di Uni Soviet, novel itu dilarang beredar. Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer juga menyerukan agar novel yang diterjemahkan Trisno Sumardjo itu tidak bebas beredar.
Sementara Vladimir Mayakowsky adalah sastrawan Rusia yang beraliran futurisme yang paling terkenal. Pada tahun 1926, ia menulis sebuah puisi: “Aku tidak ingin seperti kelopak bunga, yang tanggal sehabis pagi, dan menjadi percuma!” Empat tahun kemudian, ketika ia disisihkan dari masyarakat karena mengkritik penguasa, ia bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya.
Saya sengaja menguraikan latar belakang sastrawan-sastrawan dunia yang diacu oleh Hartojo Andangdjaja untuk bisa memahami dengan baik puisi “1964”. Sastrawan dunia yang dijadikan acuan itu pada dasarnya mengalami keterasingan. Dan perasaan gelisah itu pula yang muncul pada diri penyair. Kita tahu bahwa pada 1964, suara yang mendominasi di seantero republik ini adalah seruan untuk revolusi, yang sering digemakan oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Presiden Soekarno—yang memegang kendali Demokrasi Terpimpin. Karena itu, wajar kalau ada suara penyair yang merasa dipinggirkan. “Di manakah akan kuselamatkan kini, suaraku yang lembut bernama puisi.”

Citayam, 23 September 2009

Selasa, 22 September 2009

Sedihnya Abadi



oleh Cunong Nunuk Suraja


Ia Menulis Puisi Sedih

by Asep Sambodja (notes) Yesterday at 10:22pm

ia merasa sebagai laki-laki paling malang sedunia
ia menulis puisi cinta
antara ibunya dengan laki-laki entah siapa

ia merasa sangat peduli dengan adik-adiknya
yang tertidur dengan tenang
di bawah batu-batu nisan
di taman makam bukan pahlawan

hanya ibunya yang belum ia bunuh
meski ia tahu ibunya selingkuh

ia merasa sebagai laki-laki paling malang di dunia
ia menulis puisi cinta
dengan darah yang mengalir dari jari-jarinya

tapi puisi itu tak pernah selesai ditulisnya
tak kan pernah selesai
karena sang ibu menangis
di depan jasadnya


Citayam, 22 September 2009
Asep Sambodja


Jauh lama sekali nun di tahun 1967 penyair yang telah jadi dewa sastra menuliskan DukaMu Abadi yang bermula dari sabda, Memang kerena Dia yang mengucap sabda dalam kondisi dan situasi apapun. Lain dengan penyair terkini yang masih melilitkan sunyi sepi sendiri dalam bait-baitnya karena kehilangan cinta monyet remaja. Di era facebook, puisi sudah bukan lagi sebuah meditasi atau kontemplasi. Puisi sudah harus berteori kata Pak Loektamaji. Tapi TS Pinang hanya mau kritik akademisi yang berderet catatan kaki untuk menunjukkan betapa luasnya bacaan penghardik puisi itu. Sedang Hudan Hidayat maunya menyejajarkan diri pada penulis berlabel nobel yang terakreditasi, tapi apa lacur dunia masih mendiskriminasi dengan membelah jadi minimal tiga. Dan jangan tanya apa hak dunia ketiga kecuali tempat buang hajat segala produk budaya, dari teori sampai pola hidup yang tersirat, termasuk makan dan berpakaian. Selera harus mengglobal sebagai ciri kemodernan sikap budaya kekinian. Tren yang membunuh selera lokal. Tak pelak lagi Asep Sambodja juga menawarkan kisah yang lokal mengglobal dengan kisahan tentang lelaki yang teraniaya:

tapi puisi itu tak pernah selesai ditulisnya
tak kan pernah selesai
karena sang ibu menangis
di depan jasadnya

Kematian yang meradang atas kekecewaan dan ketidakberdayaan menyatakan cinta karena peristiwa awal yang boleh juga diangkat lagi peristiwa Sysiphus yang mendorong batu, atau Oedipus yang mengawini ibunya, ataupun Malin Kundang yang jadi batu, bahkan Sangkuriang maupun Bandung Bondowoso yang kelak tak berhasil memperistri perempuan yang masih ada hubungan darah karena kegagalan menyediakan maskawin. Penyair yang ingin menuliskan puisi cinta itu juga gagal sebelum dia menyingkap gaun perselingkuhan ibunda dengan darah yang dituliskan habis sebelum larik cinta itu memuisi. Puisi yang membicarakan masalah purba dengan wacana global mendera sikap paskakolonial yang memunculan the other (liyan). Liyan yang masih misteri dalam pusi itu!

Kata pembuka dengan diskripsi tokoh kisahan puisi Asep Sambodja dengan jelas telah menawarkan mitos modern yang kuno tentang cinta gelap atau terlarang. Cinta tanpa perjanjian terikat kecuali syahwat. Dan cinta syahwat ini mengikat aku lirik yang merasa teraniaya sedunia. Simak ungkapan lugasnya:

ia merasa sebagai laki-laki paling malang sedunia
ia menulis puisi cinta
antara ibunya dengan laki-laki entah siapa

Cinta liar itu telah memojokkan aku lirik pada sikap yang hopeless and no choice. Tak mampunya mencari the other yang menyusupi jejak kelakian pada kepesonaan perempuan akan nikmat sesaat yang mengorbankan harta titipan dengan tanpa harga senilai pahlawan. Perhatikan ungkapan aku lirik yang makin kehabisan akal menghadapi bencana siang hari bagi kehidupannya:

ia merasa sangat peduli dengan adik-adiknya
yang tertidur dengan tenang
di bawah batu-batu nisan
di taman makam bukan pahlawan

Wacana yang digulirkan aku lirik seakan menjadi penyelamat fatalis dan nihilis mentok pada sikap bahwa sorga di bawah telapak kaki ibu, menggugurkan niat menyelesaikan cerita perselingkuhan buah dari peradaban neo-modern yang kadang seperti politikus yang bersikap kucing dan tikus yang terlihat pada film kartun Tom and Jerry.
Sejauh bango terbang ke langit yang akhirnya singgah juga ke rawa yang berbecek ria demikianlah akhir pengkisahan anak manusia yang masih percaya sorga ada di telapak kaki ibu. Tak ada keberanian membunuh penyebab kedukaan yang mengabadi kecuali mengakhiri dengan harakiri yang patriotik dengan darah sendiri. Boleh dikata sebuah keniscayaan yang tersiakan. Gambaran generasi muda yang tahan dipuji tak tahan menghadapi kritik dan buntu berhadapan dengan masalah yang menurut tingkat pengalaman hidupnya terlalu pelik. Dasar remaja kencur menuntut kebenaran yang sukar terbuktikan adanya wabah perselingkuhan dan tidak pernah terlintas di benak aku lirik kalau dirinya mungkin juga hasil genetika rekayasa bayi perselingkuhan.

Lengkaplah sudah gaung DukaMu Abadi pada jejak lelaki pada pupuh puisi Asep Sambodja:

ia merasa sebagai laki-laki paling malang di dunia
ia menulis puisi cinta
dengan darah yang mengalir dari jari-jarinya


Kembali duka itu mengabadi karena puisi darah itu tak pernah eksis dan hilang dalam imaji pembaca yang cukup kritis.

Bogor seusai hari Fitri 2009

Jumat, 18 September 2009

Kronik Peristiwa Sastra 1960-an



oleh Asep Sambodja

1960

31 Agustus: Sidang Pleno II Lekra. Sidang pleno ini memantapkan Mukadimah Lekra dan sikap “Politik adalah panglima.”
Harian Rakjat memberikan hadiah sastra di bidang esai kepada Pramoedya Ananta Toer dan Mia Bustam; di bidang puisi kepada Hr. Bandaharo, Dodong Djiwapradja, Chalik Hamid, dan S.W. Kuntjahjo; di bidang cerpen kepada Bachtiar Siagian; dan di bidang terjemahan kepada Agam Wispi, Muslimin Jasin, dan Huang Khuen Han.

1961

Majalah Sastra terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto. M. Balfas, dan lain-lain.

1962

13-20 November: Konferensi Sastrawan Asia-Afrika II di Mesir. Delegasi Indonesia diwakili antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Joebaar Ajoeb.
Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karangan Hamka dihebohkan sebagai
jiplakan. Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Al Manfalutfi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleus karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Harian Rakjat dan Bintang Timur.
Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam.

1963

22-25 Maret: Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia (LSI) diadakan di Medan. Terbentuk Pengurus Pusat LSI yang terdiri dari Bakri Siregar, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, Sobron Aidit, M.S. Ashar, S. Rukiah, Sugiarti Siswandi, dan Hr. Bandaharo.
17 Agustus: Wiratmo Soekito menyusun “Manifes Kebudayaan”. Sastrawan-sastrawan muda menolak seruan “Politik adalah panglima” yang didengungkan sastrawan Lekra.
September/Oktober: “Manifes Kebudayaan” diumumkan.
H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah. Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam
Polemik
. Jakarta: Mega Bookstore. (Berisi tulisan-tulisan mengenai novel Hamka,
Tenggelamnya Kapal van der Wijck.)

1964

1-7 Maret: Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) diadakan di Jakarta.
Konferensi ini menghasilkan “Ikrar Pengarang Indonesia”.
8 Mei: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”.
24-25 Agustus: Konferensi Nasional II Lekra diadakan di Jakarta. Dalam konfernas ini dihasilkan sebuah resolusi yang antara lain berbunyi teruskan pengganyangan terhadap Manikebu.
27 Agustus-2 September: Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Resolusi KSSR”.
Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.

