tag:blogger.com,1999:blog-34487564220797385142024-03-13T11:49:53.263-07:00Rumah Asep SambodjaRumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.comBlogger109125tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-86006911612451822362010-04-01T02:26:00.000-07:002010-04-01T02:32:55.392-07:00The Reader: Kenapa Hanna Schmitz Bunuh Diri?<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S7RnCBIHYfI/AAAAAAAAAPI/AglmvT38mwE/s1600/kate+winslet+3.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5455098333012386290" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 193px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S7RnCBIHYfI/AAAAAAAAAPI/AglmvT38mwE/s320/kate+winslet+3.jpg" border="0" /></a><br /><div> </div><div><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /><br /><em>Next morning, Hanna was dead. She had hanged herself at daybreak.<br /></em>(Schlink, 1997: 203)<br /><br /> Hanna Schmitz melakukan bunuh diri justru setelah ia dibezuk oleh Michael Berg, teman kencannya sebelum ia dipenjara. Kenapa Hanna Schmitz melakukan bunuh diri? Bukankah hal ini merupakan ironi jika melihat keseriusan Hanna belajar membaca dan menulis dalam penjara dari kaset-kaset yang dikirimkan Michael? Apa yang salah pada Michael sehingga Hanna sama sekali tidak meninggalkan pesan kepadanya? <em>So she had not left any message for me. Did she intend to hurt me? Or punish me? Or was her soul so tired that she could only do and write what was absolutely necessary?</em> (Schlink, 1997: 207).<br /><br /> Hanna Schmitz merupakan representasi dari perempuan Jerman yang bekerja sebagai penjaga penjara di era kepemimpinan Adolf Hitler (1933-1945). Dalam novel The Reader karya Bernhard Schlink, Hanna mulai bergabung dengan Schutzstaffel (SS) atau pasukan pribadi Hitler pada 1943 (Schlink, 1997: 96). Setelah pasukan sekutu menduduki Jerman pada April 1945, Hitler bunuh diri dan pasukannya diadili sebagai penjahat perang. Bernhard Schlink ingin menggambarkan sosok Hanna Schmitz dari sisi yang lebih manusiawi. Bisa jadi selama ini persepsi masyarakat dunia menilai bahwa seluruh warga negara Jerman bersalah dan bertanggung jawab atas meninggalnya jutaan orang Yahudi—yang di mata Hitler dianggap sebagai ras rendah yang harus dimusnahkan. Padahal, sejatinya tidaklah demikian. Hanna Schmitz, misalnya, ia hanyalah seorang perempuan mandiri—dalam arti dapat hidup secara mandiri tanpa bergantung kepada siapa pun—yang terpaksa masuk dalam lingkaran SS karena illiterate. </div><div><br /> Bernhard Schlink tidak ingin menggeneralisasikan bahwa semua anggota SS di masa Hitler bersalah. Schlink juga ingin menjelaskan bahwa di antara warga Jerman yang diposisikan Hitler sebagai bangsa Aria, bangsa yang unggul, ternyata ada seorang perempuan Jerman yang seperti Hanna: tidak bisa menulis dan membaca. Tapi, Hanna memiliki disiplin kerja yang sangat baik. Oleh karenanya, ia dipromosikan dengan jabatan yang lebih tinggi. Namun, karena posisi itu menuntutnya untuk menulis dan membaca, ia pun keluar dan mencari pekerjaan lain, sehingga sampailah ia menjadi sipir.</div><div><br /> Pergantian rezim pascajatuhnya Hitler mengakibatkan perubahan-perubahan yang signifikan. Hanya saja, orang kecil semacam Hanna seringkali menjadi korban perubahan politik semacam itu. Dalam pengadilan yang sudah menerapkan hukum dan Undang-Undang yang berbeda, Hanna divonis penjara seumur hidup. Kenapa Michael Berg, mahasiswa Fakultas Hukum yang pernah kencan dengan Hanna Schmitz, diam saja melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya? Kenapa Michael yang mengetahui bahwa Hanna could neither read nor write (Schlink, 1997: 132) tidak berkutik saat mendengar pengakuan Hanna bahwa ialah yang membuat laporan tertulis yang ditunjukkan Hakim Ketua? Bukankah itu memperlihatkan kepengecutan seorang Michael? Kalaupun tidak dikatakan sebagai pengecut, bukankah Michael hanya mencari selamat? <em>So I was still guilty. And if I was not guilty because one can not be guilty of betraying a criminal, then I was guilty of having loved a criminal</em> (Schlink, 1997: 134).</div><div><br /> Dalam masa transisi, wajar bila banyak orang mencari selamat seperti Michael. Dalam persidangan kasus Hanna, banyak pengunjung sidang yang menghujatnya, bahkan sesama rekan sipir penjara pun menyudutkannya. Michael yang tahu persis kemampuan Hanna dalam hal menulis dan membaca tidak berkutik karena risiko yang akan didapatkannya adalah disudutkan seperti Hanna, apalagi kalau terlontar pengakuan bahwa ia pernah tidur bersama Hanna, yang kini dicap sebagai seorang kriminal. Hanna benar-benar berada dalam posisi yang tak berdaya, dan Michael berada di posisi serba salah. </div><div><br /> Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Michael mengambil inisiatif untuk mentransformasi karya-karya sastra ke dalam bentuk audio (rekaman). Ia merekam <em>Odyssey</em> karya Homerus, <em>Intrigues and Love</em> karya Schiller, <em>War and Peace</em> karya Leo Tolstoy, buku-buku Dostoyevsky, Charles Dickens, Balzac, dan lain-lain. Hingga beberapa tahun kemudian sejak Michael dan Hanna “berpisah” di ruang pengadilan, ia sangat terkejut dengan datangnya sebuah surat singkat. <em>In the fourth year of our word-driven, wordless contact, a note arrived. “Kid, the last story was especially nice. Thank you, Hanna.”</em> (Schlink, 1997: 187).<br /><br /> Setelah bertahun-tahun berpisah, pandangan Hanna terhadap Michael tetaplah sama. Ia masih memanggil Michael dengan sebutan “kid”, seperti ketika mereka masih menjalin hubungan asmara dulu. <em>“Read me something from them. Please, kid?”</em> (Schlink, 1997: 63) atau <em>“Let me bathe you, kid.”</em> (Schlink, 1997: 79). Hanna memperlakukan Michael seperti anak kecil yang harus dibimbing dalam menjalani kehidupan yang ganas. Bahkan, dalam hal cinta pun Michael tampak masih seperti anak bawang. Masih kekanak-kanakan.<br /><br /><em> “Do you forgive me?”<br /> She nodded.<br /> “Do you love me?”<br /> She nodded again. “The tub is still full. Come, I’ll bathe you.”<br /></em> (Schlink, 1997: 49).<br /><br /> Sementara fantasi Michael tentang Hanna yang dulu pernah membimbingnya dalam hal percintaan seperti buyar ketika ia melihat Hanna setelah dikurung 18 tahun penjara. Apa yang dibayangkan Michael terhadap Hanna selama ini adalah bayangan ketika masih remaja. <em>I sat next to Hanna and smelled an old woman. I don’t know what makes up this smell, which I recognize from grandmothers and elderly aunts, and which hangs in the rooms and halls of old age homes like a curse. Hanna was too young for it. </em>(Schlink, 1997: 197).<br /><br /> Dalam pertemuan di penjara itu, yakni pertemuan menjelang dibebaskannya Hanna untuk bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar. Setelah terkurung selama 18 tahun dalam penjara untuk sesuatu yang bukan murni kesalahannya membuat Hanna demikian berharap kepada Michael ketika disadarinya ada yang akan menyambutnya di luar kelak ketika dia dibebaskan dari penjara. Namun, tampaknya posisi Hanna yang terpenjara dan Michael yang bebas membuat komunikasi di antara keduanya tidak pernah berjalan mulus. Artinya, apa yang dibayangkan Michael tidak seperti yang diharapkannya ketika ia melihat kenyataan. Apa yang diharapkan Hanna ternyata juga demikian. Ia berharap Michael bisa menerimanya kembali sebagaimana belasan tahun lalu ketika Hanna menerima Michael di apartemennya. Rupanya, harapan Hanna itu memang sulit diwujudkan mengingat Michael sendiri sudah berkeluarga, meskipun ia sudah bercerai dengan Gertrud.<br /><br /><em> “I’m glad you’re getting out.”<br /> “You are?”<br /> “Yes, and I’m glad you’ll be nearby.” I told her about the apartment and the job I had found for her, about the cultural and social programs available in that part of the city, about: the public library. “Do you read a lot?”<br /> “A little. Being read to is nicer.” She looked at me. “That’s over now, isn’t it?”<br /> “Why should it be over?” But I couldn’t see myself talking into cassettes for her or meeting her to read aloud. “I was so glad and so proud of you when you learned to read. And what nice letters you wrote me!”<br /></em>(Schlink, 1997: 197-198).<br /><br /> Dialog antara Hanna dan Michael di dalam penjara itu merupakan pertanda bahwa hubungan mereka akan berakhir. Saya menilai bahwa keputusan Hanna untuk melakukan bunuh diri setelah ia mengetahui bahwa satu-satunya orang yang bisa memahami dan mengerti dirinya di dunia ini sudah berubah. Michael yang sekarang tetap dipanggilnya “kid” bukanlah Michael yang dulu. Jika Hanna Schmitz merepresentasikan perempuan Jerman yang menjadi korban generalisasi pandangan orang-orang terhadap SS dan Nazi, maka Michael Berg merepresentasikan orang-orang yang tinggal di Jerman yang tidak mengikuti kebijakan Hitler, namun belum bisa menerima secara tulus terhadap orang-orang yang telanjur dihakimi sebagai penjahat perang.</div><div><br /> Pilihan Hanna untuk bunuh diri memperlihatkan sikapnya yang tegas. Saya sangat yakin bahwa tindakan kontraproduktif ini diambil Hanna setelah Michael tidak memberikan jawaban yang memenuhi harapannya. Hanna berharap agar ia bisa diterima kembali oleh Michael. Tapi, ternyata Michael hanya membantu memfasilitasi Hanna untuk bekerja sebagai penjaga perpustakaan umum. Jadi, Michael-lah yang menyebabkan Hanna bunuh diri. Jika bukan karena faktor Michael atau karena motif lain, saya pikir sudah sejak awal Hanna bisa melakukan bunuh diri itu. Sebab, sebagai terpidana seumur hidup, Hanna tidak memiliki banyak pilihan untuk menunda kematian. Terlebih lagi, semangat Hanna untuk belajar membaca di dalam penjara juga dikarenakan adanya setitik cahaya kehidupan yang diberikan oleh Michael melalui kaset-kaset yang berisi cerita yang dikirimnya secara rutin. </div><div><br /> Sekali lagi, Bernhard Schlink menampilkan sosok Hanna Schmitz secara manusiawi. Mungkin terkesan lugu atau naif. Tapi, kehadiran sosok Hanna dalam The Reader, yang merupakan cermin masyarakatnya, memperlihatkan bahwa sejatinya dalam melihat segala persoalan, kita jangan mudah menggeneralisasikan, jangan terlalu mudah menyederhanakan persoalan. Dari The Reader ini pula kita bisa memetik pelajaran bahwa apa yang diputuskan pengadilan sebagai suatu kesalahan, belum tentu itu merupakan keputusan yang benar. Dalam memutuskan suatu perkara, pengadilan hanya berdasarkan UU yang berlaku dan bukti-bukti yang ditemukan dalam persidangan. Sementara dalam kasus Hanna, ia mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya karena ia malu kalau publik mengetahui bahwa ia tidak bisa menulis dan membaca. Saya juga bertanya-tanya, kenapa Bernhard Schlink mematikan tokoh Hanna Schmitz dengan bunuh diri? Apakah dalam bawah sadar Schlink juga terlintas bahwa mereka yang terlibat dalam pembantaian orang Yahudi harus dimatikan?<br /> <em>“Take care, kid.”</em></div><div> </div><div><strong><em>Citayam, 1 April 2010</em></strong></div><div><strong><em>Asep Sambodja</em></strong></div><div> </div>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-46197137432069626022010-03-23T09:17:00.000-07:002010-03-23T09:23:02.018-07:00Dari Diskusi Lekra dan Politik Sastra di Bandung<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S6jqGb7BNUI/AAAAAAAAAPA/Dd8rAa_-fS0/s1600-h/jakob+sumardjo+dan+saut.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5451864745227400514" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 212px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S6jqGb7BNUI/AAAAAAAAAPA/Dd8rAa_-fS0/s320/jakob+sumardjo+dan+saut.jpg" border="0" /></a><br /><div> </div><div>oleh Asep Sambodja<br /><br /> Dalam diskusi “Lekra dan Politik Sastra” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Sabtu, 20 Maret 2010, Jakob Sumardjo mengatakan, “berbeda dengan tahun 1950-1960-an, ketika Lekra selalu dikaitkan dengan partai politik, Lekra yang sekarang adalah Neo Lekra.” Hal itu dikatakan Jakob Sumardjo menanggapi pernyataan penyair Lekra Sutikno W.S. yang hadir dalam diskusi tersebut. Pujangga Boemipoetra Saut Situmorang yang juga menjadi pembicara menambahkan, “Sudah waktunya membentuk Lekra Baru, karena sudah terlalu lama Lekra ditenggelamkan.”<br /> Dalam diskusi yang dipadati seniman-seniman muda Bandung itu, Sutikno W.S. mengatakan perlunya sastrawan menghasilkan karya yang tinggi mutu ideologinya dan tinggi mutu artistiknya. “Yang dimaksud tinggi mutu ideologi adalah bagaimana sastra kita bersikap memuliakan kehidupan, menghormati kemanusiaan, mensyukuri kehidupan. Kuncinya: memuliakan kemanusiaan,” kata Sutikno.<br /> Dia menambakan, orang-orang Lekra menulis karya sastra dengan menggambarkan kehidupan dan tercermin dalam karya sastra kita. “Kalau kita melihat kehidupan kita sehari-hari, manusia masih direndahkan. Karena itu kita menulis untuk memuliakan manusia dan mengangkat derajat manusia. Dalam karya, kita tampilkan segi-segi yang baik yang diperjuangkan. Yang dipahlawankan bukan para jenderal, melainkan para prajurit yang berada di medan pertempuran, karena merekalah yang berjuang. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, para petani dan buruhlah yang perlu diperhatikan, karena merekalah yang bekerja dan berkeringat untuk kehidupan orang banyak,” ujarnya.<br /> Sutikno juga menjelaskan bahwa buku <em>Nyanyian dalam Kelam</em> itu ia tulis di dalam penjara sebagai bentuk penolakan terhadap segala bentuk penistaan terhadap manusia. Jakob Sumardjo menaymbut baik pernyataan Sutikno itu. “Kalau tujuannya seperti itu, maka itu semacam Neo Lekra. Tinggal buktikan saja, berkarya dengan dasar-dasar seperti itu dan berlomba dengan yang lain.”<br /> Putu Oka Sukanta yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengingatkan bahwa sastra Lekra dihilangkan atau dieliminasi oleh penguasa secara terstruktur dan sistematis, sehingga menimbulkan refraksi dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. “Kalau mau lihat Lekra jangan sepotong-sepotong. Jangan bicara Lekra tanpa orang Lekra. Di zaman Soeharto telah terjadi pemblejetan terhadap orang Lekra, namun orang Lekra tidak boleh masuk,” kata sastrawan Lekra ini.<br /> Putu Oka menjelaskan, saat ini sudah ada lima buku yang berbicara mengenai Lekra. “Pertama, buku Asep Sambodja yang berbicara mengenai <em>Historiografi Sastra Indonesia 1960-an</em>. Kedua, buku Keith Foulcher mengenai <em>Social Commitment in Literature and the Arts</em>. Ketiga, tulisan Goenawan Mohamad dalam buku <em>Sastra dan Kekuasaan</em>. Keempat, buku Yahaya Ismail yang berasal dari skripsi di UI. Kelima, <em>Prahara Budaya</em> Taufiq Ismail.”<br /> Perlu saya tambahkan di sini bahwa ada satu buku penting mengenai Lekra yang justru dilarang rezim SBY-Boediono, yakni buku <em>Lekra Tak Membakar Buku</em> karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Fakta-fakta dari perspektif orang-orang Lekra yang berkaitan dengan peristiwa 1960-an justru dilarang oleh penguasa.<br /> Dalam diskusi di tempat Soekarno muda (24 tahun) dan kawan-kawan Partai Nasional Indonesia (PNI) pernah diadili ini memang sangat menarik. Jakob Sumardjo berangkat dari semboyan yang menjadi pendirian sastrawan Lekra: “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”. Menurut Jakob, sastrawan-sastrawan dunia juga menerapkan idealisme sastra seperti itu. “Semua karya sastra harusnya seperti itu,” tegas Jakob Sumardjo.<br /> Ia mencontohkan sastrawan Jepang yang ideologinya terpengaruh oleh Budha bisa digemari oleh berbagai kalangan dari berbagai ideologi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menciptakan karya sastra, apapun ideologinya, yang bisa diterima oleh orang lain yang memiliki ideologi yang bermacam-macam. “Jadi tidak hanya dipuji di kalangannya sendiri saja, tapi dipuji juga di luar kalangan itu.”<br /> Jakob mengangkat kearifan lokal dalam budaya Indonesia. Di Sunda dikenal adagium tekad-ucap-lampah, sementara di Jawa dikenal dengan niat-ilmu-laku. Ketiga hal itu merupakan satu kesatuan. Pikiran (ilmu/ucap) itu menghasilkan perbuatannya (tindakan/karya/lampah/laku/empirik). “Jadi, tidak perlu dibuat oleh siapa, tapi perbuatannya bisa diterima oleh semua orang,” jelasnya.<br /> Jakob menambahkan bahwa puncak ideologi adalah jika karya itu bisa diterima oleh orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Karena, lanjutnya, keinginan manusia itu sama, yakni hidup yang lebih baik, menginginkan keadilan, tidak ingin ditindas, tidak ingin diperlakukan tidak adil. “Keinginan manusia sama semuanya: ingin masuk surga dan tidak ingin masuk neraka. Hanya, caranya untuk menempuh tujuan itu yang berbeda-beda.”<br /> Jakob mencontohkan, puisi “Gadis di Hutan” karya S. Anantaguna dalam buku <em>Puisi-puisi dari Penjara</em> justru memperlihatkan seorang gadis yang meratapi kebebasan. “Bebas di sini bias berarti bebas-dari dan bebas-untuk. Puisi ini bisa ditafsirkan jika kita sudah bisa diterima di dalam sebuah kelompok, berarti kita sudah bebas. Makanya kalau Boemipoetra mengejek kan enak saja. Telanjang bersama sudah tidak malu lagi, sudah merasa bebas, kebebasan sebagai orang dalam.”<br /> Jakob juga mengutip sebuah puisi Hr. Bandaharo yang memperlihatkan konsep niat-ilmu-laku tadi. Puisi tersebut berjudul “<em>Aku Hadir di Hari Ini</em>” yang ditulis di Pulau Buru pada 1975. Khususnya bagian 4.<br /><br /><em>manusia menurut fitrahnya mencintai keadilan<br />tapi senantiasa terdorong berbuat kezaliman<br />sejak adam, sejak kaen, sejak dulu-dulu<br />kezaliman pun dilawan dengan kezaliman<br />dan manusia berkata:<br />kamilah pembela keadilan!<br /><br />wahai, manusia<br />mengapatah kamu katakan<br />sesuatu yang kamu tidak lakukan?<br /></em><br /> Menurut Jakob Sumardjo, yang penting adalah realitas karya. “Apapun di balik itu, entah dia dari mana, musuh kita, pikiran, dan ideologinya, buat karya yang bisa diterima banyak orang. Inilah yang dikatakan tinggi mutu ideologi dan artistik. Tindakan lebih penting dari pikirannya. Ilmu itu terjadinya lewat laku/perbuatan”<br /> Sementara Saut Situmorang lebih menyoroti persoalan politik sastra dari zaman Balai Pustaka hingga kini. Menurutnya, Balai Pustaka, Manikebu, dan Horison melakukan politik kanonisasi sastra; mana yang diselamatkan dan mana yang dibuang atau disingkirkan.<br /> Balai Pustaka melakukan kanonisasi sastra dengan dua faktor, yakni faktor bahasa dan isi. Dari segi bahasa, karya sastra yang menggunakan bahasa melayu pasar, bahasa yang dipergunakan rakyat sehari-hari, bukan dianggap sebagai high culture, dianggap sebagai bacaan liar. Sementara dari segi isi, karya-karya fiksi yang mengangkat pernyaian dianggap melukai tuan besar Belanda, karena isinya memperlihatkan kelakuan tuan besar Belanda yang ngeseks karena kekuasaan. Jadi, kata Saut, karya-karya seperti itu dianggap sangat menghina kelaki-lakian laki-laki kulit putih.<br /> Manikebu juga begitu. Paus sastra H.B. Jassin dalam esainya mengenai “Angkatan 66” menggunakan bahasa jurnalistik politik yang berkaitan dengan politik praktis, bukan dengan bahasa sastra. Semboyan “Politik sebagai panglima” yang dituduhkan ke Lekra justru dilakukan secara sistematis oleh orang-orang Manikebu dengan menghilangkan Lekra dari sejarah sastra Indonesia. Akibatnya tidak ada informasi tandingan mengenai Lekra. “Ada informasi yang sengaja dihilangkan; Mukadimah Lekra tidak dibaca secara mendalam. Yang diagung-agungkan justru Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang formalistik itu,” kata penyair Yogya asal Medan ini.<br /> Apa yang dilakukan Teater Utan Kayu (TUK) dengan Tukulismenya makin canggih politik sastranya. “Kalau TUK bilang di luar teks tidak ada apa-apa, maka saya katakan, di luar politik sastra, tidak ada apa-apa,” tegas Saut Situmorang, penulis buku <em>Politik Sastra</em> ini.<br /> Politik sastra yang dilakukan Goenawan Mohamad dan TUK-Salihara itu dijelaskan Saut seperti ini: kepada dunia luar, selalu dikatakan bahwa TUK adalah representasi sastra Indonesia. Sementara ke dalam dikatakan: kalau mau go international harus melalui TUK.<br /> Lebih jauh Saut mengatakan bahwa ada sebuah ketakutan atau fobia terhadap realisme sejak Orba berkuasa. Realisme sangat direndahkan. Justru yang dikembangkan adalah formalisme Tardji yang bergulat pada abjad saja. “Sejak berkuasanya Orba dan Manikebu, di majalah Horison hampir tidak ada karya realisme. Kalaupun ada realisme, dikatakan sebagai realisme magis. Sutardji dan Danarto dikatakan sebagai formalisme sufi. Hanya orang TUK yang bisa menuliskan itu.”<br /> Mungkinkan karya sastra menyebabkan perubahan sosial? Di Amerika ada <em>Uncle’s Tom Cabin.</em> Di Indonesia ada Pramoedya Ananta Toer. “Bahwa pengarang menulis fiksi itu sama dengan menulis sejarah baru yang beda dengan sejarahnya Nugroho Notosusanto dan Taufiq Ismail.<br /> Dalam polemik kebudayaan yang dibukukan Achdiat Kartamihardja itu ada satu hal penting yang dilupakan Achdiat dan mereka yang berpolemik, bahwa pada saat itu mereka sedang dijajah Belanda. Ada realitas bahwa mereka sedang dijajah sama sekali tidak diucapkan. Orang-orang seperti inilah yang membayangkan nasionalisme Indonesia. Dan kita harus mempertanyakan hal itu. “Bisa nggak, kita menolak sesuatu yang sudah dibayangkan oleh founding fathers kita?” tanyanya. “Menulis sejarah, realisme, itu adalah persoalan besar.”<br /> Jakob Sumardjo mengingatkan kita pada kearifan lokal orang Baduy. “Yang panjang, jangan dipotong, yang pendek jangan disambung.” Artinya, kalau yang penjang itu dipotong, maka ia akan sama dengan yang pendek. Kalau yang pendek itu disambung, maka ia akan sama dengan yang panjang. Jadi, orang Baduy itu mengakui adanya perbedaan, dan karenanya tidak perlu diseragamkan. “Sayang saya terlambat membaca buku Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dan lain-lain. Kalau kita bandingkan dengan novel-novel sezamannya, maka novel Mas Marco itu lebih modern, karena to the point, bahasanya sederhana, natural.”<br /> Jakob mengatakan, bahwa sebenarnya semua orang merupakan anak-anak yang hilang.<br /><br /><strong><em>Bandung-Citayam, 20-21 Maret 2010<br />Asep Sambodja<br /></em></strong><br /><em>Catatan: Hadir dalam diskusi ini di antaranya Yopi Setia Umbara (moderator), Matdon (MC), Putu Oka Sukanta, S. Anantaguna, Sutikno W.S., Muhidin M. Dahlan, Astuti Ananta Toer, Irina Dayasih, Svetlana Dayani, Ilham Aidit, Imam Abda, Tuty Martoyo, Nuraini Hendra Gunawan, Salim, Rama Prabu, Wong Agung Utomo, Iman Budi Santoso, Dian Hartati, Bilven Sandalista, Dadan M. Ramdan, dan masih banyak lagi.<br /></em> </div>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-72364223698386235552010-03-14T08:17:00.000-07:002010-03-14T08:22:47.795-07:00Surat Buat Narita<a href="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S5z-WrKLT2I/AAAAAAAAAO4/0O66PP6IbKM/s1600-h/narita.bmp"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5448509314707443554" style="WIDTH: 253px; CURSOR: hand; HEIGHT: 188px" alt="" src="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S5z-WrKLT2I/AAAAAAAAAO4/0O66PP6IbKM/s320/narita.bmp" border="0" /></a><br /><div></div><br /><p> </p><p>Narita yang baik,<br />Saya sudah membaca tujuh puisimu. Temanya beragam, itu sangat bagus, terlebih lagi ada tema sosial. Bahkan kritik sosial. Yang seperti ini yang harus sering diasah. Diksi atau pilihan katamu untuk beberapa puisi, seperti “Asa”, “Tuhan”, dan “Sajak yang Terisak” sudah bagus. Artinya, sudah ada kata-kata puitis yang kau ciptakan. Hanya saja, kurang greget. Ini bisa dibuat lebih greget lagi jika Narita sebagai penyair lebih merapatkan jarak antara penulis dan objek yang hendak ditulis. Caranya dengan menggunakan perspektif atau sudut pandang aku.</p><p><br />Barangkali akan lebih jelas jika saya memberikan contoh konkret. Kalau kita ingin menulis tentang penderitaan seorang korban bencana alam, misalnya, maka kita harus benar-benar menghayati penderitaan si korban itu. Kita masuk dan merasuk ke dalam dirinya. Kita serap deritanya. Maka, yang akan terekspresikan dalam puisi kita nantinya bukan kata-kata “jari itu” atau “jemari itu”, melainkan “jariku” atau “jari-jari ini” atau “jemari ini” dan seterusnya. Kamu tidak lagi menulis penderitaan itu dengan kata “mereka”, melainkan “aku”, karena aku-penyair-Narita telah merasuk menjadi si korban bencana alam itu.</p><p><br />Perspektif aku-an memang akan menghapus jarak yang ada, sehingga terasa lebih greget. Bayangkan, lebih greget mana: pengakuan seorang perempuan perkosaan dengan keterangan dari polisi yang menangani kasus perkosaan itu. Sebagai penyair, kau harus menempatkan diri pada diri si perempuan korban perkosaan itu, kau rasakan bagaimana sakitnya, kau hayati penderitaannya, dan kemudian yang keluar dari puisi-puisimu adalah “aku” yang menjadi perempuan itu. Bukan “aku” yang menjadi polisi atau wartawan yang melaporkan peristiwa itu.<br />Begitu juga kalau bicara tentang Tuhan. Tidak akan lagi kau katakan “sorot mata itu”, melainkan “sorot matamu” atau “sorot mataMu”. Ini untuk menggambarkan hubungan yang demikian dekat, tak berjarak, antara kau dengan Tuhanmu.</p><p><br />Puisi “Pengaduan Bocah Sakurata” dan “Jika Korupsi Jadi Tradisi” memperlihatkan kepekaan sosialmu. Ini bagus. Cuma, tantangannya memang sangat berat. Tidak masalah membuat puisi-puisi pamflet, puisi-puisi protes, hanya saja, apakah puisi protes itu masih bisa dinikmati sebagai karya seni? Ini sebuah tantangan yang maha berat yang hanya bisa ditaklukkan jika kita terus menulis. Dalam dua puisi itu sikapmu sebagai penyair sudah memperlihatkan posisimu yang membela orang-orang tertindas, teraniaya, tersisihkan, terpinggirkan, kaum lemah, wong cilik, orang-orang yang tak berdaya. Bagi saya, ini sudah merupakan modal utama untuk menulis puisi-puisi yang bertema sosial-politik seperti itu. Sekali lagi, teruslah menulis agar tajam terasah.</p><p><br />Kamu bertanya, bagaimana menuliskan tanggal? Meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer—sastrawan hebat Indonesia yang patut diteladani—puisi-puisimu itu adalah anak-anak rohanimu. Sama seperti proses kelahiran seorang anak manusia, penulisan tanggal kelahiran adalah ketika anak itu keluar dari rahim ibu, bukan saat sel telur dibuahi oleh sperma. Jadi, begitulah Narita.</p><p><br />Semoga cukup memuaskanmu.<br /><br />Citayam, 18 Januari 2010<br />Asep Sambodja<br /><br />Narita yang baik,<br />Surat pertamaku sejatinya mencerminkan keinginan seorang pembaca akan sebuah puisi. Mungkin ini pun begitu pula. Hanya saja, kali ini saya ingin mengetahui kau ingin bicara apa melalui puisi-puisimu itu. Terus-terang, saya sangat menyukai puisi “Mata Tua” yang kau tulis dengan sangat intens. Kau menggunakan kata-kata yang terjaga dengan baik. Kata-kata itu yang akan memancarkan makna; makna puisi itu, makna kata-kata itu, makna kehidupan yang kau serap dan kau ekspresikan melalui “Mata Tua”. Agar tidak membuat penasaran pembaca lainnya, kali ini izinkan saya memuat puisimu itu dalam catatanku kali ini.<br /><br />Mata Tua</p><p>surya rebah </p><p>langit memar memerah </p><p>di kelopak mata </p><p>yang menutup baru saja</p><p>Putri Narita Pangestuti</p><p>Kendal, 27 Januari 2008<br /><br /> Bagai seorang fotografer, kau menangkap saat-saat senja yang memang senantiasa memberi inspirasi kepada manusia untuk menafsirkannya. Puisi itu bisa ditafsirkan secara harfiah maupun simbolis. Keduanya sama-sama bermutu. Secara harfiah, misalnya, situasi matahari terbenam itu sendiri menimbulkan keindahan. Pengalaman menyaksikan sunset di Kuta dan Tanah Lot, Bali, misalnya, selalu saja menyimpan memori yang tak terlupakan. Ada cerita di balik pemandangan itu; di balik keindahan itu. Secara simbolis, senja bisa ditafsirkan sebagai perlambang kematian. Kehidupan manusia memang fana. Dan Tuhan, kalau kita percaya adanya Tuhan, selalu memberi tanda-tanda. Bahwa ada saatnya manusia akan menemui ajalnya. </p><p><br />Dalam Alquran juga disuratkan bahwa ternyata kehidupan di dunia itu sangat sementara, sangat sekejap, hanya seperti sebuah sore. Bayangkan, dalam firman Tuhan itu “sore” yang sebentar itu menjadi lambang kesementaraan hidup. Begitu pula dengan puisi “Mata Tua”-mu yang menurut saya sangat bagus. Biarlah pembaca memberi penafsiran yang berbeda-beda. Goenawan Mohamad pernah mengatakan, seribu kepala seribu penafsiran. Tapi, kau tak perlu gusar ataupun risau. Semakin banyak interpretasi yang diberikan kepada puisimu, maka semakin kayalah karyamu itu. Bahkan penafsiran yang saling bertentangan sekalipun!</p><p><br /> Dalam puisi “Dikejar Bayang-bayang Kelam”, kau menggambarkan orang-orang yang kalah. Sebenarnya itu tidak masalah, tapi saya ingin memberi nilai lebih buatmu sebagai penyair. Saya contohkan penyair perempuan lain, Dorothea Rosa Herliany, yang dalam puisi-puisi terbarunya sudah semakin kuat, semakin matang, dan semakin “menjadi”, kata Chairil Anwar. Kenapa bisa demikian? Karena, menurut saya, Dorothea sudah menemukan visinya; dia sudah memiliki kesadaran sebagai seorang feminis. Dengan demikian, puisi-puisi yang dihasilkannya pun mencerminkan visinya itu. Puisi-puisi yang diciptakannya sudah menyuarakan kepentingan perempuan; segala persoalan dilihat dari perspektif atau kacamata perempuan. Oleh karena itu, sangat wajar Dorothea menghasilkan puisi-puisi yang mendobrak budaya patriarki (dominasi laki-laki atas perempuan) dan mengangkat harkat dan martabat perempuan. </p><p><br />Sebagai contoh, ketika dia menggambarkan tokoh Sita (atau Sinta) dalam epos Ramayana, maka yang tergambar bukan lagi Sinta yang pasrah, yang menurut begitu saja dengan Rama, yang mau begitu saja membakar dirinya sendiri untuk membuktikan kesucian. Tidak. Sinta yang digambarkan Dorothea adalah seorang perempuan yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Dia tidak mau dibodohi untuk mempertanggung jawabkan kesuciannya. Karena, keberadaan Sinta di istana Rahwana bukanlah atas kehendaknya, melainkan ia diculik. Karena itu, bisa keluar dari sarang penculik saja sebetulnya sudah syukur alhamdulillah. Lha, kok, Rama masih meragukan kesuciannya? Dorothea mempertanyakan, kenapa laki-laki masih suka curiga dan tidak percaya pada keperawanan seorang perempuan? Apakah laki-laki juga menjaga kesuciannya sendiri? </p><p><br /> Nah, Narita, contoh di atas saya pikir pas untuk diterapkan pada puisi “Punta Dewa”. Saya tidak membatasi kau mau mengangkat tokoh apa saja, tokoh siapa saja, dengan catatan, jangan lupakan visimu, pemikiranmu. Tidak selalu harus tunduk pada konvensi yang telah ada. Artinya, kalau selama ini orang menganggap pandawa itu bagus semua, kau harus hati-hati, kau harus curiga; harus kritis: benarkah semua tokoh pandawa bagus semua? Kalau kau teliti tokoh Arjuna yang banyak dipuja-puja itu, ternyata dia suka berselingkuh dan berpoligami. Sebagai perempuan, bagaimana pendapatmu? Mau mengukuhkan budaya patriarki seperti itu atau mau meruntuhkannya? Kalau kau mengukuhkannya, maka wajarlah kalau pemilik warung Wong Solo berpoligami. Boleh-boleh saja berpoligami; agama tidak melarangnya, tapi perempuan sangat membencinya.</p><p><br /> Dalam puisi “Kucumbu Dirimu”—puisi ini juga nyaris bagus—ada paradoks yang agak mengganggu kenikmatan pembaca. Judulnya mencerminkan tindakan aktif, namun di dalamnya ternyata sangat pasif: “sedang aku dicumbu bayang rembulan”. Coba kau poles puisi ini; apakah judulnya yang diganti atau isinya yang diperbaiki. Mungkin judulnya bisa diganti menjadi “Kaucumbu Diriku”. Tapi, hak prerogatif tetap pada Narita sebagai penyair.<br /> Untuk sementara, saya cukupkan catatanku ini.<br /><br />Citayam, 21 Januari 2010<br />Asep Sambodja<br /><br /><br />Narita yang baik,<br />Ketika manusia merasa jenuh dengan kata-kata kosong para politikus, mereka akan mencari oase pada sebuah puisi. Ketika manusia merasa tertekan dengan peraturan-peraturan, undang-undang, hukum yang tegas buat orang kecil tapi tumpul buat pejabat, penguasa, dan pengusaha, mereka merindukan suara lembut yang bernama puisi. Ketika amarah tak terkendali tumpah di jalan-jalan, mereka pun akan kangen pada puisi.</p><p><br /> Begitu juga ketika berita disampaikan dengan penuh pretensi, maka terkadang kita menginginkan berita itu disampaikan secara puitis. Memang tidak semuanya seperti itu, pasti ada berita yang disampaikan secara proporsional dan tak emosional. Tapi, di masa neo liberalisme bersimaharajalela seperti sekarang ini, maka berita yang objektif dan elegan seperti itu semakin sulit ditemui. Puisimu yang berjudul “Tasik dan Cianjur” (Catatan Gempa) pada hakikatnya adalah sebuah berita tentang bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di Tasikmalaya dan Cianjur. Kau, sebagai penyair, tergerak untuk mewartakan, merekam, mengabadikannya dalam puisi. </p><p><br />Sebagaimana wartawan yang memiliki perspektif tersendiri, dan juga memiliki pandangan yang cenderung sama dengan media tempatnya bekerja—yang tentu saja memiliki visi ataupun kepentingan tertentu—kau pun memiliki perspektif tersendiri dalam melihat bencana itu. Kaum postmodernisme berpendapat bahwa manusia itu makhluk yang unik, karena itu apa pun pendapatnya, apa pun karyanya, akan memperlihatkan keunikan itu. Puisimu pun begitu. Ada kedalaman makna yang terasa dari puisimu berikut ini.<br /><br />Tasik dan Cianjur<br />(: catatan gempa)<br /><br />kamboja tersenyum<br />kerandakeranda dipikul<br />di Tasik dan Cianjur<br />helai-helai mawar tertidur<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />Pekalongan, 7 September 2009<br /><br /><br /> Sedikit sekali penyair yang peduli dengan nasib manusia; terlebih lagi peduli pada nasib orang-orang teraniaya. Yang paling banyak ditulis oleh para penyair salon—istilah ini pertama kali dipakai oleh Rendra—adalah kegelisahan dirinya sendiri; kegelisahan eksistensialisme. </p><p><br /> Dari yang sedikit itu, kita bisa temukan nama K.H. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Dia tidak peduli apakah yang ditulisnya itu disebut sebagai puisi atau tidak, yang penting pesan yang ingin disampaikannya kepada pembaca bisa dipahami dan dimengerti, serta dipetik manfaatnya. Puisinya yang berjudul “Rasanya Baru Kemarin” yang ditulis setiap 17 Agustus berisi kritik terhadap penguasa negeri ini. Bagi saya, puisi-puisi seperti inilah yang perlu dieksplorasi terus-menerus. Karena, penguasa memang harus dikritik terus-menerus agar tetap sadar bahwa kekuasaan itu amanah rakyat dan amanah Tuhan juga. Arahkan “mata pedang” itu ke penguasa, bukan ke rakyat jelata. Pernyataan ini bukan hanya untuk para penyair saja, tapi terutama untuk aparat penegak hukum di negeri sarang koruptor ini. Kenapa koruptor masih merajalela di Indonesiamu? Karena “mata pedang” aparat penegak hukum tidak diarahkan ke penguasa, melainkan ke rakyat jelata. Jadinya, seperti yang kau tahu, nenek yang mencuri tiga biji kakao dijatuhi hukuman penjara; Prita yang mengeluhkan adanya malpraktik di RS Omni Internasional dikenai denda Rp204 juta—saat ini kasusnya masih berproses di tingkat kasasi, sementara Artalyta yang sekarang kita kenal sebagai mafioso peradilan dekat dengan keluarga Cikeas dan ruang tahanannya melebihi hotel bintang tujuh.