1965

30 November: Semua buku pengarang Lekra dilarang.
Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Sedikitnya 500.000 orang dibunuh. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil di Eropa. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerwani banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang.

1966

Juli: Majalah Horison terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), dan lain-lain.
Agustus: Muncul istilah “Angkatan 66”; istilah ini berasal dari H.B. Jassin.
Majalah Budaya Jaya terbit.
Taufiq Ismail menerbitkan buku Tirani dan Benteng.

1967

Naskah drama Kuntowijoyo, Rumput-Rumput Danau Bento menjadi pemenang harapan Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Slamet Sukirnanto menerbitkan buku puisi Jaket Kuning.

1968

2 Januari: Sanusi Pane meninggal dunia di Jakarta.
12 Oktober: Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara menyita majalah Sastra karena majalah ini memuat cerpen Kipanjikusmin, “Langit Makin Mendung”, dalam edisi Agustus. Pemimpin Redaksi Sastra H.B. Jassin diadili.
31 Oktober: Diskusi tentang Kritik Sastra diadakan di Jakarta.
H.B. Jassin menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
Berisi prosa dan puisi.

1969

Iwan Simatupang menerbitkan naskah drama Petang di Taman dan novel Ziarah.
Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi Duka-Mu Abadi. Bandung:
Jeihan.
Ajip Rosidi menerbitkan Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Citayam, 18 September 2009

Rabu, 16 September 2009

Pramoedya Ananta Toer dan "Tahun Pembabatan Total"



oleh Asep Sambodja

Harus diakui bahwa dalam salah satu artikelnya di Lembaran Kebudayaan “Lentera” harian Bintang Timur, 9 Mei 1965, yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” ada pernyataan tertulis Pramoedya Ananta Toer yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Ini dapat dikatakan sebagai kesalahan Pramoedya yang membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dalam artikel tersebut, Pramoedya menulis, “Sebagaimana diketahui penerbit-penerbit yang menerbitkan karya-karya Manikebu adalah seperti penerbit-penerbit pemerintah, penerbit-penerbit swasta untuk tidak menyebut beberapa nama. Apakah sebabnya penerbit-penerbit tersebut menerbitkannya dan apa sebabnya tidak pernah menarik kembali penerbitan-penerbitan tersebut dari peredaran? Apakah sebabnya ada penerbit yang justru menerbitkan buku-buku plagiat Hamka, sedang sudah diketahuinya karya tersebut adalah plagiat? Bukankah Presiden Soekarno telah menggariskan agar berkepribadian sendiri pada sekitar Konsepsi Presiden tahun 1957? Apakah perbuatannya tersebut mendukung tugas perongrongan ataukah hanya karena ketamakan belaka?” (Prahara Budaya, hlm. 404).
Pada bagian lain, Pramoedya juga menulis, “Kita masih bisa bertanya sekarang ini, apakah sebabnya buku Zainal Abidin Ahmad Membentuk Negara Islam masih pada meringis di pinggir-pinggir jalan Jakarta, sekalipun di trotoar, dan apakah sebabnya buku Doktor Zhivago terjemahan Trisno Sumardjo diterbitkan?” (PB, hlm. 404).
Satu lagi, Pramoedya menulis, “Dengan bersenjatakan ‘Berdikari’, ‘Berkepribadian dalam Kebudayaan’, dan ‘Banting Stir’, pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideolozi gelandangan telah merupakan suatu tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner” (PB, hlm. 405).
Tampak sekali bahwa Pramoedya Ananta Toer sebagai penanggung jawab rubric “Lentera” di harian Bintang Timur melakukan tindakan represif melalui tulisan-tulisannya yang tersebar melalui media massa. Tulisan semacam ini membuat “keder” sastrawan-sastrawan Manikebu.
“Pembabatan Total” yang dimaksudkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam artikelnya tersebut, sepanjang yang saya tangkap dari tulisannya, adalah ingin mengganyang kebudayaan Manikebu, Komprador, Imperialis, dan Kontra revolusi secara total”. Saya sama sekali tidak melihat adanya kaitan artikel itu dengan peristiwa G30S 1965.
Nah, sayangnya, dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (1995), Tauifiq Ismail sebagai editor buku itu melakukan parafrasa terhadap artikel Pram tersebut. Parafrasa sebenarnya merupakan tindakan untuk menjelaskan suatu teks agar sesuai dengan maksud yang hendak disampaikan oleh pengarangnya.
Sayangnya lagi, Taufiq Ismail memakai kacamata politik Orde Baru yang mengait-ngaitkan artikel Pramoedya Ananta Toer itu dengan peristiwa Gestapu (Gerakan September Tigapuluh—akronim yang aneh, AS). Dalam bukunya itu, Taufiq Ismail menulis demikian: “Kurang sedikit lima bulan sebelum pecahnya Gestapu, di Lembaran Kebudayaan “Lentera” surat kabar Bintang Timur, Pramoedya Ananta Toer menulis artikel dengan judul ‘Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total’. Pada waktu artikel itu disiarkan suasana yang sudah lama dipersiapkan PKI dan kawan-kawannya menuju perebutan kekuasaan berdarah sudah semakin matang dan menanjak menuju puncak dari apa yang mereka sebut ‘situasi revolusioner’. Jalan yang diratakan untuk mencapai tujuan dilakukan dengan menyingkirkan penghalang-penghalang, dan istilahnya adalah pembabatan… (PB, hlm. 402).
Saya melihat upaya keras Taufiq Ismail untuk menyangkut pautkan sastrawan-sastrawan Lekra dengan peristiwa pembunuhan Dewan Jenderal pada 30 September 1965. Sebelumnya saya telah menyinggung bahwa puisi Mawie Ananta Jonie yang berbicara tentang kemiskinan pun dikait-kaitkan dengan peristiwa G30S hanya karena judulnya “Kunanti Bumi Memerah Darah”. Kini, artikel Pramoedya yang sangat antiimperialisme Amerika pun dikaitkan dengan peristiwa G30S hanya karena judulnya “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”.
Dampak dari tulisan Taufiq Ismail itu, sastrawan-sastrawan Lekra tetap berada dalam kondisi terpuruk—bahkan sampai sekarang. Pada 1995 itu pula, tidak lama setelah Prahara Budaya terbit, Pramoedya mendapat penganugerahan Hadiah Magsaysay dari Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina. Tapi, apa yang terjadi di NKRI ini? Sastrawan Manikebu yang dipelopori oleh Taufiq Ismail mengeluarkan petisi menolak pemberian hadiah tersebut. Namun, Yayasan Ramon Magsaysay tidak mau menggubris petisi itu. Hadiah tetap diberikan kepada Pramoedya yang mengalami represif di zaman Orde Baru, meskipun ia sendiri melakukan represi di zaman Orde Lama.
Tapi, yang ingin saya tanyakan, kenapa Taufiq Ismail selalu mengaitkan sastrawan Lekra dengan peristiwa berdarah 30 September? Ada motif politik apa di balik itu?

Citayam, 16 September 2009

Selasa, 15 September 2009

Teori Sastra New Historicism dan Kedudukan Sastrawan



oleh Asep Sambodja

Teori atau pendekatan new historicism menempatkan sastrawan pada posisi atau kedudukan yang terhormat. Karena, sastrawan terlibat langsung dalam proses perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Sastrawan ikut mengkonstruksi budaya suatu masyarakat melalui karya sastranya. Ide atau gagasan sastrawan yang dituangkan dalam karya sastra bisa mempengaruhi opini publik. Dengan demikian, disadari atau tidak, sastrawan ikut bertanggung jawab atas karya-karyanya yang menjadi konsumsi masyarakat pembaca.
Setiap sastrawan—dengan segala latar belakangnya—memotret dan memaknai kehidupan di sekitarnya untuk kemudian diekspresikan melalui karya sastra. Karena itu, setiap karya sastra yang dihasilkan oleh siapa pun sangatlah penting, terlepas dari apakah karya sastra itu termasuk karya sastra yang serius ataupun karya sastra populer. Sebab, bagaimanapun, setiap sastrawan memiliki cara pandang dan cara bertutur yang unik, yang berbeda-beda. Ada yang serius, ada yang santai, ada yang main-main. Namun, kita melihatnya karya itu merupakan potret masyarakat pada zamannya.
Pendekatan new historicism tidak memisahkan karya sastra dengan pengarangnya, juga tidak memisahkan karya sastra itu dengan konteks zamannya. Bagi sejarawan yang beraliran new cultural historian, yang tidak lagi memisahkan fakta dan fiksi, sangat menganggap penting setiap karya sastra yang lahir pada suatu zaman. Karena, dengan pendekatan itu mereka juga bisa melihat perilaku dan perubahan budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Para sejarawan juga bisa menilai nilai-nilai yang berkembang di suatu masyarakat pada zaman tertentu dari karya-karya sastra yang lahir pada zaman itu.
Seperti apakah pendekatan new historicism itu? Saya akan berikan ringkasan tulisan Melani Budianta yang pernah dimuat di jurnal Susastra. *