</p><p><br /> Puisimu yang berjudul “Peperangan” (di Gaza) juga menarik dari segi tematik. Bahkan setiap kata yang kau torehkan dalam puisi ini memberi metafora yang kuat dalam menggambarkan betapa dahsyatnya perang Gaza itu. Kepahitan akibat perang begitu terasa dalam puisimu ini.<br /><br />Peperangan<br />(: catatan untuk Gaza)<br /><br />langit biru terkubur<br />kupu-kupu menghitam<br />di dalam mesiu<br />sayap<br />patah<br />terpendam<br />merpati putih<br />terjegal, tersumpal<br />gado-gado bersaus merah kental<br />terhidang<br />rudal menyusui bayi<br />air mata mati<br />mendung<br />terlalu menggumpal<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />Kendal, 13 Januari2009<br /><br /> Dua puisimu yang lain yang menurut saya bagus adalah “Kaki Senja” dan “Ketegaran”. Yang mennonjol dari dua puisimu di bawah ini adalah kepaduan atau keutuhan sebuah puisi. Sesuatu yang ingin kau gambarkan dalam puisi ini terasa meaningful, bahkan cenderung religius. Ada hubungan aku-alam-sang pencipta dalam puisi yang padat ini. Tampak bahwa kau serius memilih kata dalam menulis puisi. Tapi harus cepat-cepat saya katakan bahwa kita jangan berhenti pada kata-kata yang indah tapi hampa makna, karena itu berilah makna pada setiap kata yang kau gunakan dalam menulis puisi.<br /><br />Kaki Senja<br /><br />sujud kaki senja<br />mengeja bait-bait mantra<br />ayat-ayat dikemas jiwa<br />: langkah mengurai makna<br />pada senja diikat sebuah lentera<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />Semarang, 18/04/2009<br /><br />Ketegaran<br /><br />dalam badai yang terus menggerus<br />hati dan pikir tak izinkan berubah tirus<br />rasaku menghunus gelombang zaman yang tak kurus<br />seperti puisimu yang mengalir tak putus<br />menatap ketegaran<br />pada jiwa-jiwa yang kudus<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />12 Nopember 2009 at 1:44 pm<br /><br /><br />Jika pelukis menggunakan kekuatan warna, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penari menggunakan kekuatan gerak, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika aktor menggunakan kekuatan acting, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penyanyi menggunakan kekuatan suara, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Saya sangat setuju dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa kata adalah segala-galanya dalam puisi. Karena itu, jangan biarkan kata-kata itu hampa makna. Jangan biarkan kata-kata itu sekadar kata yang genit tapi kosong. Kamu boleh mengutip Warteg Boys: “Okelah kalau begitu.”<br /><br />Citayam, 31 Januari 2010<br />Asep Sambodja<br /><br /><br /><br /> Narita yang baik,<br />Semakin lama puisi-puisimu semakin meyakinkanku, bahwa kau tidak sedang iseng menulis puisi. Kamu pasti mengerti, menulis puisi bukan sekadar menyusun kata-kata indah, namun juga memberi arti atau makna pada setiap katanya. Sepertinya tidak mudah, tapi sesungguhnya dapat dikatakan mudah, jika kita sepenuhnya mengungkapkannya dengan penuh kejujuran. Kau bilang, “ketulusan.” </p><p><br />Ya, tulus dan jujur pada diri sendiri. Politikus busuk tidak akan pernah bisa jujur bahkan kepada dirinya sendiri. Makanya, penyair tidak akan pernah diam melihat ketidakadilan di depan matanya. Penyair selalu gelisah menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di kesementaraan dunia ini.</p><p><br />Kali ini, bukan puisi-puisi yang bernada kritik sosial yang akan saya bicarakan, namun puisi-puisi religiusmu.</p><p><br /> Puisi “Jalan Cahaya” yang kau tulis demikian dalam maknanya. Sebuah proses pencarian yang tidak didapat secara gratis. Setiap manusia di dunia ini sebenarnya memiliki bayangan (image) tentang Tuhan yang berbeda-beda. Ada yang ingin melihat Tuhan dengan mata kepalanya sendiri untuk bisa percaya pada eksistensi Tuhan. Ada yang melambangkan Tuhan dengan suatu benda tertentu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan itu ada. Ada pula yang harus percaya dan yakin begitu saja meskipun Tuhan tidak dipersonifikasikan. Bahkan ada yang tidak percaya pada Tuhan alias atheis. Nah, puisimu ini sangat jujur. Minimal menurut saya. Bahwa “aku mengira inilah jalan cahaya”. Artinya, jalan yang kau lalui itu bisa jadi merupakan jalan yang terbaik buatmu (aku-lirik) untuk menemukan cahaya. Artinya lagi, jalan itu adalah jalan yang sangat cocok dan pantas buatmu. Namun, belum tentu pas buat orang lain. Yang menarik bagi saya adalah persoalan keyakinan kau bawa atau kau masukkan ke wilayah pribadi, wilayah yang sangat personal, dan tidak kau desakkan pada orang lain. Bahkan kepadaku pun tidak. Ini sangat relevan dengan firman Tuhan yang mengatakan “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS 109:6).<br /><br />Jalan Cahaya<br /><br />jiwaku memanjat tebing sunyi<br />mencari celah dari gelak tawa dunia<br />seperti air meresap-resap<br />tiada mampu membendungnya<br /><br />jiwa kecilku<br />tak henti bernada<br />terus melesat<br />menyempurna pada keagungannya<br /><br />aku mengira inilah jalan cahaya<br />dibendung tak limbung<br />diterjang tak karam<br /><br />jalan cahaya ada dalam rahasia<br />memanjat sulbi-sulbi jiwa<br />yang menanam biji bunga seroja<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />12 Februari 2010<br /><br /> Puisi “Yang Ada dan Tiada” memperlihatkan proses pencarianmu atas Sang Maha Kasih. Tidak berhenti pada pencarian semata, namun disertai pemahaman untuk saling mengerti dan saling menerima. Yang untuk mendapatkannya tidak begitu mudah, apalagi di zaman yang serba benda ini. Sebuah zaman yang didominasi oleh paham kapitalisme liberal. Ada kapital, semua bisa diatur. Maka, jalan yang kau tempuh adalah jalan sunyi. Hanya segelintir manusia yang sudi menekuri jalan sunyi itu; jalan menuju cahaya.<br /><br />Yang Ada dan Tiada<br /><br />tak ada yang mampu menyamai<br />yang paling tiada, kecuali<br />yang paling ada<br /><br />karena yang paling ada<br />ialah<br />yang paling tiada<br />ia tak berawal<br />tak berakhir<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />12 Februari 2010<br /><br /> Tidak mengherankan jika dalam puisi “Perahu Asing” kau merasa seperti orang asing yang berada di tengah-tengah samudera zombie. Tahukah kau, apakah zombie itu? Zombie adalah mayat hidup. Dan tahukah kau, apakah mayat hidup itu? Mayat hidup adalah sejenis manusia. Tampaknya ia seperti seorang manusia, tapi sejatinya hatinya kosong. Manusia yang hidup di bumi namun tak punya tujuan, tak punya pegangan, tak ada keinginan untuk mencari cahaya. Nabi Nuh pun pernah dianggap gila, ketika ia mengembangkan teknologi perkapalan (sayang waktu itu Alfred Nobel belum lahir; kalau sudah lahir dan kaya raya berkat dinamit, pasti Nuh dapat Hadiah Nobel), ia dianggap gila. Orang-orang yang menekuri jalan sunyi senantiasa dianggap gila. Gila menurut siapa? Kalau yang bilang gila itu orang gila, biarkan saja.<br /><br />Perahu Asing<br /><br />perahuku menjelma dari kulit suara<br />mengangkut biji wicara<br />dari lautan makna<br />tertitah dari zat yang Maha Menatap<br /><br />mendayung<br />aku membawanya pada lautan jiwa<br /><br />orang menatapnya sebelah mata<br />sebagian lagi bertutur cela<br />ada juga yang menutup rapat telinga<br />asyik berakrobat dengan dayung-dayung<br />dan balok suara mereka<br /><br />perahuku dicela tak berharga<br />dan aku dianggapnya pemantra gila<br /><br />sedang perahukulah<br />yang bisa sampai berlabuh pada dermaga surya<br /><br />Putri Narita Pangestuti<br />12 Februari 2010<br /><br /> Demikianlah.<br /><br /><strong><em>Citayam, 13 Februari 2010<br />Asep Sambodja<br /></em></strong> </p>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-28480291563696080182010-02-26T04:22:00.001-08:002010-02-26T04:28:39.293-08:00Dari Diskusi Buku Dua Penyair Lekra di FIBUI Depok<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S4e9KQpaWxI/AAAAAAAAAOw/QtRy-vkumJA/s1600-h/diskusi+lekra.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5442526658665536274" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 240px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S4e9KQpaWxI/AAAAAAAAAOw/QtRy-vkumJA/s320/diskusi+lekra.jpg" border="0" /></a><br /><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br />Buku <em>Puisi-puisi dari Penjara</em> karya S. Anantaguna dan <em>Nyanyian dalam Kelam</em> karya Sutikno W.S. merupakan wakil dari sastra Indonesia yang hilang. Demikian pendapat Hilmar Farid dalam Diskusi Buku Dua Penyair Lekra yang diselenggarakan oleh Departemen Susastra FIB UI bekerja sama dengan IKSI FIBUI dan Penerbit Ultimus Bandung di Auditorium Gd. IV FIBUI pada Kamis, 25 Februari 2010. Lebih lanjut Hilmar Farid mengatakan, minimal dari dua buku puisi ini bisa dijadikan skripsi oleh mahasiswa. “Kalau bisa menjadi tesis akan lebih baik,” katanya. Sebab, “kehadiran sastra Lekra sekarang ini menjadi keping-keping sastra Indonesia yang hilang.”<br /><br />Thomas Rieger, pengamat sastra Indonesia dari Jerman yang menghadiri acara diskusi ini menekankan perlunya kita membicarakan kembali kanon sastra Indonesia. Sebab, menurut Thomas, ada fenomena menarik bahwa yang menjadi arus utama (<em>mainstream</em>) dalam sastra Indonesia itu objeknya hanya secuil dari keseluruhan korpus (data) yang ada. Ia mempertanyakan, kok begitu banyak pengucilan di Indonesia. Selain sastra Lekra, yang mengalami pengucilan lainnya adalah sastra Melayu Tionghoa yang secara kuantitas jumlahnya banyak sekali, juga sastra picisan.<br /><br />Thomas menjelaskan bahwa sastra picisan banyak ditulis oleh sastrawan-sastrawan yang juga wartawan pergerakan, karenanya mereka dimusuhi Belanda. “Ada sebuah disertasi mengenai Balai Pustaka, bahwa mereka secara terencana memberlakukan penerbitannya sebagai upaya politik yang sadar menentang nasionalisme. Mereka (Belanda) juga menerbitkan dongeng-dongeng Eropa, seperti Kucing Bersepatu Lars, tapi sudah dimanipulasi dari cerita aslinya. Dan dongeng ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia dan dipolitisasi. Jadi, memang ada kanonisasi kolonialisme. Sudah saatnya kita mengikis habis sisa-sisa kolonialisme,” urainya.<br /><br />Wahyu Awaludin, mahasiswa Program Studi Indonesia yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengakui bahwa generasi seusia dia yang lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an tidak kenal dengan yang namanya Lekra. Ini disebabkan karena ada pihak yang mencoba menghilangkan atau menggelapkan sejarah. Ia sudah berusaha <em>browsing</em> di <em>google</em> dan <em>twitter</em> mengenai Lekra, namun informasi mengenai Lekra sangat minim. Demikian pula ketika ia mencari nama S. Anantaguna dan Sutikno W.S.<br /><br />Fay, panggilan akrab Hilmar Farid, menjelaskan bahwa ketika ia masuk jurusan Sejarah FSUI (sekarang FIB UI) pada 1987, ia sudah mengenal Lekra, meskipun Lekra tidak diajarkan dalam sejarah sastra. “Saya cari bahan sendiri, karena saat itu buku-buku yang berbicara mengenai PKI, Lekra, kiri, dibekukan pemerintahan Orde Baru. Lekra memang tidak dikenalkan dan bahkan disingkirkan secara sistematis,” ujarnya. “Kenapa generasi sekarang tidak tahu, itu karena memang dibuat tidak tahu.”<br /><br />Lilie Suratminto, dosen Program Studi Belanda, menyesalkan adanya pelarangan buku-buku Lekra. Ia menceritakan ketika masih duduk di Sekolah Dasar (SD), ia sudah disuruh gurunya membaca <em>Atheis, Cerita dari Blora, Layar Terkembang</em>, dan lain-lain. “Jadi, dulu kami membaca karya-karya para sastrawan dari kelompok manapun, dan saya merasa bahwa semuanya berisi hal-hal yang baik,” katanya. “Sayang sekali kalau sekarang ini hal-hal yang semacam itu masih dilarang.”<br /><br />Menurut Fay, sastra Indonesia tidak utuh kalau tidak membicarakan sastrawan Lekra. Demikian pula sastra Indonesia sebelum perang tidak akan utuh kalau tidak membicarakan Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan lain-lain. Lebih lanjut Fay mengatakan bahwa puisi-puisi Anantaguna dan Sutikno W.S. memiliki kekuatan. “Ada semacam <em>the power of writing</em>. Puisi-puisi yang lahir di penjara itu memiliki kekuatan dengan sendirinya.”<br /><br />Fay melihat bahwa kedua penyair Lekra itu menulis puisi di penjara antara lain untuk menghibur diri mereka sendiri. Mereka ditahan, tidak diadili, tidak dijatuhi hukuman. Dan, begitu dilepaskan dari penjara hanya diberi selembar kertas yang menyatakan mereka tidak terlibat G30S. “Makanya puisi-puisi ‘Hari-hari Tak Punya Siang’ terasa begitu kuat. Saya yakin mereka menulis puisi tidak berharap mendapat hadiah sastra. Mereka hanya berdialog dengan diri mereka sendiri. Puisi-puisi ini merupakan kesaksian yang jujur,” tegas Fay.<br /><br />Sunu Wasono yang menyoroti teks kedua penyair itu menemukan kekuatan puisi-puisi itu meskipun tidak dikaitkan dengan konteksnya. “Puisi ‘Nyanyian dalam Kelam’ menjadi semacam pendirian Sutikno W.S. dalam berpuisi. Sementara puisi-puisi Anantaguna memperlihatkan keberagaman bentuk,” ujarnya.<br /><br />Sunu menilai puisi-puisi Lekra semacam ini perlu diterbitkan ulang, agar generasi muda bisa mengenal sastrawan-sastrawan Lekra kembali. Ia menceritakan bahwa ketika bekerja di PDS HB Jassin pada tahun 1980-an, ia memang pernah melihat adanya surat edaran dari Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)—sekarang Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)—yang isinya berupa seruan agar buku-buku kiri disingkirkan.<br /><br />Putu Oka Sukanta sebagai moderator diskusi ini mengingatkan bahwa dulu pada 1960-an kesenian dan kebudayaan Indonesia pada umumnya menjadi besar bukan karena Lekra, melainkan karena kebudayaan Indonesialah yang besar, kesenian rakyatlah yang tumbuh, dan Lekra hanya menjadi pendorongnya. “Jadi, jangan menganggap bahwa dulu kesenian dan kebudayaan Indonesia itu besar karena Lekra. Bukan, nanti kita jadi ge-er.”<br /><br />Putu yang juga seorang penyair yang merangkap sebagai ahli akupunktur ini menjelaskan bahwa setidaknya sastrawan Lekra itu sudah dibunuh tiga kali. Pertama, pasca peristiwa G30S, sastrawan Lekra dibunuh. Kalau tidak dibunuh, ditahan. Kedua, buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang. Ketiga, selamanya mereka menjadi tahanan, karena tidak pernah diadili. Dan, begitu bebas karena tidak terlibat G30S, KTP mereka harus dicap ET (eks tapol).<br /><br />Putu juga memberi catatan, perlu ada penelitian lebih dalam lagi mengenai empat hal. Pertama, kenapa Lekra didirikan. Kedua, kenapa mereka memakai paham seni untuk rakyat. Ketiga, apa itu semboyan 1-5-1. Keempat, bagaimana hubungan antara Lekra dengan PKI.<br />Acara diskusi ini dimeriahkan dengan pemutaran film <em>Tjidurian 19</em> karya sutradara Lasja F. Susatyo dan Muhammad Abduh Aziz, pertunjukan KIPAS (koreografer Madia Patra), pembacaan puisi Kinanti Munggareni, dan musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI. Sasina memusikalisasikan puisi “Lagu Tanpa Nada” karya S. Anantaguna dan “Dari yang Selalu Menjalinku” karya Sutikno W.S.<br /><br />Hadir dalam diskusi ini adalah penyair S. Anantaguna, Sutikno W.S., Syarkawi Manap, Sudjatmiko, Svetlana Dayani, Koesalah Subagyo Toer, Truly Hitosoro, Bilven Sandalista, Melody Violine, I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, dan ratusan pengunjung yang memenuhi ruang auditorium.<br /><br /><strong><em>Citayam, 25 Februari 2010</em></strong><br /><strong><em>Asep Sambodja</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-36635452429465171472010-02-17T08:05:00.000-08:002010-02-17T08:08:13.176-08:00Membaca Arahmaiani<a href="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S3wULSp_ZiI/AAAAAAAAAOg/Qn8njsKe8lc/s1600-h/arahmaiani.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5439244634175792674" style="WIDTH: 214px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S3wULSp_ZiI/AAAAAAAAAOg/Qn8njsKe8lc/s320/arahmaiani.jpg" border="0" /></a><br /><div></div><br /><div><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /><br /><strong>Cita-cita<br /></strong><br />Waktu kecil aku ditanya<br />Cita-citaku apa<br />Kubilang mau jadi nabi<br />Bapak bilang: tidak bisa!<br />Anak perempuan boleh meraih cita-cita<br />Mencari ilmu ke Roma atau ke Cina<br />Mendapat gelar terhormat<br />Kemuliaan<br />Tapi bukan sebagai nabi<br />Itu hanya untuk anak lelaki<br /><br />Sesudah dewasa<br />Aku ditanya<br />Kapan akan berkeluarga<br />Dan aku bilang: kapan-kapan saja<br />Sebab keinginanku untuk jadi nabi<br />Dan boleh mendapat wahyu<br />Belum juga sirna<br />Kalaupun aku harus punya lelaki<br />Mestilah ia seseorang yang<br />Ingin jadi tuhan<br /><br /><br /><strong><em>Yogyakarta, 2002<br />Arahmaiani<br /></em></strong><br />Arahmaiani adalah seorang seniman tulen. Seluruh tubuh dan ide yang bersarang di kepalanya adalah senjatanya untuk menciptakan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi. Dobrakan pertama yang dilakukannya adalah ingin menjadi nabi. Ia bercita-cita menjadi nabi. Karena, sejak Nabi Muhammad diyakini sebagai nabi terakhir, maka tertutuplah peluang bagi perempuan untuk menjadi nabi. Karena, seluruh nabi adalah laki-laki. Kenyataan seperti ini rupanya menggelisahkan seorang Arahmaiani. Kenapa Tuhan tidak memberi kepercayaan kepada perempuan untuk menjadi nabi? Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang mengemuka dalam benak sebagian perempuan. </div><div><br />Sang Bapak, figur laki-laki, mengatakan: Tidak boleh! Perempuan tidak boleh menjadi nabi, meskipun masih dalam taraf cita-cita. Karena bercita-cita ingin menjadi nabi, sang perempuan juga berkeinginan kelak ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan. Meskipun bahasa yang digunakan Arahmaiani sangat lugas, saya melihat adanya dua kemungkinan interpretasi terhadap bagian akhir puisi ini. Pertama, keinginan untuk menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan menunjukkan ambiguitas sang perempuan itu, bahkan seperti ada bias gender. Semula ia ingin menjadi nabi agar sejajar dengan laki-laki. Namun, kemudian, ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan, yang berarti posisi laki-laki itu tetap lebih superior dibandingkan dengan posisi perempuan, meskipun kelak ia menjadi nabi. </div><div><br />Kedua, hal itu bisa ditafsirkan sebagai laki-laki yang berkeinginan untuk mencapai tingkat kesalehan yang tinggi, mencapai kemakrifatan atau manunggaling kawulo-gusti sebagaimana pengalaman Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, atau Al Hallaj. Interpretasi kedua atas “ingin jadi Tuhan” ini adalah cita-cita untuk menggapai sifat keilahian. Dengan demikian, lelaki yang memiliki sifat keilahian itu mampu mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan dalam perilakunya, dalam kehidupannya. </div><div><br />Puisi ini secara tegas mendobrak oposisi biner yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki; melawan larangan sang bapak yang mengatakan nabi hanya untuk laki-laki. Di sisi lain, sang perempuan tetap mengidolakan laki-laki yang “lebih tinggi” nilainya dari dirinya. Kalau sang laki-laki hanya bercita-cita jadi nabi, maka hal itu menjadi tak istimewa lagi bagi sang perempuan. Karenanya, ia menginginkan laki-laki yang lebih tinggi posisinya. </div><div><br />Saya melihat, memang pada awalnya ada pemberontakan yang cukup mengejutkan dari seorang Arahmaiani. Namun, di ujung perjuangannya itu secara tak sadar (atau malah secara sadar?) ia sepertinya tetap mengukuhkan dominasi laki-laki. </div><div><br />Saya sekadar ingin menambahkan catatan ringkas saya ini: meskipun para nabi itu semuanya laki-laki, namun ibu dari para nabi (kecuali Nabi Adam) itu adalah perempuan.<br /><br /><strong><em>Citayam, 17 Februari 2010<br />Asep Sambodja<br /></em></strong></div>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-90369315252023040322010-02-13T07:46:00.000-08:002010-02-13T07:58:19.362-08:00Setelah Bertemu Ibrahim, Moses Menjadi Mohammed<a href="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S3bKAehmIMI/AAAAAAAAAOY/6TYlpWe90Ko/s1600-h/monsieur+ibrahim.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5437755709639237826" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 215px" alt="" src="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S3bKAehmIMI/AAAAAAAAAOY/6TYlpWe90Ko/s320/monsieur+ibrahim.jpg" border="0" /></a><br /><div></div><br /><div></div><div>Setelah Bertemu Ibrahim, Moses Menjadi Mohammed:<br />Konstruksi Identitas dalam <em>Monsieur Ibrahim</em> karya Eric-Emmanuel Schmitt<br /><br />oleh Asep Sambodja dan Hendra Kaprisma<br /><br />Konstruksi menjadi istilah penting untuk memahami identitas melalui kaca mata kajian budaya. Hubungan antara dunia dan sistem simbolik secara kritis dibongkar agar dapat dipahami secara mendalam. Kepentingan serta strategi kebudayaan dipandang sebagai konstruksi yang membentuk definisi identitas. Eksplorasi terhadap masalah-masalah persepsi dan pengetahuan tidak dapat terlepas dari pengertian ideologis dan politis. Masyarakat turut berperan dalam menciptakan makna yang berlaku, sebagaimana dipaparkan Benedict Anderson (1983: 15), “<em>Communities are to be distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which they are imagined</em>.” Dalam hal ini, citra memainkan peran penting untuk membentuk identitas. Citra menopang sebuah ideologi budaya, yaitu citra tentang realitas yang diciptakan oleh budaya untuk melegitimasi dirinya sendiri dan untuk memproduksi identitas tertentu bagi subjek-subjeknya. Citra tidak merefleksikan dunia, melainkan membentuknya menurut syarat-syarat tertentu (Cavallaro, 2001: 73). Oleh karena itu, identitas yang saat ini tampak bukanlah sebuah hakikat atau substansi yang final (Hall, 2003: 99). Hal tersebut yang menjadi konsep acuan dalam menganalisis novel <em>Monsieur Ibrahim and the Flowers of the Koran</em> karya Eric-Emmanuel Schmitt (2003).<br /></div><div> </div><div>Dalam novel ini dikisahkan persahabatan antara Moses (yang biasa dipanggil Momo) dengan Monsieur Ibrahim. Persahabatan ini terjalin begitu saja karena Momo sering belanja dan mengutil di toko kelontong milik Monsieur Ibrahim. Apa yang menyebabkan kedua orang itu bisa bersahabat meskipun usia mereka jauh berbeda? Salah satu penyebabnya adalah sifat kebapakan yang diperlihatkan oleh Monsieur Ibrahim. Ayah Momo adalah seorang pengacara yang sibuk, sehingga tidak sempat memperhatikan Momo. Karena itulah sikap kebapakan </div><div>Monsieur Ibrahim bisa menggantikan keberadaan ayahnya.<br /></div><div> </div><div>Dalam novel yang sarat humor ini, Eric-Emmanuel Schmitt yang memiliki latar belakang Yahudi memberikan warna identitas yang sangat jelas. Momo adalah anak 16 tahun keturunan Yahudi totok. Sementara Monsieur Ibrahim, kalau dilihat perawakannya, adalah keturunan Arab. Tapi, kepada Momo, Ibrahim mengatakan, “<em>I’m not an Arab, Momo. I’m a Muslim</em>.” Dialog-dialog yang meluncur dari kedua tokoh itu memperlihatkan bahwa pengarang ingin menghadirkan dialog terbuka antara Momo yang merepresentasikan Yahudi dan Monsieur Ibrahim yang merepresentasikan Islam. Dalam novel itu, Schmitt juga memperlihatkan adanya kesamaan antara Monsieur Ibrahim dengan Ayah Momo; sama-sama unik dan sama-sama merasa terasing.<br /></div><div> </div><div>Sebagai seorang keturunan Arab, Monsieur Ibrahim tinggal dan berdagang di perkampungan Yahudi di Rue Bleue. Artinya, ia tidak hidup di lingkungan muslim. Bahkan, ketika Momo mengatakan, “<em>I thought that Muslims didn’t drink alcohol</em>.” Ibrahim menjawab, “<em>True, but I’m a Sufi</em>.” Ini berarti bahwa seorang sufi tidak mengikuti aturan atau hukum syariat yang ketat sebagaimana yang diyakini kebanyakan kaum muslim lainnya. Bahkan, ketika menari tekke, Ibrahim menyebutnya sebagai ibadah; karena saat menari itu Tuhan merasuk dalam dirinya.<br />Sementara Ayah Momo merepresentasikan keturunan Yahudi yang termarginalkan. Menurut Ayah Momo, “<em>Being Jewish is merely having memories. Bad memories</em>.” Peristiwa pembantaian orang-orang Yahudi oleh NAZI Jerman tampaknya meninggalkan trauma yang luar biasa. Dan karena itu, ketika Momo bertanya apakah Ayahnya percaya pada Tuhan, dia menjawab, “<em>No, I’ve never managed to believe in God</em>.”<br /></div><div> </div><div>Kesamaan lain tokoh Monsieur Ibrahim (Islam-sufi) dengan Ayah Momo (Yahudi-totok) adalah keduanya dimatikan oleh sang pengarang. Ayah Momo mati bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta di daerah Marseille. Kemungkinan besar penyebab dirinya bunuh diri adalah pertama, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai lawyer. Kedua, ia masih trauma dengan kematian kedua orangtuanya; yang ketika itu dibawa pergi dengan kereta dan tak pernah kembali.<br /></div><div> </div><div>Tokoh Monsieur Ibrahim yang banyak memberikan pelajaran hidup kepada Momo juga mati karena usianya yang sudah tua. Pelajaran pertama dan utama yang diberikan kepada Momo adalah tersenyum. Ternyata, dengan tersenyum itu pula Momo seperti menjalani hidup barunya. Segalanya banyak yang berubah setelah ia banyak tersenyum, meskipun semula ia meragukan bahwa senyum itu hanya untuk orang-orang kaya saja, serta orang yang tersenyum adalah orang yang bahagia. Monsieur Ibrahim mengajarkan bahwa senyumlah yang membuat orang bahagia, bukan sebaliknya.<br /></div><div> </div><div>Selain itu, segala tindak-tanduk Monsieur Ibrahim seringkali disebutnya berdasarkan Alquran yang dihayatinya. Ia sangat yakin bahwa hidup dan matinya sudah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alquran. Ini pula yang membuat Momo merasa penasaran. Demikian pula pelajaran mengenai kebersahajaan cinta. Bahwa “<em>Your love for her belongs to you. It’s yours. Even if she refuses it, she cannot change it. She isn’t benefiting from it, that’s all. What you give, Momo, is yours forever. What you keep is lost for all time!</em>”<br /></div><div> </div><div>Setelah kematian ayahnya, Momo didatangi oleh ibunya (yang lama cerai dengan ayahnya dan sudah kawin lagi). Ketika sang ibu menanyakan identitasnya, Momo mengatakan, “They call me Momo. It’s a diminutive for Mohammed.” Ini bisa ditafsirkan bahwa setelah Ayah Momo (Yahudi) meninggal, dan setelah ia cukup lama bergaul dengan Monsieur Ibrahim (Islam-sufi), ia secara sadar (mungkin juga secara bergurau) mengubah identitasnya menjadi seorang Mohammed. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengambilan posisi (identitas) adalah “perang budaya” yang tak berujung. Ketegangan dilematis antaridentitas kerapkali didramatisasi melalui representasi yang problematic tentang sisi-sisi “lain” dalam konstruksi kebudayaan. Definisi identitas budaya menjadi kompleks dengan berbagai pertarungan makna yang terjadi. Proses pendefinisian identitas, baik individu maupun kelompok, bukanlah suatu esensi yang tetap, melainkan suatu pengambilan posisi. Pengambilan posisi tersebut tidak pernah selesai, sebagaimana dikatakan Hall (2003: 99), “…<em>it is true that those positionalities are never final, they’re never absolute.</em>”<br /></div><div> </div><div>Identitas Moses telah hilang dan berganti Mohammed yang bisa menerima adanya perbedaan. “<em>Moses left, Madame. He’d had enough of all of this. He didn’t have any good memories.” </em>Kenapa pengarang akhirnya menghilangkan identitas Moses alias Momo di hadapan ibunya? Kenapa Ayah Momo mengidealkan anak laki-laki bernama Popol? Padahal, menurut ibunya, “<em>I never had a child before Moses. I never had any Popol</em>.” Siapakah Popol—manusia sempurna—yang diidolakan Ayah Momo? Bisa jadi itu merupakan obsesi Ayah Momo semata.<br /></div><div> </div><div>Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengarang mematikan Monsieur Ibrahim (Islam) dan Ayah Momo (Yahudi) dan membiarkan Momo tetap hidup dengan identitas barunya: Mohammed, keturunan Yahudi yang bisa menerima dan memahami Islam. Paling tidak bisa memahami nilai-nilai keislaman. Karya Eric-Emmanuel Schmitt ini merupakan karya sastra multikultural yang memberikan makna baru bagi keberagaman dan kemanusiaan. Perspektif multikultural tersebut merupakan wujud perlawanan terhadap stereotip-stereotip konstruksi sosial budaya yang rasis dan esensialis. Pengarang memperlihatkan percampuran budaya, toleransi, dan identitas yang majemuk untuk mengatasi fanatisme agama, ras, dan kelompok tertentu. Hal itu diperlukan guna menyoroti perspektif monokultural yang dianggap kodrati oleh fanatisme kelompok masyarakat tertentu, yang sebenarnya adalah konstruksi. Dalam hal tersebut, karya sastra merupakan strategi toleransi untuk melihat keberagaman budaya sebagai identitas yang cair dalam masyarakat.<br /><br /><strong>Daftar Acuan<br /></strong>Anderson, Benedict. 1983. <em>Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism</em>. London and New York: Verso.<br />Cavallaro, Dani. 2001. <em>Critical and Cultural Theory</em>. London dan New Brunswick, NJ: The Athlone Press.<br />Hall, Stuart. 2003. “Cultural Studies and Its Theoritical Legacies,” <em>The Cultural Studies Reader</em> (ed. Simon During). London dan New York: Routledge.<br />Schmitt, Eric-Emmanuel. 2003. <em>Monsieur Ibrahim and the Flowers of the Koran</em>. Trans. Marjolijn de Jager. New York: Other Press.</div><div></div>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-18165494044607110662010-01-07T19:48:00.000-08:002010-01-07T19:55:23.747-08:00Keputusan Prambanan<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S0arVntaHHI/AAAAAAAAAOQ/3t62cUR6XoU/s1600-h/candi+prambanan+juga.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5424211189139381362" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 253px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/S0arVntaHHI/AAAAAAAAAOQ/3t62cUR6XoU/s320/candi+prambanan+juga.jpg" border="0" /></a><br /><br />Pengantar buku kumpulan cerpen dan puisi <em>Gelora Api 26</em> karya Chalik Hamid (ed.)<br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.” (Soe Hok Gie, 2005).<br /><br /> Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926 (Williams, 2003).<br /><br /> Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003), Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.<br /><br /> Kenapa Banten begitu bergolak, padahal PKI Banten merupakan cabang ke-37 (terakhir) yang baru dibentuk Comite Central PKI? Kenapa pula banyak warga Banten yang berbondong-bondong masuk PKI? Gubernur Jawa Barat W.P. Hillen melaporkan bahwa jumlah anggota PKI Banten telah mengalami kemajuan yang dramatis hanya dalam tempo tiga bulan. Dari yang semula 1.200 orang pada November 1925 menjadi 12.000 orang (termasuk 500 perempuan) pada Februari 1926 (Williams, 2003: 40).<br /><br /> Dalam merekrut anggotanya, PKI Banten terlebih dahulu merekrut ulama aktivis SI yang pro-PKI dan jawara (bandit lokal) yang selalu tidak menaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Dengan melibatkan ulama yang dihormati warga dan jawara yang ditakuti warga itulah jumlah anggota PKI Banten meningkat tajam. Selain itu, aktivis PKI di lapangan juga menjanjikan pembebasan pajak kepada para buruh dan petani jika mereka berhasil mengenyahkan imperialis Belanda. Residen De Vries (dalam Williams, 2003) sendiri mengakui bahwa pajak merupakan persoalan utama yang sangat menggelisahkan rakyat banyak, termasuk warga Banten.<br /><br /> Banten begitu antusias menyambut Keputusan Prambanan karena petani-petani Banten sudah memiliki pengalaman memberontak pada 1888 yang dipimpin Haji Wasid. Hanya saja, alasan pemberontakannya berbeda. Pemberontakan 1926 didorong oleh cita-cita ingin merdeka (meskipun belum terumuskan dengan baik), sementara pemberontakan 1888 disebabkan pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran) kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya secara keras-keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu (Noer, 1996: 25).<br /><br /> Dalam pemberontakan PKI Banten yang terjadi pada 12 November 1926 hingga beberapa hari kemudian itu, hanya satu orang Belanda yang dibunuh, yakni Benjamin, seorang pegawai kereta api di Menes, Banten. Yang lainnya adalah para Wedana, Asisten Wedana, dan polisi. Sedangkan di pihak pejuang Banten yang ditangkap sebanyak 1.300 orang (Williams, 2003). Ricklefs mencatat bahwa secara keseluruhan, akibat pemberontakan 1926-1927 yang terjadi di berbagai kota di Indonesia itu adalah 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim ke kamp penjara yang terkenal mengerikan di Boven Digul, Irian (Ricklefs, 2005). Di Banten sendiri, 4 orang divonis mati, 9 orang divonis seumur hidup, dan 99 orang dibuang ke Boven Digul, termasuk para ulama PKI Banten, seperti Tubagus K.H. Achmad Chatib, Tubagus H. Abdulhamid, K.H. Mohammad Gozali, Tubagus K.H. Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.<br /><br /> Kenapa pemberontakan itu gagal? Ada beberapa alasan yang menyebabkan gagalnya pemberontakan di Jawa pada 1926 dan Sumatera Barat pada awal 1927. Pertama, tidak ada kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu. Tan Malaka adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak keputusan itu, karena menurutnya pemberontakan itu masih sangat prematur (Zara, 2007). Lebih lanjut, Tan Malaka yang juga menjadi Wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk Asia Tenggara memberikan alasan penolakannya; yakni a. Situasi revolusioner belum ada, b. PKI belum cukup berdisiplin, c. Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, d. Tuntutan atau semboyan konkret belum dipikirkan, e. Imperialisme internasional bersekutu melawan komunisme (Soe Hok Gie, 2005). Penolakan Tan Malaka ini didukung oleh Jamaludin Tamin, Subakat, dan Suprodjo. Grup Tan Malaka ini dicap oleh anggota komunis lainnya sebagai kaum Trotsky, yakni kaum yang suka memecah belah partai.