Ringkasan Artikel Melani Budianta:
Dalam artikel “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra,” yang dimuat dalam Jurnal Susastra Volume 2, No. 3, tahun 2006, Melani Budianta menjelaskan tentang teori sastra new historicism yang relatif baru di Indonesia. New historicism adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. Kata new historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblattt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya.
Dengan menekankan kaitan antara teks dan sejarah, Greenblattt mendobrak kecenderungan kajian tekstual formalis dalam tradisi new criticism yang bersifat ahistoris, yang melihat sastra sebagai wilayah estetik yang otonom, dipisahkan dari aspek-aspek yang dianggap berada “di luar” karya tersebut.
Sastra, menurut perspektif yang ditawarkan new historicism, tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena ia ikut mengambil bagian di dalamnya. Dengan demikian, pemisahan antara luar-dalam, ekstrinsik-intrinsik, tak bisa dipertahankan lagi. Karena semua teks, baik sastra maupun nonsastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, maka berbeda dari new criticism yang hanya meneliti karya sastra, new historicism mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra.
Berbeda dengan new criticism yang membedakan antara karya sastra yang adiluhung dan yang picisan dengan suatu standar estetika yang dianggap universal dan baku, new historicism melihat pembedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik. Dalam hal ini new historicism merevisi asumsi new criticism dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, tak terjamah waktu, dan natural sebetulnya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan bentukan sosial.
Oleh karenanya, batas antara sastra adiluhung dan picisan, budaya tinggi dan rendah, tidak diterima begitu saja, tetapi menjadi wilayah penelitian, bukan dengan tujuan untuk mengevaluasi produk-produk budaya tersebut, melainkan untuk menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks tinggi, rendah, sastra, dan nonsastra itu saling terkait dengan persoalan-persoalan pada zamannya. Dengan memperlihatkan bagaimana teks sastra maupun nonsastra, sastra adiluhung maupun popular, sama-sama terpapar dan membentuk nilai-nilai yang ada pada zamannya, new historicism meruntuhkan suatu aksioma yang mendasari new criticism bahwa sastra popular biasanya bersifat konformis, atau mendukung nilai-nilai dominan yang ada, sedangkan sastra tinggi menentang, mempertanyakan, dan bersifat kritis terhadap tatanan sosial, politik, dan ekonomi.
Selain menggugat formalisme, Greenblattt juga menawarkan pembaharuan atas pendekatan sejarah yang pada waktu itu masih dominant dalam kritik sastra di Amerika, yakni kecenderungan melihat sastra sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya dan masyarakatnya. Dalam perspektif yang baru, karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan memproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya. Teks memang merupakan produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya, tapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial.
Sejarah atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekadar latar belakang yang koheren dan menyatu, yang dengan transparan dapat diakses; sejarah itu sendiri terdiri dari berbagai teks yang masing-masing menyusun satu versi tentang kenyataan. Dalam perspektif new historicism, “kenyataan sejarah” tidak lagi tunggal dan absolut, tetapi terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Jadi, kaitan antara karya sastra dan sejarah adalah kaitan intertekstual antara berbagai teks, fiksi maupun fakta, yang diproduksi pada kurun waktu yang sama atau berbeda.
Revisi new historicism terhadap pendekatan formalis maupun sejarah disimpulkan oleh Louis A. Montrose dengan istilah: membaca sastra sama dengan membaca sejarah; membaca sejarah sama dengan membaca sastra.
Aspek politis dan ideologis yang bermain dalam produk-produk budaya, tidak bisa tidak terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Dalam hal ini kajian-kajian new historicism banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault. Kekuasaan, dalam pengertian Foucault, tidak dilihat sebagai suatu yang negatif, melainkan suatu keniscayaan yang selalu hadir dalam setiap interaksi manusia, termasuk dalam bahasa. Relasi kuasa dalam hal ini tidak dilihat dalam satu arah yang linear atau vertical, sebagai entitas yang diperebutkan atau dipakai untuk menindas atau memberontak, melainkan sebagai suatu potensi yang bersirkulasi terus-menerus tanpa henti, mendorong kreativitas dan produktivitas budaya. Karena relasi kuasa hadir dalam setiap tindak bahasa, maka karya sastra dengan sendirinya menghadirkan relasi kuasa itu melalui bahasa yang dipakainya.
Sejumlah persoalan tentang proses produksi, reproduksi, apropriasi (derma) nilai-nilai budaya yang relevan untuk dilontarkan sebagai permasalahan dalam menganalisis teks, menurut Greenblattt, antara lain:

1. Perilaku atau praktik budaya apa yang didukung atau dikukuhkan oleh teks?
2. Mengapa pembaca dalam zaman tertentu menganggap karya ini bermakna?
3. Adakah perbedaan antara nilai-nilai saya (kritikus/peneliti) dengan nilai-nilai karya yang saya amati?
4. Pemahaman sosial apa yang mendasari karya ini?
5. Kebebasan berpikir atau bergerak siapa yang secara implisit dan eksplisit dibayangkan oleh karya ini?
6. Adakah struktur sosial yang lebih luas, yang terkait dengan apa yang disanjung atau dipersalahkan oleh teks?

Dalam kajiannya, new historicism menyandingkan teks sastra kanon dengan teks yang marginal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dengan suatu titik tertentu dalam sejarah secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, new historicism cenderung memilih, nyaris secara random, hal-hal yang tampak remeh-temeh dan tersisihkan dari sejarah, dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai untuk menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.
Sebagai peneliti, Melani Budianta tidak mulai dari teori atau pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihat berbagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks itu untuk diangkat sebagai penelitian. Pada saat yang sama, berbagai konsep, teori, model-model kajian yang pernah dibacanya dan telah mengalami proses internalisasi dalam dirinya, sehingga memberinya banyak “kacamata” yang memungkinkannya menangkap permasalahan tertentu dalam teks.
Melani Budianta mengajak pembaca untuk membaca model-model kajian yang menerapkan berbagai konsep, teori, dan pendekatan, kemudian melupakannya ketika kita sedang menggeluti teks-teks sastra, sebab hanya dengan demikian permasalahan-permasalahan yang kontekstual kita temukan. ***

Citayam, 15 September 2009

Senin, 14 September 2009

Sampai Kapan Perseteruan Lekra-Manikebu Kan Berakhir?









oleh Asep Sambodja

Ya, sampai kapan perseteruan Lekra-Manikebu kan berakhir? Di permukaan, seolah-olah ada rekonsiliasi Lekra dengan Manikebu di TUK beberapa waktu lalu, saat peluncuran buku J.J. Kusni. Lekra diwakili Kusni dan Manikebu diwakili Taufiq Ismail. Keduanya bersalam-salaman untuk menandakan adanya rekonsiliasi. Tapi, salaman itu hanyalah salaman yang artifisial belaka, dan terbukti sama sekali tidak bermakna apa-apa.
Sekarang, marilah kita buka buku-buku antologi sastra yang ada, yang masih bertengger di perpustakaan sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Bagaimanakah nasib sastrawan Lekra dan karyanya dalam buku-buku itu? Nasibnya seperti debu yang diterbangkan angin: hilang dari halaman ke halaman.
Apa yang dikatakan Ajip Rosidi sebagai editor Laut Biru Langit Biru (1977) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Demikianlah hukum bandul lonceng berlaku di sini: Setelah satu ekstrimitas yang menjurus kepada hanya mengakui realisme sosialis sebagai satu-satunya aliran kesenian, meloncat kepada ekstrimitas yang lain seakan-akan hanya mau mengenal dan menghargai karya-karya yang bersifat eksperimental saja. Karya-karya yang bersifat realisme, walaupun bukan sosialis, dianggap seakan-akan otomatis tidak atau kurang bermutu” (hlm. 6). Akibatnya, tidak ada sastrawan Lekra dalam buku antologi sastra itu.
Apa yang dikatakan Linus Suryadi Ag. sebagai editor Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern (1987) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Catatan khusus patut diberikan pada 4 nama [sic]: Hr. Bandaharo, S. Rukiah, Rivai Apin, Sobron Aidit, dan Agam Wispi. Meskipun puisi para penyair itu ditulis sebelum tahun 1965 dan dua nama pernah dimuat juga dalam antologi—S. Rukiah dalam Sepucuk Pinang Seserpih Sirih dan Rivai Apin dalam Tiga Menguak Takdir—sedang pada hemat editor Tonggak, juga mempunyai arti peran penting dan harus diperhitungkan oleh sejarah perkembangan puisi Indonesia, tapi sampai saat ini nama dan karya mereka masih terpalang “segel merah” (baca: dilarang, AS). Tidak bisa lain, kecuali “terpaksa” ditarik kembali dan diganti 4 nama [sic] beserta karya masing-masing” (hlm. Xl-xli). Akibatnya, tidak ada sastrawan Lekra dan karyanya dalam buku Tonggak.
Apa yang dikatakan Taufiq Ismail dan Hamid Jabbar sebagai editor Horison Sastra Indonesia (2002) berkaitan dengan sastrawan Lekra? “Roda pedati berputar, jentera sejarah berulang. Di zaman Orde Lama politik menjadi panglima dan tujuan menghalalkan cara, maka di masa Orde Baru ekonomi dan teknologi menjadi panglima dan pembangunan dijadikan semacam agama baru. Dalam masa Orde Lama buku dilarang, dalam kurun Orde Baru buku dilarang. Penderitanya sama juga, yaitu sastrawan yang pandangan politiknya berbeda dengan pemegang kekuasaan. Nama dan judulnya saja yang berbeda, tapi prinsipnya tetap sama. Di masa Orde Lama karya Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Usmar Ismail yang dilarang, di kurun Orde Baru karya Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, H.R. Bandaharo, Agam Wispi yang dilarang. Tentu perlu disebut pula puisi dan drama WS Rendra dan Nano Riantiarno yang mengalami pencekalan berulang kali di kurun itu, termasuk puisi Wiji Thukul, yang bahkan keberadaan penyairnya tidak kunjung berkejelasan. Sebagai bangsa, dalam hal ini dua kali kita kehilangan tongkat kita” (hlm. xxv-xxvi). Meskipun demikian, Horison Sastra Indonesia sepi dari sastrawan Lekra. Yang muncul namanya hanya Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer. Sudah. Padahal, sastrawan Lekra itu banyak jumlahnya.
Apa yang terbaca dari buku Antologi Drama Indonesia: 1895-2000 yang dieditori oleh Sapardi Djoko Damono sebagai ketua tim editor buku tersebut? Saya melihatnya Sapardi dan kawan-kawan lebih objektif dalam menampilkan naskah para penulis naskah drama Indonesia. Karena, dalam periode 1946-1968, saat revolusi masih menjadi primadona tema para sastrawan, muncul tiga nama sastrawan Lekra, yakni Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, dan Joebaar Ajoeb. Juga muncul nama Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Sitor Situmorang—yang juga menjadi lawan politik kaum Manikebu.
Saya menilai Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan berjasa dalam menyelamatkan karya-karya para sastrawan Lekra. Buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) dan Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) menjadi penting artinya ketika sejak zaman Orde Baru hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak memberi tempat pada karya sastra yang dihasilkan sastrawan Lekra untuk dikaji, dianalisis, bahkan untuk sekadar dibaca. Karena itulah, kehadiran dua buku ini, yang semuanya berisi sastrawan-sastrawan Lekra berikut karyanya dianggap sebagai penyelamat aset budaya yang telah lama dicampakkan. Persoalan-persoalan kebangsaan, kerakyatan, bahkan persoalan politik internasional banyak diangkat oleh sastrawan-sastrawan Lekra. Nama-nama yang “asing” seperti Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Bachtiar Siagian, Putu Oka Sukanta, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, T. Iskandar AS, HR Bandaharo, Agam Wispi, Boejoeng Saleh, Chalik Hamid, Dharmawati, F.L. Risakotta, Klara Akustia, S. Anantaguna, S. Rukiah Kertapati, Rivai Apin, Njoto, misalnya, hadir dalam kedua buku ini.
Sebagian sastrawan Lekra juga ada dalam buku Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965 karya Keith Foulcher (1986). Penyair Lekra yang dimunculkan adalah S. Anantaguna, Klara Akustia, HR. Bandaharo, Agam Wispi, Putu Oka Sukanta, dan Amarzan Ismail Hamid. Cerpenis Lekra yang dimunculkan adalah Mh. Isa, Sugiarti Siswadi, Made Serinata, Tann Sing Hwat, dan T. Iskandar AS.
Taufiq Ismail dan DS Moeljanto juga memuat karya 11 sastrawan Lekra seperti Sobron Aidit, T. Iskandar AS, Setiawan Hs, Hersat Sudijono, Dharmawati, Nusananta, Virga Belan, Agam Wispi, Armans, Mawie Ananta Jonie, dan Tohaga dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. Namun, pemuatan karya sastrawan Lekra itu sekadar untuk menunjukkan “ide dasar dan gaya penulisan kelompok Lekra”.
Dalam buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan yang dieditori oleh An. Ismanto (2009), ada sejumlah nama sastrawan yang dimunculkan, yang tidak terdapat dalam buku-buku pelajaran sastra di sekolah. Di antara sastrawan itu adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dr. Soetomo, Rivai Apin, RA Kosasih, Agam Wispi, Marga T., Teguh Esha, Bastian Tito, Asmaraman S. Kho Ping Ho, Icha Rahmanti, Muhidin M. Dahlan, dan Saut Situmorang. Artinya, karya sastra yang dipinggirkan selama ini, baik sastra populer, sastra komik, sastra cyber, maupun sastra realisme sosialis yang diusung Lekra, kini muncul bahkan dalam 100 buku pilihan—minimal buku itu bagus menurut An. Ismanto.
Lantas, bagaimana John H. Mc. Glynn (2002) sebagai ketua editor buku Indonesian Heritage membaca sastra Indonesia? Dalam buku yang berisi warisan budaya itu, bahasa dan sastra mendapat perhatian yang sangat serius. Khusus untuk masalah sastra, terutama pada masa revolusi dan sesudahnya, ada beberapa sastrawan yang dicatat memiliki karya besar yang bisa menjadi warisan atau pusaka bangsa Indonesia. Para sastrawan itu adalah Chairil Anwar dan Sitor Situmorang di bidang puisi, Idrus dan Pramoedya Ananta Toer di bidang prosa, dan Utuy Tatang Sontani di bidang drama. Artinya, sastrawan Lekra yang biasa mengangkat persoalan-persoalan bangsalah yang mendapat tempat di mata pengamat sastra dari luar negeri, semisal Harry Aveling, Henk M.J. Maier, dan William Frederick. Dari buku ini terbaca pula bahwa sesungguhnya sastrawan Lekra juga memberi kontribusi yang baik bagi perkembangan sastra Indonesia. Namun, anehnya, pemerintah masih menganggapnya sepi. Ini sungguh mengherankan.
Dari beberapa judul buku di atas, saya menarik kesimpulan bahwa kita masih memerlukan sebuah buku sejarah sastra yang komprehensif dan representatif. Dan untuk mewujudkan karya itu dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan kebesaran hati untuk bisa menerima perbedaan.

Citayam, 15 September 2009
Hari Ulang Tahunku yang ke-42

Sabtu, 12 September 2009

Taufiq Ismail Salah Tafsir Puisi Mawie Ananta Jonie




oleh Asep Sambodja

Dalam buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI DKK (1995), Taufiq Ismail menulis, “Enam bulan menjelang Gestapu, Mawie sudah berkata ‘kunanti bumi memerah darah’. Tepat, karena dia sudah tahu sebelumnya” (lihat halaman 219).
Apa yang salah dari kalimat Taufiq Ismail itu? Pernyataan itu merupakan interpretasi terhadap puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” yang dimuat di harian Bintang Timur pada 21 Maret 1965. Merujuk pada jalan pikiran kalimat itu, enam bulan kemudian terjadi peristiwa G30S. Dan, Taufiq mengatakan, “Dia sudah tahu sebelumnya.”
Pernyataan “Dia sudah tahu sebelumnya” sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Apakah benar Mawie sudah mengetahui rencana pembunuhan enam jenderal—yang disebut Dewan Jenderal oleh Letkol Untung—dan satu perwira Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari—sehingga Bung Karno menyebutnya sebagai Gestok; Gerakan 1 Oktober? Saya pikir Mawie tidak mengetahuinya, karena Presiden Soekarno sendiri tidak mengetahui rencana itu.
Puisi “Kunanti Bumi Memerah Darah” yang ditulis Mawie itu sama sekali tidak berbicara tentang pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat. Ia berbicara tentang seorang ibu satu anak dan tengah mengandung yang hidupnya nelangsa di ibukota. Penyair menulis “kunanti bumi memerah darah, kuserahkan engkau kepadanya” bisa ditafsirkan keinginan penyair agar Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya dan kemudian orang-orang kecil seperti ibu itu diurus oleh partai.
Untuk mengetahui pesan puisi itu, berikut ini saya kutip selengkapnya;

Kunanti Bumi Memerah Darah

bulan arit di langit
napas terkatung di Ciliwung
anak kecil menangis di pangkuan
seorang perempuan
wajahnya hanyut ke laut
sejak ia datang dari pinggiran kota
dibawa sungai kehidupan

malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walaupun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya

diciumnya si kecil dalam badungan
dinantinya si mungil dalam kandungan

tidurlah anak jangan menangis
kecapi dan nyanyi sudah berhenti
kalau kau lihat malam menipis
angina dingin datang menari

bulan arit di langit
cinta dan kasih
bergelimpangan di jalanan
mawar dan wajah
menanti bumi merah

Ciliwung mengalir
kesayangan mencair
derita dan sengsara
bertengkar sejak lama

malam ini ia petik kecapi
bersama nyanyi
Ciliwung airnya merah
walaupun merah hidup tampaknya
kunanti bumi memerah darah
kuserahkan engkau kepadanya

Jakarta, 21 Maret 1965

Kalimat atau kata mana yang menunjukkan pembantaian, sehingga Taufiq Ismail mengatakan Mawie sudah mengetahui akan adanya pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965? Kalau hanya membaca judulnya kemudian menafsirkan sesuka hati, akibatnya fatal. Dari pernyataan Taufiq Ismail itu seolah-olah Mawie sudah mengetahui rencana busuk komandan pasukan Cakrabirawa Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief untuk membunuh para Dewan Jenderal.
Saya sama sekali tidak melihat kata-kata yang menyimbolkan ke arah yang disebutkan Taufiq Ismail itu. Saya pikir interpretasi singkat Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya itu perlu dikoreksi agar tidak membingungkan pembaca sastra yang serius dan terutama tidak merugikan nama baik sang penyair, Mawie Ananta Jonie.
Saat ini, Mawie berada di Amsterdam dan tidak diperbolehkan kembali ke Indonesia sebagaimana sastrawan-sastrawan eksil lainnya. Saya hanya bisa berkomunikasi dengan Mawie melalui buku puisinya, Cerita untuk Nancy (2008) yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung dan Lembaga Sastra Pembebasan. Puisi-puisi Mawie dalam buku tersebut yang setiap baitnya dua baris dan memiliki irama memperlihatkan bahwa ia sudah terbiasa mengontrol emosinya. Bisa juga diartikan bahwa Mawie sudah memiliki pola yang tetap dalam menulis puisi. Sebagian puisi Mawie dalam buku tersebut menunjukkan puisi yang berlawan; berlawan dari jauh namun tetap memperlihatkan kesetiakawanan. Berikut ini saya kutip sebuah puisi Mawie Ananta Jonie yang mengungkap peristiwa 1965.