<br /><br /> Kedua, banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat. Orang-orang yang dicap sebagai pengkhianat bisa berasal dari lingkungan partai (PKI) sendiri maupun orang-orang dari kelompok Sarekat Hijau atau Sarekat Idjo. Dalam peristiwa Banten, orang yang paling dikenal sebagai pengkhianat adalah R. Oesadiningrat, mantan pegawai Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang juga kerabat Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat. Oesadiningrat inilah yang pada mulanya memprovokasi para ulama dan petani untuk bergabung ke dalam PKI. Tapi, menjelang pemberontakan 1926 meletus, Oesadiningratlah yang menunjukkan kepada Belanda ulama-ulama yang terlibat dalam pemberontakan itu. Bahkan sebelum pemberontakan terjadi, penangkapan terhadap ulama-ulama PKI sudah dilakukan secara intensif. Ini pula yang menjadi titik kelemahan pemberontakan Banten 1926. Ketika para pimpinan PKI dan ulama pro-PKI ditangkap, yang memimpin pemberontakan adalah para jawara. Sementara orang-orang Sarekat Hijau memang antek-antek Belanda tulen. Yang dirugikan dengan kehadirannya tidak saja pejuang-pejuang PKI, melainkan juga pejuang-pejuang SI nasionalis. Organisasi Sarekat Hijau ini kelihatannya bersifat Islam, kostumnya sangat islami, tetapi sebenarnya didirikan oleh pihak Belanda dengan maksud mengacaukan kalangan Islam sendiri (Noer, 1996). <br /><br /> Ketiga, sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda. Senjata-senjata yang mereka beli dengan cara swadaya masyarakat juga berhasil disita Belanda. Dengan demikian, rakyat Banten berjuang dengan persenjataan yang minim dan tanpa komando. Sementara musuh yang dihadapi memiliki persenjataan modern dan sangat terlatih.<br /><br /> Meskipun demikian, semangat perjuangan yang dikobarkan PKI pada 1925-1926 itu merupakan turning point dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat revolusioner ini baru mendapatkan hasilnya yang konkret 20 tahun kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945.<br /><br /> Dalam buku <em>Gelora Api 26</em> ini para sastrawan Lekra merekam peristiwa pemberontakan 1926 itu dalam karya berupa cerpen dan puisi. Agam Wispi dan S. Anantaguna yang kita kenal sebagai penyair kuat Lekra, dalam buku ini menulis cerpen. Demikian pula dengan Sugiarti Siswadi, T. Iskandar A.S., dan Zubir A.A. yang dikenal sebagai cerpenis papan atas Lekra. Mereka pun menyumbangkan cerpen-cerpen mereka. Sementara penyair Chalik Hamid dan Nurdiana menyumbangkan puisi. Selain nama-nama yang telah disebut, sastrawan lain yang cerpennya dimuat dalam buku ini adalah A. Kembara (yang juga menulis puisi) dan A. Awiyadi. Dan penyair yang puisinya dimuat dalam buku ini adalah Alifdal, Anantya, Mahyuddin, dan M.D. Ani.<br /><br /> Kalau kita lihat dari perspektif sekarang, akan timbul sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: kekuatan apakah yang diberikan para sastrawan itu melalui antologi cerpen dan puisi Gelora Api 26 itu? Saya melihatnya sebagai sumbangsih sastrawan Lekra bagi sejarah bangsa dan negaranya. Dalam arti, sastrawan membaca peristiwa bersejarah itu dengan perspektif yang unik, yang otomatis memperkaya sejarah kebangsaan yang sudah ada. Kalau kita baca buku teks sejarah, maka yang kita dapatkan adalah data-data yang diperoleh dari arsip, artefak, dan berbagai peninggalan sejarah lainnya. Sementara sastrawan memberikan roh atau jiwa pada setiap peristiwa sejarah yang diangkat dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastrawan mencoba masuk, merasuk, dan memerankan salah satu tokoh atau pelaku sejarah dan mencoba menghidupkannya dengan perasaan dan pikiran imajinatif pengarangnya. Ia pun dituntut untuk menghidupkan tokoh-tokoh lain sezamannya demi membangun struktur cerita. Namun, sastrawan postmodern biasanya tidak mau takluk dengan konteks zaman seperti itu. Ia bisa mencipta secara arbitrer.<br /><br /> Saya sependapat dengan Bakri Siregar yang mengkritik cerpen “Rapat yang Penghabisan” karya Agam Wispi. Salah satu keunggulan Agam Wispi dalam cerpen ini adalah dimunculkannya tokoh seorang perempuan cantik bernama Upik Bisu. Ia cantik, tapi bisu. Dengan demikian Agam Wispi tidak saja menceritakan peristiwa pemberontakan yang terjadi di Sumatera pada awal 1927 saja, melainkan dalam proses kreatifnya ia menciptakan lahan penggarapan baru, tantangan baru, dengan menciptakan tokoh bisu dalam cerpennya. Apakah tokoh bisu itu benar-benar ada dalam kenyataan saat itu atau tidak, saya rasa pembaca tidak akan mempersoalkannya. Yang menarik adalah kemampuan Agam Wispi memainkan tokoh perempuan bisu itu dalam situasi yang penuh rahasia, menjelang rapat gelap yang hanya dihadiri oleh empat pentolan pergerakan. Dialog antara Udin, sang tokoh utama, dengan Upik Bisu dilakukan dengan isyarat-isyarat yang bisa dipahami dengan bahasa kemanusiaan. Saya sangat mengagumi kelihaian Agam Wispi sebagai seorang cerpenis sebagaimana saya mengagumi puisi-puisinya. Hanya saja, Bakri Siregar mengkritik kenapa tokoh Upik Bisu itu hanya diberi porsi yang sangat minim (Yuliantri, 2008). Ini bisa berarti bahwa Agam Wispi telah memikat hati pembacanya melalui tokoh perempuan bisu itu, sehingga membuat penasaran pembacanya.<br /><br /> Cerpen lainnya yang menarik adalah “Sel D” karya S. Anantaguna. Sel D adalah sel terakhir bagi “inlander” yang memberontak sebelum dibuang ke Boven Digul yang sarat dengan berbagai sumber penyakit. Ratmono, tokoh utama dalam cerpen itu, yang bekerja di lembaga “Drukkerij de Boer” di bawah pimpinan De Vries, melakukan pergerakan bawah tanah melawan kompeni. Informasi-informasi penting seperti hasil rapat gelap di Prambanan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan disampaikan kepada rekan-rekan sesama aktivis.<br /><br /><em>“Yah, meskipun semula kita belum menyetujui pemberontakan, tetapi Keputusan Prambanan, kata Pak Abdul Mutalib, bahwa rakyat sudah marah, karena pemerintah Belanda makin menggila. Penderitaan, tekanan, dan kekangan sudah tidak tertahankan lagi, sehingga meletus juga pemberontakan. Dalam keadaan seperti ini, jika partai komunis benar-benar mengabdi kepada rakyat, harus tampil ke depan. Partai kita adalah partainya kaum buruh dan kaum tani. Jika massa menghendaki merah, tetapi kita menginginkan kuning, berarti partai kita mengkhianati massa. Partai kita berdiri karena dikehendaki oleh massa, oleh kaum proletar dan kaum tani. Partai kita hidup dan matinya pun tergantung mereka. Apapun kesulitannya, risikonya, yang berontak harus dipimpin. Kita harus bersama-sama mereka, mati atau hidup’’. </em>(“Sel D”).<br /><br /> Aksi yang dilakukan Ratmono itu diketahui oleh resersir (mata-mata Belanda). Ia pun ditangkap dan disiksa. Dan, karena ia tetap melawan saat diinterogasi, ia dimasukkan ke sel D. Cerpen ini sangat bagus dalam menggambarkan keteguhan seorang komunis. Ketetapan hatinya begitu kuat, dan keyakinannya begitu tinggi, sehingga seberat apapun siksaan yang dialaminya, dijalaninya dengan penuh ketabahan. Tokoh Abdul Mutalib, yang namanya sama seperti nama kakek Nabi Muhammad, yang ada dalam cerpen tersebut merepresentasikan kalangan Islam kiri. Kekuatan cerpen S. Anantaguna ini mengilhami A. Awiyadi yang mengangkat cerita yang sama dengan judul “Kesetiaan Seorang Komunis”.<br /><br /> Suasana perjuangan benar-benar tampak dan tampil dalam cerpen-cerpen karya sastrawan Lekra ini. Adanya rapat gelap, kekhawatiran dikuntit resersir atau mata-mata atau intel, pengkhianatan yang dilakukan teman maupun bangsa sendiri, sampai keteguhan menghadapi hukuman yang disertai siksaan terdapat dalam cerpen “Sabotase” karya Zubir A.A., “Sukaesih” karya Sugiarti Siswadi, “Dari Daerah Pembuangan” karya T. Iskandar A.S., dan “Kakek” karya A. Kembara. Perspektif yang digunakan para cerpenis itu adalah perspektif para pejuang yang berada di garis depan, bukan perspektif para priyayi yang duduk di kursi kekuasaan sembari menikmati kesengsaraan bangsanya. Bukan pula dari perspekif para pengkhianat seperti orang-orang Sarekat Hijau yang dibentuk Belanda. Tidak juga dari perspektif kolonial Belanda. Dengan demikian, atmosfir perjuangan sangat terasa dalam cerpen-cerpen tersebut. Perasaan geregetan karena ingin membunuh tentara Belanda, perasaan sakit karena dikhianati oleh teman sendiri, dan perasaan tak menentu saat melakukan rapat gelap dan hidup nomaden, semuanya hadir dan mengalir dalam karya-karya tersebut.<br /><br /> Bagaimana dengan puisi? Genre ini menuntut kepekaan dan kelihaian penyair dalam membaca suatu peristiwa. Yang ditangkap penyair dari sebuah peristiwa adalah sesuatu yang inti dan hakiki. Karena itu, kekuatan penyair terletak pada pilihan kata yang mewakili sebuah peristiwa. Jika cerpenis mencoba mengangkat suatu peristiwa dengan mendeskripsikan sebuah konflik yang menjadi pusat narasi, maka penyair ditantang untuk memilih diksi yang tepat, sehingga sebisa mungkin sebuah kata bisa mewakili sebuah peristiwa. Atau, dalam satu kata terdapat seribu makna. Dalam hal ini, penyair Chalik Hamid membidik seorang tokoh PKI ternama saat itu, Ali Archam. Sebagai tokoh PKI, dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Boven Digul dengan tuduhan menghasut pemogokan-pemogokan yang dilakukan para buruh. Yang membuat kawan-kawannya kagum adalah Ali Archam sama sekali tidak menyebutkan satu pun nama kawan seperjuangannya, meskipun untuk itu dia harus mendapatkan siksaan yang luar biasa beratnya. Ali Archam pun akhirnya mati di tanah pembuangan. Tapi, ia mati dengan rasa bangga. Berikut ini saya kutip puisi Chalik Hamid yang berjudul “Kepada Aliarcham” untuk memperlihatkan bahwa perjuangan yang dilakukan Ali Archam tidaklah sia-sia. Dan, penyair merekam dengan baik biografi pejuang kemerdekaan itu.<br /><br /><strong>Kepada Aliarcham<br /></strong> <br />1<br />di bawah kabut kemelaratan di kabupaten Pati<br />lahir seorang putra jantan di desa Asemlegi.<br /> <br />si putra jadi dewasa dipapah kasih bunda<br />lalu pemberontakan petani Rembang menggugah hatinya<br />internasionalisme membuka matanya<br />dan dimana-mana api menyala<br />pemberontakan tani melawan Belanda.<br /> <br />dan dia ucapkan selamat tinggal pada pesantren lama<br />pada saminisme yang menyedat dada.<br /> <br />2<br />hati meronta dan berlawan<br />karena beban berat tak tertahankan.<br /> <br />oih, betapa indahnya sorga kehidupan dalam perjuangan<br />di mana-mana rakyat bangkit berlawan<br />dengan senjata di tangan<br />tak takut pada tiang gantungan<br />tak peduli pada pembuangan<br />tak gentar maut mengancam.<br /> <br />alangkah teladan putra perkasa<br />dibusungkannya dada, ditegakkannya kepala<br />ditantangnya pemerintah kolonial Belanda.<br /> <br />3<br />Tanah Tinggi berpagarkan hutan belantara<br />pandangan tersuruk pada pohon-pohon raksasa<br />hidup terancam oleh binatang buas mencari mangsa.<br /> <br />dan kala malam menelan senja<br />udara dingin mendekap tubuh tersiksa<br />terasa dendam makin menyesak dada<br />terasa dendam makin menyala.<br /> <br />dalam pergulatan hidup dan derita<br />ia tunjukkan keteguhan jiwa:<br />“Suatu pemberontakan yang kalah<br />adalah tetap benar dan sah.<br />Kita terima pembuangan ini<br />sebagai risiko perjuangan yang kalah.<br />Tidak ada di antara kita yang salah,<br />karena kita berjuang melawan penjajah”. *)<br /> <br />dari pembaringan ditatapnya bintang<br />menahan perih tubuh telentang<br />betapa terasa nyeri oleh paru-paru yang berlobang.<br /> <br />Sungai Digul mengalir ke hilir<br />berpadu deru kapal dan air mendesir<br />di sini seorang patriot menghembuskan napas terakhir<br />namun ia adalah karang di tengah lautan<br />yang pantang tunduk kepada topan.<br /> <br />4<br />badai bisa mengamuk dan melanda<br />menerjang dan merusak segala<br />namun pahlawan tak bisa musnah<br />gugur dan jatuh bangkit kembali<br />setelah terpukul bangun kembali<br />karena ia adalah keharusan<br />yang lahir bersama zaman.<br /> <br />obor yang kau serahkan<br />terus kami nyalakan<br />dan akan kami persembahkan pada generasi kemudian<br />dari tangan ke tangan<br />dari hati ke hati<br />dan obor itu tak pernah mati.<br /><br />*) <em>Kata-kata Aliarcham yang diucapkan di hadapan kawan-kawan di pembuangan Tanah Tinggi, Papua. <br /></em><br /><br /> Puisi di atas merupakan balada seorang Ali Archam. Penyair mengutip kata-kata kunci yang diungkapkan Ali Archam sebelum kematiannya. Semangat yang melekat pada pernyataan Ali Archam itulah yang tengah diabadikan oleh seorang penyair Chalik Hamid. Penyair lainnya yang telah memiliki gaya yang khas adalah Nurdiana, nama pena Suar Suroso. Puisi-puisinya dalam Jelita Senandung Hidup memperlihatkan pengendapan peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah dilaluinya. Gaya ucapnya yang khas itu pula yang digunakan Nurdiana dalam merefleksikan peristiwa pemberontakan PKI Banten pada 1926, suatu peristiwa yang sangat heroik. Berikut ini saya kutip puisi “November Bulan Historis” karya Nurdiana selengkapnya.<br /><br /><strong>November Bulan Historis<br /></strong><br />12 November tahun dua enam,<br />memancar sinar dalam kelam,<br />khatulistiwa gempita meronta,<br />berlambang Palu Arit rakyat bangkit,<br />angkat senjata melawan Belanda,<br />yang telah menjajah tiga abad,<br />penguasa kalap bermata gelap,<br />membantai pejuang anti penjajah.<br /> <br />Korban pahlawan di medan juang,<br />dari Banten hingga Silungkang,<br />di ujung senapan dan tiang gantungan,<br />gugur Egom, Dirdja, dan Hasan,<br />serta Si Patai dan Si Manggulung,<br />berpencaran makam pahlawan,<br />di Digul Ali Archam terpendam dalam,<br />bersama banyak kawan seperjuangan,<br />ribuan lagi dipenjarakan,<br />sekeluarga bersama bocah,<br />dibuang ke Digul, Tanah Merah,<br />Ternate dan Nusa Kambangan.<br /> <br />Tak kunjung usai kisah sejarah,<br />tahanan Digul Tanah Merah,<br />disiksa malaria, ular, buaya,<br />banyak penyakit, kencing berdarah,<br />duka nestapa ciptaan penjajah,<br />Digul menjadi neraka dunia,<br />pejuang tertempa bagai baja,<br />teguh tak luntur cita-cita.<br /> <br />Pejuang tangguh tak tertundukkan,<br />jasmani disiksa rohani perkasa,<br />seperlima abad hidup didera,<br />tetap setia untuk merdeka,<br />yang sempat pulang kampung tercinta,<br />jadi saksi kekejaman penjajah.<br /> <br />Betapa banyak pejuang tumbang,<br />pemberontakan tahun dua enam,<br />bagaikan obor nyala cemerlang,<br />bak mercusuar di alam kelam.<br /><br />Pemberontakan tahun dua enam,<br />Sangkakala revolusi Indonesia!<br /><br /><br />Sastra sejarah semacam ini sangat penting artinya bagi para sejarawan. Kalau ditanyakan apakah karya sastra bisa menjadi sumber sejarah, maka jawabannya sudah pasti: bisa. Sastrawan yang berpaham realisme sosialis pasti sangat paham apa arti karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, karena sastrawan yang tergabung dalam Lekra sangat menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari suatu gerakan penyadaran rakyat, gerakan pencerdasan rakyat (Setiawan, 2003).<br /><br />Karya sastra yang mereka ciptakan bukanlah hasil dari igauan atau lamunan semata, bukan pula hasil dari rekayasa angan-angan. Dalam proses kreatifnya, mereka sangat meyakini bahwa mencipta karya sastra itu yang penting adalah isinya. Jangan sampai mencipta karya sastra hanya unggul dalam bentuk, namun isinya hanya pepesan kosong. Rendra mengistilahkan penyair-penyair salon untuk mereka yang berkarya semata-mata demi keindahan kata-kata hampa. Apa yang dirasakan rakyat, apa yang dipikirkan rakyat, bahkan apa yang digelisahkan rakyat seyogyanya tertangkap dengan baik oleh para sastrawan. Dan segala perasaan, pikiran, dan kegelisahan itu kemudian dituangkan dalam karya sastra, baik prosa maupun puisi, setelah mengalami internalisasi atau pengolahan dan pengendapan dalam diri masing-masing sastrawan. Dengan demikian, bentuk artistik karya sastra akan melekat dan muncul dengan sendirinya pada kekhasan masing-masing sastrawan dalam berekspresi. Isi yang terdapat dalam karya sastra yang diekspresikan secara jujur oleh para sastrawan itulah yang dapat menjadi pintu masuk bagi para sejarawan menguak sejarah di masa silam.<br /><br /><strong><em>Citayam, 3 Januari 2010<br /></em></strong><br /><strong>Bibliografi<br /></strong><br />Hamid, Chalik. 2008. <em>Mawar Merah.</em> Bandung: Ultimus.<br />Noer, Deliar. 1996. <em>Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942.</em> Jakarta: LP3ES.<br />Nurdiana. 2008. <em>Jelita Senandung Hidup</em>. Bandung: Ultimus.<br />Ricklefs, M.C. 2005. <em>Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.</em> Jakarta: Serambi.<br />Setiawan, Hersri. 2003. <em>Aku Eks Tapol.</em> Yogyakarta: Galang Press.<br />Soe Hok Gie. 2005. <em>Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.</em> Yogyakarta: Bentang.<br />Williams, Michael C. 2003. <em>Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di<br />Banten.</em> Yogyakarta: Syarikat.<br />Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. <em>Lekra Tak Membakar Buku.</em><br />Yogyakarta: Merakesumba.<br />Zara, M. Yuanda. 2007. <em>Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia: Orang-orang<br />Cerdas yang Mati di Tangan Bangsanya Sendiri.</em> Yogyakarta: Pinus.Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-79805742489789091522010-01-01T00:13:00.000-08:002010-01-01T00:17:56.221-08:00Setelah Membaca Gurita Cikeas<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Sz2u4wMSonI/AAAAAAAAAOI/vCanCIG2AtE/s1600-h/buku+george+JA.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5421681816456307314" style="WIDTH: 208px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Sz2u4wMSonI/AAAAAAAAAOI/vCanCIG2AtE/s320/buku+george+JA.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Sebelum membaca buku ini, saya merasa penasaran: kenapa buku ini lenyap dari peredaran meskipun tidak dilarang? Setelah saya membaca buku ini, saya tambah penasaran: benarkah?<br /><br /> Buku <em>Membongkar Gurita Cikeas</em> karya George Junus Aditjondro (2009) memang sangat mengejutkan. Isinya tidak saja mengejutkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), melainkan juga keluarga, konstituen Partai Demokrat, dan pengurus yayasan yang disebut-sebut dalam buku tersebut.<br /><br /> Buku <em>Gurita Cikeas</em> ini tidak secara langsung menyebut adanya aliran dana Bank Century ke Presiden SBY, melainkan ada dugaan sebagian dana dari total Rp 6,7 triliun itu lari ke “pihak ketiga”. George menganggap wajar kalau ada dugaan masyarakat yang menduga dana Bank Century itu mengalir ke penyumbang dana kampanye Partai Demokrat saat Pemilu 2009 lalu.<br /><br /> Yang cukup mengagetkan pembaca adalah banyaknya nama pejabat negara, keluarga SBY, dan pengusaha, dan istri-istri pejabat yang terlibat dalam apa yang disebut George sebagai oligarki, yakni pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu, yang dalam buku ini dikiaskan dengan gurita. Nama-nama yang disebut itu di antaranya Ani Yudhoyono, Hartanto Edhie Wibowo, Edhie Baskoro Yudhoyono, Hatta Rajasa, Boedi Sampoerna, Hartati Murdaya, dan masih banyak lagi.<br /><br /> Yang lebih mengejutkan adalah munculnya nama Arthalyta Suryani yang disapa Ayin—yang terlibat dalam kasus penyuapan kepada jaksa Urip Tri Gunawan hingga diganjar 20 tahun penjara—yang dikatakan George dekat dengan Ani Yudhoyono karena kedudukan Arthalyta Suryani sebagai bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Ada pula nama Sjamsul Nursalim (pemilik perusahaan Gajah Tunggal—yang memiliki Grand Indonesia Shopping Town) dan Djoko S. Tjandra, yang masuk dalam daftar pengusaha bermasalah. Dikatakan bermasalah, karena menurut George, Sjamsul Nursalim yang menjadi buron dalam kasus BLBI, yang masih merugikan uang rakyat sebesar Rp 4,2 triliun itu belum kelar.<br /><br /> Apa yang ditulis George dalam buku ini sangat gamblang, jelas, cetho welo-welo. Termasuk soal pelanggaran terhadap UU Pemilu yang dilakukan caleg-caleg dari Partai Demokrat dan soal aliran dana ke harian <em>Jurnal Nasional</em>.<br /><br /> Saya menduga, yang menjadi keberatan dari pihak SBY dan pendukung Partai Demokrat adalah tidak adanya <em>second opinion</em> dalam buku tersebut. Dalam jurnalistik kita mengenal adanya konsep <em>cover both side</em>, yakni adanya keseimbangan dalam mencari sumber data dan sumber berita. Meskipun demikian, kalau kita baca secara teliti, data-data atau sumber yang digunakan George Junus Aditjondro adalah media massa cetak dan <em>online</em>. Dengan kata lain, kemungkinan George sangat percaya bahwa data yang dikutipnya dari media massa itu adalah data yang valid karena telah melalui proses standar penulisan jurnalistik, sudah <em>cover both side</em>. Saya menduga juga, jangan-jangan George tidak mendapatkan informasi atau data yang diharapkan dari pihak Cikeas ketika ia ingin mengkonfirmasi data yang ia peroleh.<br /><br /> Agar masalah ini tidak menjadi fitnah, karena fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, maka sebaiknya pihak SBY mengklarifikasi apa yang telah diungkap George Junus Aditjondro itu. Saya masih ingat bahwa Presiden SBY akan berada pada barisan paling depan dalam berjihad melawan korupsi (dan koruptor, tentunya). Ini adalah kesempatan emas bagi SBY untuk membuktikan ucapannya itu.<br /><br /> Penilaian saya pribadi terhadap buku <em>Gurita Cikeas</em> hingga saat ini data-data dalam buku tersebut masih saya anggap sebagai data saja. Dalam arti, data tersebut belum dibuktikan kebenarannya. Alasannya, karena dalam buku itu belum ada konfirmasi dari pihak terkait, yakni pihak yang katakanlah disudutkan. Transparansi inilah yang sangat ditunggu-tunggu rakyat agar tidak ada fitnah di antara kita.<br /><br /> Satu hal yang pasti, Presiden SBY akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk memberantas mafia hukum. Di mata masyarakat awam, kasus Sjamsul Nursalim-Arthalyta ‘Ayin’ Suryani-Urip Tri Gunawan (yang saat ini mendekam di penjara karena terbukti menerima suap dari Ayin) adalah salah satu contoh adanya mafia hukum dalam kasus itu. Buku Goerge Junus Aditjondro itu bisa menjadi rujukan, siapa mafioso yang harus diberantas terlebih dulu.<br /><br /> George memberi contoh Presiden Korea Selatan Kim Young San yang berani mengadili mantan Presiden Korsel sebelumnya, Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo terkait kasus korupsi. Kim Young San juga mempersilakan anaknya, Kim Hyon Chul, untuk diadili atas dugaan korupsi.<br /> Keraguan George Junus Aditjondro mengenai kenaikan signifikan suara Partai Demokrat dalam Pemilu 2004 dan 2009, yakni dari 7% hingga 20%, menurut saya itu wajar. Ini pernah terjadi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten pada 1925. Jumlah anggota PKI di Banten bisa meningkat tajam hanya dalam hitungan bulan hingga mencengangkan kolonial Belanda. Dari penjelasan Michael C. Williams (2003), karena PKI berhasil merebut hati rakyat (khususnya petani), yang menjanjikan kepada mereka kalau kolonial bisa ditumpas, maka pajak yang memberatkan rakyat akan dihapus. Selain itu, PKI juga berhasil merangkul ulama dan jawara (bandit lokal) Banten yang antiimperialisme. Jadi, kalau suara Partai Demokrat tiba-tiba melambung tinggi dengan politik pencitraan di televisi, menurut saya wajar saja. Tapi, kalau George menanyakan darimana duit untuk politik pencitraan itu, biarlah para think tank PD yang menjawab.<br /><br /><strong><em>Citayam, 31 Desember 2009<br /></em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-36116117330701469612009-12-19T06:01:00.002-08:002009-12-19T06:06:00.864-08:00Nyanyian Hersri Setiawan untuk Maharaja $uharto<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SyzdK1PnhAI/AAAAAAAAAOA/uWMQDnmM4ho/s1600-h/hersri+setia.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5416947629980877826" style="WIDTH: 240px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SyzdK1PnhAI/AAAAAAAAAOA/uWMQDnmM4ho/s320/hersri+setia.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Dalam buku <em>Inilah Pamflet Itu</em>, penyair Hersri Setiawan (2007) menulis Rezim Orde Baru dengan “Rejim Orde Baru”; demikian pula Soeharto dengan “$uharto”. John Roosa (2008) juga sengaja menulis Soeharto dengan “Suharto”. Hersri Setiawan tidak saja menulis nama Soeharto sesuai dengan ejaan aslinya, tapi mengganti huruf awal nama itu dengan lambang mata uang Amerika: dolar.<br /><br /> Dari sini saja kita sudah membaca besarnya masalah yang berada dalam pikiran Hersri Setiawan. Pertama, penggunaan judul “Pamflet” dalam buku puisinya menyuratkan bahwa puisi-puisi yang terdapat dalam buku ini adalah puisi pamflet, yakni puisi yang dimanfaatkan oleh penyairnya untuk menyampaikan pesan kepada pembacanya secara lugas; apa adanya.<br /><br /> Kedua, Hersri sengaja mendobrak kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang dibuat oleh Pusat Bahasa (2008). Ia menulis “rejim” dan bukan “rezim” sebagaimana yang tertera dalam <em>Kamus Besar Bahasa Indonesia</em> dan juga dalam <em>Tesaurus Bahasa Indonesia</em> karya Eko Endarmoko (2006). Ini menyiratkan bahwa yang ingin disampaikan Hersri Setiawan itu bukan sesuatu yang sudah dianggap lazim; ada sesuatu yang lain, ada suara lain yang ingin disampaikannya.<br /><br /> Ketiga, kenapa Hersri menuliskan “$uharto”? Untuk menjawabnya, saya mengutip pendapat Robert Cribb (2005), M.C. Ricklefs (2005), dan John Roosa (2008). Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Pada bulan Oktober 1965, pembunuhan dimulai. Kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Njoto tertembak kira-kira pada 6 November dan D.N. Aidit pada 22 November, Lukman juga segera tewas setelahnya. Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban begitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tak terlupakan bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian merasa bahwa pembunuhan massal ini merupakan peristiwa paling memalukan dan tak bisa dimaafkan. Banyak orang ditahan, diinterogasi (sering di bawah siksaan) dan ditahan tanpa pemeriksaan pengadilan. Jumlah korban ketidakadilan ini sedikitnya 100 ribu orang (Ricklefs, 2005: 565-566).<br /><br /> Rezim Suharto membenarkan tindakan represi berdarahnya terhadap PKI dengan menekankan bahwa partai itulah yang memulai dan mengorganisasi G30S. Walaupun aksi-aksi pada 1 Oktober tersebut tak lebih dari pemberontakan berskala kecil dan terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demonstrasi oleh kalangan sipil, rezim Suharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan PKI yang masif dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis. Rezim Suharto terus-menerus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda negara: buku teks, monumen, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional. Rezim Suharto memberi dasar pembenaran keberadaannya dengan menempatkan G30S tepat pada jantung narasi historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak terperikan (Roosa, 2008: 8-9). Washington sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G30S dan merangsak menghantam kaum komunis. Sementara Washington mengemukakan setiap pelanggaran hak asasi manusia di Blok Soviet sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam Perang Dingin, ia mengabaikan dan memberi pembenaran atau bahkan bersekongkol dalam kejahatan yang dilakukan oleh rezim-rezim yang bersekutu dengan Amerika (Roosa, 2008: 18-19).<br /><br /> Setelah Soeharto lengser, para korban tragedi 1965 yang masih hidup kembali bersuara lebih lantang, karena sejauh ini Negara tidak pernah mempedulikannya. Wakil rakyat yang duduk manis di MPR dan DPR seringkali membutatulikan mata hatinya. Dan, inilah salah satu puisi pamflet Hersri Setiawan untuk mengenang kekejaman Soeharto terhadap bangsanya sendiri.<br /><br /><strong>In Memoriam Rejim Orde Baru<br /></strong><em>—nyanyian untuk maharaja $uharto<br /></em><br />1<br />tiga puluh dua tahun yang lalu<br />tuan katakan orde baru harus dibangun<br />dan itu suara barisan serdadu haus darah<br />niscaya bukan cuma raungan macan kertas<br /><br />tapi tidak adalah yang semua-mua hampa<br />butir-butir jernih keringat serta merah darah<br /><br />di mana-mana merah putih berkibaran<br />kata tuan demi kebenaran dan keadilan<br />kata tuan demi ampera dan pancasila<br /><br />tiga puluh dua tahun yang lalu<br />tuan katakana yang kominis hantu dajal<br />dan itu suara pedang kabir* berganda sakti<br /><br />hari ini komunis ditebas bagaikan pacing<br />hari esok akal sehat dipenjara dan diburu<br /><br />paduan suara serdadu bayaran kabir<br />memang bukan cuma angin padang pasir<br /><br />plonco-plonci hura-hura menyanyi-nyanyi<br />konon demi repiblik dan demi proklamasi<br />konon demi ini itu selain demi kamu sendiri<br />bahkan tuhan pun tidak kuasa bilang jangan<br /><br />urusan politik tuan-tuan kemas menjadi iman<br />nafas massa tuan-tuan santhet menjadi thuyul<br /><br />dalam kurungan gading para pakar serta jamhur<br />digulung mantra hongwilaheng asap kemenyan<br /><br />dan semua-mua<br />selain para paria<br />dibuai lagu ninabobo<br />lelap senyap<br />jatuh tertidur<br /><br />dan semua-mua<br />selain para paria<br />yang dipenjara dan dikubur<br />dibanjir yen dan dolar<br />terlelap tidur<br /><br />2<br />tiga puluh dua tahun yang lalu<br />telah tuan-tuan bangun taman orde baru<br /><br />bale kambang di lahan telaga darah dan luh<br />dipayungi intimidasi bayangan palapa dua<br />dan permadani poster-poster porno tergetar<br /><br />kemudian sejurus sementara semua terkesima<br />monumen sukarno dibangun khidmat di sana<br />di pakistan ali bhutto mati digantung<br />di “Jalan Jakarta” allende diberondong<br />berseru-seru wertheim mcvey dan anderson<br /><br />kemudian jadilah sementara semua terguncang<br />ketika matahari sudah terlalu tinggi di langit<br />ketika timor timur dibikin menjadi karang abang<br /><br />dan mengapa ada pastor berdiri di kedungombo<br />dan karena upah kerja marsinah harus mati<br /><br />lalu semua bersaksilah<br />di mana kartini<br />di mana marsinah<br /><br />3<br />oi keroncong kincir<br />kincir dari betawi<br /><br />lalu semua diam kelu<br />mana aidit lukman njoto<br />mana tiongjing mana nio<br /><br />oi ini lagu<br />lagu keroncong<br />keroncong kincir dari betawi<br /><br />merah putih jadi azimat<br />pancasila jadi mantra<br />saptamarga jadi senjata<br />lalu semua sarat<br />berpadu suara sumbang<br />indonesia raya<br />merdeka merdeka<br />tanahku negeriku<br />yang kucinta<br />indonesia raya<br /><br />ah<br />kamu<br />yang<br />cuma<br />tumbal bekakak<br /><br />mati<br />mati<br />mati<br />mati<br />mati<br /><br />kemudian semua melihat dan mendengar<br />ada asap kelabu bergulung membubung<br />dari buku-buku terlarang yang dibakar<br />ada suara jerit tangis yang meraung<br />dari yang hidup hanya jadi bilangan<br /><br />merdeka<br />dalam satu suara<br />bersama<br />dalam genggaman monopoli<br />separuik periuk konglomerasi<br /><br />dan tuan-tuan terkesima<br />dan tuan-tuan terjaga<br />dan tuan-tuan mencari<br />di depan beribu jalan<br />mencari jalan<br /><br />la lela lela ledhung<br />cep menenga cep mengenga<br /><br />ada borgol setan subversi<br />ganas bagai setan banaspati<br />tapi jiwa siapa bisa didhadhung<br /><br />4<br />tga puluh dua tahun telah lalu<br />tuan katakan orde baru harus dibangun<br />dan dua puluh tahun sejarah republik<br />tuan katakan hikayat orde lama<br />“musti dibersihken dengen cara apa pun”<br /><br />lalu tuan-tuan bersorak sorai<br />sukarno gestapu agung<br />hartini lonte agung<br />gerwani lonte pe-ka-i<br />aidit kerak neraka<br /><br />satu jenderal seketi komunis<br />tumpas seakar-akarnya<br />tumpas<br />tumpas<br />tumpas<br /><br />gantung<br />gantung<br />gantung<br /><br />hidup pak anu hidup pak ini<br />hidup anuku hidup biniku<br /><br />tiga puluh dua tahun yang lalu<br />ada fatwa darah komunis halal tumpah<br /><br />dua puluh tahun sejarah republik melangkah<br />dua kali kaum komunis dibikin tumbal<br />tuan katakan demi tuhan dan nabi-nabi<br /><br />tiga puluh dua tahun yang lalu<br />warna jaket kuning<br />baret hijau dan merah<br />wajah-wajah maha hukum<br />wajah-wajah maha kuasa<br /><br />5<br />adhuh yana adhuh yana<br />sesambat ki semar badranaya<br />dek nembanga sekar setan<br />gendruwo blorong thethekan<br />mamba-mimba imam mahdi<br /><br />tani-tani desa<br />kuli-kuli kota<br />tanah dan ladang<br />bengkel dan pabrik<br />berdarah-darah<br /><br />tanah ladang<br />bengkel pabrik<br />jadi kuburan<br />tanah air<br />jadi penjara<br /><br />adhuh lae adhuh lae<br />disulap azimat supersemar<br />sang dasamuka mengejawantah<br />meredam benih gara-gara<br />dewi pertiwi bertaruh mati<br /><br />garuda orba menyebar berita<br />klenteng cina klenteng cina<br />gudang cung! gudang cung!<br />rumah cina rumah cina<br />bakar bakar bakar!<br /><br />garuda orba menyebar berita<br />pe-ka-I malam meracun sumur<br />mbah suro di gunung wilis<br />benteng penghabisan gestapu-sukarno<br />digempur habis balatentara langit **<br /><br />ki badranaya sesambat<br />adhuh yana dan nembanga<br />tembang mutiara-mutiara mazmur<br />pesona cabar menghablur<br />rerepen sepi sendiri<br /><br />6<br />lalu imperium orde baru tuan bangun<br />di atas lahan telaga darah dan luh<br />berlapis pondasi tap-tap mprs ala kkn<br />lalu tanpa syarat tanpa pamrih (heh-heh-heh!)<br />bersumpah pejah-gesang ndherek sang bapa<br /><br />pembangunan hidup pembangunan<br />gampang sukrasana memutar taman gantung<br />lebih gampang $uharto pasang nyala pelita<br />konsesi diteken utang anak cucu ditambang<br />konsesi diteken hutan nenek moyang ditebang<br /><br />hura hure hura hure<br />mumpung gedhe rembulane<br />mumpung gedhe komisine<br />dak gasak gasake dhewe<br /><br />hore swasembada beras<br />membanting tulang<br />tulang siapa<br />kerja keras<br />bagian siapa<br /><br />adhuh yana dak nembanga<br />tembange mas-ku-mambang<br />jakarta yatalah pangeran<br />payungan beton jalan layang<br />dalem gedhe para penggedhe<br /><br />swasembada kondom: hore<br />dua anak cukup: hore<br />demi tinggal landas<br />demi tinggal landas<br />demi demikian<br /><br />demi demikian<br />harus ada landasan<br />harus ada harus<br />ada yang dilindas<br />ada yang melindas<br /><br />adhuh yana dak nembanga<br />tembange tembang megat-ruh<br />diredam maut santa cruz<br />demi sumpah palapa dua<br />gentayangan siluman ninja<br /><br />7<br />adhuh lae adhuh lae<br />keroncong kincir kincir betawi<br />lagu talkin rejim sang raja...<br /><br /><br />catatan:<br />* kapitalis birokrat<br />** sebutan untuk rpkad (“kopassus” sekarang)<br /><br /> Puisi pamflet Hersri Setiawan ini merefleksikan banyak hal, terutama pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan algojo-algojo Soeharto, sejak berdirinya Rezim Orde Baru hingga pupusnya rezim tersebut. Selama para korban tragedi 1965 tidak mendapatkan haknya untuk dipulihkan nama baiknya, dan masih diperlakukan diskriminatif oleh negara, maka suara-suara yang dihimpun dalam sebuah teks semacam ini akan mengabadikan luka sejarah. Puisi semacam ini akan terus ditulis oleh para penyair selama ketidakadilan masih mengangkangi setiap manusia.<br /><br /><strong>Citayam, 19 Desember 2009 </strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-53572743601580606062009-11-21T04:48:00.001-08:002009-11-21T16:07:27.807-08:001965: Perspektif Korban<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SwiAKXVmwxI/AAAAAAAAAN0/mitRMjuve9M/s1600/wonosobo.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5406712268209963794" style="WIDTH: 215px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SwiAKXVmwxI/AAAAAAAAAN0/mitRMjuve9M/s320/wonosobo.jpg" border="0" /></a><br /><div></div><div></div><br /><div>Pengantar buku <em>Nyanyian dalam Kelam</em> Sutikno W.S.<br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br />Pada 1983, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letjen (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo mengajak putra Ketua CC PKI D.N. Aidit, Ilham Aidit, untuk berbicara empat mata, bicara dari hati ke hati. “Ilham, ketika itu, itu adalah tugas buat saya. Ketika itu saya merasa bahwa yang saya lakukan adalah benar. Tapi lama kemudian, berpuluh tahun kemudian, saya sadar, mungkin yang saya lakukan itu keliru. Apakah kamu bisa memahami itu semua?” kata Sarwo Edhie Wibowo kepada Ilham Aidit sebagaimana dituturkan Ilham Aidit dalam film dokumenter <em>Menyemai Terang dalam Kelam </em>karya sutradara I.G.P. Wiranegara (2006) yang diproduksi Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) pimpinan Putu Oka Sukanta.<br /><br />Apakah pengakuan Sarwo Edhie itu benar? Sayang sekali kita tidak bisa mengkonfirmasikan hal penting seperti itu, karena pembicaraan itu hanya di antara mereka berdua, sementara Sarwo Edhie sudah tiada. Sama halnya kita juga tidak bisa mengkonfirmasikan klaim Sarwo Edhie bahwa pasukannya telah membunuh tiga juta orang komunis. Benar tidaknya pengakuan Sarwo Edhie itu, hukum harus tetap ditegakkan dan sejarah harus diluruskan.<br /><br />Sejarawan Robert Cribb (2005) mengatakan, “Meskipun mantan komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo memperkirakan bahwa tiga juta orang telah terbunuh, kisaran angka yang lebih cenderung betul adalah setengah juta, atau bisa saja setengah atau kelipatan duanya.” Kenapa Robert Cribb menebak-nebak angka seperti itu? Antara lain karena pembunuhan itu dilakukan secara membabi-buta di berbagai tempat. Tapi, pola pembunuhannya sama, yakni setiap malam selama beberapa minggu datang truk yang diparkir di luar suatu tempat penahanan, lalu seorang petugas akan memanggil beberapa nama para tahanan sebanyak tiga, empat, sampai sekitar dua lusin nama. Kadang-kadang korban disungkup kantung beras usang, kadang mereka hanya diberitahu akan dipindahkan ke lokasi lain. Lalu mereka diangkut pergi lima, 10, 30, bahkan sampai 100 km dari tempat penahanan mereka, ke tempat terpencil—hutan, curaman sungai, gua, atau tepi laut. Di sana, di bawah pengawasan beberapa tentara, mereka dibunuh—ditembak, ditusuk, atau dipukul dengan batangan besi—oleh anggota milisi, terkadang setelah disuruh menggali tanah untuk kuburan mereka sendiri (Cribb, 2005: 57-58).<br /><br />Dalam film dokumenter <em>Mass Grave</em> karya sutradara Lexy Junior Rambadeta (2002), apa yang dikatakan Robert Cribb itu terbukti benar. Pada 16 November 2000, ditemukan kuburan massal di Hutan Situkup, Desa Dempes, Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jumlah kerangka yang ditemukan ada 21 jenazah, di antaranya kerangka Sandiwijoyo (anggota DPR), Dul Asror (Camat Tempel), Ibnu Santoro (dosen UGM), Marlan (Direktur Waspada), Muhadi, dan Harsono Siswo Sumarto. Mereka ini adalah tahanan tanpa proses pengadilan dari penjara Yogyakarta. Pada 26 Februari 1966 mereka dikirim ke Wonosobo dan dieksekusi pada 3 Maret 1966. Jenazah itu ada yang dikenali melalui cincin kawin yang ditemukan saat penggalian. Cincin itu bertuliskan nama “Sudjijem, 20/6/1965”.<br /><br />Pramoedya Ananta Toer (dalam Rambadeta, 2002) mengatakan bahwa di Kabupaten Blora ada 5.000 orang pendukung Soekarno yang dibunuh. Pendukung Soekarno itu ada yang berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan komunis. “Itu baru satu kabupaten. Belum yang lainnya,” kata Pram.<br /><br />Belum lama ini, tepatnya pada 17 November 2009, diadakan diskusi buku <em>Lobakan: Kesenyapan Gemuruh Bali ’65</em> di GoetheHouse, Jakarta. Dalam diskusi tersebut, Dharma Santika Putra mengatakan bahwa cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku <em>Lobakan</em> itu sebagai karya sastra yang gagal. Alasannya karena “beratnya beban yang harus dipikulnya di dalam merebut lembar-lembar sejarah kemanusiaan di Indonesia bahkan mungkin juga dunia” (Putra, 2009).<br /><br />Saya menilai pernyataan Dharma Santika itu sebagai sebuah pernyataan yang arogan dan gegabah. Apa dasarnya mengatakan cerpen-cerpen yang menyuarakan peristiwa pembantaian massal di Bali pada 1965 itu sebagai karya yang gagal? Adakah karya sastra yang gagal? Bukankah W. Sikorsky (1970) memberi makna baru pada karya-karya Ronggowarsito, Padmosusastro, Muhammad Musa, dan Willem Iskandar tanpa memposisikannya sebagai karya yang gagal? Bukankah Agung Dwi Hartanto (2008) menempatkan Marco Kartodikromo ke tempat terhormat dalam sejarah sastra Indonesia meskipun kolonial Belanda menghinanya sebagai “bacaan liar”? Bukankah filolog-filolog juga memberikan makna baru pada naskah-naskah lama? Kenapa Dharma Santika mengatakan karya sastra itu gagal?<br /><br />Tampaknya Dharma Santika menggunakan kacamata kuda dalam mengapresiasi karya sastra. Ia tidak berusaha mengaitkan karya itu dengan konteksnya, sehingga muncul penilaian semacam itu. Saya menduga bukan karya itu yang gagal, melainkan Dharma Santika yang gagal menafsirkan cerpen-cerpen yang ditulis Martin Aleida, Putu Oka Sukanta, Putu Fajar Arcana, Putu Satria Kusuma, Sunaryono Basuki K.S., Gde Aryantha Soethama, T. Iskandar A.S., Soeprijadi Tomodihardjo, Fati Soewandi, Ni Komang Ariani, Kadek Sonia Piscayanti, Dyah Merta, May Swan, dan Happy Salma dalam buku <em>Lobakan</em> itu.<br /><br />Dari sini saya menyimpulkan bahwa untuk memahami karya-karya para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan baik, kita harus mengerti dan memahami sejarah dengan baik pula. Begitu juga kalau kita hendak mengapresiasi karya sastra yang berlatar 1965-1966, maka sejatinya kita juga mengerti betul apa yang terjadi pada tahun-tahun itu. Tanpa mengerti dan memahami sejarah, bisa jadi kita gagal menafsirkan karya sastra yang berlatar sejarah sebagaimana yang dialami Dharma Santika.<br /><br />Di atas telah saya singgung korban tragedi 1965-1966 yang mati. Bagaimana dengan korban yang masih hidup? Sulami, cerpenis yang juga Sekjen DPP Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang ditahan selama 20 tahun, masih memiliki rasa dendam hingga meninggal terhadap Rezim Soeharto. Penyair Sutikno Wirawan Sigit, yang juga Redaktur Majalah <em>Zaman Baru </em>mengekspresikan pikiran dan perasaannya dalam buku puisi <em>Nyanyian dalam Kelam</em> selama ia dipenjara 10 tahun di Penjara Salemba, Penjara Tangerang, dan Pulau Buru. Sangat banyak yang bernasib sama seperti Sulami dan Sutikno itu.<br /><br />Dalam film dokumenter <em>Seni Ditating Jaman</em> karya kolaboratif Putu Oka Sukanta, Lilik Munafidah, dan Hendro Sutono (2008), misalnya, ditampilkan dalang Ki Tristuti Rahmadi yang ditahan di Pulau Buru. Menurut Ki Tristuti Rahmadi, selama di Pulau Buru, ia benar-benar merasakan ganasnya hutan di sana. Ia pun menulis beberapa suluk untuk para dalang, termasuk untuk Ki Anom Suroto. Suluk karya Tristuti itu terasa lebih berjiwa karena yang ditulisnya adalah sesuatu yang benar-benar dialaminya, bukan semata-mata dari lamunan.<br />Kemahiran mendalang Tristuti ini tercium pula oleh aparat keamanan di Pulau Buru. Lalu, ia diminta mendalang oleh petugas karena banyak tahanan Pulau Buru yang mati bunuh diri. Menurut Tristuti, sejak ia mendalang secara rutin di Buru, angka kematian akibat bunuh diri menurun (Sukanta, 2008). Terbaca bahwa wayang sebagai karya seni berfungsi sebagai sarana katarsis ataupun sekadar menjadi eskapisme bagi para tahanan.<br /><br />Bagi penyair Sutikno W.S. puisi tidak saja berfungsi sebagai media katarsis, tapi juga merekam situasi zaman. Ia yang dipenjarakan oleh Rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan sejak 1969 mulai menulis puisi di dalam penjara Salemba pada 1970, di penjara Tangerang pada 1972, dan di Pulau Buru sejak 1973 hingga ia dibebaskan pada 1979. Puisi-puisinya bertarikh 1970-an, masa-masa ia berada dalam penjara, yang terkadang luas langit hanya selebar luas jendela. Mungkin Michel Foucault benar saat ia mengatakan bahwa mengarang itu merupakan upaya untuk menghindari kematian, sebagaimana cerita Seribu Satu Malam yang ditafsirkannya (Heraty, 2000).<br /><br />Dalam puisi “Nyanyian dalam Kelam”, penyair memposisikan dirinya sebagai orang yang mengamati adanya penindasan. Ia sangat sadar bahwa dirinya termasuk orang-orang yang ditindas, tapi ia sama sekali tidak ingin ditangisi. Bahkan tak ingin dikasihani. Kalaupun harus ada yang ditangisi, maka bumi inilah yang perlu ditangisi, karena bumi merasakan luka dan duka sesama manusia. Bumilah yang menampung setiap tetes darah yang tumpah. Saya melihat Sutikno berhasil mengendapkan peristiwa yang menempatkannya sebagai korban Rezim Orde Baru dengan baik, dan menuangkannya ke dalam puisi dengan diksi yang terjaga dengan baik pula, serta dituturkan secara bersahaja. Ini merupakan kelebihan Sutikno. Ia bisa mendaraskan luka dalam puisi “Nyanyian dalam Kelam” dengan apik.<br /><br /><strong>Nyanyian dalam Kelam<br /></strong><br />tangisilah bumi ini yang letih dan sengsara<br />merunduk dalam lecutan siksa dan kesakitan<br />tangisilah kehidupan ini di mana kuncup-kuncupnya<br />layu diserap mainan kepalsuan<br />tetapi jangan kami<br /><br />orang-orang yang tersisih namun tidak kehilangan hati<br />untuk mencinta dan mensenyumi dunia<br />dan bukan kami<br />anak-anak yang melata di luar sayap induknya<br />berkubang di tengah musim<br />mereguk pengap udara<br />dalam keramahan lagu dan tutur kata<br /><br />tangisilah kebodohan ini yang sudah<br />memenjarakan kebenaran<br />mengepung manusia dalam kecongakan tirani<br />ya, tangisilah segalanya yang durjana ini demi semua yang akan dilahirkan<br /><br />dari bayangan kabut dan kandungan kemelut<br />tetapi jangan kami, o bukan<br />orang-orang dengan sepotong langit di balik jendela<br />melihat dunia dalam pelukan kemesraan<br /><br />tangisilah bumi dan kehidupan ini yang tersedan<br />dalam kerentanannya<br />menahan pedihnya cemeti dendam dan kedengkian<br />ya, tangisilah dunia ini yang tercabik dan merintih karena luka-lukanya<br /><br />tetapi bukan kami, o tidak<br />sebab apalah arti kesengsaraan apabila hati rela menggenggamnya<br />apalah arti perpisahan—dan kebisuan<br />pabila jantung pun berdebur jua dihangatkan nyala<br />alangkah banyak derita ini mencacati namamu<br />o zaman yang memikul sendiri beban anak-anaknya<br />bermula di kekelaman hari ketika langkah-langkah di<br />kancah pertarungan<br />serta menabur, wahai—bagi buminya benih yang akan<br />melahirkan hari depan<br />kebebasan terpilih di mana kodrat merdeka melindungi<br />anak-anaknya<br /><br />alangkah banyaknya kepiluan ini menjalin jejak kehidupanmu<br />tapi pun alangkah banyaknya kenangan membekas dalam<br />selubung kemarakanmu, o kasih yang unggul<br />yang mengabarkan pada dunia tentang kemuliaan<br />melagukan manusia serta mengangkat derajatnya<br />cinta tak terbagi kecuali bagi yang lapar dan terhina<br /><br />dan air mata pun biarlah tumpah bagi yang tak mengerti<br />namun memikul juga kesengsaraan ini<br />anak-anak yang kehilangan orang tua serta kekasih yang<br />dipunahkan harapannya<br />rumah-rumah yang diremas sunyi, kegelisahan yang<br />membludag seperti sampar<br />dan ketaktahuan—di mana kebenaran bermukim serta<br />mengembangkan sayap-sayapnya<br /><br />ya, dan baginya biarlah bumi pun menampung nestapa serta air mata duka<br />tembang rawan bagi yang tersisih dan disengsarakan<br />tetapi bukan kami, orang-orang yang terampas namun tak kehilangan daya<br />untuk menegakkan janji di atas segala kehilangan yang pahit<br />serta menciptakan<br />zaman yang marak dilambangi paduan nyanyi<br />nasi dan melati<br /><br />(1972—Salemba)<br /><br />Saya melihat penggunaan judul “Nyanyian” dalam puisi-puisi Sutikno mengandung makna tersendiri. Ia berupaya menghadapi semua peristiwa yang dihadapinya dengan tenang, dengan nyanyian. Upaya ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk untuk menghibur diri agar terlepas dari segala penderitaan. Lagu yang disuarakan memang lagu yang di dalamnya sarat akan luka-luka, penuh kepedihan, namun diam-diam sang pujangga menyusun kekuatan untuk tetap bertahan. Puisi atau karya sastra atau karya seni pada umumnya sejatinya memang memiliki dua fungsi, sebagaimana Horatius (dalam Teeuw, 2003) mengatakan <em>dulce et utile</em>. Pertama, menghibur pembaca atau audiensnya. Kedua, karya itu bermanfaat bagi masyarakat; karya tersebut memberi kekayaan intelektual maupun kekayaan spiritual kepada pembacanya. Puisi-puisi yang lahir dari penjara saya pikir setidaknya memberikan kekayaan spiritual kepada pembacanya. Karena, fakta dan kenyataan diungkapkan secara jujur oleh penyairnya. Dan kejujuran memberikan kontribusi yang sangat besar dalam keindahan sebuah puisi.<br /><br /><strong>Nyanyian Pandak<br /></strong><em>—untuk trisningku<br /></em><br />pabila pita merah<br />melambai di lekuk ikal rambutmu, nduk<br />jangan lupakan waktu<br />ketika kau tangisi kepergian bapakmu<br /><br />arif diasuh pengalaman<br />mari ditimba makna perpisahan<br />yang tahun demi tahun<br />seperti bajak yang bermain di lumpur waktu<br />merekatkan getah-getah rindu<br /><br />namun janganlah melarutkan waktu dengan menunggu<br />sebab jagung pun<br />akan berbunga di tiap ladang<br />dan manusia<br />menuai hidup dari pekertinya<br /><br />dan pabila nanti<br />merah mawar menghias warna langitmu, nakmas<br />sampirkanlah di sayap-sayap lagu<br />kasih dan kesetiaan yang tak terkalahkan<br />dinding penjara dan tanah buangan<br /><br />(1973—Buru)<br /><br />Gelap, kelam, senyap, malam, dan sejenisnya adalah kata-kata yang sering muncul dalam puisi-puisi yang lahir di penjara, sebagaimana puisi-puisi Sutikno W.S. Sebagai Redaktur Majalah <em>Zaman Baru</em>, saya pikir Sutikno sangat paham untuk apa sebuah karya sastra diciptakan. Pertanyaan ini juga muncul dari Ni Made Purnamasari dalam diskusi buku Lobakan di GoetheHouse, 17 November 2009. Bahkan Purnamasari menambahkan, apakah karya sastra bisa memberikan solusi untuk pembacanya agar bisa keluar dari kemelut atau keruwetan sejarah ini?<br /><br />Ya, untuk apa sebuah puisi diciptakan? Dalam konteks <em>Nyanyian dalam Kelam</em> ini, untuk apa Sutikno menciptakan puisi? Apakah puisi-puisi Sutikno bisa memberikan solusi atas persoalan hidup kekinian? Pertanyaan ini saya pikir menarik untuk dijawab. Kalau dilihat dari perspektif sang penyair, minimal ada dua alasan kenapa Sutikno menciptakan puisi. Pertama, penyair yang telah mengalami penderitaan akibat dipenjara selama 10 tahun tanpa pengadilan membutuhkan saluran untuk menuangkan uneg-unegnya, menyuarakan rasa ketidakadilan yang dialaminya, mengingat saluran resmi yang dibikin negara tidak mampu menyalurkan penderitaan warganya seperti itu. Kedua, ada yang hendak dibagi atau diberikan kepada pembaca. Kalau selama ini pemerintah Soeharto memberikan informasi secara sepihak kepada masyarakat, penyair melalui puisi-puisinya menyampaikan informasi lain terhadap kenyataan yang sama dengan perspektif yang berbeda. Puisi-puisi itu memberikan suara lain dalam membaca sejarah.<br /><br />Kalau dilihat dari perspektif pembaca, apa yang bisa didapat dari puisi-puisi Sutikno itu? Pertama, puisi-puisi Sutikno yang ditulis di dalam penjara pada kurun waktu 1970-an memberikan gambaran baru situasi saat itu dari perspektif sang penyair. Kedua, puisi-puisi Sutikno yang juga <em>survivor</em> ini memberikan kekayaan spiritual kepada pembacanya. Bagaimana seseorang bisa bertahan hidup dari penderitaan, ujian, cobaan yang demikian berat dan mampu melampauinya. Ketiga, puisi-puisi Sutikno enak dinikmati.<br /><br />Selanjutnya, apakah puisi-puisi Sutikno bisa memberikan solusi bagi pembaca atau masyarakat agar bisa keluar dari persoalan sejarah yang rumit? Secara langsung mungkin tidak. Tapi, secara tidak langsung, puisi-puisi Sutikno bisa memberikan pencerahan kepada pembacanya untuk lebih arif dalam melihat sejarahnya sendiri. Ini penting artinya bagi mereka yang telah direnggut nyawa dan kehormatannya serta penting bagi generasi sesudahnya. Saya sangat ingin mengetahui perasaan algojo-algojo Soeharto yang membunuh sedikitnya 500 ribu bangsanya sendiri pada 1965 itu. Apakah mereka juga merasa seperti Sarwo Edhie Wibowo sebagaimana dituturkan kembali oleh Ilham Aidit? Atau tidak punya perasaan?<br /><br /><strong>Nyanyian Malam<br /></strong><br />dan pelan kuketuk pintumu<br />ketika bintang surut<br />dan malam tidak lagi menyanyi<br /><br />o alangkah manis rasanya rumah<br />di mana terukir goresan-goresan lama<br />tentang engkau dan tentang anak-anak<br />tentang duniaku belum sudah<br /><br />dan apabila inilah harinya<br />ketika panen tiba dan dikau penuainya<br />apakah lebih indah dari suara-suara<br />yang menggempitakan langit<br />menggugurkan dinding kota?<br /><br />jawabnya adalah tiada<br />karena betapa ialah yang menyeruku<br />menjalinkan keharuman cinta<br />serta kesetiaan pada cita-cita<br /><br />dan<br />pabila pelan kuketuk pintumu<br />ketika bintang surut dan malam tidak lagi menyanyi<br />adalah ia segumpal damba<br />yang terbang ke sawang sunyi<br />mengetuk dinding langit<br /><br />dan gugur<br />dalam serpihan hati sendiri<br /><br />(1974—Buru)<br /><br />Puisi “Nyanyian Malam” memperlihatkan dengan jelas situasi yang terjadi di dalam dan di luar penjara. Jika pada 15 Januari 1974 kita bisa mengetahui adanya peristiwa huru-hara penolakan modal asing dari Jepang, yang dikenal dengan sebutan seperti nama penyakit, Malari 1974, maka nun jauh di Pulau Buru sana, ada seorang manusia yang terpenjara, yang tengah merindukan rumah dan segala kesentosaannya. Tapi, harapan itu tinggal harapan saja, “dan gugur dalam serpihan hati sendiri”.<br /><br />Puisi “Ode” yang juga ditulisnya pada 1974 menunjukkan kepenyairan seorang Sutikno W.S. Jujur saja, baru pertama kali ini saya menemukan nama penyair Sutikno W.S. Saya berusaha mencari nama penyair ini dalam beberapa buku sejarah sastra Indonesia, namun nama ini tidak muncul. Dalam biodatanya disebutkan bahwa penyair ini menjadi Redaktur Zaman Baru milik Lekra pada 1964, tapi saya tidak menemukan karya-karyanya pada tahun 1960-an. Dan, ketika Bilven Sandalista dari Penerbit Ultimus Bandung memberikan segepok puisi-puisi Sutikno W.S., saya baru sadar bahwa ternyata masih banyak sastrawan-sastrawan Lekra yang luar biasa.<br /><br />Dalam hal puisi-puisi Sutikno W.S. ini, pesan yang disampaikannya bukanlah semangat antiimperialisme Amerika sebagaimana yang terbaca dalam puisi-puisi 1960-an. Kenapa yang menjadi tema sentral saat itu antiimperialisme Amerika? Menurut catatan R. Kreutzer (dalam Setiawan, 2003) pada tahun 1948 saja perusahaan-perusahaan swasta Amerika sudah menambang nikel dan bijih besi di Sulawesi; industri pertambangannya di Bangka dan Belitung mengekspor timah dan seng; Rockefeller’s Standard Oil mengebor sekitar 500 ladang minyak mentah di Sumatera; Goodrich dan perkebunan-perkebunan karet raksasa lainnya masing-masing menguasai kurang lebih 100.000 hektare di Sumatera juga. Tapi, yang disuarakan Sutikno adalah suara sepi senyapnya penjara setelah ratusan ribu orang disembelih dan ratusan ribu lainnya, termasuk Sutikno, dipenjara dan diwajibkan <em>korve</em>. Banyak sejarawan yang menyebutkan bahwa Amerika berada di belakang pembunuhan massal yang dilakukan Soeharto dan algojo-algojo Orde Baru.<br /><br /><strong>Ode<br /></strong><br />apabila inilah hidupku<br />di mana sawang senyap dan bintang gemerlap<br />lebur dalam nestapa manusia<br />serta rimba kelam yang bernyanyi<br />luluh di desah engah napas-napas yang lelah<br />apabila lagi yang harus kukatakan<br />selain menabur cita-cita<br />meremajakan harapan<br /><br />sudah tertumpah di sini setumpuk angan<br />dan mereka yang hilang pun<br />sudah mencatat pada tapak-tapak tangannya<br />tentang hari-hari yang surut dan berlalu<br />serta langit senyap yang memayungi<br />keabadian cita-cita serta mimpi tunggal angkatannya<br /><br />sesungguhnya<br />hari-hari begini panjang<br />hari-hari begini pekat<br />tapi pun hari-hari betapa saratnya<br /><br />di mana setiap orang menghayati kelahiran baru<br />dalam pribadi<br />mereka yang kehabisan air mata tetapi bukan cinta<br />akan hidup yang tidak dipungkiri serta dunia yang dipilihnya<br /><br />namun adakah kesyahduan lebih syahdu dari nyanyian<br />yang mengembara di padang-padang kepapaan<br />dan mengapung seperti doa-doa kudus yang rawan?<br />ah seandainya ini mengentalkan persahabatan dan meramahkan tutur kata<br />di mana kelahiran demi kelahiran<br />ada dalam kehangatan jalinannya<br />dan apabila inilah hidupku<br /><br />o dengarlah anak-anak serta kekasih yang menanti<br />pabila inilah panggilan yang mesti kupenuhi<br />takkan lagi kuhitung tapak-tapak<br />juga tangan yang menggeletar lunglai<br />serta jantung yang mendeburkan rindu demi rindu<br />pada segalanya yang sirna seperti mainan cahaya yang<br />disapu senja<br />tidak, sebab betapa semuanya sudah bagaikan putik<br />yang mengorak di pangkal pagi<br />menyalamkan gairah puja bagi dunia<br /><br />sesungguhnya<br />inilah mawar dari segenap cintaku<br />yang setangkai demi setangkai<br />kusunting di penjuru negeriku<br />maka apabila inilah hidupku, sepenuhnya<br />jadilah ia hidup yang bukan menunggu waktu<br />tapi adalah jalinan suara<br />dan mainan warna<br />yang lebur dalam titian cita-cita<br /><br />dan engkau yang menyertaiku dalam rindu<br />bukalah hati dan jangan lagi ditangisi, o anak-anak dan kekasih yang menanti<br />sebab bintang pun belum anti di tengah tasik hidupku ini<br /><br />(1974—Buru)<br /><br />Saya merasa nikmat membaca puisi-puisi Sutikno W.S. ini. Dalam arti, apa yang dicita-citakan Lekra melalui Mukaddimah Lekra, yakni tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tampak jelas hadir dalam puisi-puisi Sutikno W.S.***<br /><br /><strong><em>Citayam, 21 November 2009<br /></em></strong><br /><br /><strong>Acuan<br /></strong>Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. <em>Di Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata.</em> Yogyakarta: Buku Baik.<br />Heraty, Toeti (ed.). 2000. <em>Hidup Matinya Sang Pengarang</em>. Jakarta: Buku Obor.<br />Merta, Dyah et.al. 2009. <em>Lobakan: Kesenyapan Gemuruh Bali ’65</em>. Depok: Koekoesan dan LKK.<br />Purnamasari, Ni Made. 2009. “Lobakan untuk Fakta dan Fiksi Sejarah”. Makalah diskusi buku <em>Lobakan</em> di GoetheHouse, Jakarta, 17 November 2009.<br />Putra, Dharma Santika. 2009. “Luka Peradaban yang Dipelihara”. Makalah diskusi buku <em>Lobakan</em> di GoetheHouse, Jakarta, 17 November 2009.<br />Rambadeta, Lexy Junior. 2002. Mass Grave. Film dokumenter. Jakarta: Offstream.<br />Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism”. Monografi. Belum diterbitkan.<br />Setiawan, Hersri. 2003. <em>Negara Madiun?: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan</em>. Jakarta: FuSPAD.<br />Sikorsky, W. 1970. <em>Tentang Sejarah Pembentukan Kesusastraan Indonesia Modern.</em> Terj. Koesalah Subagyo Toer. Moskow.<br />Sukanta, Putu Oka, Lilik Munafidah, dan Hendro Sutono. 2008. <em>Seni Ditating Jaman</em>. Film dokumenter. Jakarta: LKK.<br />Teeuw, A. 2003. <em>Sastera dan Ilmu Sastera</em>. Jakarta: Pustaka Jaya.<br />Wiranegara, I.G.P. 2006. <em>Menyemai Terang dalam Kelam</em>. Film dokumenter. Jakarta: Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.</div>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-10879468918485723402009-11-15T06:42:00.001-08:002009-11-15T06:51:18.795-08:00Usai Pembantaian Massal Itu...<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SwATfr_9jfI/AAAAAAAAANs/jc26-IvuEE4/s1600-h/pulau+buru.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5404340987952467442" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 226px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SwATfr_9jfI/AAAAAAAAANs/jc26-IvuEE4/s320/pulau+buru.jpg" border="0" /></a><br /><br />Pengantar Buku <em>Puisi-puisi dari Penjara</em> S. Anantaguna<br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /><em>Kepahitan bila berlalu<br />Jadi lagu sangat merdu<br /></em>(“Sisi yang Cerah”)<br /><br /> Pada mulanya adalah ketidakadilan. Sehari setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah pengamanan, dan bukannya <em>transfer of authority</em>, Soeharto mengeluarkan surat keputusan No. 1/3/1966 yang berisi: 1) membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazaz/berlindung/bernaung di bawahnya. 2) menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuatan negara Republik Indonesia (Adam, 2009; Samsudin, 2005).<br /><br /> Menindaklanjuti surat keputusan itu, pada 5 Juli 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang diketuai A.H. Nasution mengeluarkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan, mengembangkan faham, atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme (Samsudin, 2005).<br /><br /> Apa implikasinya? Negara berusaha mencuci-tangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan algojo-algojonya dalam massacre yang terjadi pascaperistiwa G30S 1965. Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Sebelum PKI dilarang, banyak anggotanya yang dibunuh, ditangkap, disiksa, ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.<br /><br />Soal jumlah yang pasti mengenai korban yang mati memang belum jelas, karena negara sendiri mencoba menyembunyikan peristiwa berdarah ini dalam kolong sejarah bangsa Indonesia. Tapi, sebagaimana Robert Cribb, Ricklefs (2005) juga menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI yang dibunuh sedikitnya 500.000 orang. Harian <em>Kompas</em>, 13 Agustus 2001 menyebutkan korban yang meninggal dalam pembunuhan massal 1965-1966 hingga satu juta jiwa. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memimpin pembantaian massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu bahkan mengklaim telah membunuh tiga juta orang komunis (Ricklefs, 2005; Aleida, 2009).<br /><br /> Selain itu terjadi penangkapan disertai penyiksaan dan penahanan terhadap orang-orang PKI yang semuanya tanpa proses pengadilan. Harus dicatat di sini bahwa penangkapan, penyiksaan, dan penahanan itu tidak melalui proses pengadilan. Ricklefs (2005) menyatakan sedikitnya ada 100.000 orang yang diperlakukan secara aniaya seperti itu. <em>Kompas</em> menyebutkan ada 700.000 orang yang dizalimi. Mereka memenuhi penjara-penjara yang ada di Jawa dan sebagian dibuang ke Pulau Buru.<br /><br /> Terkait dengan hal itu, perempuan-perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) justru mengalami penderitaan yang berlipat-lipat. Mereka tidak saja ditangkap dan ditahan, tetapi juga diperkosa berkali-kali di dalam penjara. Testimoni yang mereka berikan terekam dengan baik dalam buku <em>Suara Perempuan Korban Tragedi 65</em> karya Ita F. Nadia (2008).<br /><br /> Melihat peristiwa ini, Amerika hanya menutup mata. Bahkan mereka merasa gembira karena Soeharto telah berhasil menyingkirkan kekuatan sayap kiri di Indonesia. John Roosa menulis, “Washington sangat gembira ketika tentara Soeharto mengalahkan G30S dan merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Soekarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Soeharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya” (Roosa, 2008).<br /><br /> Sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI mengalami nasib sial. Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, dan S. Anantaguna—untuk menyebut beberapa nama saja—mengalami penganiayaan oleh Rezim Orde Baru. Sebagai anggota Lekra, Putu Oka Sukanta dipenjara Rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili (Sukanta, 2008). S. Anantaguna sendiri mendekam di penjara selama 13 tahun (1965-1978) juga tanpa diadili dan tidak tahu kesalahannya apa.<br /><br />Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam esainya, “Saya Bukan Nelson Mandela”, bahwa ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dengan membawa selembar kertas yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam G30S. Namun, tidak ada proses hukum untuk merehabilitasi namanya. Negara tidak merehabilitasi dan tidak memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, yang telah mengalami penganiayaan selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan itu. Khusus untuk sastrawan Lekra, mereka tidak saja ditahan, melainkan buku-buku mereka juga dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian adalah karya-karya mereka lenyap dari buku sejarah sastra Indonesia (Sambodja, 2009). Mereka adalah orang-orang yang dizalimi bahkan sampai saat ini, karena Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 itu belum dicabut.<br /><br /> Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer sebagai simbol korban pembantaian massal yang pernah dilakukan negara terhadap rakyatnya sendiri (<em>Kompas</em>, 15 Maret 2000). Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah <em>Tempo</em> yang juga sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), menyayangkan sikap Pramoedya Ananta Toer yang tidak meniru sikap Nelson Mandela yang melakukan rekonsiliasi dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang pernah menindas Mandela (Mohamad, 2004). Menurut Pramoedya Ananta Toer, permintaan maaf Gus Dur itu hanya basa-basi, karena permintaan maaf itu tidak disertai dengan ketetapan MPR/DPR. Sekarang kita pertanyakan kembali: bisakah anggota DPR dan MPR yang sekarang ramai dengan artis-artis sinetron dan pelawak-pelawak itu bisa mewujudkan penegakan hukum di negeri ini—di tengah genggaman dan kekangan mafioso peradilan? Apakah mereka punya hati nurani? Apakah mereka punya nyali?<br /><br /> Puisi-puisi Sabar Anantaguna atau yang lebih dikenal dengan S. Anantaguna ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi Rezim Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh darah rakyatnya sendiri. Yang dihasilkan Anantaguna sungguh luar biasa; suara yang dikeluarkannya seperti suara nabi. Mungkin ini terdengar agak berlebihan. Tapi, kalau melihat penganiayaan yang dilakukan Rezim Soeharto kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, maka yang mereka alami itu lebih memiriskan hati. Dalam pembicaraan dengan mantan-mantan tahanan politik (tapol) yang tergabung dalam Lembaga Pembelaan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), seorang di antaranya mengatakan bahwa penyiksaan yang mereka alami lebih sadis dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Nabi Isa. Benarkah? <em>Wallahualam bissawab</em>. Tapi, kalau membaca puisi-puisi S. Anantaguna, kehidupan mereka di dalam penjara Orde Baru itu sebenarnya sudah berada di ujung tubir antara hidup dan mati.<br /><br /><strong>Yang Diburu Juga Memburu<br /></strong><br /><em>Mimpi yang ditimang<br />malam dengan bintang<br />Mimpi yang diemban<br />malam pesta bulan<br />mengadu rindu<br /><br />Hati digoncang banting antara hidup dan mati<br />diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati<br /><br />Mimpi yang diayun<br />angin bau embun<br />Mimpi sesah<br />angin dari lembah<br />menambah indah<br /><br />Di bumi sepi diburu hidup dan mati<br />menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi<br /></em><br /><br /> Puisi “Yang Diburu Juga Memburu” menggambarkan betapa batas antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang manusia merasa diburu kematian sebagaimana Chairil Anwar mengatakan dalam puisi-puisi akhirnya, “hidup hanya menunda kekalahan” (Anwar, 1990). Tapi, terkadang pula manusia memburu kematian itu jika berada dalam titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian indah jika harga diri sebagai manusia telanjur disampahkan. Di sisi lain, orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian yang maha berat itu akan merasai makna kehidupan itu sendiri.<br /><br /><strong>Kepedasan Hidup<br /></strong><br /><em>Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah<br />biar pohonnya tidak cepat mati<br />bila hati matang, dik, petiklah<br />seperti kecapi<br />Biar hidup tidak kehilangan arti<br /><br />Meski megap-megap hidup diarungi<br />Mengapa berjawab mati<br />Dari ujung kembali ke pangkal<br />kita kejar soal<br />memecahkan soal melahirkan soal<br /><br />Betapa hati berdegup<br />merebut kualitas hidup<br />Awan tidak peduli<br />kita hidup atau mati<br /><br />Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah<br />biar pohonnya tidak cepat mati<br />Bila hati mematang, dik, petiklah<br />seperti kecapi<br />Tanpa persoalan hidup ini sudah mati!<br /></em><br /> S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidup ini. Melalui puisi “Kepedasan Hidup”, Anantaguna ingin mengatakan dua hal. Pertama, ia yang telah menjalani sebagai tahanan selama 13 tahun tanpa proses hukum, mengerti benar kerasnya atau pedasnya kehidupan. Kedua, pedasnya hidup itu menjadi pengalaman sekaligus pelajaran yang sangat berharga. Kalau hal itu dianggap sebagai persoalan, maka persoalan itu harus ditaklukkan. Dan sejatinya kehidupan tanpa ada persoalan seperti hampa saja, sebagaimana dikatakan penyair, bahkan tak beda dengan kematian itu sendiri. Puisi “Sisi yang Cerah” yang saya kutip di atas, yang saya ibaratkan seperti suara nabi, menegaskan pada pembaca bahwa keberhasilan kita melalui segala rintangan, penderitaan, kepahitan, maka yang dirasakan kemudian adalah keindahan. Anantaguna menuliskannya dengan sangat indah: “Kepahitan bila berlalu, jadi lagu sangat merdu”.<br /><br /> Kini, setelah melalui masa-masa sulit itu, Anantaguna merefleksikan peristiwa yang membuatnya berada di titik nadir itu dengan bersahaja. Kebersahajaan itu terbaca dari puisi-puisinya yang menertawakan keadaan, menertawakan kehidupan, bahkan menertawakan diri sendiri. Anantaguna sudah memasuki tahap yang sangat matang, sehingga dengan mudahnya ia memetik buah pengalamannya itu. Puisi-puisi yang lahir dari tangannya adalah puisi-puisi yang bergizi.