Gelombang Laut Itu Tak Pernah Diam

Di masa-masa gelap G30S perburuan itu masih berlangsung
pembunuhan orang kiri terjadi di kota dan di kampung

Aku terima sepucuk surat dari Lepi tertanggal Singapura
yang bercerita kekejaman dan deritanya di penjara

Jauh di negeri orang aku ikut mencari jalan pulang
surat kubuka di pinggir sungai di bawah dangau atap lalang

Apapun yang terjadi setiakawan mereka selamatkan
tidak menyerah di depan kejahatan dan kekejaman

Gelombang laut itu tak pernah diam
walau angina mati dan kelam membenam

Amsterdam, 13 April 2008


Puisi-puisi Mawie dalam Cerita untuk Nancy semuanya memiliki pola yang sama, dan sebagian besar berisi tentang penderitaan yang dialami oleh sahabat-sahabatnya yang berada di tanah air.

Citayam, 12 September 2009

Jumat, 11 September 2009

Doa Chalik Hamid buat Soeharto



oleh Asep Sambodja

penyair, siapalah yang akan menangisimu
di negeri asing ini

Tidak ada yang akan menangisi penyair dalam keterasingan. Kutipan puisi di atas merupakan puisi karya Chalik Hamid (71) berjudul “Korban Keganasan” yang ditujukan kepada penyair Agam Wispi. Banyak sastrawan Lekra yang berada di luar negeri dan tidak diperbolehkan kembali ke tanah airnya sendiri. Pasca peristiwa G30S 1965, Presiden Soeharto melarang orang-orang Lekra, yang merupakan lembaga kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali ke Indonesia.
Karena larangan itulah banyak sastrawan Lekra yang “kelayaban”—istilah Mawie Ananta Jonie—di Belanda dan belahan Eropa lainnya. Identitas sebagai warga negara Indonesia diminta oleh KBRI. Akibatnya, ada yang tidak memiliki kewarganegaraan dan ada yang meminta suaka di negara yang bersangkutan dan memiliki kewarganegaraan Belanda, misalnya. Padahal, kalau dirunut ke belakang, apa salah mereka? Apakah sastrawan-sastrawan Lekra yang berada di luar negeri itu benar-benar terbukti terlibat dalam G30S? Di manakah dewi keadilan? Lalu kenapa mereka dilarang kembali ke Indonesia?
Pelarangan untuk kembali ke tanah airnya sendiri merupakan hukuman yang berat juga. Ini tidak ada bedanya seperti dibuang ke Digul, jauh dari keluarga dan sanak famili. Sebagian di antara mereka bahkan sudah meninggal di sana. Bagi mereka yang masih hidup, hal ini merupakan siksaan yang teramat berat. Bagaimana mengobati rindu? Apakah cukup dengan kata-kata yang dikirim melalui surat atau email? Apakah cukup hanya mendengar suara? Tanpa berpelukan?
Sastrawan-sastrawan Lekra yang berada di luar negeri itu ada yang menyebutnya sebagai sastrawan eksil, sastrawan yang terpinggirkan. Namun, mereka masih terus berkarya. Dan, karyanya sungguh luar biasa, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Hersri Setiawan, misalnya. Kesungguhan dalam bekerja dan berkarya itu juga diperlihatkan oleh H.R. Bandaharo, seperti yang terbaca dalam puisi Chalik Hamid yang berjudul “Matinya Seorang Penyair”, yang ditujukan kepada H.R. Bandaharo:

masih aku ingat di Kesawan enam dua
kantor harian sekaligus kantor Lekra
setiap pagi engkau datang berkacamata
dengan tekun duduk menghadap meja tua
menelaah sajak-sajak dan cerita
sampai malam tiada batas kerja

entah berapa sudah penjara engkau masuki
razia demi razia oleh bangsa sendiri
dari Sukamulia sampai ke Pulau Buru yang tanpa diadili
karena engkau membela keadilan dan kemerdekaan
merdeka menyatakan pendapat
merdeka bicara dan berbuat
dan jaminan hak asasi manusia


Puisi-puisi Chalik Hamid dalam buku Mawar Merah (2008) yang diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung ini kebanyakan merupakan “puisi cepat”, sebagaimana yang dikatakan Asahan Aidit yang memberi pengantar buku ini. Artinya, pembaca bisa langsung memahami apa yang ditulis penyair dalam puisi-puisinya. Sebagai contoh, misalnya, puisi “Dibungkem” berikut ini, yang ditulis pada 1994—tahun pembreidelan Tempo, Detik, dan Editor.

Dibungkem

dulu politik jadi panglima
kau dan aku boleh bicara
kini politik di tangan panglima
kita dibungkem tak boleh bicara


Saya akan memperlihatkan sebuah puisi Chalik Hamid yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini. Yakni, sastrawan-sastrawan Lekra tidak akan pernah melupakan kebijakan Soeharto ketika mendirikan rezim Orde Baru dengan melarang PKI, membunuh ratusan ribu orang PKI terutama di Jawa dan Bali, menahan orang-orang PKI atau orang-orang yang dituduh PKI—sebagian ditahan di Pulau Buru, dan melarang orang-orang PKI (termasuk sastrawan Lekra) yang sedang berada di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Semuanya itu tanpa proses pengadilan. Belum lagi perempuan-perempuan yang diperkosa saat interogasi dilakukan aparat keamanan (lihat buku Ita F. Nadia (2008), Suara Perempuan Korban Tragedi ’65). Puisi yang saya maksud berjudul “Doa”. Saya sengaja mengutip secara lengkap puisi ini agar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar memperhatikan nasib mereka. Tidak hanya nasib sastrawan Lekra, tapi nasib ribuan bahkan jutaan orang-orang PKI yang ditutup mata pencahariannya oleh rezim Orde Baru Soeharto. Tidak hanya merehabilitasi nama baik mereka, tapi juga memberi kompensasi atas ketidakadilan yang pernah dilakukan rezim Orde Baru.

Doa

Pak Harto
aku berdoa dengan sepenuh hati
agar engkau jangan cepat mati
sebab rakyat masih membutuhkan engkau
untuk diadili atas kejahatan-kejahatanmu

Kalau engkau mati sekarang
siapalah yang akan bermain di lapangan golf
yang telah engkau bangun di seluruh negeri
siapalah yang akan menebangi hutan
yang kini sudah mulai tumbuh lagi
siapalah yang akan meneror rakyat
yang kini sudah berani bangkit kembali
siapalah yang akan menikmati uangmu
yang bertimbun di bank-bank luar negeri
siapalah yang akan melaksanakan petrus
agar mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan
hanya engkau, engkaulah yang bisa melakukannya

Aku berdoa agar engkau segera sehat
supaya bisa diadili di depan rakyat

Kuatkan imanmu, teguhkan hatimu
biarkan arwah ratusan ribu mayat-mayat
yang kau bunuh
terus membayangimu setiap hari
biarkan jin, hantu, setan, dan kuntilanak
menggodaimu siang dan malam
atas dosa-dosa dan kejahatan yang kau lakukan

Tutup telingamu rapat-rapat
jangan dengarkan jeritan-jeritan
yang menghujanimu terus-terusan
karena tanah mereka telah kau musnahkan
rumah mereka kau ratakan
dank au bangun gedung-gedung bertingkat
untuk kemewahan kaum konglomerat

Sembunyikan tanganmu
yang berlumuran darah rakyat
yang kau teror, kau sembelih, dank au cincang

Sudah tiba saatnya
hamburkan uang yang bermiliaran itu
untuk menghasut rakyat di mana-mana
agar melakukan perang agama
lakukan kejahatan di mana saja
karena kau sudah pasti kalah
namun berhasil memutar sejarah

Sekali lagi aku berdoa
agar engkau segera sehat
supaya bisa diadili di depan rakyat
amin.

Puisi ini jelas ditulis sebelum Presiden kedua itu meninggal dunia dan dimakamkan di Astana Giribangun, Jawa Tengah. Tapi, sekali lagi, mudah-mudahan puisi ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah yang sekarang. Suara-suara seperti ini tidak akan pernah berhenti diperdengarkan, sebelum keadilan benar-benar ditegakkan.

Citayam, 12 September 2009


H.R. Bandaharo Menempuh Jalan Rakyat




oleh Asep Sambodja

dan Bung Karno mengucapkan:
“Saya sekarang menyatakan Indonesia keluar dari PBB!”