<br /><br /><strong>Interogasi<br /></strong><br /><em>Siapa namamu<br />namaku cinta<br /><br />Di mana rumahmu<br />di hati manusia<br /><br />Apa pekerjaanmu<br />memperindah dunia<br /><br />Apa duniamu<br />kamar tiga kali dua<br />kalau sakit tidak diperiksa<br />tidak sakit malah diperiksa<br /><br />Siapa temanmu<br />tak tahu<br /><br />Harus tahu!<br />baiklah kalau harus menipu<br /><br />Siapa menipu!<br />boleh jabat tangan seri satu-satu<br /></em><br /><br /> Luar biasa! Saya menempatkan sastrawan-sastrawan Lekra ke tempat yang terhormat kembali. Dalam pandangan saya, posisi mereka sebagai sastrawan senantiasa berada di tengah-tengah rakyatnya. Ada kewajiban bagi sastrawan Lekra untuk benar-benar menyelami dan menghayati penderitaan masyarakat yang ada di lingkungannya dan kemudian mereka mengartikulasikan apa yang dirasakan rakyat melalui karya-karyanya. Di sinilah saya melihat para sastrawan berjasa dalam hal memperkaya kebudayaan bangsanya. Mereka turut serta membangun monumen peradaban bangsa.<br /><br /> Penyair-penyair salon tidak akan menghasilkan karya seperti itu, karena mereka tidak mau “turba”, tidak mau berkeringat dan kerja keras menyuarakan kebenaran hakiki yang bersemayam dalam jiwa dan hati orang-orang kecil. Bukankah Tuhan sendiri berada dalam diri orang miskin, lemah, duafa? Sebagaimana hadits nabi Muhammad, “Carilah Aku di tengah-tengah kaum duafa. Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang duafa?” (Rakhmat, 1991).<br /><br /> Sungguh mengherankan bagi saya bagaimana Taufiq Ismail melalui buku <em>Prahara Budaya</em> menyudutkan sastrawan-sastrawan Lekra untuk lebih terperosok lagi. Dalam buku yang disuntingnya bersama D.S. Moeljanto itu, Taufiq Ismail berupaya keras menaut-nautkan karya para sastrawan Lekra dengan peristiwa G30S. Ini, misalnya, tampak ketika ia menginterpretasi puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” dan esai Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” (Moeljanto, 1995). Padahal, kalau kita kaji dua tulisan itu dengan hati bersih, maka tidak ada sama sekali kata atau kalimat atau simbol dalam karya mereka yang mengarah ke peristiwa berdarah itu (Sambodja, 2009).<br /><br /> Saya pikir aneh kalau Taufiq Ismail berasumsi atau malah menuduh sastrawan-sastrawan Lekra itu terlibat dalam G30S. Apa bukti mereka terlibat dalam peristiwa itu? Apa pula bukti perempuan-perempuan Gerwani terlibat dalam penculikan dan pembunuhan itu? Bukankah perempuan-perempuan itu ditelanjangi secara paksa oleh tentara, dan bukannya menari telanjang sebagaimana yang dimitoskan selama ini? (Roosa, 2008; Nadia, 2008; Poesponegoro, 1984). Apa pula bukti keterlibatan ratusan ribu anggota PKI yang dibunuh tentara dan milisi antikomunis dalam peristiwa itu? Siapa sebenarnya Letkol Untung Samsuri dan Kolonel Abdul Latief itu? Bukankah mereka teman dekat Soeharto sendiri? (Adam, 2009).<br /><br /> Tentu saja kita bersyukur atas terbitnya buku-buku sejarah yang memberikan perspektif yang baru seperti itu; tidak melulu dari kacamata penguasa. Kita juga bersyukur atas terbitnya buku <em>Lekra Tak Membakar Buku</em> yang memberikan gambaran mengenai sastrawan dan seniman Lekra secara proporsional sebagai komplemen terhadap buku Prahara Budaya. Demikian juga dengan terbitnya buku <em>Gugur Merah</em> dan <em>Laporan dari Bawah</em> yang sedikit banyak menyelamatkan aset budaya bangsa yang selama ini diberangus Rezim Orde Baru (Yuliantri, 2008).<br /><br /> Lahirnya Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna ini menjadi bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagai penyair, Anantaguna tidak perlu lagi berpura-pura menyuarakan penderitaan orang lain, karena pengalaman yang dialami Anantaguna merupakan ujian yang maha berat, sebagaimana tokoh-tokoh besar yang keluar dari kawah candradimuka. Maka, apa yang dituturkan Anantaguna adalah suara-suara yang di dalamnya terpancar kasih Ilahi. Saya kutip sebuah puisi Anantaguna untuk mengakhiri pengantar ini.<br /><br /><strong>Catatan<br /></strong><br /><em>Menghidupi hidup<br />menghayati hati<br /><br />Angin merunduk<br />memeluk bumi<br /><br />Kecup hidup<br />sampai mati<br /></em><br /><br /><strong><em>Citayam, 15 November 2009<br /></em></strong><br /><br /><strong>Acuan<br /></strong>Adam, Asvi Warman. 2009. <em>Membongkar Manipulasi Sejarah</em>. Jakarta: Kompas.<br />Aleida, Martin. 2009. <em>Mati Baik-baik, Kawan.</em> Yogyakarta: Akar Indonesia.<br />Anwar, Chairil. 1990. <em>Aku Ini Binatang Jalang</em>. Jakarta: Gramedia.<br />Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. <em>Di<br /> Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata</em>. Yogyakarta: Buku Baik.<br />Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). <em>Prahara Budaya.</em> Bandung: Mizan.<br />Mohamad, Goenawan. 2004. <em>Setelah Revolusi Tak Ada Lagi</em>. Jakarta: Alvabet.<br />Nadia, Ita F. 2008. <em>Suara Perempuan Korban Tragedi 65</em>. Yogyakarta: Galang Press.<br />Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. <em>Sejarah Nasional<br /> Indonesia VI</em>. Jakarta: Balai Pustaka.<br />Rakhmat, Jalaluddin. 1991. <em>Islam Alternatif</em>. Bandung: Mizan.<br />Ricklefs, M.C. 2005. <em>Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.</em> Jakarta: Serambi.<br />Roosa, John. 2008. <em>Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta<br /> Suharto.</em> Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.<br />Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis<br /> Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism.” Monografi. Belum diterbitkan.<br />Samsudin. 2005. <em>Mengapa G30S/PKI Gagal?</em>. Jakarta: Buku Obor.<br />Sukanta, Putu Oka. 2008. <em>Surat Bunga dari Ubud</em>. Depok: Koekoesan.<br />Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. <em>Lekra Tak Membakar Buku</em>.<br /> Yogyakarta: Merakesumba.Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-57407008484278715452009-11-11T07:55:00.000-08:002009-11-11T08:00:19.978-08:00Hersri Setiawan dan Memoar Pulau Buru<a href="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svrel8vbMwI/AAAAAAAAANk/X6j8AOX2ZuE/s1600-h/hersri+setiawan+dkk.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5402875446525899522" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 238px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svrel8vbMwI/AAAAAAAAANk/X6j8AOX2ZuE/s320/hersri+setiawan+dkk.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Hersri Setiawan adalah mantan Ketua Lekra Jawa Tengah. Selain menulis cerpen dengan nama pena Setiawan H.S., ia lebih banyak menulis memoar dan menerjemahkan buku-buku penting di bidang sastra dan budaya. Buku <em>Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan</em> yang ditulisnya berdasarkan wawancara dengan tokoh kunci Peristiwa Madiun, Soemarsono, memperlihatkan kemampuannya untuk membaca sejarah seobjektif mungkin, meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.<br /><br /> Dalam buku tersebut, Hersri Setiawan (2003) melihat peristiwa Madiun 19 September 1948 dari perspektif yang lain. Bukan dari perspektif pemerintah Soekarno-Hatta-Sukiman-Nasution, melainkan dari perspektif Soemarsono-Amir Sjarifuddin-Musso. Dari perspektif ini, jelas bahwa Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berbasis massa di Madiun menolak diposisikan sebagai pemberontak yang hendak merebut atau menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta.<br /><br /> Menurut pengakuan Soemarsono, pasukan Laskar Rakyat yang melucuti senjata aparat keamanan di Madiun adalah bentuk penolakan terhadap kebijakan Kabinet Hatta yang akan melakukan reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di dalam tubuh Angkatan Perang. Selain itu, Laskar Rakyat melucuti senjata polisi dan tentara di Madiun karena tidak menginginkan peristiwan penculikan terhadap pimpinan FDR dan Laskar Rakyat sebagaimana yang terjadi pada Akhmad Yadau, perwira berhaluan kiri, di Solo pada 7 September 1948.<br /><br /> Setiawan (2003) menjelaskan bahwa Peristiwa Madiun tidak direncanakan untuk menggulingkan pemerintahan Hatta-Sukiman. Peristiwa itu telah terjadi semata-mata bertolak dari langkah untuk mencegah pelaksanaan Program Re-Ra, dan menghentikan ofensif reaksioner pemerintah, Nasution-Siliwangi, dan Masyumi-Murba. Sementara Soemarsono menilai Peristiwa Madiun sengaja diplot atau direkayasa pemerintahan Hatta-Sukiman untuk melenyapkan Sayap Kiri dari kancah politik.<br /><br /> Kecurigaan adanya persekongkolan itu terbaca dalam siding Dewan Siasat Militer pada 8 Mei 1948. Dalam sidang yang dihadiri Soedirman itu, Hatta mengatakan, “Beda dengan Amerika di Filipina, kami yakin Belanda tidak akan mampu menjamin keamanan kita. Maka jika Amerika mengingini pangkalan militer, kita akan penuhi keinginan mereka itu, tapi dengan syarat mereka harus memasok senjata pada kita.” (Setiawan, 2003). Yang menjadi pertanyaan Sayap Kiri, senjata itu untuk menembaki siapa?<br /><br /> Menurut Arief Budiman (dalam Setiawan, 2003), sebenarnya Bung Karno sudah mengirim utusan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Madiun. Utusan yang dikirim pada waktu itu adalah Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden RI (1966-1998). Soeharto datang dan bertemu Soemarsono, yang kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Tampaknya Soeharto, menurut kesan Soemarsono, bisa diyakinkan bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah usaha pemberontakan. Katanya itulah yang akan dilaporkan Soeharto kepada pemerintah pusat. Akan tetapi, pemerintah pusat kenyataannya kemudian mengirim TNI untuk menumpas “pemberontakan” tersebut. Dari cerita ini, Soemarsono bisa jadi merasa curiga bahwa Soeharto telah memutar-balikkan fakta untuk memuaskan orang-orang yang tidak senang terhadap unsur kiri dalam Revolusi Indonesia, atau dia sendiri memang bagian dari komplotan ini (Setiawan, 2003: x-xi).<br /><br /> Dengan perspektif seperti itulah Hersri Setiawan (2004) menulis <em>Memoar Pulau Buru</em>. Dalam buku setebal 584 halaman ini dimuat kisah-kisah keseharian para tahanan politik (tapol) di Pulau Buru. Dari sekian banyak kisah yang disuguhkan Hersri dalam buku itu, ada satu kisah yang membuat trenyuh pembaca, yakni tentang Supardjo P.A., seorang tapol yang sering “ditanggap” oleh sesama rekan tapol karena Supardjo sering memelesetkan lagu-lagu biasa menjadi lagu yang bermuatan politis. Ketika ditanya kepanjangan huruf PA yang di belakang namanya, Supardjo menjawab, “Purworejo Asli alias Pikiran Abnormal”.<br /><br /> Kisah Supardjo ini memperlihatkan bahwa tidak semua tapol bisa tahan dengan siksaan yang mereka alami dan jalani sebagai tapol. Saya tidak tahu persis kenapa Supardjo menamakan dirinya sebagai “Supardjo Pikiran Abnormal”. Yang jelas, dia justru “ditanggap” oleh rekan-rekannya yang lain untuk menghibur mereka.<br /> Ketika ditanya temannya, “Siapa sih nama lu, Jo?”<br /> “Inilah aku Jenderal Supardjo! Yang sanggup membunuh tujuh jenderal dalam satu malam,” jawab Supardjo.<br /> Tentu saja itu jawaban yang asal bunyi saja. Sebab, faktanya, pada bulan Januari 1967, perwira militer tertinggi yang terlibat dalam usaha kudeta, Brigjen Supardjo, ditemukan. Dan, pada Maret 1967, ia divonis mati (Ricklefs, 2005).<br /><br /> Supardjo P.A. memang akhirnya dibebaskan pada 1978. Kepergian Pardjo ini meninggalkan kesan bagi teman-temannya sesame tapol, termasuk Hersri Setiawan. Hersri yang sempat mengantar kepergian Pardjo kemudian membuat catatan kecil berbentuk puisi di beberapa lembar kertas sigaret.<br /><br /><strong>Apel Bendera<br /></strong><em>kepada Supardjo P.A.<br /></em> <br />digiring kami dalam barisan<br />dari barak-barak menuju lapangan<br />kemudin datang inspektur upacara<br />bagaikan dewa turun dari suralaya<br />lalu terdengar seru<br />“hormat senjataaa grak!”<br /><br />diiringi sembah sang komandan<br />selembar kain merah dan putih<br />merayap lesu setinggi tiang kayu bakau<br />lalu terdengar seru<br />“tegap senjataaa grak!”<br /><br />maka beterbanganlah<br />burung-burung cocakrawa dan kelelawar<br />dan langit pun jadi keruh<br />oleh riuh hura-hura suara<br /><br />pancasila!<br />satu: ketuhanan yang berbintang<br />dua: kemanusiaan yang dirante<br />tiga: persatuan di bawah pohon beringin<br />empat: kerakyatan yang dipimpin oleh kerbo<br />lima: keadilan sosial di kuburan....<br /><br />barisan budak-budak digiring<br />memikul perintah masing-masing<br />menuju lapangan kerja<br />menuju gelanggang penyiksaan<br /><br /><br /> Dalam memoar Hersri Setiawan (2004) dijelaskan bahwa setiap tapol di Pulau Buru tidak hanya harus hafal bunyi Pancasila seperti burung beo, bunyi setiap sila-silanya kata demi kata. Tapi, tapol juga harus hafal bagaimana masing-masing sila itu dilukiskan sebagai lambang di dada garuda yang mencengkeram semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu. Ini tidak mudah bagi ingatan tapol yang setiap hari makan singkong bergaram dan minum air putih. Tapi, Pardjo telah mengkombinasikan bunyi setiap sila dengan gambar bagaimana sila itu dilambangkan. Lalu hafalan kata-kata masing-masing sila itu pun diubahnya sesuai dengan bagaimana lambang itu dilukiskan. Hasilnya sebagaimana yang tercakup dalam puisi di atas.<br /><br /> Yang menarik adalah interpretasi yang diberikan Hersri Setiawan terhadap bunyi Pancasila versi Supardjo P.A. itu. Untuk mengerti kata-kata Pancasila hafalan Pardjo P.A. di atas, sambil membaca bunyi kata-katanya kita harus melihat lima gambar lambang-lambang yang terlukis pada Garuda Pancasila, sementara itu juga berangan-angan tentang hubungan antara makna kata-kata dalam kombinasi dengan lambangnya masing-masing.<br /><br />Misalnya, sila pertama yang seharusnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah menjadi “Ketuhanan yang berbintang”—yang merujuk ke kekuasaan militer. Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” diubah menjadi “Kemanusiaan yang dirantai”—karena di mata para tapol, HAM memang ditindas, dan barangsiapa yang bersuara lain akan dirantai bahkan dipetrus. Ketiga, “Persatuan Indonesia” diubah menjadi “Persatuan di bawah pohon beringin”—karena di masa Orde Baru, parpol hanya tiga, dan partai beringin adalah partai pemerintah. Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” diubah menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh kerbo”—karena para wakil rakyat di zaman Soeharto seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh panglima. Kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” diubah menjadi “Keadilan sosial di kuburan”—yang di mata para tapol, keadilan sudah mati.<br /><br />Saya menilai, <em>Memoar Pulau Buru</em> menyimpan dengan sangat baik ketidakadilan yang pernah dilakukan Rezim Soeharto pada orang-orang PKI, termasuk kepada sastrawan-sastrawan Lekra. Kesaksian semacam ini memang harus diberikan agar ketidakadilan tidak terulang kembali. Memoar ini menjadi pelengkap <em>Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1-2</em> karya Pramoedya Ananta Toer (1995, 1997).<br /><br />Plesetan Pancasila yang dilakukan Pardjo Pikiran Abnormal itu mencerminkan sikap muak para tapol; karena apa yang harus mereka lafalkan setiap upacara bendera sangat bertolak-belakang dengan kenyataan yang mereka alami dan jalani sehari-hari. Demikian pula dengan interpretasi yang diberikan Hersri Setiawan atas plesetan itu, saya pikir penuh dengan rekaman pengalaman dan kenyataan yang ada di depan mata. Bagaimana mau bicara keadilan, misalnya, sementara mereka ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Ini merupakan pelanggaran berat HAM yang diwarisi oleh Soeharto. Bagaimana mau bicara tentang kemanusiaan, sementara pemerintahan Orde Baru menginjak-injak kemanusiaan itu sendiri. Pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI oleh militer yang didukung Amerika Serikat hingga saat ini masih dibenamkan dari buku sejarah.<br /><br /><strong><em>Citayam, 11 November 2009 </em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-80190117398577634952009-11-10T18:51:00.000-08:002009-11-10T18:54:45.943-08:00Penyair sebagai Pilar Kelima Demokrasi<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svom90yCsAI/AAAAAAAAANc/tKW88CuJEO0/s1600-h/bung+karno3.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5402673546566742018" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 243px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svom90yCsAI/AAAAAAAAANc/tKW88CuJEO0/s320/bung+karno3.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Dapatkah penyair berfungsi sebagai pilar kelima demokrasi? Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya F.L. Risakotta, maka fungsi tersebut bukanlah suatu utopia. Bahkan penyair terlihat mampu merekam dengan baik apa yang tengah dirasakan oleh masyarakat dan mengartikulasikannya secara jernih serta penuh kejujuran. Dengan demikian, presiden harus benar-benar mendengar dan membaca apa yang ditulis oleh penyair dan sastrawan pada umumnya. Karena, pesan yang disampaikan penyair bukanlah bernada “asal bapak senang”, melainkan segala macam penderitaan rakyat. Mereka menulis secara apa adanya segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.<br /> Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya Risakotta ini tampak bahwa penyair benar-benar mengetahui perkembangan sosial politik yang terjadi di sekitarnya; sekaligus memposisikan dirinya berada di tengah-tengah rakyat—ini yang dinamakan hati nurani rakyat. Jika dilihat dari tanggal penciptaan puisi tersebut, terbaca bahwa puisi ini ditulis setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan berbagai macam alasan, di antaranya tidak efektifnya sistem parlementer ala Barat dan timbulnya berbagai pemberontakan di daerah yang dilakukan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Dalam buku <em>Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963</em>, Baskara T. Wardaya (2008) menjelaskan secara gamblang keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan separatis itu. Amerikalah yang memasok senjata kepada pemberontak-pemberontak yang ada di daerah (Ricklefs, 2005).<br /> Penyair dengan jelas memposisikan dirinya sebagai pendukung setia Presiden Soekarno. Pada tahun 1950-an akhir citra PKI memang semakin baik di mata rakyat, karena visinya yang antiimperilisme dan anti-neokolonialisme. Presiden Soekarno sendiri memberi tempat di kabinet, karena menurutnya, tanpa memberi tempat pada PKI untuk duduk di kabinet seperti kuda yang berkaki tiga. Bung Karno memberi ruang pada PKI karena partai ini masuk dalam <em>the big four</em> hasil Pemilu 1955. Ternyata kebijakan Bung Karno itu tidak hanya membuat gerah PSI dan Masyumi, tapi juga bikin gerah Amerika Serikat, karena terbaca bahwa Soekarno sudah mulai condong ke kiri.<br /> Risakotta yang merepresentasikan masyarakat Indonesia pada saat itu, yakni pada pertengahan 1950-an akhir, menyatakan dukungan dan kesetiaannya kepada Bung Karno. Tapi, sekaligus menuntut agar Bung Karno juga memberantas kaum separatis itu. Sebab yang dirasakan rakyat pada saat itu sungguh kompleks. Di satu sisi, rakyat baru saja memperoleh kemerdekaan pada 1945 dan berupaya menata cita-cita untuk kemakmuran rakyat. Namun, di sisi lain, ada upaya pihak Barat yang diwakili Belanda, untuk kembali menduduki Indonesia. Ini terlihat dari adanya agresi Belanda yang berakhir di Meja Bundar.<br /> Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI yang antiimperialisme dan keinginan desentralisasi kekuasaan menimbulkan reaksi di berbagai daerah. Rakyat yang berada di daerah tentu saja tidak bisa melakukan perlawanan terhadap gerombolan pemberontak itu, karena mereka sudah tidak bersenjata. Di tingkat pusat sendiri muncul dualisme dalam menyikapi gejolak di daerah ini. Soekarno ingin menggunakan militer, sementara Muhammad Hatta ingin menggunakan jalur perundingan. A.H. Nasution yang mencoba mempertemukan Soekarno dengan Hatta menemui jalan buntu. Akhirnya Soekarno menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat, dan militer yang mengambil peran lebih besar dalam penyelesaian konflik itu.<br /> Puisi “Balada Rakyat Indonesia” ini memperlihatkan bagaimana penyair benar-benar menyelami perasaan rakyatnya. Tentu saja di dalamnya ada kecemasan, kalut, geram, bingung, dan mungkin semangat untuk berjuang, macam-macam, namun yang pasti penyair Risakotta menunjukkan kesetiaannya kepada Bung Karno. “Setelah dua bulan kita berpisah, jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno, tapi kami tetap setia,” tulis sang penyair. Saya melihat kebersahajaan puisi ini karena sang penyair mencoba membaca situasi sosial politik 1950-an yang saling carut-marut tak kauran dengan bahasa yang demikian terjaga, tanpa emosi yang gegabah. Bahkan terbaca dengan jelas bahwa penyair bisa mengendapkan gejolak politik itu dalam dirinya dan menuturkannya dengan bahasa yang jernih. Meminjam idiom Y.B. Mangunwijaya, penyair Risakotta berjiwa seperti laut yang menampung segala sampah dan segala comberan untuk ditampung ke dalam dirinya. Kemudian sampah-sampah dan comberan itu ia endapkan ke dasar laut. Dan laut memberikan ketenangan, meski di dalamnya penuh gejolak. Demikianlah penyair Risakotta.<br /><br /><br /><strong>Balada Rakyat Indonesia<br /></strong><br />I<br /><br />senjata ini kami lepaskan setelah pertarungan matimatian, Bung Karno<br />karena cita-cita menyela pada hati dibakar perjanjian demi perjanjian<br />kami patuh dan setia dengan keyakinan penuh harap<br />karena cita-cita ini tidak pernah pudar pada asap dan kertas putih<br />kami tinggalkan hutan yang menyanyi tiap pagi<br />ketika kami diburu dan kota habis dihangusi<br />kami ungsikan diri, Bung Karno<br />bukan karena mati dan ketakutan tapi lentera pada hati menyala menyimpan cita-cita<br />ratusan kami berbaris menghadang musuh dengan bambu yang begitu setia<br />berbanjar seperti benteng tiada terkalahkan<br />ribuan kami mandi darah di atas tanah kesayangan, karena setia, karena cita-cita mulia<br /><br />ketika laras kami berdebu di kota-kota<br />dan tapak kaki-kaki ini belah-belah karena tiada alas<br />rupa dan wajah kami tiada pernah mengharap karena cita-cita masih<br />terdukung di berat punggung<br />kami lantangkan suara meski parau mendekam<br />kami nyanyikan kemenangan meski ini kekalahan yang dipaksakan<br />kami teriakkan perlawanan ini suatu permulaan kesyahduan<br /><br />kami baris, Bung Karno<br />pada tangan-tangan kurus tiada berdenyut nadi<br />sepanjang kota rakyat menanti kemerdekaan dan cita-cita<br />dan kami terus berbaris, kami terus menghentakkan kaki<br />meski di sisi rakyat membakar cita-cita karena kesetiaan belum nyata<br />kami jelajahi kota, kami masuki desa, Bung Karno<br />karena Indonesia, karena cita-cita kita bersama<br /><br />senjata ini di depanmu kami jamah tanda hormat dan kasih kita<br />di penghabisan kali karena kami harus menyisih dari barisan senjata<br />kami bukan orangnya yang mendendam dengan senjata dan penembakan<br />kami bukan orangnya sisa-sisa pertempuran yang mengharap balas dan bintang jasa<br />kami bukan pejuang yang didaftarkan di satu kementerian<br />tapi kami penjelajah hutan ketika revolusi, penggempur kota dan pendukung<br />setia cita-cita kemakmuran bangsa<br /><br />inilah kami Bung Karno<br />yang setia ketika tiada malam dan kelam dalam diri dan hari depan<br />kami yang masih merayap di kaki bukit ramamandala, di hutan-hutan kerinci,<br />kuningan dan bolangmangondow<br />ya, kamilah Bung Karno yang mengharap merek tapi tiada bertanda<br /><br />dulu kami lepaskan senjata karena kami setia pada cita-cita rakyat<br />kini kami ditumpas lepas hanya pegangan pada hati<br />mungkinkah sembilu penghabisan menyayat cita-cita ini bila<br />keganasan gerombolan mengerkah cita-cita merdeka?<br /><br />Bung Karno, usang sudah cita-cita ini bila kemenangan tiada di hati kami<br />remuk dan musnah rumah kampung halaman kami dan istri harus mati<br />bertekuk di kebiadaban gerombolan sedang kami harus lari<br />menghindar diri demi merdeka dan cita-cita<br />adakah yang lebih pahit dari ini Bung Karno, bila napas yang sisa ini<br />menumpas setiap keganasan, kebuasan, tapi di musim damai kami didera—<br />disiksa oleh sisa-sisa gerombolan dan hidup merungkak di tanah<br />berbatu? atau mengharap perintah dari tangan yang tiada pernah berlaga?<br /><br />ya, Bung Karno, senjata ini kami serahkan demi cita-cita bangsa<br />tapi padamu Bung Karno, tiada pada siapapun<br /><br /><br />II<br /><br />kami harus menekan tumpas karena derita masih menyala<br />memanggang diri dan airmata<br />kami harus menekukkan kepala karena hati cinta nusa masih membakar<br />diri sedang punggung berat membebani cita-cita<br />kami tidak meminta, Bung Karno, karena kami manusia perjuangan<br />kami tidak mengharap, Bung Karno, karena kami manusia kerja<br />tapi kami menuntut, Bung Karno, karena jiwa kami terancam gerombolan dan<br />hati ini pedih ditindas modal asing<br />juga kami mati akan setia dan kemegahan demokrasi, Bung Karno,<br />karena apalah arti cita-cita yang menyala ini andai suara tersumbat<br />dan tangan kaku di atas kertas putih<br /><br />Bung Karno, padamu kami dukungkan cita-cita kami sejak revolusi dulu<br />karena tanpa cita-cita ini kita bukan apapun di bumi Indonesia<br />ketika ini padamu pimpinan kami serahkan tapi bukan pada siapa-siapa<br /><br /><br />III<br /><br />ketika meriam menggelegar 21 kali di kemayoran<br />senja memisahkan kami, pendukungmu, Bung Karno—<br />dari istanamu yang putih mengapur<br />tapi suara dan teriak kami menggelegar memecah senja lebih keras<br />dari meriam, Bung Karno, meski saat itu kita disisihkan dalam senja<br />kami menanti dengan hati bukan dengan senjata dan meriam karena senjata<br />telah kami serahkan ketika revolusi dan setia kembali ke desa<br />sedang di hati cita-cita ini lebih tajam dari senjata, juga lebih indah dari istana<br />Bung Karno, kami menanti di depan istana, tapi kita berpisah<br />karena senjata di depan kami<br />kami tahu Bung Karno, seperti kau pun tahu bahwa batas kita ini<br />hanya sementara, bahwa pemisahan kita hanya seketika apakah<br />yang lebih abadi selain cita-cita, Bung Karno<br />karena kami pun percaya seperti kau juga mengerti bahwa meriam bisa diam<br />kalau hati bersusun satu, Bung Karno, tapi imperialisme dunia pun<br />bisa hancur bila kami pendukung setia cita-cita bangsa<br /><br />di bawah kesamaran senja dan lampu-lampu, Bung Karno, wajahmu menyala<br />setelah dua bulan kita berpisah<br />jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno<br />tapi kami tetap setia<br /><br />suaramu yang kami nantikan seperti apa yang diharapkan hati ini Bung Karno<br />ucapan yang melaut di hati dan benak kami, mencatat kemenangan, karena<br />kita berkisar di satu arah di mana dulu kita pernah mengalah<br />kita kembali ke jalan lama di mana revolusi menuntut kemenangan<br />dengan senjata cita-cita yang abadi, kemerdekaan, kebebasan, dan kemakmuran<br />teriakmu naik ke langit malam dan di bintang menyatu diri<br />kami penanti, Bung Karno, dan suaramu suara kami kembali ke jalan<br /><br /><br />IV<br /><br />berhari kita berkira dalam diri dan cita-cita lautan kemegahan<br />dan keadilan rakyat Indonesia<br />ke manakah arah angin kan bertiup bila lentera di tanganmu, Bung Karno,<br />kami satukan langkah, bila napasmu menapasi hati kami<br />kami sediakan diri, Bung Karno, andai derita dan kepahitan kita dukung bersama<br />Bung Karno, mimpi kami tidaklah seindah hati dan cita-cita kami<br />karena berat badan tiada terungkai andai kami terus dirangsang ketakutan<br />diburu kehancuran, dalam tangan cita-cita demokrasi<br />tapi kami percaya, Bung Karno, meski cita-cita ini diperam, ia pasti lebih membaja<br />lebih menyala dari bintang-bintang, tapi juga lebih menggelegar dari meriam<br />Bung Karno, atasmu cita-cita ini kami serahkan, tapi cita-cita ini<br />adalah milik kita, Bung Karno<br />kebenaran cita-cita akan menggaris dalam sejarah, siapa yang setia<br />dialah pemenang, Bung Karno<br /><br />Bung Karno, kami pejalan panjang dari revolusi ke jalan revolusi dan<br />hati tiada henti mendukung cita-cita rakyat indonesia, meski malam jemu<br />menutup mata seluruh manusia<br /><br />Kayu Awet, 21 Juli 1959<br /><br /><br /><strong><em>Citayam, 11 November 2009 </em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-76115996734020428232009-11-09T19:44:00.000-08:002009-11-09T19:46:43.703-08:00Sahabat Agam Wispi<a href="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvjhzXyPzDI/AAAAAAAAANU/de5SVzf3vgw/s1600-h/agam+wispi.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5402316025705253938" style="WIDTH: 200px; CURSOR: hand; HEIGHT: 197px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvjhzXyPzDI/AAAAAAAAANU/de5SVzf3vgw/s320/agam+wispi.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br />Dalam buku kumpulan puisi <em>Sahabat</em>, Agam Wispi (1959) menulis bebarapa puisi pendek. Salah satunya berjudul “Sahabat”. Menurut saya puisi ini sangat subtil, lembut, halus, sangat dalam maknanya; tentang arti hidup dan persahabatan. Melalui puisi ini, pembaca bisa merasakan bagaimana cinta bisa membangkitkan gairah untuk hidup seseorang. Dan dari puisi ini pula terbaca bahwa hidup akan bermakna jika kita bisa merasakan penderitaan sahabat kita. Puisi ini sungguh luar biasa. Kata-katanya sangat kokoh dan memiliki makna yang dalam. Berikut saya kutip selengkapnya.<br /><br /><strong>Sahabat</strong><br /><br /><em>dua kali dimamah maut<br />oleh cinta hidup tertambat<br />baru berarti mereguk hidup<br />jika derita duka sahabat<br /></em><br />Berlin, April 1959<br /><br /><br /><strong><em>Citayam, 10 November 2009 </em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-75034598943423992812009-11-09T07:49:00.001-08:002009-11-09T07:56:22.945-08:00BAHASA LANGIT DI UFUK KELABU<a href="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svg6UT1AtbI/AAAAAAAAANM/65GwLsvtyPc/s1600-h/buku+gempa.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5402131873625322930" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 239px" alt="" src="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svg6UT1AtbI/AAAAAAAAANM/65GwLsvtyPc/s320/buku+gempa.jpg" border="0" /></a><br />MENGENANG MUSIBAH PADANG DARIPADA PERSPEKTIF “ANJAKAN DIKSI”<br /><br />Oleh ARBAK OTHMAN<br />Universiti Putra Malaysia<br /><br /><br />Latar kajian<br />Antara teori sastera yang sesuai untuk mengesan maksud puisi ialah Teori Anjakan Diksi (TAD). Mengikut teori ini, agak mustahil kita bercakap tentang teori ini secara rasional tanpa memperhitungkan kognisi. Kemajuan asas teori ini ialah menempatkan makna pelunjuran sebagai proses kognitif di pusat kerangka. Model TAD membentuk persepsi biasa pembaca ‘ke dalam teks sastera’, seperti puisi, sebaik pembaca membuat pendirian dunia teks yang terbentuk secara mental. Kemampuan imaginatif ini merupakan ‘anjakan diksi’ yang membenarkan pembaca memahami pengucapan diksi yang dilunjurkan secara relatif ke pusat diksi. Dengan kata lain, pembaca dapat melihat secara visual daripada perspektif penyair di dalam dunia-teks, dan membentuk konteks dengan banyaknya melalui penyelesaian pengucapan diksi daripada sudut yang sama. Di pusat diksi yang teranjak itu terhimpun konsep utama bagi digunakan untuk penyataan persepsi dan pembentukan koherensi sepanjang teks sastera.<br /><br />Gagasan teoretis<br />Penyelidikan utama TAD perlulah dibuat dari segi bagaimana pusat diksi dicipta oleh penyair dalam teks, serta bagaimana ia dapat dikenal pasti melalui pemahaman kognitif tentang pola tekstual, dan bagaimana pula ia dianjakkan dan digunakan sebagai sebahagian daripada proses bacaan. Dunia teks sastera mengandungi satu atau lebih bidang diksi yang terbentuk daripada julat keseluruhan pengucapan sama ada daripada kategori perseptual, masa, ruang, hubungan, tekstual atau kategori bersifat komposisi. Kesemuanya disusun di sekitar sifat penyair melalui peranan-entiti dalam teks, walaupun haiwan, tumbuh-tumbhan, unsur lanskap dan objek lain dapat turut membentuk pusat diksi dalam puisi imaginatif.<br /><br />Mengikut teori ini, di pusat diksilah terletaknya idea-idea utama yang membentuk fikiran yang dilunjurkan oleh penyair dalam puisinya. Sebagai contoh, dalam puisi Padang Luka karya Asep Sambodja, dua stanza yang berikut ini membentuk pusat diksi puisi tersebut:<br /><br />aku seperti terbiasa membaca gempa<br />beribu orang mendadak mati<br />berjuta orang harus tabah lagi<br /><br />Padang terluka, namun<br />Ia senantiasa menyimpan rahasia<br /><br />Manakala dalam puisi Trauma Anak Pariaman karya Mokhtar Rahman, ujaran yang berikut ini membentuk pusat diksi puisi yang berkenaan:<br /><br />Gegaran musibah Tabah Minang<br />Rumah adat, rumah gedang<br />tersungkur ranap, terburai<br />bersama induk, ayah, sahabat handai<br /><br />Dia yang menyaksi<br />Lidah tidak perlu mengungkap lagi<br />Linangan air mata menceritakan<br />pasrahnya pada ketentuan<br /><br />Daripada pusat diksi di atas, maksud keseluruhan kedua-dua puisi di atas bertegak pada makna ‘musibah yang dahsyat’, dengan bahagian diksi yang lain berfungsi untuk menjalin idea-idea sokongan pada keutuhan yang sama sehingga kelihatan kesaksiannya terhukum dalam domain kognisi yang berkoherensi pada teras yang dibangunkan di pusat masing-masing diksi. Dalam puisi, setiap jalinan fikiran yang terbentuk di pusat diksi sesungguhnya merupakan produk mental berbentuk kognisi. Melalui puisi, penyair membuktikan kesenghajaannya menyampaikan buah fikiran sama ada dalam konteks masa, ruang, hubungan, tekstual, atau gabungan komposisi. Pusat diksi puisi Gempa Padang karya Muhammad Subhan, setelah dicari daerahnya, telah ditemukan kemungkinan yang kira-kira dapat ditanggung fungsinya oleh ujaran stanza yang berikut:<br /><br />Hari itu, orang-orang berlarian<br />Panik bak menghadapi kiamat<br />Kiamat, benarkah kiamat tiba?<br />Belum, Tuhan masih sayang kepada hambaNya<br />Kiamat kecil, pertanda akan datang kiamat besar<br />Entah kapan waktunya<br />Namun kiamat kecil itu, sudah luar biasa dahsyatnya<br />Konon pula kiamat besar, yang tentunya tak seorang jua<br />Dapat menanggung kegemparannya.<br /><br />Maksud-maksud lain ujaran stanza sebelum dan selepasnya merupakan rincian tambahan untuk mengukuhkan idea utama pada pusat diksi tersebut. Keutuhan puisi ini didukung oleh konteks serangan mala petaka di luar dugaan sesiapa pun.