Penyair H.R. Bandaharo sangat terkesima dengan pernyataan Presiden Soekarno yang menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena Malaysia diberi kedudukan sebagai anggota tidak tetap dalam Dewan Keamanan PBB. Sementara saat itu Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Pernyataan itu dilontarkan Bung Karno pada 7 Januari 1965. Akibat dari keluarnya Indonesia dari PBB, menurut M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), Indonesia mengalami keterkucilan diplomatik oleh negara-negara Asia-Afrika. Namun, H.R. Bandaharo memberi makna yang lain pada pernyataan Bung Karno itu. Dalam puisi “Menempuh Jalan Rakyat”, Bandaharo menulis:

Ini adalah permulaan dari suatu taraf juang
dalam perlawanan terhadap penindasan lahir-batin rakyat
di zaman kebangkitan ditandai oleh bergolaknya empat samudera
oleh terpaan badai dan guntur di lima benua
hanya tujuh kata dalam satu kalimat
tapi dia adalah halilintar menggeger bumi
pertanda pertama dari musim baru pasti datang

Sebagaimana yang tampak menonjol dalam puisi-puisi Agam Wispi, dalam puisi H.R. Bandaharo pun sangat menonjol sikap antiimperialisme Amerika. Sikap Agam Wispi dan H.R. Bandaharo merepresentasikan sikap sastrawan Lekra secara keseluruhan. Prinsip berkesenian yang menempatkan politik sebagai panglima membawa konsekuensi untuk mendukung kebijakan Bung Karno, karena Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengayomi Lekra tengah bermesraan dengan garis politik Bung Karno. Ketika Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB, sebagaimana terekam dalam puisi Bandaharo, PKI beserta komponennya menyambutnya dengan gegap gempita.

Lenyaplah mitos kesucian PBB
lenyaplah mitos “dunia merdeka”
karena rakyat bangkit berlawan
dan menjadi jelas: imperialis Amerika setan dunia!

Kaum imperialis AS, si setan dunia, adalah mereka
yang dicekik oleh perbuatan-perbuatannya sendiri
mengapa mereka di Asia
di Korea, di Jepang, di Filipina, di Taiwan, di Vietnam, di semua negeri?
Apa kerja mereka di Afrika
di Konggo, di Tanzania, di Ghana, dan dimana-mana?
Untuk apa mereka di Amerika Latin
di Kuba, di Panama, di Puerto Rico, dan di semua pelosok?
Bahkan apa faedah mereka di Eropa dan di bagian lain dunia ini?
Katanya berdagang, tapi dagangannya adalah maut
Katanya bersahabat, tapi persahabatannya campur tangan, penipuan, dan subversi
Katanya untuk perdamaian, tapi yang dibawanya adu domba dan perpecahan
Katanya untuk kemerdekaan, tapi nyatanya penaklukkan baru, neokolonialisme
Katanya membantu, tapi bantuannya menjerat leher dan membelenggu
Katanya membawa kebudayaan, tapi kebudayaannya memabukkan, pelacuran, dan saling tembak.

Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Goenawan Mohamad yang mengatakan bahwa karya-karya sastrawan Lekra seperti Agam Wispi, H.R. Bandaharo, dan Amarzan Ismail Hamid gemanya masih hidup sampai sekarang (lihat pengantar GM dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (2006) karya Eka Kurniawan). Kalau kita lihat apa yang sekarang terjadi di Afghanistan, Irak, Iran, Korea Utara, nyaris ada campur tangan Amerika. Begitu juga ketika Resolusi PBB tidak bergigi ketika Israel menginvasi Palestina, pastilah di balik itu ada campur tangan Amerika.
Puisi-puisi H.R. Bandaharo yang terhimpun dalam Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) sebagian ada yang tak terbaca. Menurut Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri yang menghimpun puisi-puisi sastrawan Lekra yang dimuat di Harian Rakjat, banyak koran tersebut yang sudah dimakan rayap. Apalagi koran Harian Rakjat dan Bintang Timur disimpan rapat-rapat di sebuah kamar di sebuah perpustakaan yang di pintunya tertulis: BACAAN TERLARANG.


Citayam, 11 September 2009

Kamis, 10 September 2009

Soeharto dalam Puisi Putu Oka Sukanta


oleh Asep Sambodja

“Sebagai anggota Lekra, ia dipenjara rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili,” demikian secuplik biografi Putu Oka Sukanta, penyair besar Indonesia yang lahir di Singaraja, Bali, 29 Juli 1939.
Dari cuplikan itu, kita memahami bahwa ada ketidakadilan yang dialami oleh Putu Oka Sukanta sebagai sastrawan Lekra. Pertama, kenapa ia ditangkap? Atas kesalahan apa ia ditangkap? Apakah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu salah? Kedua, kenapa penangkapan itu tidak diteruskan ke pengadilan? Bukankah kalau seseorang itu ditangkap kemudian diperiksa, dibuat Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), kemudian BAP itu diserahkan ke kejaksaan dan kemudian dibawa ke pengadilan untuk diadili; apakah ia bersalah atau tidak? Ketiga, Putu Oka Sukanta ditangkap tanpa diadili, tapi kenapa sampai ditahan selama 10 tahun? Bagaimana negara membaca kasus hukum seperti ini. Kalau negara bisa membacanya dengan baik, kenapa tidak ada permintaan maaf kepada mereka yang sudah dizalimi seperti itu? Kenapa pula tidak ada rehabilitasi nama baik mereka? Dan orang yang mengalami nasib seperti Putu Oka Sukanta itu banyak sekali. Kalau kita mengacu pada buku sejarah yang resmi, yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto, jumlahnya paling sedikit 10.000 orang.
Dalam keadaan seperti itulah Putu Oka Sukanta menulis puisi. Karenanya, terbaca dengan jelas bagaimana sakitnya perasaan Putu saat menulis puisi. Setidaknya, ini bisa dibaca pada puisi “Waktu” dalam Tembang Jalak Bali: Puisi Tertindas (2000). Dalam puisi tersebut, Putu Oka Sukanta menuturkan kepedihannya dengan bahasa metaforis, sangat berbeda dengan puisi-puisi Putu Oka pada tahun 1960-an, misalnya puisi-puisinya yang termuat dalam Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008). Kepedihannya yang sangat mendalam itu terurai dalam sepuluh bagian puisi. Puncaknya, Putu Oka menghasilkan puisi yang sangat impresif dan sublim dalam puisi berjudul “Dalam Sel” yang saya kutip secara utuh berikut ini:

Dalam Sel

aku seperti air
yang reda dari goncangan
mengapungkan busa
mengendapkan ampas
menapis keruh
pagi yang jernih

aku seperti air
yang reda dalam goncangan
mengaca ke dalam
pada keheningan di balur kabut
dan sosok utuh yang muncul
bukan lagi siapa-siapa

aku seperti air
yang reda dalam goncangan
kelam menyisih
terang menyorot
bukan lagi bagi siapa-siapa


Puisi ini tidak disertai tahun pembuatan. Namun terbaca bagaimana seorang Putu Oka sebagai orang yang tertindas dan teraniaya—karena di dalam pemeriksaan selalu disertai siksaan—berupaya untuk menghilangkan diri, menjadi bukan siapa-siapa. Dengan tidak menjadi siapa-siapa, dengan meniada, menjadi cara jitu untuk survive di tengah deraan dan siksaan.
Setelah keluar dari penjara pun Putu Oka Sukanta tetap tidak merasa merdeka, karena kartu identitasnya harus dilengkapi dengan simbol ET (eks tahanan politik). Pada hakikatnya, mereka yang keluar dari penjara namun memiliki KTP bertuliskan ET, tetap saja terbelenggu, karena mereka harus wajib lapor sebagaimana seorang pendosa. Dalam puisi “Bermula di Katepe” dan “Nama Saya Ete” yang terhimpun dalam bukunya Perjalanan Penyair: Sajak-sajak Kegelisahan Hidup (1999), Putu Oka memperlihatkan sindirannya terhadap penguasa yang telah memperlakukan mantan tahanan politik sebagai warga kelas dua.
Dalam buku puisi Perjalanan Penyair itu pula Putu Oka Sukanta memperlihatkan perhatiannya pada orang-orang tertindas. Puisi “Marsinah” yang panjang mampu menunjukkan rasa sakit, pedih, yang dialami buruh pabrik arloji itu. Puisi ini benar-benar mengusik rasa kemanusiaan kita; betapa biadabnya orang-orang yang membunuh Marsinah. Demikian pula penganiayaan dan pemerkosaan terhadap keluarga Acan yang tidak mau pindah karena uang ganti rugi dari pemerintah benar-benar merugikan Acan. Karena itulah Acan diperlakukan dengan aniaya agar meninggalkan tanah leluhurnya. Penganiayaan ini terekam dalam puisi “Balada Tiga Perempuan Diperkosa”.
Putu Oka Sukanta juga banyak menulis tentang korban perkosaan dan pembunuhan di Aceh, terutama saat Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan selama sepuluh tahun. Dalam buku Surat Bunga dari Ubud (2008), Putu Oka Sukanta juga menulis puisi tentang dibunuhnya pejuang hak asasi manusia (HAM), Munir. Meskipun Putu Oka belum pernah bertemu dengan Munir, namun kematian itu sangat membuatnya berduka. Sampai-sampai ia menulis, “Aku menghidupkan engkau dalam puisi, yang tak akan bisa dibunuh, tak akan mati.”
Bagaimana pandangan Putu Oka Sukanta terhadap mantan presiden RI kedua, Soeharto? Dalam puisi “Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan” yang terdapat dalam buku Surat Bunga dari Ubud, Putu Oka menulis dengan sangat jelasnya. Ini adalah puisi transparan yang ditulis dengan penuh kejujuran. Berikut ini saya kutip puisi tersebut selengkapnya.

Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan

aku ingat benar, kata Suharto semasa jaya
anak cucu tidak akan membayar hutang, karena kita kaya
hutan tidak akan ligir, sungai tidak tercemar karena kita berbudaya
burung tidak kehilangan sarang, kandungan bumi membangun sejahtera
ternyata telah dibuktikan anak cucu Cendana

aku ingat benar senyumnya, menyeringai serigala
taringnya tidak pernah bersih dari darah jelata
ya, aku ingat benar kata-katanya
anak cucu tidak akan menderita, ternyata anak cucu Cendana

ia dengan lihai membangun bui kecil, bui besar, bui maha luas
bui berjeruji, dan menyaingi angkasa dengan bui tanpa batas
sekarang aku bertanya kepadamu, untuk siapakah itu semua
penjara itu adakah juga rumah untuk anak cucu Cendana

aku ingat benar, setiap bulan masih harus melapor, tidak boleh lupa
erte, erwe, lurah, babinsa, koramil dan seterusnya dinobatkan menjadi mata-mata
dan sampai kini ada yang tertinggal tak mampu disapu
menteri dalam negeri masih bengong, seperti tiang diam terpaku
membisu, aku ingin mendengar bisikan kalbumu

dua ribu, Indonesia baru?
Indonesia baru?
apa yang baru?
dua ribu
kalkulator dihidupkan langkah zaman
dendam diusung keranda kematian
tanganmu, tanganku akan berjabatan
seusai pengadilan.

Jakarta, 1999

Demikianlah.

Citayam, 10 September 2009





Minggu, 06 September 2009

Cerpen-cerpen Sastrawan Lekra


oleh Asep Sambodja

Seperti apakah cerpen-cerpen sastrawan Lekra? Saya mencoba membaca enam cerpen karya Sugiarti Siswadi yang pernah dimuat di Harian Rakjat dan dihimpun dalam buku Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008). Dari 61 cerpenis Lekra yang terdapat dalam buku itu, Sugiarti Siswadilah yang paling banyak menyumbangkan cerpennya.
Ada enam cerpen Sugiarti Siswadi dalam buku itu, yakni “Budak Kecil”, “Orang Kedua”, “Belajar”, “Luka Lama di Leher”, “Dongeng-dongeng di Waktu Malam”, dan “Pengadilan Tani”. Dari keenam cerpen tersebut, semuanya menggunakan pencerita diaan. Artinya, pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.
Sugiarti Siswadi seolah-olah memposisikan dirinya sebagai dalang, namun tidak seperti dalang wayang kulit yang bisa membedakan suara satu tokoh dengan tokoh lainnya, tokoh-tokoh dalam cerpen Sugiarti Siswadi nyaris sama “suaranya”. Saya melihat dalam menuturkan cerita, Sugiarti lebih mirip sebagai seorang pendongeng, dan pembaca benar-benar seperti pendengar yang khusyuk mendengarkan dongeng tersebut.
Bahasa yang digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, kalau saya kaitkan dengan konteks tahun 1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan Sugiarti cenderung menggunakan kata-kata yang santun. Karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks. Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.
Dalam cerpen “Budak Kecil”, misalnya, Sugiarti hendak bercerita tentang seorang majikan yang mencari pembantu rumah tangga. Tapi, begitu yang dating adalah seorang ibu yang mempekerjakan anak sulungnya yang baru berusia 12 tahun, di situlah muncul konflik batin. Apakah menerima anak sekecil itu untuk menjadi pembantu rumah tangga atau tidak. Namun, konflik batin itu kurang digarap dan penyelesaiannya pun sederhana dengan menerima anak itu sebagai pembantu. Dalam cerpen ini pula Sugiarti memperlihatkan seorang majikan yang berperikemanusiaan, karena memberi tugas yang tidak terlalu berat kepada anak seusia 12 tahun.
Dalam cerpen “Orang Kedua” watak tokohnya hampir sama. Ini yang saya katakan Sugiarti sebagai pengarang serba tahu masuk ke semua tokoh itu dengan pikiran yang sama. Dalam arti watak tokoh-tokohnya kurang digarap sehingga semua tokohnya tampak seragam, yang membedakan hanya nama-nama tokohnya saja. Dalam cerpen ini juga tidak ada konflik yang membangun cerita, sehingga terasa datar begitu saja. Yang ingin ditonjolkan Sugiarti dalam cerpen ini adalah semangat kerja untuk kepentingan rakyat.
Cerpen “Belajar” tidak terlalu menarik. Cerpen ini berisi tentang seorang anak yang bertanya mengenai Sputnik kepada ayahnya yang buta huruf. Tentu saja ayahnya tidak bisa menjawab, lalu ayahnya bertanya kepada tetangganya yang berlangganan koran, Mas Mitro, yang menjelaskan dengan detil. Lalu, ayahnya memuji Uni Soviet yang telah berhasil meluncurkan Sputnik ke luar angkasa dan menyindir Amerika yang waktu itu belum meluncurkan pesawat ruang angkasa.
Tema cerpen “Luka Lama di Leher” adalah tentang kerja yang bisa membuat seseorang menjadi sehat. Pak Djojo digambarkan mengalami sakit di lehernya akibat siksaan kempeitai Jepang. Dari lehernya sering mengalir air kuning. Dan kalau sudah seperti itu, ia sering marah-marah. Dokter tidak bisa menyembuhkan penyakit itu. Kalau disuruh istirahat oleh istrinya, dia malah merasa tersiksa. Ternyata, obat mujarabnya adalah bekerja. Dengan bekerja sebagai fungsionaris Serikat Buruh Perkebunan di sebuah pegunungan, Pak Djojo justru merasa tenang dan nyaman.
Cerpen “Dongeng-dongeng di Waktu Malam” berisi sindiran pada tokoh agama. Pak Karto mendongeng tentang Kyai Sumowono yang bertemu dan bertekuk lutut di hadapan Nyai Loro Kidul. Kyai Sumowono menurut saja ketika Nyai Loro Kidul melarangnya membunuh tikus. Setelah Pak Karto mendongeng, giliran Darmo yang mengomentari bahwa ia juga bertemu dengan Nyai Loro Kidul. Tapi, bukan ia yang bertekuk lutut, melainkan Nyai Loro Kidullah yang bertekuk lutut. Dan ia mengatakan bahwa ia memilih membunuh tikus yang merusak sawahnya daripada nantinya anaknya mengalami kelaparan kalau sawahnya rusak.
Barangkali cerpen “Pengadilan Tani” yang paling menarik di antara keenam cerpen tersebut. Dalam cerpen ini Sugiarti menceritakan tentang seorang tuan tanah, Sanusi, yang juga lintah darat atau rentenir yang mengadukan 130 petani yang merampas padinya. Ketika disidang, ternyata terbongkar keburukan-keburukan Sanusi, antara lain dengan memalsukan surat kepemilikan tanah dan menghisap rakyat dengan bunga-bunga hutang. Akhirnya, hakim membebaskan 130 petani itu dan menjadikan Sanusi sebagai terdakwa. Di sini tampak jelas sikap dan keberpihakan Sugiarti kepada orang-orang yang tertindas.
Saya sangat yakin cerpen “Pengadilan Tani” yang dimuat di Harian Rakjat ini memiliki greget yang sangat kuat pada konteks zamannya, karena sangat sesuai dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat mementingkan nasib petani penggarap. Orang dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat ditampilkan sebagai tokoh yang memberi kesadaran kepada petani penggarap untuk bangkit melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh tuan tanah Sanusi.

Citayam, 6 September 2009

Jumat, 04 September 2009

Arief Budiman dan "Sastra Kiri yang Kere"


oleh Asep Sambodja

Arief Budiman (Soe Hok Djin) adalah seorang Manikebuis yang insyaf. Ketika masih berumur 22 tahun, ia bersama Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito dan beberapa seniman lainnya mengeluarkan pernyataan Manifes Kebudayaan yang berpaham humanisme universal pada 17 Agustus 1963 sebagai counter terhadap paham realisme sosialis yang diusung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Namun, pada 1984, ia menolak keuniversalan dalam sastra.
Dalam artikel “Sastra Kiri yang Kere” yang dimuat dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual yang dihimpun Ariel Heryanto (1985) dan dimuat kembali dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 karya Arief Budiman, tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu “sastra kiri” dan tidak ada penjelasan mengenai “kere”-nya sastra kiri. Sebagai pembaca, saya sangat tertarik dengan judul yang ditulis oleh Arief Budiman itu. Namun, ternyata, setelah membaca artikel tersebut, kita baru sadar bahwa yang ditulis Arief Budiman sangat tersirat, sehingga kita harus menafsirkan sendiri apa itu “sastra kiri yang kere” itu.
Saya katakan Arief Budiman insyaf karena setelah sastrawan-sastrawan Lekra dibungkam pasca peristiwa 30 September 1965, ia jarang atau bahkan tidak menemukan lagi karya sastra yang membumi, karya sastra yang berbicara tentang masalah sosial politik, sastra yang berbicara tentang rakyatnya sendiri. Arief Budiman merasakan karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan Manikebu sangat kebarat-baratan dan tidak membumi. Pada saat yang hampir bersamaan Emha Ainun Nadjib juga merasakan bahwa sastra Indonesia saat itu bungkam terhadap ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Karena itu, dalam sebuah sarasehan kesenian di Solo pada 1984, Arief Budiman menggebrak kebuntuan sastra Indonesia dengan konsep sastra kontekstual. Menurut Umar Kayam, istilah sastra kontekstual itu hanyalah retorika Arief Budiman saja. Memang, sejatinya, apa yang dilakukan oleh sastrawan-sastrawan Lekra sebelum Arief Budiman menelurkan istilah itu hakikatnya adalah karya sastra kontekstual juga. Karena, mereka menghasilkan karya sastra dengan terlebih dahulu menghayati kehidupan rakyat atau kehidupan bangsanya sehari-hari. Bahkan dalam konsep berkesenian Lekra, para sastrawan harus mengintegrasikan kehidupannya dengan kehidupan kaum buruh, tani, dan wong cilik lainnya.
Saya akan mengutip pernyataan Arief Budiman yang memperlihatkan “keinsyafannya” bahwa ternyata sastrawan-sastrawan Lekra yang berpaham realisme sosialislah yang karya-karya sastranya membumi—meskipun hal ini tidak tersurat dalam artikel “Sastra Kiri yang Kere” itu. Berikut kutipan selengkapnya:

“Saya menolak nilai universal dalam kesusastraan dan kesenian. Keindahan tidak sama dimana-mana, di sepanjang sejarah. Keindahan terikat pada ruang dan waktu. Untuk masyarakat Jawa, keindahan lain dengan masyarakat Minang. Untuk bangsa Indonesia, keindahan lain dengan bangsa Prancis. Untuk kelas menengah Indonesia, keindahan lain dengan kelas bawah Indonesia. Untuk kelas menengah Indonesia dulu, keindahan lain dengan kelas menengah Indonesia sekarang. Dan seterusnya.
Bagi saya, sastrawan-sastrawan yang mencipta dengan kiblat nilai universal, yang tidak mau mengakui bahwa keindahan bersifat kontekstual, pada kenyataannya menciptakan karya-karya untuk konsumsi kritisi sastra di Negara maju. Tanpa sadar, ukurannya adalah karya-karya sastra pemenang Hadiah Nobel. Tidak heran kalau mereka menjadi orang asing di negerinya sendiri. Akhirnya, mereka cuma dapat memaki-maki rakyat bangsanya sendiri yang dikatakannya kurang terdidik dan tidak dapat mengerti sastra yang bernilai.
Apa yang disebut sebagai keindahan merupakan ekspresi dari totalitas kehidupan. Bagi saya, pertama-tama, orang harus hidup secara penuh dulu. Karena hidupnya yang penuh ini, maka dia mau menyatakannya melalui alat komunikasi apa saja yang mungkin. Bagi saya, bentuk tak penting. Yang utama adalah dia mau menyatakan sesuatu yang berharga, yang berarti bagi hidupnya.
Bagi saya, hidup secara penuh dalam masyarakat Indonesia sekarang adalah terlibat dalam persoalan-persoalan besar bangsa ini. Karena salah satu persoalan besar bangsa ini adalah masalah kemiskinan dan ketidakadilan, maka sangat wajar bila pengarang besar Indonesia terlibat dalam persoalan ini, dan menyatakan dalam karya-karyanya.
Karena itu, kalau saya mengharapkan sastrawan Indonesia berbicara tentang ketimpangan sosial yang ada sekarang ini, pada dasarnya saya memintanya untuk menjadi manusia Indonesia yang terlibat dengan masalah-masalah besar bangsanya dulu, baru menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan hanyalah merupakan by product dari menjadi manusia yang utuh, bukan sebaliknya.”

(dikutip dengan sedikit perbaikan dari Perdebatan Sastra Kontekstual, halaman 91-92)

Dari kutipan panjang di atas, serta memperhatikan judul yang digunakan Arief Budiman, saya sama sekali tidak menemukan makna “kere”. Ternyata judul itu berasal dari gurauan saja. Sebab, sarasehan yang digelar di Solo itu dilakukan secara sederhana dan apa adanya, dan bukan merupakan sebuah seminar yang megah seperti yang digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya. Meskipun demikian, gemanya masih terngiang sampai sekarang.
Sementara “Sastra Kiri” yang tersirat dari artikel itu adalah apa yang menjadi topik persoalan dalam sarasehan itu pernah dilakukan oleh sastrawan-sastrawan Lekra yang berpaham realisme sosialis; yang berpedoman politik sebagai panglima. Artinya, sastrawan-sastrawan Lekra harus mengerti politik dulu baru menulis karya sastra. Dan, untuk mengerti politik, sudah sewajarnya kalau mereka harus berpendidikan tinggi. Makanya, tidak heran kalau seorang sastrawan Lekra seperti D.N. Aidit dan Njoto (Iramani) yang menjadi pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu menulis puisi.

Citayam, 5 September 2009

Membaca Sejarah Sastra Yudiono K.S.


oleh Asep Sambodja

Tidak ada tulisan yang netral. Tulisan ini pun mungkin tidak netral juga. Demikian pula dengan karya Yudiono K.S. dalam Pengantar Sejarah Sastra Indonesia yang terbit pada 2007. Dalam buku tersebut, tampak sekali ketidaknetralan itu. Ini, misalnya, dapat dilihat ketika Yudiono K.S. mengungkap sejarah sastra Indonesia tahun 1960-an, terutama dalam bab Masa Pergolakan Sastra Indonesia Tahun 1945-1965.
Dalam buku itu, Yudiono K.S. memposisikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai “tokoh antagonis” dalam sejarah sastra Indonesia. Seolah-olah yang dilakukan Lekra adalah melulu teror budaya terhadap seniman-seniman yang tidak “seiman” dengan Lekra. Yudiono K.S. menggambarkan Lekra seperti tokoh-tokoh antagonis dalam dongeng-dongeng yang hanya memiliki karakter hitam dan jahat. Yudiono sama sekali tidak membicarakan upaya Lekra memberdayakan kesenian rakyat, misalnya, ataupun karya-karya yang menonjol dari sastrawan Lekra.
Saya memahami bahwa dalam menulis sejarah pun, termasuk menulis sejarah sastra Indonesia, subyektivitas penulisnya akan muncul dengan sendirinya. Kecenderungan Yudiono K.S. yang lebih memihak pada sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang berpaham humanisme universal terbawa dalam penulisan sejarah sastra Indonesia tahun 1960-an. Namun, sebagai akademisi, bukankah sebaiknya kita menempatkan diri kita di tempat yang lebih independen, yang mengatasi dua pihak yang tengah berpolemik?
Hal ini memang tidak mudah. Namun, sebaiknya kita sebagai penulis berlaku adil kepada kedua belah pihak. Tidak hanya pada buku Yudiono K.S. saja, dalam beberapa buku sejarah sastra Indonesia, terutama yang menyinggung sejarah sastra Indonesia tahun 1960-an, tampak sekali kita telah memperlakukan sastrawan-sastrawan Lekra secara tidak adil. Kita, misalnya, secara semena-mena mengklaim bahwa Lekra itu PKI. Padahal tidak semua sastrawan Lekra itu anggota PKI. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, tidak merasa dirinya komunis.
Setelah peristiwa 30 September 1965, PKI dilarang dan Lekra termasuk lembaga yang diharamkan ada. Karya-karya sastrawan Lekra semuanya dilarang. Akibatnya karya-karya sastrawan Lekra itu lenyap dari publik, lenyap dari buku-buku pelajaran, lenyap dari tanah airnya sendiri. Apa arti semua ini? Artinya, kita kehilangan aset budaya yang luar biasa besarnya. Kita harus merasa rugi bahwa aset budaya yang diproduksi oleh sastrawan-sastrawan Lekra itu dinafikan begitu saja. Sama ruginya ketika kolonial Belanda memboyong naskah-naskah kuno yang ditulis tangan oleh nenek moyang kita ke Leiden, Belanda.
Yudiono K.S. sejatinya memperhatikan hal ini juga. Bahwa karya-karya sastrawan Lekra itu merupakan aset budaya yang disia-siakan oleh pemerintah dan bangsanya sendiri. Saya yakin Yudiono juga tahu bahwa setiap sastrawan merekam segala peristiwa yang ada di lingkungannya ke dalam karya-karyanya. Mereka tidak hanya merekam, tapi juga menyikapi setiap peristiwa yang ada sesuai dengan pemikiran dan keyakinannya. Bisa dibayangkan, berapa banyak sastrawan Lekra yang telah menghasilkan karya sastra, berapa banyak pemikiran mereka yang terekam di dalam karya-karya mereka. Kenapa kita sia-siakan?
Saya mengusulkan kepada Yudiono K.S. untuk segera merevisi buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia dengan memberi tempat kepada sastrawan-sastrawan Lekra. Dalam buku itu, sastrawan Lekra yang diberi tempat baru Pramoedya Ananta Toer. Padahal Lekra juga memiliki sastrawan-sastrawan dan pemikir-pemikir besar. Makanya, saya melihat ada yang kurang ketika Yudiono menempatkan karya sastra pilihan yang hampir semuanya berisi sastrawan Manikebu, kecuali karya Pramoedya.
Saya pikir, dengan bersikap adil seperti itu, kita sudah sedikit lebih beradab karena tidak menyia-nyiakan kekayaan rohani bangsanya sendiri.

Citayam, 4 September 2009