<br /><br />Unsur diksi biasanya melepasi manusia, tempat dan waktu. Dalam puisi bisa saja diwujudkan perkaitan dengan manusia seperti pemangsa tragedi alam teks, iaitu dari segi bagaimana mereka itu dikaitkan secara sosial antara satu sama lain, dan bagaimana setiap pusat persepsi dalam diksi itu menimbulkan anggapan di sisi mereka yang berkenaan. Sebagai contoh, puisi Kemala yang mengandungi ujaran berikut ini dapat berfungsi sebagai jambatan untuk menghubungkan penyair dengan kejadian melalui peranan metafora:<br /><br />I<br /><br />Pagi ini Singgalang tersintak<br />Isyarat telah dihantar Langit<br />Padang-Pariaman menggeletak<br />Ribuan terkubur<br />Iklim dan musim membuak<br />Inikah tanda kiamat kian<br />Mendekat mencekik umat?<br /><br />VI<br /><br />Tiada sapa. Tiada Cinta<br />Ada yang kesasar dan gila<br />Semua keluarga terkambus sepi.<br />Pabila ditanya<br />“Saya takpunya Nama!” katanya<br />Kerusi sang edan diisi.<br /><br />Tamadun zaman kini<br />Atas nama nigrat dan materi.<br /><br />Metafora isyarat telah dihantar Langit berfungsi untuk memberitahu pembaca tentang apa yang dilakukan oleh ummah, sehingga Allah perlu menunjukkan petanda yang mengilas kelemahan manusia, kekurangan manusia, kekajaman manusia dan ketamakan manusia, keadilan yang disisihkan oleh manusia. Meskipun makna-makna ini tidak dilafazkan, tafsirannya terungkap melalui pemakaian kata ‘isyarat’ dan penghantarnya ‘Langit’. Jika penulis tidak tersasar ke luar bicara yang bererti, tafsiran ‘Langit’ itu tidak lain “kuasa tertinggi dan agung”, iaitu Allah. Manakala tanda ‘isyarat’ membayangkan makna “balasan” atau “petanda hukuman”. Memang bukan di sini untuk kita memaknakan puisi, tetapi setiap kata dalam diksi tidak terlepas daripada sangkutan-sangkutan yang bermakna, atau yang jiwa maknanya kian tersentuh, lalu fikiran yang berpusat pada diksi di atas tidak melarikan diri daripada dikenal pasti, kerana kata adalah unsur bahasa yang makna jiwanya tetap berada di badannya (bentuknya yang disebut atau diujarkan). Penyair tidak menggunakan kata-kata yang tidak berguna. Setiap kata dalam diksi bertakhta manikam, penuh dengan isi bertemankan roh. Justeru, idea dalam diksi metaforik yang terpilih di atas menyimpulkan peranan tragedi dalam deskripsi, dalam diri manusia yang memahami kebenaran Ilahi atau pengajaran yang timbul daripada peristiwa.<br /><br />Dalam puisi, penyair menggunakan beberapa penilaian untuk merumus sikap terhadap makna tragedi, atau mala petaka alam yang dia sampaikan. Dalam aktiviti ini, penyair memilih ujaran tertentu serta mengekod kesedihan padanya. Seperti juga pelukis atau pengukir, penyair memuji kepandaian pengukir, lalu kemudiannya menetapkan persepsi baru dalam hirarki kuasa yang jauh lebih rendah daripada kuasa Ilahi. Kesannya ialah bahawa sikap penyair akan terselaras dengan struktur sosial yang dimiliki penyair dengan struktur sosial pihak yang dia pusatkan perhatian dan tumpuan—semua ini disusun melalui hubungan makna dalam diksi.<br /><br />Selain itu, ada juga yang dinamakan diksi tekstual sebagai ukuran yang dapat digunapakai untuk pemahaman puitik. Puisi meletakkan tumpuan pada wacana sebagai bahasa tekstual dengan cara yang berbagai-bagai. Puisi menempatkan tangan dan hati penyair melalui penggunaan kata. Dengan cara ini, puisi meningkatkan statusnya sebagai artifak idea. Oleh sebab puisi menumpukan proses pengeluaran yang sejalan dengan lakuan bacaan, penyair yang menciptanya mengembalikan ideanya pada kata melalui maksud-maksud yang dikehendakinya, sama ada berbentuk interpretasi, konotasi atau penyiratan lambang. Kesan kata-kata didapati berbeza apabila dibaca daripada sudut imaginasi. Warna imaginasi dan kebenaran yang digambarkan mendefinisi aspek yang menentukan kualiti puisi dari sudut komposisi teks, atau apa yang dinamakan ‘kualiti komposisi teks’. Sesetengah pola dalam pemilihan kata, sintaksis dan daftar (register) ditetapkan bagi meletakkan puisi di tempatnya betul. Sebagai contoh, daftar berbentuk kata kerja memetik dan menjadi dalam ujaran memetik muhasabah dan menjadi basah dan pasrah dan daftar kata adjektif merah dalam ujaran dalam singgah sebuah musibah merah yang dipetik daripada puisi Membaca Bahasa Semesta karya Raja Rajeswari Seetha Raman benar-benar berupaya membentuk siratan tentang nilai kesedaran dalam diri manusia yang memahami nilai kejiwaan daripada hukum alam. Daftar merah tentu sekali menggambarkan “darah” yang tumpah ke bumi tragedi. Daripada api tragedi yang menyambar nyawa terkesan sejenis rasa bawah sadar tentang kemungkinan yang sentiasa dimungkinkan. Kemungkinan bala menimpa umat Muhammad tidak terkalis daripada kejadian. Banyak tempat telah mengalami kemungkinan ini, kemungkinan bala yang kerapkali termungkin di negara Timur Tengah kerana tersalah tadbir minyak kekayaan umat Islam. Iran sudah beberapa kali disindir, aceh dibedil gelombang ryeuk, Amerika dihanyutkan air, disambar api yang meranapkan hutan berharga, Jepun dan Korea dilanyak ribut dan taufan—semua ini petanda yang perlu disabari dan dijadikan iktibar kehidupan.<br /><br />Puisi bukan sebidang tikar pemaidani. Polanya bebas dan tersendiri. Ia adalah bumi lecah yang hanya difahami oleh orang yang melacak bumi berlumpur. Terlalu banyak lumpur terpalit di kaki masyarakat. Jejak-jejaknya berpeta-peta, manakala bunyi-bunyinya pula bersajak. Kerana itulah maka puisi tergolong kepada karya sastera yang indah, yang sedap didengar dan enak dibawa ke mimpi. Sebagai dunia mimpi, atau dunia imaginasi, pola kejadiannya bebas dan tersendiri. Tiada siapa yang boleh merencana mimpi; demikian jugalah puisi. Ia datang dengan tiba-tiba, didesak oleh akal manusia untuk memberitahu sesuatu pengalaman dengan cara yang halus dan berseni. Nilai akaliah lazimnya mendominasi makna puisi, walaupun keindahannya terbayang pada bunyi dan struktur diksi. Diksi menjadi pakaian puisi, ia mendefinisi ideologi penyairnya, ciri-ciri dalaman bersifat budaya dan masyarakat. Berdasarkan pakaian dan fesyennya, puisi dapat menarik perhatian ramai orang atas peranannya yang suka membantu, membentuk kebaikan, membaikpulih kelemahan yang membahayakan masyarakat dan sebagainya. Ia juga radio yang memberitahu kita kejadian alam, peristiwa-peristiwa pelik dan luar biasa, termasuk mendidik anak-anak daripada terjerumus ke lembah kehinaan dan kemusnahan jatidiri. Dalam pengucapan musibah gempa bumi pun, kemusnahan jatidiri turut terungkap tentang betapa beratnya tanggungan ke bahu masyarakat:<br /><br />Tamadun zaman kini<br />Atas nama ningrat dan materi.<br /><br />Bantuan lambat tiba<br />Mereka memamah nangka muda.<br /><br />Kemala<br /><br /><br />Dilembar kertas yang kusam<br />kugambar wajah yang merekah<br />berdampingan para politis dengan senyumannya<br />dan kuletakkan wajahku separuh di situ<br />biar menemani wajah separuh itu<br /><br />Yo Sugianto<br /><br />Dalam ujaran dua puisi di atas terungkap sikap segolongan manusia berkuasa yang tidak mempeduli masalah sosial yang melanda rakyat dan negara, meski dalam suasana darurat yang dahsyat kesiksaannya. Supaya orang lain tahu, sebagai penyair, Kemala tetap meneruskan tugasnya bersama-sama mereka yang lain dalam satu angkatan kejiwaan untuk menyampaikan selembar kesedaran, meski kami mengetahui bahawa manusia yang rakus sukar untuk berubah, kecuali apabila kedudukan mereka kian tergugat dalam ranah kuasa yang menjadi kegilaan semua orang.<br /><br />Siapa itu penyair?<br />Penyair adalah pencari yang tidak pernah putus asa. Dia juga seorang peneliti yang melakukan pemetaan ke atas persoalan yang menarik perhatiannya—pada saat ini dia ingin mencadangkan sesuatu yang lebih baik daripada tahap-tahap yang sedia ada. Dia ingin menambah pada kebaikan dan kebijaksanaan yang ada supaya lebih tinggi aras keterasaannya pada hati pembaca, aras afektifnya pada kekukuhan kebaikan agar menjadi lebih kukuh, agar ketegangan menjadi semakin longgar dan menipiskan harapan atau mengetatkan lagi skru kebuntuan, sehingga terkadang sakit hati menebalkan pedihnya, kelemahan menjadi semakin kusut untuk dileraikan, atau luka yang semakin mengeraskan parut-parut sosial, seolah-olah masyarakat ini seperti milik segolongan manusia yang tidak pernah susah, tidak pernah miskin dan tidak pernah putus asa. Itu semua sekiranya dia mahu melakukan penerokaan. Jika ke atas pengalaman yang sudah sekian didatangkan ke depan mata kita, itu bukan lagi pencarian; itu suatu perkongsian yang tidak lepas daripada perkaitan kita dengan kehidupan orang lain dalam masyarakat. Penyair menggunakan imaginasi untuk menemukan bahasa dengan akal pembaca supaya terpancar sebuah kesedaran melalui keindahan puitik di tubuh puisi.<br /><br />Dalam konteks dunia mengalami musibah, minat penyair untuk menegur diambil alih oleh minat untuk berkongsi rasa dan emosi dengan mereka yang dilanda musibah. Perkongsian rasa ini bukan untuk menghapuskan penderitaan pemangsa, tetapi setidak-tidaknya melegakan kesan-kesan psikologi yang tertanggung ke atas mereka, sama-sama merasai simpati terhadap nasib malang yang mereka deritai dan sama-sama mengambil kisah terhadap penderitaan orang lain, sekurang-kurangnya apa yang alami itu menjadi sebahagian daripada beban yang ditanggung secara terkongsi, sama-sama merasai diambil peduli dengan perasaan penuh belas kasihan. Perkongsian rasa dan emosi ini terungkap dalam banyak puisi ciptaan beberapa orang penyair seperti yang diturunkan contoh-contohnya di bawah ini:<br /><br />dukamu<br />duka kami<br />tugu prasasti dalam manik manik nafas hati<br /><br />Budhi Setyawan<br /><br />Kedepan....<br />Aku berdoa padamu ya Allah<br />Semoga semua warga ranah Minang akan tabah dan tawakal..<br />Semoga mereka diberi kesabaran, ketabahan dan kegigihan untuk berbenah...<br />Semoga kita semua sadar untuk memperbaiki kesalahan2...<br />Baik kesalahan moralitas, kesalahan fisik pembangunan,<br />kesalahan melupakan karunia Allah dengan tidak menjaganya,<br />dan kesalahan tidak bersyukur dengan karuniaNya...<br /><br />Ratnaputri2<br /><br />Padang sayang<br />Kami datang ungkapkan kasih sayang<br />Ranah Minang<br />Semangatlah berjuang<br />Bangkitlah sekarang<br /><br />Mimin<br /><br />Di sini, di bumi minang ini<br />Kami mengharapkan ketulusan doa<br />Agar kami dapat kembali bangkit<br />Dan ingatlah kami<br />Di setiap sujud tahajjudmu<br />Ingatlah kami<br />Kami menanti uluran keikhlasan<br />Ingatlah kami wahai saudaraku<br /><br />Dwi Mita Yulianti<br /><br />Mungkin masih ada selaksa harap<br />semoga tak kan padam pelita di hati kami<br />sebab Allah muara segala harap<br />tempat mengadu yang tak bertepi<br /><br />Putri Pratama<br /><br />Bahasa puisi<br />Bahasa puisi bukan bahasa biasa. Ia bahasa istimewa yang luar biasa. Ia bahasa simbolik yang memerlukan kepandaian pembaca menterjemah makna-makna pelambangan, makna-makna imaginasi untuk memahami persoalan yang dihantarkan oleh kata-kata (bahasa). Melalui pelambangan penyair terlebur menjadi ikon yang melalui kata-kata dia memuaskan pembaca memahami masalah dan menggeluti persoalan. Beberapa sajak dalam antologi Musibah Gempa Padang yang dikumpulkan oleh Dato’ Kemala merupakan refleksi penyair Nusantara, terutamanya penyair Malaysia dan Indonesia. Sajak-sajak mereka dibatini oleh kegelisahan, luka jiwa dan gumaman batiniah yang memvisualisasikan kaca mata peribadi, mahupun kaca mata sosial. Bukanlah pekerjaan penyair mencuri kesempatan, tetapi tanggungjawab dalamannya untuk merasai dan menjiwai penderitaan orang lain yang bukan kepalang sakitnya, yang tidak dapat dibanding kekeluan yang ditimpakan pengujian Ilahi. Nasib kita belum tahu lagi. Malang kita belum sampai ke tahap pengalaman mereka. Maka sebagai ummah, apa yang dirasai oleh ummah lain juga menjadi perkaitan kita, tanggungjawab kita untuk menyampaikan simpati serasa, simpati yang tidak mengabaikan petaka orang lain, simpati yang tidak melupakan nikmat dan rahmat yang Tuhan anugerahi kepada kita. Maka itulah tugas penyair apabila mendengar apa juga yang berlaku ke atas ummah yang lain di dunia ini.<br /><br />Perasaan sama sakit ini terungkap dalam beberapa buah puisi karya penyair tertentu di bawah ini:<br /><br />terpaku aku<br />mahu sujud rasa terlambat<br />rela aku<br />menerima apa yang kau surat<br /><br />abdullahjones<br /><br />Tuhan,<br />seluas-luas Padang seluruhnya berdebu<br />tanganku lesu<br />telah berkecai tanah Pariaman<br />hanya tinggal sedulang puisi<br />dengannya kutagih prihatin persaudaraan<br /><br />Hasimah Harun<br /><br />Demikian yang kurasai<br />deritamu deritaku<br />lantaran datuk nenekku<br />sanak saudaraku di bumi Padang<br />yang pasti dimamah gempa<br />dan siapa tak bisa lari<br /><br />Musalmah Mesra<br /><br />Seluruh dunia memandangmu Padang<br />dalam musnah kau masih membawa syiar Tuhan<br />tegak berdiri masjidmu di celah runtuhan<br />menjadi sumber kekuatan buat semua insan<br />Bertongkat di Padang Jarak Tekukur.<br /><br />Yajuk<br /><br />Padang...<br />Inilah ruang antara persinggahan sementara yang menjadi mimpi yang ngeri<br />Tenanglah saudara-saudaraku<br />Sabar saudara-saudaraku<br /><br />Teratakerapung<br /><br />Penyair bukan golongan orang yang mempunyai kuasa, atau golongan yang kaya raya; kami semua miskin tetapi berakal budi, berbudi mulia, berterima kasih pada segala nikmat dan rahmat Ilahi dan merasakan sama-sama sakit apabila rakan-rakan seagama ditimpa musibah, ditimpakan tragedi yang bukan kita mahu, kecuali berdoa agar pengalaman pahit seperti itu tidak berulang lagi, cukup kepada kita sebagai pengajaran dan unsur penyedaran peribadi.<br /><br />Apa yang berlaku di Padang pada 30 September baru-baru ini sesungguhnya merupakan pengalaman tegang yang pahit, dengan sifatnya psikologis dan kelangsungannya sosiobudaya. Peristiwa yang membuatkan kita merenung keras pada aras kesedaran ialah kehilangan jiwa, harta benda dan keterkeduan tanpa kata dan lirik yang tidak dapat diramal interpretasi rundungan psikologisnya. Semua ini merupakan akar-akar dari puisi-puisi dalam Musibah Padang ini. Bayangkanlah kemusnahan yang terlukis dalam puisi Pariaman ciptaan Kardy Syaid:<br /><br />O, masa kanak-kanak yang indah<br />nurul hidayah *2 di tepi kali<br />tempat ayat-ayat Allah menggaung<br />dan adzan ku kumandangkan<br />kini ranahku tiada bentuk, tunduk ke bumi<br />anak kehilangan ayah, anak kehilangan ayah<br />isteri kehilangan suami, suami kehilangan isteri<br />kembali pd Yang Suci.<br /><br />O, rumah tua yang pernah dilalap api<br />kini rebah ke tanah, sujud ke hadiratMu<br />di mana teman-teman masa bocahku?<br />ribuah nyawa terkubur tiba-tiba<br />hewan dan tanaman henti bernafas<br />dalam tahlil dan duka lara.<br /><br />Apa yang kita pasti ialah keyakinan kita bahawa hampir semua penyair memiliki kesedaran yang menyedihi tanggapan dalam ujaran-ujaran indah yang luar biasa kesan-kesan kreatifnya. Proses kreatif yang terstruktur mempunyai domain semantik dan semiotik. Dalam penukilan pengalaman tragis gempa bumi di Padang baru-baru ini penyair turut menyatakan asosiasi, nuansa, citarasa, konotasi dan pengertian sendiri-sendiri dalam gaya yang mendekatkan perasaan penyair dengan perasaan yang dialami oleh penduduk Padang, terutama penduduk desa Pariaman yang membajari pantai yang kadang-kadang nyaman, kekadang secara tiba-tiba ganas tetapi berhikmah.<br /><br />Makna tragedi<br />Pada umumnya puisi merealisasikan makna tragedi dalam nada yang amat ngeri kerana situasi sebenarnya memang ngeri, terkadang berimaginasi tentang penderitaan yang tidak dapat dibayangkan keperitannya, kerana pemangsa hidup dalam serba kekosongan; tiada barang untuk dapat dibeli, tiada sumber untuk makan minum sehari, segalanya ranap— hidup dalam serba kosong. Puisi membuka kemungkinan imaginasi tentang kedahsyatan hukum alam, hukum Allah, sama ada sebagai dugaan untuk menguji kesabaran, atau sebagai pengajaran untuk diinsafi atas kesilapan ummah. Pengujian kesabaran dan keinsafan tergambar dalam sebahagian ujaran puisi Itulah Gertakan-Nya karya Happy Muslim:<br /><br />Apakah dengan ini kau terbangun dari kekafiranmu?<br />Apakah dengan ini kau membagi antara dunia dan akhirat?<br />Apakah dengan ini kau berserah diri?<br />Atau semakin menjadi...<br /><br />Ingatlah itu baru gertakan-Nya saja.<br /><br />Di sebalik kesederhanaannya, ternyata imaginasi puisi dibangunkan cukup berkesan, ditopang oleh kecermatan berbahasa, oleh kekuatan semantik, meski kekuatan rima bagai kian ditinggalkan. Peninggalan kekuatan rima mendapat kesan automatis sebagai akibat makna diutamakan daripada bentuk.<br /><br />Pena penyair sering digerakkan oleh kegelisahan jiwa yang menatari pengalaman rasa dan emosi yang berhujan di jiwa pemangsa tragedi. Hujan rasa ini diungkapkan dengan teliti sehingga pembaca dapat merasakan kedekatan dirinya dengan penderitaan yang dialami oleh pemangsa tragedi. Banyak makna menyentuh kalbu pada peralatan bahasa pengalaman dalam pengucapan kesayuan daripada penyataan sosial dalam perhatian yang disisihkan. Apa pun keadaan, setiap pertanyaan yang tidak berjawab dijawab melalui transformasi rasa dan kesedaran pada aras pembacaan dan penikmatan makna. Pernyataan yang dilafazkan tentang kejadian konkrit tersambar pada minda mujarad di sisi penyair dan pembacaan. Sajak tidak sahaja indah tetapi juga menggegar dan mencengkam persepsi penyair (justeru juga, pembaca) bahawa manusia tidak harus berhelah tetapi menerima hakikat yang diserahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Inilah penyerahan takdir yang harus difahami rahmat di sebaliknya—bukannya rahmat tragedi tetapi hikmah daripada tragedi. Nilai penyerahan diri kepada Ilahi tergambar dengan jelas dalam puisi Hikmah karya Sarah Sarena:<br /><br />keteguhan hati melekat bak laksana pendekar sejati<br />meyakinkan diri bila semua ini adalah ujian dari sang ilahi<br />mengambil hikmah sebagai petuah yang menjadi wasiat sepanjang masa<br />agar lebih peduli masalah kelestarian alam yang dulu sempat terlupa<br />tanpa sengaja<br /><br />Puisi Gelegak 7,6 karya Emmy Marthala turut mengungkapkan nilai kepasrahan sebagai pengobat derita:<br /><br />Mampukah kalian berfikir?<br /><br />Tinggalkan Lembah Uji, kembali, kembali<br />mengawasi hati, amal bererti<br />Wudhuk dinihari menyejuk hati<br />Wajah memancar makna budi cahaya-Mu kupeluk, Cinta Abadi<br /><br />Mokhtar Rahman memaknakan nilai kepasrahan dalam kesaksian yang menyaksikan. Dalam puisi Kisah Pemuda Pariaman beliau mengirim suatu peringatan:<br /><br />Dia yang menyaksi<br />Lidah tidak perlu mengungkap lagi<br />Linangan air mata menceritakan<br />pasrahnya pada ketentuan<br /><br />Dia pewaris Ranah Pariaman<br />Berdiri mencari kekuatan<br /><br />Kata-kata yang digunakan dalam pengucapan kesedihan tragedi tidak ada yang boros. Kelewahan mungkin ada daripada pengulangan maksud yang diulang-ulang. Akan tetapi pengulangan kata mahupun pengucapan pengalaman daripada kejadian-kejadian lampau merupakan unsur pengeras keindahan dan pungutan ini sesungguhnya membuktikan bahawa pengalaman sedih dan penderitaan sosial merupaklan ciri tradisi masyarakat Melayu. Unsur mimesis yang mengulangi kekuatan makna dan tafsiran mencergaskan lagi nilai pengajaran dan iktibar bagi disedari untuk maksud-maksud yang menggerakkan usaha baru dalam mengatasi kehilangan yang berlaku, kekurangan yang menerasi keinsafan serta kelemahan yang memugar daya baru untuk terus mendapat percobaan yang tidak mengalahkan manusia daripada bersedia menerima Qada’ dan Qadar duniawi. Kita telah menyaksikan betapa rumitnya kehidupan. Pengucapan ini sesungguhnya penghantar raksasa yang membelakangkan kepentingan peribadi, tetapi mendepankan kepentingan masyarakat. Rangsangan yang membina ini sesungguhnya menjadi penawar sosial yang mujarab berbanding sikap yang menyalahkan keluhan dan nasib malang. Dalam kehidupan manusia, tidak ada yang menang. Hampir segalanya kekalahan, manakala sedikit kemenangan itu pun sesungguhnya dinimati di celah-celah kekalahan yang diguliti, di sisi kekurangan yang dicetuskan oleh kelemahan manusiawi. Kemenangan dalam kekalahan ini diungguli oleh penyair Lim Swee Tin dalam puisinya Aduh, Prahara Apakah Lagi:<br /><br />Seperti menangisi pesisir utara<br />siat sukmaku perih terlalu<br />maka, sambutlah kasihku Padang<br />ketika kau pun lebih faham<br />tafsir atau terjemahan<br />hikmah tak terjangkaukan<br />salam belasungkawaku sejernih persaudaraan<br />di rimbun ketaqwaan.<br /><br />Kita telah menyaksikan bagaimana mala petaka merumitkan kehidupan tetapi ia tidak merumitkan kebudayaan. Tidak ada dalam budaya Melayu Nusantara kelegaan yang menyebabkan semua orang ketawa dalam kehidupan. Budaya Melayu memang diperkaya dengan sikap penghuni bumi menerima hakikat dan keletetapan Ilahi berkurun-kurun lamanya, sehingga tahap kedewasaannya diukur berdasarkan sejauh mana masyarakat dapat mengatasi masalah kesusahan, penderitaan dan kebahagiaan berduka-lara dalam sahutan kasih dan rindu. Kasih yang tinggi nilainya ialah kasih yang tenggelam dalam penderitaan dan kepayahan hidup sehingga kematangan akan sampai juga ke puncaknya apabila manusia dibijaksanakan oleh keinginan untuk sentiasa berupaya menghadapi rintangan, dugaan Ilahi dan pelbagai macam pancaroba dengan hati yang terbuka. Hakikat inilah antara yang terungkap dalam Musibah Gempa Padang—pengucapan yang mengundang resolusi diri tentang makna-makna musibah, keburukan dan padah. Manusia tidak boleh mengaku lebih daripada kemampuannya, tidak juga pasti tentang bagaimana diri mereka akan terjadi pada suatu masa akan datang. Manusia boleh meramal ikhtiar tetapi tidak boleh meramal kesimpulan. Ramalan ikhtiar dan keinginan mengatasi kelemahan diri menjadi antara asas yang dicadangkan oleh penyair supaya ketetapan Ilahi itu sentiasa dimurnikan dengan kesedaran dan keinsafan diri ke atas sebab-sebab wujudnya kesan-kesan pada diri di alam fana ini. Alam yang sukar kita teka warnanya tetapi mudah kita contengkan keindahannya. Persepsi psikologi dan kognitif harus berkongsi rasa dan maksud secara serentak supaya, melaluinya, kita memahami mengapa musibah sering ditimpakan di tengah-tengah kehidupan manusia. Penyair tidak membawa ubat untuk mengatasi musibah itu, tetapi membawa doa agar kewujudannya tidak berulang, agar generasi akan datang mendapat kebaikan daripada kesan-kesan doa itu jika diizinkan oleh Allah. Ya, kami semua hanyalah pembawa doa dan aksara-aksara keinsafan agar lebih segar di jiwa kita semua yang lemah di domain kesedaran. Bukankah manusia ini makhluk yang lemah, yang kerana itu kita diberikan Allah sumber-sumber untuk hidup, diberikan udara untuk bernafas, diberikan kekayaan bumi untuk diagihkan nikmat keuntungannya kepada semua, diberikan agama untuk kita menjadi baik. Demikianlah antara fungsi penyair dalam masyarakat.<br /><br />Dalam sepoi-sepoi bahasa yang mengalun lembut, makna pengucapan banyak yang menyirat nuansa penderitaan dalam kewujudan yang tidak disangka-sangka. Melalui kosa kata tertentu bersifat keagamaan, penyair cuba memasuki pengalaman religius yang menjelajah sisi-sisi kesedaran dengan perspektif yang mendoakan penghidupan semula, melupai kepahitan yang mereka alami di tengah-tengah kesederhanaan hidup yang perlu sentiasa segar di ruang dan waktu yang dicirikan oleh desakan membuat pemulihan sendiri demi pembaikpulihan masa depan. Dalam senandung ini, penyair mengemukakan fragmen-fragmen yang berbeza daripada domain kehidupan sengsara yang sama. Fragmen tersebut dapat ditunjukkan perbezaan penekanannya pada maksud mesej yang terungkap dalam ujaran-ujaran yang berikut dalam puisi Tentang Ramalan di Sebuah Mata Kuliah Geologi Itu karya Pringadi Abdi Surya:<br /><br />Tapi kisahnya di kelas geologi tinggal kenangan<br />Ia menatap dirinya di ruang kaca<br />Di antara bola kristal yang menyalanyala<br />Dikelilingi roda gila, anjang cinta, dan komedi putar<br />Di sebuah pasar malam yang melupakan<br />Tentang ramalan di kelas geologi itu<br /><br />Fragmen lain bersifat trapis terungkap dalam puisi Padang, Dalam Derita, Sentiasa Ada Bahagia karya Wan Nur-Ilyani Abu Bakar:<br /><br />Padang,<br />bumimu yang digegarkan tentu sekali membuakkan mata air<br />yang bakal menumpahkan air mata<br />bertahun lamanya<br /><br />namun air matamu nanti kudoakan moga kau hamburkan<br />ke sejadah taubatmu agar kau tidak putus asa<br />dan tidak lena akan satu fakta<br /><br />dalam derita sentiasa ada bahagia<br /><br />Unsur trapi juga dibekalkan oleh penyair Singapura Elmi Zulkarnain dalam puisi Titik Gempa, Titik Sengsara melalui fragmentasi yang saling menyahut kesengsaraan akibat kemusnahan dan akad untuk berubah:<br /><br />Pasrah,<br />Namun jangan mengaku kalah<br />Kehidupan baharu bakal bermla<br />Bebekal rahsia hikmah peristiwa...<br /><br />Menyingkap Bencana Padang<br /><br />Pengalaman dianggap suatu kesaksian dan pengakuan eksistensi diri, bahawa dalam proses mengalami kehidupan, manusia harus bersedia mengalami pertembungan nilai, idealisme dan etika yang pelbagai, supaya di celah-celah pertimbangan yang kompleks itu akan terbayang kehidupan baru yang sedang berjalan, beraktiviti dan berlumuran dalam nilai moral yang bersedia menerima perubahan ada diri mahpun keperluan untuk hidup dengan gaya baru setelah mengalami luka mimpi ngeri yang tidak tertanggung oleh kehidupan malam yang sedang enak tidur. Mimpi ngeri yang jatuh di waktu siang dirasakan bagai beban malam yang sukar bernafas dalam gelap. Bayangkanlah, betapa legapnya ruang harapan untuk tembus ke cahaya. Kehidupan dianggap seolah-olah suatu simpangan yang tertutup jalan hujungnya. Walaupun begitu, penyair sentiasa berada di sisi mereka yang terlekat pada kebuntuan, baik harapan mahupun keinginan untuk menyambung nafas sehari hingga esoknya. Harapan ini terlukis dengan jelas dalam puisi Ranah Minang karya penyair Jakarta Fikar W. Eda:<br /><br />Tanah gembur itu<br />memanggil mereka puang<br />Mari siapkan ruang<br />Untuk doa dan kemuliaan<br /><br />Denting jam gadang<br />Terasa lambat di ujung waktu<br />Maghrib tentu syahdu kali ini<br /><br />Daripada sudut yang membahagikan dua kutub atas pelantar yang sama (satu di pangkal dan satu lagi di hujung), penyair Irwan Abu Bakar menyelaraskan perbezaan dalam satu kesamaan: antara penerimaan ketetapan Ilahi dengan pengajaran terhadap kelemahan diri yang Tuhan laknati. Dalam puisi, Luka Gegar Gempa, Derita Duga Laknat, terungkap kesamaan yang berbeza ini:<br /><br />Aku berdiri di Padang lapang luas terbentang di depan Tuhan<br />musibah di Padang jelas terpampang di daulah pinjaman<br />ada derita Tuhan menduga, ada luka Tuhan melaknat<br />ini takdir buat hamba-Nya, dalam rencana-Nya, pasrahlah tuan.<br /><br />Banyak sajak mengisahkan kegelisahan dalam pencapaian hidup yang terhalang di hujung waktu, walaupun sifat hidup ini masih belum boleh dianggap terasing, malahan akrab betul pada masa yang tetap bersedia menyambung kehidupan seterusnya dalam gerak yang masih segar, bukannya penantian yang sedang menunggu hari kiamat. Horizon yang diterokai oleh penyair menyangkut realiti kehidupan yang masih jauh untuk matang. Keadaan yang wujud menjadikan kehidupan masih di ambang muda, di pintu nostalgia yang mengental lama dengan liku-liku hitam dan kelabu. Masalahnya, apakah proses pengentalan melawan liku-liku hitam itu cukup bertenaga untuk mentransformasikan keburukan kepada kesederhanaan minimum yang tertanggung ke atas pemangsa alam? Mahu tidak mahu, kata penyair, arus laut tetap ganas, dan tidak berhenti-henti mengganas meskipun ada kerajaan ikan yang tenang di bawahnya. Ketenangan yang dinikmati ikan-ikan inilah perlu diteroka oleh mereka yang ditimpa mala petaka itu. Ikan tidak mampu menguak keganasan ombak. Mereka mesti terus mencari di mana sahaja ada lompang yang tenang atau yang kurang ngeri di dasar laut seluas mata memandang itu. Mereka tidak boleh putus harapan, meski terkadang terasa mahu memutuskan kehidupan melalui proses kematian. Akan tetapi kematian bukan pilihan manusia yang sedang hidup. Manusia yang hidup di dunia ini tidak berjuang untuk kematian, kecuali kehidupan baru yang mengantarai kematian. Kematian ini masih tetap hidup sifatnya, kerana dalam proses perpindahan entiti kepada entiti yang lain, keinginan untuk masuk syurga tetap ada. Apakah pilihan orang yang ingin masuk syurga? Jawapannya ialah keinginan untuk terus hidup. Kemujaradan semua ini tersimpul dalam puisi Pause musibah negeri karya Jack Efendi. Puisi dipilih kerana liputan persepsi di dalamnya:<br /><br />Rupanya Engkau bercanda lagi<br />Tuhan aku bertanya kepada-Mu<br />Musibah ini menimpa kepada kami, sebagai balasan atau dosa-dosa kami?<br />Atau karena ujian bagi diri kami?<br /><br />Ataukah ini sudah menjadi kehendak-Mu<br />Sebagaimana yang terurai dalam kalam-Mu<br /><br />“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, rang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahahi wa inna ilaihi raaji ‘uun”<br /><br />Kesimpulan<br />Dalam keadaan apa pun kita berada, atau dalam kita sentiasa dianugerahi Tuhan, sama ada sedang menikmati ketenangan alam atau mala petaka, kita harus terus merancang untuk hidup yang lebih lama. Keinginan ini harus bangkit daripada kewujudan alam melalui akal budi dan pertimbangan yang tidak menolak peruntukan Allah kepada kita. Perutusan inilah yang disampaikan oleh kebanyakan penyair dalam antologi Musibah Gempa Padang, terutama untuk penduduk Pariaman. Kemala dan beberapa penyair lain menggunakan sajak sebagai medium pengucapan rasa dan emosi untuk menuangkan kegelisahan luar sangkaan melalui etstetik bahasanya. Antara puisi yang terindah ialah puisi Antara Padang dan Periaman ciptaan Akmal Jiwa. Puisi ini memuatkan kehalusan emosi yang terulit pada kata-kata yang digunakan di permukaan wacana. Kehalusan maknanya, atau seni tafsirannya, tersusun dengan rapi pada aras dalaman semiosis:<br /><br />Kutatap lagi alam Minangkabau yang asli<br />Kutatap alam batini yang ghaib<br />Hijau adalah sakhlat Firdausi<br />Ngarai menjurai Air terjun Lembah Anai<br />Menayang wajah nan permai.<br /><br />Engku, Sutan, Bagindo, Putri dan Dewi<br />Kulipat makrifat dalam dasawarsa<br />Kalau terlipat belati darah kering di muncungnya<br />Bayang Cinta tak sudah, tibakah alamat Langit?<br />Tujuh lembar senja rawan merintih<br />Bibir pautan meluka<br />Digesek piala sumbing kekasih.<br /><br />Sebelum gempa bumi Minangkabau<br />Akmal menjejak tapak meremas pasir pantai kemarau.<br /><br />Pengucapan kegelisahan yang didendangkannya itu bersaksi antara ketidak-pastian dan harapan yang panjang, yang getir untuk kembali menyusuri hutan pantai kehidupan yang lebih puas hingga ke gigir air pulau-pulau yang sentiasa berkocak. Pergolakan air di lautan menyangsikan kemugkinan yang positif buat masa terdekat. Perjuangan kedekatan ini bukan lagi matlamat kehidupan baru, kecuali perlu semula bertatih untuk menjadi remaja meski kemudiannya tidak semudah menjadi dewasa. Harapan yang berbingkaikan kegigihan dalam usaha untuk meneruskan minat dan niat untuk melupakan saat-saat hitam yang dilalui merupakan antara kulit dan isi perjuangan kesemua penyair Nusantara. Simpati dan perkongsian pengalaman menjadi akar semua puisi dalam antologi Musibah Gempa Padang ini.<br /><br /><br /><br />Bibliografi:<br />Ahmad Kamal Abdullah (1993), ‘Puisi Melayu Mutakhir: Langkah Keindahan Dan Kebijaksanaan’ dlm Telaah Sastera Melayu: Himpunan Kertas Kerja Minggu Sastera Malaysia di London 1992. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka.<br />Arbak Othman (2008), Semiotik. Seri Kembangan: Citra Kurnia Enterprise.<br />Cook, G. (1994), Discourse and Literature. Oxford: Oxford University Press.<br />Edwards, D. (1997), Discourse and Cognition. London: Sage.<br />Fauconnier, G. (1997), Mapping in Thought and Language. Cambtidge: Cambridge University Press.<br />Gibbs, R. (1994), The Poetics of Mind: Figurative Thought, Language and Understanding. Cambridge: Cambridge University Press.<br />Ortony, A. (1993) (Ed.), Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press.<br />Stockwell, P. (2002), Cognitive Poetics, An Introduction. London: Routlege.<br />Tsur, R. (1992), Toward a Theory of Cognitive Poetics. Amsterdam: North-Holland.<br />Werth, P. (1999), Text Worlds: Representing Conceptual Space in Discourse. Harlow: Longman.Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-49132388415517940672009-11-08T07:56:00.000-08:002009-11-08T08:01:51.622-08:00Cerpen-cerpen Seorang Soekarnois<a href="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svbq_9jz7CI/AAAAAAAAANE/Gr4dyfrzRHM/s1600-h/a+kohar+ibrahim"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401763187654913058" style="WIDTH: 300px; CURSOR: hand; HEIGHT: 218px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Svbq_9jz7CI/AAAAAAAAANE/Gr4dyfrzRHM/s320/a+kohar+ibrahim" border="0" /></a><br /><div></div><div>A. Kohar Ibrahim<br /></div><br /><div><a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvbqdWr4hkI/AAAAAAAAAM0/_pJy_RGpy54/s1600-h/bung+karno2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401762593104234050" style="WIDTH: 193px; CURSOR: hand; HEIGHT: 250px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvbqdWr4hkI/AAAAAAAAAM0/_pJy_RGpy54/s320/bung+karno2.jpg" border="0" /></a><br />Bung Karno</div><br /><div></div><br /><div>oleh Asep Sambodja</div><br /><div></div><div>Abdul Kohar Ibrahim adalah seorang Soekarnois sejati. Dalam novel <em>Sitoyen Saint-Jean</em>, A. Kohar Ibrahim (2008) memperlihatkan jati dirinya secara jelas, bahkan dengan penuh kebanggaan sebagai seorang Soekarnois. Ia menulis seperti ini:<br /><br /><em>Karena Presiden Republik Indonesia yang benar sebenar-benarnya adalah republiken Bung Karno, pembina bangsa, pejuang dan proklamator kemerdekaan yang antikolonialis dan neokolonialis serta imperialis. Sedangkan HMS adalah pengkhianat atasnya. Pengkhianatan yang mendatangkan bencana tragedi sampai pada menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia. Salah seorangnya adalah diriku sendiri (Ibrahim, 2008: 11)<br /><br />Seketika aku kangen pada BK. Sang Presiden Republik Indonesia, pembina bangsa dan pemimpin perjuangan kemerdekaan melepas belenggu feodalisme, kolonialisme dan neokolonialisme serta imperialisme. Presiden yang aku hormat hargai dan dicintai oleh rakyat Indonesia. Juga dihormat hargai oleh para pejuang kemerdekaan dan rakyat Asia Afrika. Pun, Presiden yang ahli pidato, penulis dan pencinta seni yang berjiwa besar (Ibrahim, 2008: 15).<br /><br />Konkretnya, selain turba atau turun ke bawah demi lebih mengenal dan lebih mendorong maju perjuangan yang selaras dengan garis Bung Karno, juga menyusun ragam macam tulisan berupa reportase, esai budaya, juga kreasi prosa dan puisi. Yang, jika tidak dimusnahkan rezim militer fasis Orde Baru, tentu bukti-buktinya bisa dilacak di berbagai surat kabar dan majalah zaman itu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (Ibrahim, 2008: 20).<br /></em><br />Kutipan di atas memperlihatkan betapa A. Kohar Ibrahim begitu gandrung dengan sosok Presiden Soekarno. Kecintaan Kohar kepada Bung Karno itu juga tercermin melalui cerpen-cerpennya yang terdapat dalam <em>Laporan dari Bawah</em> yang dihimpun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008). Cerpen-cerpen itu berjudul “Danau Tigi Merah Berdarah”, “Ombak Terus Bergelora”, “Pesan”, “Penyergapan”, dan “Keinginan Seorang Perempuan”. Empat cerpen pertama berkisah tentang orang-orang yang berada di lini paling depan dalam pertempuran. Sementara cerpen “Keinginan Seorang Perempuan” berkisah tentang keinginan seorang istri yang sedang ngidam, yakni ia mengidam suaminya memanggul senjata. </div><div><br />Hampir semua tokoh dalam cerpen-cerpen itu menjadi anak wayang yang dimainkan sang dalang. Dalam arti, pengarang sangat berperan betul dalam cerita itu. Tokoh-tokohnya tidak diberi ruang ataupun kesempatan untuk berpikir, berbicara, dan bertindak menurut kata hati tokoh itu sendiri, melainkan semuanya tergantung pada sang pengarang sebagai dalang. Akibatnya, watak tokoh-tokohnya hampir sama pula. Dan pembaca harus membaca dengan sabar karena seperti mendengar dongeng yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca seperti menempati ruang sempit untuk berimajinasi dan berfantasi sendiri. Namun, pembaca diuntungkan dengan penggunaan kata dan bahasa yang bagus oleh pengarang.<br /></div><div>Kecintaan Kohar kepada Bung Karno itu dicerminkan dengan pesan yang disampaikannya melalui cerpen-cerpennya. Dalam “Danau Tigi Merah Berdarah” Kohar bercerita tentang perjuangan membebaskan Irian Barat. Sementara dalam cerpen “Ombak Terus Bergelora”, Kohar menyinggung peristiwa konfrontasi dengan Malaysia. Kedua topik itu sangat relevan dan bersetuju dengan kebijakan Presiden Soekarno. Tokoh utama dalam kedua cerpen itu adalah pejuang yang selalu berada di garis depan. Sama halnya dengan tokoh utama dalam cerpen “Pesan” dan “Penyergapan”.<br /></div><div>Ada yang menarik dalam cerpen “Danau Tigi Merah Berdarah” dan “Ombak Terus Bergelora”, yakni tokoh utamanya sama-sama tertembak di bagian lengan. Ada keberanian, ada semangat pengorbanan yang diperlihatkan tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen A. Kohar Ibrahim. Saya kutipkan adanya kesamaan “nasib” dua tokoh utama dalam dua cerpen itu.<br /><br /><em>Rumah-rumah rakyat dibakar Belanda! Dengan gila dan biadab! Marius menyelisip di antara belukar, memberi aba-aba pada anak buahnya yang tersebar di tempat-tempat tersembunyi. Lalu memuntahkan peluru senjatanya ke arah musuh yang bertebaran. Suara jerit parau dan tangis yang menyakitkan hati tak terindahkan lagi. Tetapi tiba-tiba Marius menyeringai, dirasakan hangat dan panas pada lengannya yang ditembus peluru. Terhuyung-huyung ia menyelinap di balik batu-batu sambil menahan nyeri, lalu merangkak. Tetapi tak kuat... tubuhnya berpeluh dingin.<br />(“Danau Tigi Merah Berdarah”)<br /><br />Ketika Fatimah sibuk mengurusi seorang yang terluka dekat sebuah pohon, tanpa diketahui musuh telah begitu dekat, peluru mendesing-desing di kiri kanan. Dan tiba-tiba ia menyeringai, dirasakan lengan tangannya yang kanan hangat. Dirabanya dengan tangan kiri, darah terkelucak, ketika itu matanya kunang-kunang. Dipejamkannya matanya, berdiri dan berusaha melangkah, tapi tak kuasa. Seorang anggota Laskar melihat dia, berteriak menyambar tubuhnya yang melayang hampir jatuh ke tanah.<br />(“Ombak Terus Bergelora”)<br /></em><br />Saya merasakan nikmat membaca pada bagian-bagian seperti ini. Kohar mendeskripsikan dengan baik saat-saat sang tokoh tertembak. Dan pembaca mungkin menangkap gambaran bahwa orang yang tertembak akan “menyeringai” dan “merasakan hangat” terkena peluru. Kedua tokoh itu tidak dimatikan oleh pengarang, karena masih diandalkan untuk menceritakan kisah selanjutnya, karenanya pula kedua tokoh itu sama-sama terkena tembakan di bagian lengan yang memang tidak mematikan.<br /></div><div>Dalam cerpen “Pesan” dan “Penyergapan”, Kohar memperlihatkan semangat patriotisme yang melekat pada tokoh-tokohnya. Di dalam kedua cerpen itu pula diungkapkan betapa menjijikkannya orang-orang yang mau menjadi mata-mata penjajah. Ternyata bahwa dalam perjuangan, masih saja ada orang yang mencari untung buat dirinya sendiri, bahkan merugikan teman-teman sebangsanya sendiri. Luapan kekesalan itu terbaca dengan terang dalam kedua cerpen itu.<br /></div><div>Sebagaimana judulnya, “Pesan”, cerpen ini mengisahkan tertangkapnya Agam oleh polisi-polisi kolonial. Agam tertangkap karena ada mata-mata yang membocorkan tempat persembunyiannya. Meskipun tertangkap dan dijatuhi hukuman gantung, Agam tidak memperlihatkan wajah penyesalan kepada istrinya, Parsih. Ketika istrinya diberi kesempatan bertemu untuk terakhir kalinya, di situlah pesan-pesan Agam dikeluarkan secara beruntun.<br /><br /><em>“Parsih, kita selalu mimpikan untuk bebas. Alangkah rindunya kita pada kebebasan, lepas dari tindasan kemelaratan dan ketakutan. Dan aku bersama kawan-kawan dan rakyat lainnya melakukan semua itu karena satunya keinginan untuk bebas itu...<br />Parsih, jangan kau habiskan airmata hanya untuk menangisi aku. Pengadilan kolonial telah memutuskan, aku harus menjalani hukuman...<br />Parsih, relakan aku. Hanya aku pesan, nanti, kalau saatnya telah datang… kau sudilah tanami pohon bunga merah di atas makamku. Kembang Beureum. Ingatlah Parsih. Ini pintaku, keinginanku.”<br />(“Pesan”)<br /></em><br />Sementara dalam cerpen “Penyergapan”, yang tertembak adalah rekan seperjuangan Mansur yang bernama Amin. Dalam melakukan aksi penyergapan itu, Amin buru-buru mendekati serdadu-serdadu Jepang yang bergelimpangan. Dia tidak memperhitungkan bahwa tentara Jepang yang menjatuhkan diri dan pura-pura mati itu hanyalah taktik mereka belaka. Ketika tahu Amin tertembak, Mansur pun kemudian melemparkan granat ke gerombolan serdadu Jepang, yang mengakibatkan semuanya mati.<br /></div><div>Cerpen “Keinginan Seorang Perempuan” menggunakan setting di Angola yang tengah dijajah Portugis. Kohar ingin menggambarkan bahwa semua hasil kebun yang ada di negara tersebut sudah dikuasai pihak imperialis, karena itu dia tidak bisa memenuhi keinginan istrinya yang mengidam berbagai hasil kebun. Akhirnya, istrinya bisa mengerti dan mengidamkan sesuatu yang spesial, yakni meminta suaminya, Natsa, untuk angkat senjata melawan kaum penjajah.<br /><br /><em>Ketika aku kembali menemui Kakek Keita, kakek itu menyelangak. Berkata, “Apa yang tidak dikuasai oleh orang-orang Portugis atau Eropa dari hasil bumi Angola kita, Natsa? Hampir semua mereka kuasai!” Dan ketika mengucapkan ini nampak wajah kakek merah padam. Sambungnya, “Jangankan kopi, jagung, lada, dan kapas… sampai budak-budak pun mereka kuasai! Apapun emas, berlian, dan besi serta hasil-hasil tambang lainnya yang sangat bernilai harganya! Benda-benda itu memang dari bumi, hasil keringat rakyat Angola, tapi,” kata kakek menekankan, “oleh karena orang-orang kulit putih itu yang berkuasa, merekalah yang menikmati semuanya.”<br />…<br />“Memang aku mengidamkan sesuatu, putra kita, entah kenapa aku begitu ingin dalam hari-hari ini mereguk secangkir kopi murni dan mengunyah jagung muda yang manis dan gurih. Oleh karena belum lagi terpenuhi, kutekan sekuat hati keinginan itu. Aku lebih menginginkan yang lain: engkau menyandang bedil!”<br />(“Keinginan Seorang Perempuan”)<br /></em><br /><br />Dari beberapa kutipan di atas terlihat kemampuan seorang Kohar Ibrahim dalam bertutur dan bercerita. Kata-katanya sangat terjaga dan memikat. Pesan yang diusungnya sehaluan dengan garis kebijakan Presiden Soekarno, tokoh yang diidolakannya sejak kecil. Ia menyuarakan antiimperialisme, mengobarkan semangat berjuang dalam merebut Irian Barat (kini Papua) dan berkonfrontasi dengan Malaysia, serta rasa setia kawan dengan bangsa Afrika yang sama-sama terjajah. Kohar juga mengobarkan semangat berani berkorban dan sikap seorang patriot sejati, nasionalis tulen, demi kemerdekaan rakyat Indonesia.<br /><br /><strong><em>Citayam, 8 November 2009 </em></strong></div>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-48730048927236211722009-11-08T04:29:00.001-08:002009-11-08T04:31:02.524-08:00Kepada Eko Endarmoko<a href="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Sva5tAJHmwI/AAAAAAAAAMs/wfOziYEhQpo/s1600-h/eko+endarmoko.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401708985860987650" style="WIDTH: 159px; CURSOR: hand; HEIGHT: 138px" alt="" src="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Sva5tAJHmwI/AAAAAAAAAMs/wfOziYEhQpo/s320/eko+endarmoko.jpg" border="0" /></a><br /><div></div><br /><p>oleh Asep Sambodja<br /><br />Mas Eko “Tesaurus” Endarmoko yang baik, terima kasih banyak atas pertanyaan-pertanyaannya yang bergizi atas artikel saya, “Sejarah Sastra Indonesia Modern Versi Bakri Siregar” (9 Oktober 2009). Sebenarnya saya sudah menulis tentang sejarah sastra Indonesia dengan cukup panjang dalam “Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia” (dalam Suhardiyanto, 2005). Kalau membicarakan khazanah sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Indonesia, ini sama dengan pemikiran Umar Junus yang mengatakan “Sastra ada setelah bahasa ada”. Tentang hal ini, kalau merujuk pada bahasa Indonesia yang lahir pada 28 Oktober 1928, maka mubazirlah karya sastra Indonesia yang lahir sebelum itu.<br /><br />Mengenai sastra tentang Indonesia dan yang terbit di Indonesia, ini semua orang bisa melakukannya; tidak perlu dia harus punya KTP atau SIM di Indonesia. Jadi, mengenai hal ini tidak bisa dijadikan ukuran.<br /><br />Sastra karya orang Indonesia adalah yang menjadi fokus perhatian saya. Saya tidak lagi membedakan sastra Indonesia dan sastra nusantara. Pengertian “nusantara” juga sekarang ini agak longgar karena Malaysia dan negara tetangga juga menggunakan istilah ini. Saya lebih “sreg” dengan istilah sastra Indonesia dan sastra di Indonesia. Yang dimaksud dengan sastra di Indonesia adalah karya sastra yang menggunakan berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia. Kalau sastra yang menggunakan bahasa daerah tidak diklaim sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia, apa kata dunia? Hal itu nantinya bisa dikategorikan sebagai primordialisme atau yang lebih parah lagi bisa diklaim oleh negara lain. Ini serius, karena ada karya sastra berbahasa daerah yang bahasanya mirip-mirip dengan bahasa negeri sebelah. Ataupun, ada Suriname di sebelah sana.<br /><br />Yang ingin saya katakan adalah “melindungi aset budaya bangsa Indonesia, menyelamatkan pikiran dan perasaan yang diekspresikan oleh orang Indonesia dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah”. Contoh yang sudah ada adalah karya Mas Marco Kartodikromo yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Contoh terkini adalah karya Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Begitu juga Suparto Brata yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.<br /><br />Premis saya ini memang sudah dikritik oleh Melani Budianta, karena logistiknya akan “amat sangat banyak sekali”. Ini kan risiko kita sebagai warga negara yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Jadi, mau tidak mau kita harus mengeksplorasinya. Kerja seperti ini memang tidak selesai satu dua hari. Butuh waktu dan tenaga yang luar biasa juga. Saya sedang mencontoh apa yang dilakukan Majalah Tempo yang menguak misteri peristiwa G30S 1965; setiap tahun dia menguak misteri itu satu demi satu, sedikit demi sedikit. Lama-lama misteri itu akan terkuak juga. Bukankah itu dikerjakan banyak orang dan memakan waktu yang cukup lama. Jadi, perlu kesabaran dan ketekunan dan ketelatenan juga.<br /><br />Soal pembabakan sejarah sastra selama ini yang belum valid, saya pikir menjadi tugas kita semua untuk menyempurnakannya. Apa yang tengah saya kerjakan ini memuat ambisi seperti itu, hanya saja saya pun maklum bahwa apa yang akan saya hasilkan nantinya belumlah sempurna. Dan tidak ada yang sempurna. Saya pikir <em>Tesaurus Bahasa Indonesia</em> yang sudah dibikin oleh penulisnya sampai “nungging-nungging” itu pun masih perlu diperbaiki; belum sempurna. Demikian pula yang sedang saya kerjakan ini. Yang penting dan yang harus diingat oleh kita semua adalah kata-kata sakti dari Maxim Gorki agar kita tidak begitu saja dibohongi oleh penguasa, bahwa <em>the people must know their history</em>. Kiranya begitu, Mas Eko Endarmokoku tercinta.<br /><br /><strong><em>Citayam, 9 Oktober-8 November 2009 </em></strong></p>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-60602876759778211312009-11-07T22:01:00.001-08:002009-11-07T22:05:13.561-08:00Adakah Duka Lebih Duka yang Kita Punya, Anantaguna?<a href="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvZew61nLbI/AAAAAAAAAMk/_Mja9MYPA28/s1600-h/komunis.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401608997598342578" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 238px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvZew61nLbI/AAAAAAAAAMk/_Mja9MYPA28/s320/komunis.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Pramoedya Ananta Toer (2003) dalam buku <em>Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia</em> mengatakan bahwa sajak “Potret Seorang Komunis” karya Sabar Anantaguna dan “Demokrasi” karya Agam Wispi merupakan prestasi sastra realisme sosialis yang telah mendapatkan bentuk dan pengucapan yang tepat. Pernyataan Pramoedya ini menggelitik saya untuk mengetahui lebih jauh tentang kepenyairan Sabar Anantaguna, sekaligus ingin mengetahui puisi seperti apa yang menjadi “selera” Pramoedya Ananta Toer itu. Dalam buku <em>Gugur Merah</em> yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), kita bisa menemukan kedua puisi tersebut. Namun, saya ingin memfokuskan pembicaraan pada puisi-puisi S. Anantaguna. Berikut puisi “Potret Seorang Komunis” yang dipuji Pramoedya sebagai “prestasi sastra realisme sosialis” itu.<br /><br /><strong>Potret Seorang Komunis<br /></strong><br />Adakah duka lebih duka yang kita punya<br />kawan meninggal dan darahnya kental di pipi<br />tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati<br />Adakah tangis lebih tangis yang kita punya<br />badan lesu dan napas sendat di dada<br />tapi hasrat dan kerja berkejaran dalam waktu<br />Bila terpikir bila terasa bila kesadaran mencari dirinya<br />bila pernah ditakuti tapi juga disayangi<br />bila kalah pun berlampauan dan menang akan datang<br />adalah dada begitu sarat keinginan akan nyanyi<br />dan apakah yang aku bisa selain hidup<br />adalah bangga lebih bangga yang kita punya<br />di pagi manis daun berbisikan tentang komunis<br />begitu lembut begitu mesra didesirkan hari biru<br />Adakah cinta lebih cinta yang kita punya<br />sebagai kesetiaan yang berkibar di waktu kerja<br /><br /><br /> Secara tersurat kita bisa melihat bagaimana permainan repetisi yang dilakukan S. Anantaguna menghasilkan keindahan bunyi dan irama, yang membuat puisi ini tampak cantik. Sementara secara tersirat bisa kita rasakan bagaimana penggambaran Anantaguna tentang seorang komunis. Kematian seorang komunis begitu menyisakan luka yang mendalam, sehingga timbul tanya: adakah duka yang lebih duka yang kita punya? Rasa duka itu timbul karena sesama orang komunis terjalin tali silaturahmi yang demikian kuat; sesama komunis adalah bersaudara. Puisi tersebut juga memperlihatkan ciri khas puisi sastrawan-sastrawan Lekra pada umumnya. Meskipun mereka berduka atas kematian sahabatnya, hingga tak terkatakan lagi, “adakah tangis lebih tangis yang kita punya”, mereka tidak boleh atau diharamkan untuk larut dalam kesedihan dan kepiluan itu. Tidak boleh sentimental. Tidak boleh cengeng. Karena itu, dalam puisi duka semacam itu harus tetap ada “hasrat” dan “kerja”. Sehingga terbaca di akhir puisi: adakah cinta lebih cinta yang kita punya, sebagai kesetiaan yang berkibar di waktu kerja?<br /><br /> Demikianlah potret seorang komunis yang saya tangkap dari puisi S. Anantaguna. Kalaupun harus menulis puisi tentang kematian, maka tidak melulu takluk pada kematian itu an sich, melainkan harus ada setitik harapan.<br /><br /> Dalam puisi “Demokrasi” karya Anantaguna, saya melihat sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat itu demikian melekat pada dirinya. Puisi ini mengingatkan saya pada novel A. Kohar Ibrahim (2008), <em>Sitoyen Saint-Jean</em>, yang merasa mendapatkan kehidupan yang benar-benar demokratis justru di negara Kerajaan Belgia; dan tidak ia dapatkan di negara yang menganut paham Suhartokrasi. Berikut saya kutip puisi “Demokrasi” S. Anantaguna:<br /><br /><strong>Demokrasi<br /></strong><br />Lantangkan suaramu dan katakan kau bisa membantai bulan<br />Rakyat begitu merdu dan matahari begini tinggi<br />Lantangkan suaramu dan katakan kau bisa bikin demokrasi mati<br />Rakyat begitu cinta dan aku tak ada batasnya<br />Sorak, sorakkan keparauan—kesumbangan<br />tanahku tanah air dan nyanyiku adalah bumi<br />sorak, sorakkan kepahitan—kekalahan<br />bila gagang api kau todongkan aku ini api<br />Di sini, di sini aku berdiri<br />di sinilah ada aku, aku, aku, sebanyak bintang-bintang<br />di pohon para di batang padi<br />di debu kota di mana saja<br />Jangan coba sentuh aku jangan coba bunuh aku<br />karena matahari telah telanjur begini tinggi<br /><br /><br /> Dalam puisi tersebut, Anantaguna menyatukan dirinya dengan demokrasi itu sendiri. Dan ia menantang kepada orang-orang, penguasa, tiran, diktator, atau siapa pun yang mencoba membunuh demokrasi untuk menaklukkannya. Niscaya tak akan bisa, karena <em>vox populi vox Dei</em>, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam hal ini, saya teringat dengan ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed M.D. pada hari bersejarah 3 November 2009, “Siapa pun yang berusaha menghalangi arus rakyat, maka dia akan tergulung dan tergilas.” Demikian sejarah mengajarkan pada para penguasa untuk bersikap bijaksana dengan suara rakyat. “Rakyat begitu cinta dan aku tak ada batasnya.”<br /><br /> S. Anantaguna adalah salah satu penyair Lekra yang kuat dalam menyampaikan pesan namun tidak kehilangan greget kepenyairannya. Tidak salah kalau seorang Pramoedya Ananta Toer terpikat dengan puisi-puisi Anantaguna. Sebab, kalau kita perhatikan, puisi-puisi Anantaguna merupakan ekspresi dari hasil penyelaman dan penghayatan penyairnya yang masuk ke lubuk sanubari masyarakat. Dan selalu saja yang menjadi perhatian untuk dibelanya adalah rakyat kecil. Berikut ini saya kutip secara utuh puisi “Terlalu” yang memperlihatkan perhatiannya yang begitu besar pada rasa keadilan rakyat.<br /><br /><strong>Terlalu<br /></strong><br />Terlalu banyak kisah<br />dan terlalu pendek waktu menulis sejarah<br />di pelabuhan aku lihat<br />kaki-kaki proletariat<br />bolak-balik di dermaga<br />bila dijumlah berpuluh kilo dilaluinya<br />juga lewat pundaknya<br />berjuta-juta kekayaan negara dan swasta<br />belum pernah dirasakan<br /><br />Terlalu banyak kulihat<br />dan terlalu sedikit kertas untuk mencatat<br />di sawah ladang petani<br />mengabdi revolusi<br />bila dihitung betapa truk produksi padi<br />lewat tangannya juga<br />nasi pemimpin, jenderal, intelektual, semua<br />berhutang kepada keringatnya<br /><br />Terlalu banyak kisah<br />dan terlalu sedikit kebenaran dalam buku sejarah<br />kepahlawanan proletariat<br />prajurit yang cacat<br />yang gugur di malam pekat<br />dan berapa rim sudah kertas terbuang<br />juga bermiliar-miliar kas negara keluar uang<br />koruptor bilang “pejuang”<br /><br />Terlalu banyak kudengar<br />ratusan gadis jual diri karena lapar<br />mereka anak proletariat<br />anak petani keluar keringat<br />mereka pun membayar pajak sama berat<br />membayar merdeka dan revolusi dengan taat<br />si genit anak komprador kapasitas birokrat<br />gelandangan terlalu banyak waktu kantongnya padat<br /><br />Ah dik, jangan keliru mengutuki tanah air<br />meski beribu drum tinta sudah mengalir<br />pengarang-pengarang gadungan risau hati humanisme<br />begitu takut kehilangan imperialisme<br />sarjana-soska bohong di universitas<br />aku pilih rakyat berjuang Indonesia bebas!<br /><br />Bait pertama hingga keempat, penyair Anantaguna menggambarkan penderitaan buruh, tani, prajurit, dan kaum perempuan. Dalam bait-bait itu juga ada ironi. Buruh dan petani yang bekerja keras tidak mendapatkan penghargaan sesuai dengan yang mereka lakukan. Begitu pula dengan prajurit yang telah berjuang di garis depan, dan mengalami cacat akibat perang, hidupnya tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. Selama ini buku-buku sejarah hanya mencatat para penggede; padahal yang memberi mereka makan, kemudahan, dan kemewahan adalah orang-orang yang berada di bawah. Sistem kapitalisme seperti ini memang menyedot keringat kaum buruh, tani, prajurit, dan kaum proletar, kaum miskin kota dan kaum miskin desa, orang-orang yang senantiasa terpinggirkan.<br /><br />Dan, penyair-penyair salon atau “pengarang-pengarang gadungan risauhati humanisme begitu takut kehilangan imperialisme,” pun “sarjana-soska bohong di universitas,” tegas penyair Anantaguna.<br /><br />Apakah “sarjana-soska” itu? Menurut Ahmad Sujai, pengajar Sastra Rusia UI, soska yang dimaksud di situ sama seperti sosis. Jadi, ungkapan itu kurang lebih bermakna “sarjana yang bermental sosis”. Jika kita buka kamus bahasa Prancis, kita akan menemukan kata <em>sans souci</em> yang berarti “tidak peduli”. Jadi, kemungkinan penyair Anantaguna ingin mengkritik para sarjana dengan ungkapan “sarjana-soska” atau “sarjana yang tidak peduli” yang tidak memberikan ilmu kehidupan bagi mahasiswa.<br /><br /><strong><em>Citayam, 8 November 2009 </em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-15824645772383761132009-11-06T16:35:00.000-08:002009-11-06T16:41:26.204-08:00Cicak dan Buaya dalam Puisi Indonesia Modern<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvTBJTtWVSI/AAAAAAAAAMc/D8IBEHeq49A/s1600-h/tulus+wijanarko.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401154218777531682" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 260px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvTBJTtWVSI/AAAAAAAAAMc/D8IBEHeq49A/s320/tulus+wijanarko.jpg" border="0" /></a><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br />Ketika puisi Tulus Wijanarko yang berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” muncul di facebook saya, spontan saya mengatakan, inilah puisi Indonesia terbaik bulan ini. Ketika itu bulan menunjukkan Oktober 2009. Saya seperti menemukan kembali puisi yang bermanfaat bagi orang banyak, bagi masyarakat. Selama ini, terus-terang saja, dunia puisi Indonesia modern didominasi oleh apa yang dikatakan Rendra sebagai penyair-penyair salon. Mereka menulis puisi tanpa melihat jeritan batin rakyat kecil. Hal itu seperti menjadi lumrah dalam media massa kita. Sah-sah saja penyair-penyair salon itu bicara tentang persoalan pribadinya, kemelut hati, eksplorasi dan bahkan eksploitasi seks, silakan saja. Karena menulis topik apa pun pasti memiliki dasar yang sangat kuat, yakni kebebasan ekspresi.<br /><br />Hanya saja, penyair yang peduli dengan kehidupan rakyat kecil itu masih sedikit jumlahnya. Kalaupun ada, maka posisinya selalu dipinggirkan, termarginalkan. Kita ingat ketika Rendra muncul dengan puisi-puisi pamflet, maka yang melecehkan bukan saja penyair-penyair salon, melainkan penguasa yang tak tahan kritik. Rendra pun dipenjara. Kita ingat ketika Wiji Thukul muncul dengan puisi-puisi perlawanannya, tak ada koran yang berani memuat puisinya. Ia malah diculik dan dibunuh oleh Rezim Orde Baru.<br /><br />Kini, ketika puisi Tulus Wijanarko terbit di media online, dalam hal ini facebook, seakan-akan ada sinar yang menerangi jagad perpuisian Indonesia. Setelah Saut Situmorang dan Heri Latief, kini saya menemukan sosok penyair antipenindasan yang melekat pada diri Tulus Wijanarko. Puisi Tulus ini lahir tidak seperti bintang yang jatuh dari langit, melainkan ada konteksnya. Dan, rakyat Indonesia tahu dan paham apa yang tengah terjadi di dunia penegakan hukum kita.<br /><br />Makanya, agak aneh rasanya jika kenyataan yang kita lihat adalah persekongkolan busuk yang sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, penyair malah bicara tentang payudara atau tentang bunga. Menurut saya, boleh saja mereka menulis puisi tentang itu, tapi jangan selamanya menutup mata, jangan membohongi hati nurani sendiri dengan sembunyi di balik selimut “seni untuk seni”.<br /><br />Dalam hal ini, saya sepakat dengan Adnan Buyung Nasution, bahwa persoalan hukum jangan hanya dilihat pada segi normatif legalistiknya saja, jangan hanya dilihat pasal-pasalnya saja, tapi lihat dan perhatikan juga rasa keadilan masyarakat. Demikian pula dengan menulis puisi, jangan hanya dilihat bentuk formalnya saja, tapi selami dan hayati persoalan-persoalan yang tengah dirasakan rakyat. Dalam koridor seperti itulah saya sangat beruntung menemukan kembali puisi perlawanan dari seorang penyair yang juga wartawan Koran Tempo, Tulus Wijanarko.<br /><br />Jujur saya katakan, sebelum menulis puisi perlawanan ini, Tulus banyak menulis puisi-puisi yang mengangkat masalah keseharian, yang mengingatkan kita pada Pak Besut dan Umar Kayam; yang kini diteruskan Bakdi Soemanto. Bahkan saya sempat memberi julukan “Penyair Angkringan” kepada Tulus Wijanarko karena puisinya tentang angkringan membangkitkan nostalgia pada Yogyakarta.<br /><br />Sebagaimana Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed M.D. yang mengukir sejarah pada Selasa, 3 November 2009, karena membongkar mafioso peradilan di Indonesia; yang memperdengarkan rekaman seorang cukong bernama Anggodo Widjojo yang dengan begitu entengnya mengatur penanganan hukum terhadap adiknya, Anggoro Widjojo, yang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang mengejutkan jutaan rakyat Indonesia adalah: yang diatur oleh Anggodo ini adalah pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kejaksaan Agung dan Polri. Tidak hanya itu, advokat atau pengacara atau lawyer yang seharusnya “membela yang benar” dan bukannya “membela yang bayar” itu juga diperlakukan seperti kuli. Seperti tukang. Tukang yang dibayar secara borongan. Karena, kata Anggodo dalam rekaman percakapan itu, uang sebesar Rp5 miliar yang dikucurkan itu bukan hanya sebagai lawyer fee, tapi juga untuk pejabat-pejabat di dua lembaga penegak hukum itu.<br /><br />Tentu saja ini menyakiti hati rakyat banyak. Kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan Agung dan Polri pun melorot tajam.<br /><br />Tulus pun demikian. Dalam konteks seperti itulah muncul puisi berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” karya Tulus Wijanarko. Puisi ini pun langsung saya muat dalam blog Puisi Indonesia Modern (<a href="http://puisiindonesiamodern.blogspot.com/">http://puisiindonesiamodern.blogspot.com</a>) sebagai penghargaan yang saya berikan kepada sang penyair. Berikut ini adalah puisi Tulus yang saya maksud:<br /><br /><strong>Sajak Perlawanan Kaum Cicak<br /></strong><br />karya Tulus Wijanarko<br /><br /><br /><em>Kami tahu tanganmu mencengkeram gari<br />karena kalian adalah bandit sejati<br /><br />Kami tahu saku kalian tak pernah kering<br />karena kalian sekumpulan para maling<br /><br />Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal<br />sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal<br /><br />Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang<br />demikianlah takdir para pecundang<br /><br />Kami mengerti otak kalian seperti robot<br />meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot<br /><br />Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan<br />karena kalian memang hanyalah gerombolan budak<br />yang meringkuk jeri di mantel sendiri<br /><br />Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan<br />dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara<br /><br />karena kalian tahu<br />Kami tidak takut kepadamu<br />Kami tidak takut kepadamu<br />dan akan melawan tak henti-henti<br /><br />kami tahu<br />kalian gemetar,<br />Kami sangat tahu<br />kalian sungguh gemetar!<br /><br />28/09<br /></em><br /> Menurut saya, puisi Tulus di atas memperlihatkan keberanian yang luar biasa yang dimiliki penyair. Puisi perlawanan ini bisa berfungsi ganda. Pertama, puisi tersebut merekam perasaan penyair yang merepresentasikan manusia Indonesia pada umumnya, sekaligus menjadi bagian penting dalam sejarah pemberantasan mafioso peradilan di Indonesia dan mampu merekam semangat zaman. Kedua, puisi ini menjadi bara yang membangkitkan keberanian pada rakyat untuk melawan ketidakadilan. Meskipun para pejabat-pejabat yang keseleo lidah mengatakan dirinya sebagai buaya itu berkelit, bersilat lidah, dan akting di depan kamera televisi, namun sejatinya rakyat sudah tahu bahkan melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri; betapa bobroknya aparat penegak hukum di Indonesia. Betapa menyedihkan!<br /><br /> Ketika saya berkunjung ke facebook Saut Situmorang, saya membaca sebuah puisi perlawanan yang lain. Puisi “Negeri Para Bedebah” itu ditulis oleh Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Puisi itu dikirim oleh Wanda Hamidah ke facebook Saut Situmorang. Tak lama setelah itu, saya juga menyaksikan pembacaan puisi itu oleh Adhie Massardi di Metro TV. Selengkapnya saya kutip puisi itu di sini:<br /><br /><strong>Negeri Para Bedebah<br /></strong><br />karya Adhie Massardi<br /><br /><em>Ada satu negeri yang dihuni para bedebah<br />Lautnya pernah dibelah tongkat Musa<br />Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah<br />Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala<br /><br />Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?<br />Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah<br />Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah<br />Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah<br /><br />Di negeri para bedebah<br />Orang baik dan bersih dianggap salah<br />Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan<br />Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah<br />Karena hanya penguasa yang boleh marah<br />Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah<br /><br />Maka bila negerimu dikuasai para bedebah<br />Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah<br />Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum<br />Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya<br /><br />Maka bila negerimu dikuasai para bedebah<br />Usirlah mereka dengan revolusi<br />Bila tak mampu dengan revolusi,<br />Dengan demonstrasi<br />Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi<br />Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan<br /></em><br /><br /> Puisi Adhie Massardi tersebut sangat simbolik dan menggunakan idiom-idiom keislaman. Dari puisi tersebut, pesan yang ingin disampaikan penyair sangat jelas; baik dilihat dari judul puisi maupun kata-kata yang digunakan sang penyair. Keberpihakan penyair pada wong cilik, kaum tertindas, juga tampak jelas dalam puisi tersebut. Hanya saja, jika dibandingkan dengan puisi Tulus Wijanarko, maka terbaca bahwa puisi Tulus sangat menikam.<br /><br /> Sebenarnya penyair tidak perlu menjelaskan “anak rohani”-nya kepada pembaca. Kalau dijelaskan, maka sama saja kita menjelaskan “proses persetubuhan” yang telah kita lakukan hingga lahirlah karya itu; lahirlah “anak rohani” sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer. Tapi, perlu saya jelaskan di sini: karena puisi Tulus di atas merupakan bagian dari sejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, maka ada baiknya penyair pun memberikan semacam kesaksian mengenai proses kreatifnya. Ini bukan untuk gaya-gayaan, melainkan untuk mengetahui bagaimana proses kelahiran sebuah puisi yang saya katakan terbaik untuk bulan Oktober 2009. Bahkan bisa jadi puisi itu merupakan puisi terbaik tahun 2009.<br /><br /> Meskipun demikian, saya pun membuka ruang yang sebebas-bebasnya buat pembaca untuk menafsir dan menginterpretasikan puisi Tulus Wijanarko dan Adhie Massardi.<br /><br /><em>Citayam, 6 November 2009<br /></em><br /><strong>LAMPIRAN:<br /></strong><br /><strong><em>Sajak Perlawanan Kaum Cicak: Sebuah Proses Kreatif<br /></em></strong><br />oleh Tulus Wijanarko<br /><br />Sajak ini muncul karena kemarahan. Saya mendengar berita penahanan dua petinggi KPK (non-aktif) Chandra Hamzah dan Bibit Riyanto dari sebuah running news di sebuah televisi, 20 Oktober, sekitar Maghrib. Saat itu saya masih di kantor dan mendiskusikan rencana berita yang akan turun esoknya denga teman-teman.<br /><br />Berita itu sangat mengejutkan. Karena, setidaknya saya, sebelumnya tak mendengar isyu-isyu bahwa Chandra dan Bibit akan ditahan. Hal-hal seperti ini, biasanya sudah terdengar selentingannya sejak pagi atau sehari sebelumnya. Kali ini tidak.<br /><br />Ternyata bukan hanya saya, hampir semua orang terbakar amarahnya atas peristiwa yang menimpa Bibit—Chandra itu. Khalayak menganggap keduanya korban dari kedzaliman dan arogansi kepolisian. Rasa keadilan masyarakat terkoyak.<br /><br />Kemarahan itulah yang saya rasakan sepanjang malam itu. Hingga dalam perjalanan pulang pun, saya belum bisa meredakan diri. Saya berpikir, kemarahan ini harus disalurkan. Perlawanan harus dilakukan atas kesewenangan ini. Dan saya bermaksud mewujudkannya dalam sebuah puisi.<br /><br />Maka sambil mengemudikan mobil menuju rumah di Bekasi, pikiran saya rusuh. Saya berusaha mengendapkan kemarahan, seraya terus berpikir menemukan formula penulisan yang pas bagi puisi perlawanan ini.<br /><br />Saya mencari formula: bagaimana agar dalam puisi ini muncul nuansa kemarahan dan perlawanan yang kental, tetapi tidak membabi buta. Tetap ada sentuhan estetika. Karena kalau membabi-buta, apa bedanya dengan makian-makian kasar?<br /><br />Meski demikian, saya tak ingin terpenjara begitu keras pada estetika--jika karena hal itu menyebabkan puisi saya nanti kehilangan substansi perlawanannya!<br /><br />Terus terang, pada saat memikirkan itu, saya lalu teringat sajak-sajak (perlawanan) Wiji Thukul. Kebanyakan sajaknya dibangun dengan pilihan kata-kata yang lugas dan tegas. Pola pengkalimatannya juga sederhana dan langsung ke pokok sasaran.<br /><br />Tetapi sajak-sajak Thukul tidak jatuh menjadi sarkas, karena –menurut saya— dia memperhatikan struktur. Beberapa sajaknya memilih struktur repetitif, yang akhirnya menimbulkan dua “dampak”: secara sastra ia menjadi indah, dan secara substansi pesan yang disampaikan akan semakin menonjok.<br /><br />Saat itulah saya memutuskan sajak ini akan ditulis dengan cara demikian. Lalu saya mulai memikirkan substansi isinya yang berangkat dari kasus penahanan itu. Kesimpulan saya satu: penahanan Bibit-Chandra adalah pertunjukan telanjang dari tunduknya aparat penegak keamanan oleh mafia peradilan. Nah, fenomena inilah yang akan saya tulis.<br /><br />Lalu saya masuk tahap berikutnya, yakni mulai memikir-mikirkan kosa kata yang akan saya gunakan. Juga fomulasi pengkalimatannya. Semua proses ini berlangsung selama perjalanan dari kantor menuju rumah. Waktu tempuh perjalanan itu kira-kira sekitar 1,5 jam.<br /><br />Begitu sampai di rumah, saya langsung membuka komputer dan mulai menulis. Saya tak perlu waktu penjang lagi, karena pengkalimatannya sudah saya temukan sepanjang perjalanan tadi. Tetapi, toh, proses penulisan ini berlangsung sampai lewat tengah malam. Sebab saya bertekad harus menuntaskan sajak ini malam itu juga. Karena kalau ditunda, saya takut kehilangan –kata anak zaman sekarang—kehilangan feel. Saya takut kehilangan touch.<br /><br />Akhirnya, jadilah puisi ini.<br /><br /><strong><em>Citayam, 6 November 2009 </em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-70936896873041873822009-11-04T06:03:00.000-08:002009-11-04T06:06:33.142-08:00Badai Puisi dari Belanda: Kiriman Heri Latief<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvGJ0mdopOI/AAAAAAAAAMU/-p5Lro41sK4/s1600-h/heri+latief.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5400248964964984034" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 282px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvGJ0mdopOI/AAAAAAAAAMU/-p5Lro41sK4/s320/heri+latief.jpg" border="0" /></a><br /><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> Penyair Heri Latief membuka mata semua orang tentang kenyataan yang terjadi di Indonesia. Setahun sebelum kasus mafioso peradilan terungkap di Mahkamah Konstitusi pada Selasa, 3 November 2009, Hari Latief (2008) sudah bersuara lantang melalui puisi-puisinya yang terhimpun dalam buku <em>50% Merdeka</em>. Kenyataan yang begitu telanjang tentang bobroknya aparat hukum di negeri Indonesia ini pun telah lama diteriakkan penyair Indonesia yang tinggal di Amsterdam, Belanda, ini. Dengan bahasanya yang lugas, bahkan seringkali mendobrak kaidah bahasa Indonesia untuk mendapatkan ketajaman visinya, Heri Latief tak henti-hentinya bersuara melalui puisinya yang tajam dan menikam. Salah satunya, puisi “50% Merdeka” memperlihatkan kesaksiannya yang terkesan tanpa tedeng aling-aling.<br /><br /><strong>50% Merdeka<br /></strong><br />kartu sudah dibagikan<br />siapa yang punya kartu truf?<br /><br />pada emosi yang buta huruf<br />media cetak corongnya cendana<br />semua berita dijokul obralan<br />jurnalistik tanpa rasa kemanusiaan<br />kekejaman disulap jadi rayuan<br /><br />ada hujan milyaran uang haram?<br />pengkhianat bangsa jelas kelihatan<br />yang jual diri jual nama jual iman<br /><br />ironi memori bangsa Indonesia<br />manipulasi sejarah terbukti sudah<br />apalagi yang kau mau tahu?<br /><br />istana punya kuasa<br />cendana punya dana<br />elite politik lagi main kartu<br />bosnya punya nama dipoles<br />propaganda sesat para penjilat<br /><br />sedangkan di bawah banyak urusan penting<br />korban bencana alam menggigil kedinginan<br />rakyat perlu kepastian hukum dan keadilan<br />bukan pameran dukungan terhadap bekas tiran<br /><br />ayo! mari kita bersama<br />bersatu mengganyang keraguan<br />kita belum merdeka 100% bung!<br /><br />sirajatega masih berkuasa<br />maka derita itu dobel bencana<br /><br />juga semangat persatuan Indonesia<br />jangan mau dirayu bujukan uang haram<br /><br /><em>Amsterdam, 16 Januari 2008<br /></em><br /><br /> Mata penyair Heri Latief seakan-akan menembus jauh ke depan. Kalau kita baca berita yang terjadi pada bulan Oktober-November 2009, maka tidak perlu disangkal lagi bahwa yang dikatakan Heri Latief itu benar adanya. Semuanya benar-benar telanjang. Mata batinnya sudah jauh-jauh hari mengingatkan kepada pembaca bahwa “pengkhianat bangsa jelas kelihatan, yang jual diri jual nama jual iman.”<br /><br /> Sebenarnya banyak yang tahu adanya kebusukan-kebusukan itu, terutama kebusukan di bidang hukum—yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia—hanya saja yang berani bersuara lantang hanya segelintir saja, termasuk Heri Latief. Dalam puisinya yang lain, “Sepuluh Tahun Reformasibasi”, Heri Latief lagi-lagi menampar muka pembacanya. Refleksi yang disuguhkan Heri sangat berbeda dengan yang terbaca di media massa selama ini. Bahkan menampar muka penyair-penyair salon yang hanya memberikan pepesan kosong. Berikut petikannya:<br /><br /><strong>Sepuluh Tahun Reformasibasi<br /></strong><br />penyair nulis sihir kata bersayap<br />semangat puisi mengabdi pada siapa?<br />jika sajak memuja sang rembulan<br />hayalan pun dibikin berkilauan<br /><br />di zaman edan orang jual perasaan<br />uang haram biangnya persoalan<br />jangan lupakan bung!<br /><br />rajamaling itu masih berkuasa<br />penguasa berpihak pada siapa?<br /><br />dalam sejarah politik kekerasan<br />dari tragedi 65 sampai 98<br />reformasi setengah hati aslinya basi<br /><br />kini tersisa buruknya kenangan<br />terlalu banyak darah rakyat dikorbankan<br /><br />si miskin hidupnya makin menderita<br />ditimpa bencana alam bertubi-tubi<br />malah diprovokasi kekayaan hasil nyuri<br />lengkaplah sudah perasaan orang bawahan<br /><br />realitas di bawah semakin mengganas<br />antrian minyak tanah peringatan keras<br />syair bagimu negeri cuma memori<br />rindulah kita persatuan Indonesia<br /><br />jagalah api semangat!<br />anti penindasan terhadap rakyat<br /><br /><em>Amsterdam, 7 Januari 2008<br /></em><br /> Penyair-penyair salon memang tidak akan menulis puisi seperti ini. Seperti yang disindir Heri, mereka bisa menulis puisi apa saja, termasuk “jika sajak memuja sang rembulan, hayalan pun dibikin berkilauan”. Namun, sejatinya barang seni bernama puisi semacam itu hanya untuk klangenan dan hiburan semata. Saya menduga kenapa puisi-puisi tajam dan lantang itu mengalir deras dari tangan Heri Latief, karena kawan-kawan diskusinya di Belanda adalah sastrawan-sastrawan eksil yang memiliki pengalaman yang sangat mahal harganya. Dan, kebanyakan sastrawan-sastrawan Lekra adalah kaum intelektual yang mumpuni, yang sangat paham dengan persoalan bangsanya. Kita ambil contoh sastrawan Njoto alias Iramani dan Setiawan H.S. alias Hersri Setiawan untuk menyebut beberapa nama saja.<br /><br /> Membaca puisi-puisi Heri Latief ini saya seperti menikmati lukisan-lukisan Joko Pekik yang menyimpan dendam politik yang demikian membara. Lukisan “Berburu Celeng” karya Joko Pekik kini menjadi salah satu lukisan favorit banyak orang. Kalau kita merasakan adanya napas “Politik adalah panglima” dalam puisi-puisi Heri Latief, saya pikir itu karena lingkungan, wawasan, dan pengalaman yang membentuknya seperti itu. Puisi yang berjudul “42 Tahun G30S” menyarankan kepada pembaca bahwa masih ada yang belum beres mengenai sejarah nasional 1965-1966 itu.<br /><br />Sejarawan Henk Schulte Nordholt (2008) merasa heran dengan historiografi Indonesia modern yang sepertinya tanpa ada kekerasan dalam buku-buku sejarah resmi yang dibuat oleh negara, namun sejatinya banyak korban yang berjatuhan seiring dengan bangkitnya Rezim Soeharto. Makanya tidak heran jika Nordholt menyarankan perlunya historiografi dengan perspektif yang baru, yakni melihat dan membaca sejarah dari perspektif korban. Suatu pendekatan yang tengah berkembang di Eropa akhir-akhir ini, sebagai alternatif pendekatan Les Annales yang berkembang pesat di Prancis. Berikut saya kutip puisi Heri Latief tersebut.<br /><br /><strong>42 Tahun G30S<br /></strong><br />waktu melaju ke masa depan<br />sejarah bicara terpatah-patah<br />hati berduri menyayat memori<br />42 tahun usia negeri tragedi<br />luka sejarah kita bernanah<br /><br />sejarah kita adalah penindasan<br />sekalipun dalam ruang mimpi<br />bermuara pada satu nama<br />: G30S<br /><br />adalah kode buat jutaan korban<br />yang ditindas sampai hari ini<br />harga nyawa orang Indonesia<br />murah meriah seperti obral besar!<br /><br />ratusan ribu tulang belulang tersebar<br />sampai kapan kau menahan sabar?<br />perubahan iklim politiknya barbar<br />lalu semua orang musti telan pil sabar<br /><br />supaya otaknya jangan jadi sangar?<br /><br />jangan lupakan tragedi 65<br />jangan lupakan kebiadaban<br />dan jangan lupa melawan<br />atas nama semua korban<br />kita bersatu dalam satu barisan<br /><br />seperti kata wiji thukul<br />hanya satu kata<br />: LAWAN!<br /><br /><em>Amsterdam, 24 September 2007<br /></em><br /> Saya pikir yang disuarakan Heri Latief di atas merupakan representasi dari ribuan bahkan jutaan manusia yang telah dizalimi selama Orde Baru. Tidak heran Pramoedya Ananta Toer tidak bisa percaya pada seluruh elite politik dan kaum intelektual yang mendirikan Rezim Orde Baru karena selama ini mereka hanya diam. “Mereka membiarkan fasisme terjadi di zaman Orde Baru,” kata Pramoedya Ananta Toer.<br /><br /><strong><em>Citayam, 4 November 2009</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-27736513252546153522009-11-03T21:43:00.000-08:002009-11-03T21:49:06.280-08:00Fakta dalam Cerpen Martin Aleida<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvEVNnewWZI/AAAAAAAAAMM/EZhedc4GLHE/s1600-h/martin+aleida.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5400120751874398610" style="WIDTH: 171px; CURSOR: hand; HEIGHT: 227px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SvEVNnewWZI/AAAAAAAAAMM/EZhedc4GLHE/s320/martin+aleida.jpg" border="0" /></a><br /><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /> “Saya pikir, ternyata saya tidak lebih berharga dari sebutir debu.” Kutipan ini terdapat dalam cerpen “Ratusan Mata di Mana-mana” yang terdapat dalam buku <em>Mati Baik-baik, Kawan</em> karya Martin Aleida (2009).<br /> Apa yang ditulis Martin Aleida dalam cerpen tersebut memang seperti sebuah memoar seorang sastrawan Lekra pada masa 1971-1984, masa-masa pembungkaman sastrawan Lekra dan mulai berdirinya majalah <em>Tempo</em>. Di majalah berita mingguan itulah Martin Aleida bekerja sekaligus mencari nafkah sebagai wartawan olahraga dan kesehatan. Padahal di majalah itu banyak sekali sastrawan-sastrawan Manikebu, seperti Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Usamah, dan lain-lain.<br /> Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan seorang sastrawan Lekra masuk ke sarang sastrawan Manikebu. Tentu timbul perasaan “tidak lebih berharga dari sebutir debu”, yang sewaktu-waktu bisa dikibaskan dengan kemoceng. Tapi, itulah cara bagi sastrawan Lekra dan anggota PKI lainnya untuk bertahan hidup, karena hampir semua pintu untuk mencari nafkah sudah ditutup Rezim Orde Baru. Bisa jadi pula sebenarnya di antara sesama sastrawan atau seniman masih memungkinkan terjalinnya tali silaturahmi meskipun ada perbedaan ideologi di antara mereka.<br /> Cukup banyak fakta yang diangkat Martin Aleida dalam cerpen itu, dan ternyata sangat mengejutkan. Di antaranya adalah kedekatan Salim Said dengan Sarwo Edhie Wibowo. Kedekatan itu digambarkan Martin dengan kedatangan Sarwo Edhie ke tempat kos Salim Said. Siapa yang tidak kenal Sarwo Edhie Wibowo? Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ini di mata sebagian orang dielu-elukan karena telah membunuh ratusan ribu orang PKI. Tapi, di mata orang-orang PKI, termasuk di mata sastrawan Lekra seperti Martin Aleida, tangan Sarwo Edhie Wibowo yang juga mertua Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono itu berlumuran darah. Bagaimana kaitan sesungguhnya antara Sarwo Edhie Wibowo dengan wartawan Tempo Salim Said, yang kini jadi pengamat militer, tak terjelaskan dalam cerpen itu.<br /> Tapi, peristiwa itu menyadarkan Martin Aleida, bahwa ternyata ada “mata di mana-mana”, termasuk rekan kerjanya di majalah Tempo. Sebagai sastrawan Lekra yang berafiliasi dengan PKI, tentu saja Martin bersyukur karena Salim Said tidak memperkenalkan jati diri Martin kepada Sarwo Edhie. Di mata Martin, Sarwo Edhie Wibowo adalah “legendaries hidup yang mengaku telah menghabisi tiga juta orang komunis dalam gerakan penumpasan yang dipimpinnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali” (Aleida, 2009: 124).<br /> Yang menyakitkan adalah ketika mengetahui bahwa teman seperjuangan kita ternyata adalah seorang pendurhaka. Dalam cerpen tersebut, Martin Aleida menyebut nama Sartono—saya menduga ini nama sebenarnya, karena nama-nama tokoh yang ada dalam cerpen semi memoar ini adalah nama-nama yang sebenarnya—yang dulu di zaman Orde Lama menjadi aktivis Lekra, begitu hidup di zaman Orde Baru menjadi interogator di Markas Komando Daerah Militer Jayakarta (Kodam Jaya). Dan, yang diinterogasi adalah kawannya sendiri. “Nasib telah menjelma menjadi sungai yang besar dan deras, yang memisahkan jalan hidup kita berdua! Aku di sini. Kau di situ, dan cuma sebagai seorang pendurhaka!” (Aleida, 2009: 120).<br /> Banyak nama yang disebut atau terlibat dalam cerpen ini. Di antaranya Fikri Jufri, Eka Budianta, Ed Zoelverdi, Syu’bah Asa, Putu Wijaya, dan Usamah. Dari cerpen itu pula kita tahu bahwa yang menemukan slogan “Enak Dibaca dan Perlu” adalah Usamah. Pembaca juga tahu bagaimana intrik-intrik juga terjadi di dalam sebuah majalah berita, apalagi majalah berita yang sarat memuat berita politik.<br /> Sebagaimana cerpen-cerpennya dalam <em>Leontin Dewangga</em>, cerpen-cerpen yang terdapat dalam <em>Mati Baik-baik, Kawan</em> juga merupakan sebuah kesaksian. Ciri khas sebagai sastrawan Lekra juga tampak dalam karya Martin Aleida ini, yakni menceritakan apa yang benar-benar terjadi dalam masyarakatnya, dengan menggunakan teknik penceritaan yang memperhatikan betul nilai artistiknya. Sehingga, karya sastra yang tercipta, dalam hal ini cerpen-cerpen Martin Aleida, adalah karya yang benar-benar berisi, bukan karya yang kosong.<br /> Saya teringat pada tulisan Arif Bagus Prasetyo dalam buku <em>60 Puisi Indonesia Terbaik 2009</em> yang diterbitkan Pena Kencana. Ia bermimpi suatu saat kelak akan membaca karya-karya semacam “Sair Kedatangan Sri Maharadja Siam di Betawi” yang ditulis berdasarkan peristiwa “jang soenggoeh-soenggoeh terdjadi”. Dengan demikian, pembaca karya sastra akan mendapatkan wawasan setelah membaca karya sastra tersebut.<br /> Apa yang dilakukan Martin Aleida sudah lebih dari itu. Dia tidak saja bercerita tentang sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, tapi dia juga memberikan perspektif yang relatif baru, yakni dari sudut pandang sang korban politik Orde Baru. Yang membuat cerpen-cerpen Martin Aleida lebih menarik adalah dia sendiri juga menjadi korban. Jadi, dia tidak perlu lagi berpura-pura untuk menyuarakan kepedihan orang lain, melainkan ia tinggal menuturkan cerita secara jujur saja, secara apa adanya. Maka yang terbaca adalah keindahan.<br /> Saya juga memimpikan hal yang sama dengan Arif B. Prasetyo, bahwa sejatinya sastrawan juga tidak membutakan matanya dengan apa yang terjadi di lingkungannya. Dalam hal ini, saya menilai konsep kesenian yang digagas dan dibuat sastrawan-sastrawan Lekra dalam Mukaddimah Lekra (28 Januari 1959) merupakan sesuatu yang menarik. Untuk menyebut beberapa di antaranya, saya kutip sebagai berikut. Pertama, rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan. Kedua, keragaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya. Ketiga, Lekra mendorong inisiatif yang keratif, mendorong keberanian kreatif, dan menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.<br /><br /><strong><em>Citayam, 4 November 2009</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-65253481412339956892009-11-02T19:08:00.000-08:002009-11-02T19:18:14.305-08:00"Otobiografi" dan "Politik Sastra" Saut Situmorang<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Su-fo17pBKI/AAAAAAAAAME/JQPz5cnjMko/s1600-h/asep+diskusi+pds.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5399710002261329058" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 240px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Su-fo17pBKI/AAAAAAAAAME/JQPz5cnjMko/s320/asep+diskusi+pds.jpg" border="0" /></a><br />PDS HB Jassin, diskusi dua buku Saut Situmorang.<br /><br /><a href="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Su-fcjzPCnI/AAAAAAAAAL8/kjK6qayZpUM/s1600-h/asep+5.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5399709791235803762" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 202px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Su-fcjzPCnI/AAAAAAAAAL8/kjK6qayZpUM/s320/asep+5.jpg" border="0" /></a><br />Diskusi Mejabudaya, 30 Oktober 2009.<br /><br /><br /><strong>Annida-Online</strong>--Dua buku karya Saut Situmorang (43) meluncur bersamaan. Di Meja Budaya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Jumat (30/10), antologi puisi <em>Otobiografi</em> serta kumpulan essai <em>Politik Sastra</em> diluncurkan. Digelar pula diskusi mengenai dua karya tersebut dengan pembicara Asep Sambodja dan Mikael Johani, serta moderator Martin Aleida.<br />"Otobiografi" merupakan kumpulan puisi-puisi Saut yang ditulis dalam rentang waktu 20 tahun. Sementara "Politik Sastra" merupakan essai-essai Saut sejak tahun 2000 yang berisi ketimpangan-ketimpangan sastra kita menurut Saut.<br /><br />Dosen sastra UI Asep Sambodja mengatakan, karya-karya Saut dalam <em>Otobiografi</em> sangat kental akan muatan politis. Menurut Asep, Saut menggunakan paham realisme sosialis.<br />"Ia membaca masyarakat, lalu dituangkan dalam puisi. Terlihat jelas ia membela orang-orang yang tertindas. Contohnya dalam kasus Aceh, ia membela korban Daerah Operasi Militer atau DOM. Lalu dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, Saut mengecam tindakan penguasa. Bahasanya lugas, mudah dipahami," beber Asep, usai acara.<br /><br />"Tapi ada juga digunakan kata-kata kotor, saya rasa ini karena Saut hendak merusak dan mendobrak estetikanya Sapardi (Sapardi Djoko Damono, red)," imbuh Asep.<br /><br />Mengenai kumpulan essainya, Mikael Johani yang aktif di Komunitas Bunga Matahari (milis sastra) mengatakan, Saut telah membongkar banyak kebohongan sastra termasuk di dalamnya bagaimana propaganda-propaganda sebuah komunitas seni budaya, proses penjurian, seleksi karya di media dan lainnya.<br /><br />"Kalau saja Saut tidak mengungkapkannya, akan banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata penilaian karya sastra itu sangat subjektif. Oh, ternyata redaktur sastra di media-media itu orang dari komunitas yang sama. Belum lama saya juga temukan buku puisi yang isinya bagus banget, dan karya penulis itu belum pernah dimuat di media yang relatif berpengaruh," ujar Mikael, peraih Bachelor of Arts (First-Class Honours in Classics) dari Australian National University, Canberra.<br /><br />Saut sendiri bilang, dalam essainya ia mengungkap kalau kritik-kritik sastra yang ada hanya merugikan. Kritikus mestinya mengkritik karya sesuai prosedur. Menurutnya, kritikus sekarang ini masih sebatas komentator belaka. [<strong><em>Esthi/foto: Arum</em></strong>]<br /><br />Catatan: Berita ini bisa juga diakses melalui: <a href="http://www.annida-online.com/berita-penulis/otobiografi-dan-politik-sastra-saut-situmorang.html">http://www.annida-online.com/berita-penulis/otobiografi-dan-politik-sastra-saut-situmorang.html</a><br /><br /><strong><em>Citayam, 3 November 2009</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-76806201041433386472009-10-27T22:17:00.000-07:002009-10-27T22:37:54.698-07:00Kronik Peristiwa Sastra dan Politik 1960-an:<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SufUH6oAONI/AAAAAAAAAL0/y9bRCb5wA6k/s1600-h/maxim+gorky+bakri+siregar.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5397515910888044754" style="WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 263px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SufUH6oAONI/AAAAAAAAAL0/y9bRCb5wA6k/s320/maxim+gorky+bakri+siregar.jpg" border="0" /></a><br /><br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /><br /><strong>1960 </strong><br />(1) Juli: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) memberikan hadiah sastra di bidang puisi kepada Ramadhan K.H. dan Hr. Bandaharo; di bidang cerpen kepada Trisnojuwono, Pramoedya Ananta Toer, dan Ajip Rosidi; di bidang novel kepada Toha Mohtar; dan di bidang drama kepada Utuy Tatang Sontani, Nasjah Djamin, dan Rustandi Kartakusuma.<br /><br />(2) Agustus: Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi dilarang karena oposisi terhadap Demokrasi Terpimpin dan keterlibatan elite kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).<br /><br />(3) 31 Agustus: Sidang Pleno II Lekra. Sidang pleno ini memantapkan Mukadimah Lekra dan sikap “Politik adalah panglima.”<br /><br />(4) Harian Rakjat memberikan hadiah sastra di bidang esai kepada Pramoedya Ananta Toer dan Mia Bustam; di bidang puisi kepada Hr. Bandaharo, Dodong Djiwapradja, Chalik Hamid, dan S.W. Kuntjahjo; di bidang cerpen kepada Bachtiar Siagian; dan di bidang terjemahan kepada Agam Wispi, Muslimin Jasin, dan Huang Khuen Han.<br /><br /><strong>1961</strong><br />(1) Majalah <em>Sastra</em> terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, M. Balfas.<br /><br />(2) Pramoedya Ananta Toer dipenjara karena menerbitkan buku <em>Hoakiau di Indonesia</em>.<br /><br /><strong>1962</strong><br />(1) Presiden Soekarno mengangkat D.N. Aidit dan Njoto sebagai menteri-menteri penasihat tanpa portofolio.<br /><br />(2) September: Novel <em>Tenggelamnya Kapal van der Wijck</em> karangan Hamka dihebohkan sebagai jiplakan. Abdullah Said Patmadji dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel <em>Tenggelamnya Kapal van der Wijck</em> dituduh sebagai plagiat dari novel <em>Majdulin</em> karya Mustofa Luthfi Al Manfalutfi, yang merupakan terjemahan dari <em>Sous les Tilleuls</em> karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di <em>Harian Rakjat</em> dan <em>Bintang Timur</em>.<br /><br />(3) 13-20 November: Konferensi Sastrawan Asia-Afrika II di Mesir. Delegasi Indonesia diwakili antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Joebaar Ajoeb.<br /><br />(4) 16 November: Majalah <em>Sastra</em> memberikan penghargaan kepada karya sastra terbaik. Di bidang puisi diberikan kepada M. Saribi Afn, Piek Ardijanto Suprijadi, dan M. Poppy Hutagalung; di bidang cerpen kepada Bur Rasuanto, Motinggo Boesje, dan Virga Belan; di bidang drama dan cerita bersambung diberikan kepada B. Soelarto, Djamil Suherman, dan Usamah; di bidang kritik dan esai kepada Goenawan Mohamad, D.A. Peransi, dan Hartojo Andangdjaja.<br /><br />(5) Motinggo Busye menerbitkan <em>Malam Jahanam.</em><br /><br /><br /><strong>1963</strong><br />(1) 8 Maret: Sitor Situmorang menilai karya Chairil Anwar kontrarevolusioner.<br /><br />(2) 22-25 Maret: Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia (LSI) diadakan di Medan. Terbentuk Pengurus Pusat LSI yang terdiri dari Bakri Siregar, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, Sobron Aidit, M.S. Ashar, S. Rukiah, Sugiarti Siswandi, dan Hr.<br />Bandaharo.<br /><br />(3) Mei: Jumlah front intelektual PKI, Lekra, mencapai 100.000 orang.<br /><br />(4) Mei: MPRS mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup.<br /><br />(5) 17 Agustus: Wiratmo Soekito menyusun “Manifes Kebudayaan”. Sastrawan-sastrawan muda menolak seruan “Politik adalah panglima” yang didengungkan sastrawan Lekra.<br /><br />(6) September/Oktober: “Manifes Kebudayaan” diumumkan.<br /><br />(7) H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah menerbitkan <em>Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik</em>. Jakarta: Mega Bookstore.<br /><br />(8) Soekarno dan Soebandrio menyerukan konfrontasi dengan Malaysia.<br /><br /><strong>1964</strong><br />(1) 27 Januari: Hamka dipenjara tanpa diadili. Ia dituduh hendak membunuh Presiden Soekarno dan Menteri Agama.<br /><br />(2) 1-7 Maret: Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Ikrar Pengarang Indonesia”.<br /><br />(3) 8 Mei: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”. Buku-buku sastrawan Manikebu dilarang.<br /><br />(4) 24-25 Agustus: Konferensi Nasional II Lekra diadakan di Jakarta. Dalam konfernas ini dihasilkan sebuah resolusi yang antara lain berbunyi teruskan pengganyangan terhadap Manikebu.<br /><br />(5) 27 Agustus-2 September: Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Resolusi KSSR”.<br /><br />(6) Buku <em>Revolusi di Nusa Damai</em> karya Ktut Tantri terbit.<br /><br />(7) Jean-Paul Sartre menolak Hadiah Nobel.<br /><br /><strong>1965</strong><br />(1) September-Oktober: Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu mengambil alih kepemimpinan di<br />Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Sedikitnya 500.000 orang dibunuh. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil di Eropa. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerwani banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang.<br /><br />(2) 30 November: Semua buku pengarang Lekra dilarang.<br /><br />(3) Subagio Sastrowardoyo menerbitkan buku kumpulan cerpen <em>Kejantanan di Sumbing</em>.<br /><br /><strong>1966</strong><br />(1) Mei: Soeharto mendukung berakhirnya konfrontasi dengan Malaysia.<br /><br />(2) Juli: Majalah <em>Horison</em> terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), dan lain-lain.<br /><br />(3) Agustus: Muncul istilah “Angkatan 66”; istilah ini berasal dari H.B. Jassin.<br /><br />(4) Majalah <em>Budaya Jaya</em> terbit. Redakturnya adalah Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Harijadi S. Hartowardojo.<br /><br />(5) Taufiq Ismail menerbitkan buku <em>Tirani</em> dan <em>Benteng</em>.<br /><br /><strong>1967</strong><br />(1) Naskah drama Kuntowijoyo, <em>Rumput-Rumput Danau Bento</em> menjadi pemenang harapan Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.<br /><br />(2) Slamet Sukirnanto menerbitkan buku puisi <em>Jaket Kuning</em>.<br /><br />(3) Majalah <em>Horison</em> memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada Subagio Sastrowardoyo dan Sanento Juliman; di bidang cerpen kepada Umar Kayam, M. Fudoli, dan M. Abnar Romli.<br /><br />(4) MPRS mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden.<br /><br />(5) Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahdlatul Ulama (NU) ditekan oleh pemerintah. Sitor Situmorang dipenjara.<br /><br /><strong>1968</strong><br />(1) 2 Januari: Sanusi Pane meninggal dunia di Jakarta.<br /><br />(2) 12 Oktober: Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara menyita majalah <em>Sastra</em> karena majalah ini memuat cerpen Kipanjikusmin, “Langit Makin Mendung”, dalam edisi Agustus. Pemimpin Redaksi Sastra H.B. Jassin diadili.<br /><br />(3) 31 Oktober: Diskusi tentang Kritik Sastra diadakan di Jakarta.<br /><br />(4) H.B. Jassin menerbitkan <em>Angkatan 66: Prosa dan Puisi</em>. Jakarta: Gunung Agung. Berisi prosa dan puisi.<br /><br />(5) Majalah <em>Horison</em> memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada Rendra dan Abdul Hadi W.M.; di bidang cerpen kepada Danarto, Julius J. Sijaranamual, Satyagraha Hoerip, dan Gerson Poyk.<br /><br />(6) MPRS mengukuhkan Soeharto sebagai Presiden RI untuk lima tahun ke depan. Soeharto melakukan sentralisasi kekuasaan. Dari 25 provinsi yang ada, 17 di antaranya dipegang oleh perwira militer.<br /><br /><strong>1969</strong><br />(1) Iwan Simatupang menerbitkan naskah drama <em>Petang di Taman</em> dan novel <em>Ziarah</em>.<br /><br />(2) Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi <em>Duka-Mu Abadi</em>. Bandung: Jeihan.<br /><br />(3) Ajip Rosidi menerbitkan <em>Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia</em>. Bandung: Binacipta.<br /><br />(4) Umar Kayam menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).<br /><br />(5) Sentralisasi kekuasaan terus dilakukan; lebih dari 50% bupati dan walikota yang ada di Indonesia berasal dari militer.<br /><br />(6) Transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto berakhir. Soekarno meninggal pada Juni 1970 dalam posisi sebagai tahanan rumah.<br /><br /><strong><em>Citayam, 28 Oktober 2009</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-61694533460004591152009-10-27T19:30:00.001-07:002009-10-27T19:40:46.934-07:00Mengoyak Puisi-puisi Asep Sambodja pada Notes Facebook<a href="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Sues9_Mlh1I/AAAAAAAAALs/9xCj392zkbU/s1600-h/pemurung.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5397472859363051346" style="WIDTH: 230px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/Sues9_Mlh1I/AAAAAAAAALs/9xCj392zkbU/s320/pemurung.JPG" border="0" /></a><br /><br />oleh Cunong Nunuk Suraja<br /><br />Bukan Asep Sambodja kalau tidak dapat menyelaraskan wacana bacaan yang<br />terekam dalam memori kreatif dan ungkapan dalam karya kreatif pekerja penggiat sastra. Bukan Asep Sambodja kalau tidak menawarkan semacam penyucian diri atas apa yang telah mendaki dalam memori hasil studi kelayakan setiap karya kreatif para pendahulunya.<br /><br />Dalam lima puisi yang terekam ini hampir semua menggunakan bayangan pikiran penyair yang ditulisnya, seperti Penembahan adalah salah satu judul drama, Mempertimbangkan adalah salah satu buku kumpulan esai yang membongkar tradisi suku, sedang judul yang lain merupakan harapan atau tanggapan aku lirik pada peristiwa Rendra.<br /><br />Apa harapan aku lirik pada penokohan Rendra:<br /><br /><em>penyair adalah mimpi buruk</em><br /><em>bagi penguasa</em><br /><em>yang lupa diri</em><br /><em>yang rakus</em><br /><em>dan tamak<br /></em>(“Panembahan Rendra”)<br /><br /><em>kau tampilkan teater minikata</em><br /><em>untuk melindungi kata</em><br /><em>dari polusi mulut-mulut knalpot</em><br /><em>dari bising kata</em><br /><em>……</em><br /><em>kau bikin perkampungan kaum urakan</em><br /><em>di Parangtritis</em><br /><em>membebaskan orang-orang berteriak</em><br /><em>dan menangis</em><br /><em>pada laut</em><br /><em></em><br /><em>berteriak melawan gelombang</em><br /><em>dan angin selatan</em><br /><em></em><br /><em>melawan belenggu</em><br /><em>diam membisu<br /></em>(“Mempertimbangkan Rendra”)<br /><br /><em>untuk bicara apa adanya</em><br /><em>menguak sarang laba-laba</em><br /><em>di lembaga wakil kita</em><br /><em>menguak pejabat-pejabat korup</em><br /><em>dan suka melacur</em><br /><em>dan sebagainya dan seterusnya</em><br /><em>dan siap dipenjara<br /></em>(“Kita Butuh Seribu Rendra”)<br /><br />Demikian Asep Sambodja mencoba merintihkan pinta pada sosok Rendra dalam baris-baris puisinya.<br /><br />Berikutnya menelusuri lima sajak Asep Sambodja seperti menggenggam Rendra sesaat Rendra dinyatakan telah mangkat. Seperti “Oedipus Berpulang”, drama gubahan dari karya Sophocles, peristiwa Rendra menjadi upacara yang melebar sampai dunia. Asep Sambodja dengan cerdiknya mengakalinya dalam bait yang menginfiltrasi sajak Chairil Anwar maupun cerita pendek yang menyerukan “rumah masa depan” yang berukuran satu centimeter kali tiga centimeter:<br /><br /><em>di Citayam, di Citayam </em><br /><em>kau akan dikenang </em><br /><em>sepanjang siang </em><br /><em>sepanjang malam </em><br /><em>selamanya kan kukenang<br /></em>(“Di Citayam Rendra Bersujud”)<br /><br />Asep Sambodja memang jeli dalam hal menginfiltrasi sajak dengan pengalaman lamanya yang menunjuk pada SDD yang menjadikan trauma kehidupan kampusnya yang senantiasa seperti ditabrakkan pada cermin yang memantulkan luka kreativitas yang berdarah karena harus meruncat diri dalam harakiri ruh puisi sang guru. Asep makin piawai meramu segi dan sigi yang lebih menancap pada imaji yang cukup menyeret nyaliku untuk tidak menuduh plagiat ataupun jiplakan atau contekan kreatif. Ungkapan beriku misalnya untuk menyontohkan kepiawaian Asep:<br /><br /><em>ketika penyair-penyair salon </em><br /><em>bicara tentang konde dan sisir </em><br /><em>dan bibir dan hati murung </em><br /><em>dan tak tahu derita rakyat </em><br /><em>Rendra bicara apa adanya </em><br /><em>tentang DPR yang tertutup sarang laba-laba </em><br /><em>tentang pendidikan yang jauh </em><br /><em>dari persoalan kehidupan </em><br /><em>tentang orang-orang kepanasan </em><br /><em>tentang pelacur-pelacur Jakarta </em><br /><em>yang disuruhnya mlorotin </em><br /><em>moral dan duit dan celana pejabat </em><br /><em>dan ia dipenjara<br /></em>(“Kita Butuh Seribu Rendra”)<br /><br />Bagi penggila Rendra seperti juga penggila Elvis, Beatles, Queen maupun group musik lokal akan dengan cepat menyahut begitu getar melodi intro atau overture sebuah lagu mendayu demikian kesan yang timbul pada sayatan pertama, ketika meraba-rabai kelima sajak yang kemungkinan lahir sewaktu. Asep memang jagonya seperti Bento (lagu Iwan Fals) yang dengan menyebut tiga kali namanya maka keajaiban akan terjadi, demikian juga sajak-sajak Asep yang bertebaran di facebook maupun mailing list dan blog (asal jangan terpeleset kata bahasa Inggris <em>Go</em>Blog!)<br /><br />Tapi ada sebuah anomali dengan puisi Asep Sambodja yang buncit alias kelima sesuai falsafah Pancasila yang sakti, rukun Islam yang menuntut untuk melakukan ibadah ke tanah suci sekali seumur hidup demikian pula puisi yang kelima:<br /><br /><em>Puisi adalah makam para penyair </em><br /><em>setiap saat kita menziarahinya </em><br /><em>menabur bunga-bunga makna </em><br /><em>membaca ayat-ayat lama<br /></em>(“Makam Penyair”)<br /><br />Dan ini sangat dekat dengan sajak yang baru muncul di FB:<br /><br /><strong>Kepada Medy Loekito</strong><br /><br /><em>bahwa kita akan mati itu sudah pasti </em><br /><em>tapi siapa bersamamu menjengukku? </em><br /><em>menjenguk rangkaku? </em><br /><em></em><br /><em>aku tahu ada nonny, anggoro, tulus… </em><br /><em>ada endo, badri, arumdono… </em><br /><em>tapi siapa yang bersamamu? </em><br /><em>penyairkah? </em><br /><em>penyihir? semacam peri? </em><br /><em></em><br /><em>bahwa kematian itu kepastian dalam hidup </em><br /><em>malaikat pun tahu </em><br /><em>penyair tua pun tahu </em><br /><em>tapi apa yang kau berikan padaku </em><br /><em>lewat belaian jemarimu itu? </em><br /><em>lentik jarimu itu? </em><br /><em>apa yang kau ucapkan dalam diammu? </em><br /><em></em><br /><em>ada yang kau lekatkan di keningku </em><br /><em>saat kau sedih katakan: </em><br /><em>“mas asep sakit, bung saut sakit…” </em><br /><em></em><br /><em>hidup seperti sebuah puisi </em><br /><em>yang harus segera diselesaikan<br /></em><br /><em>Citayam, 26 Oktober 2009<br /></em><br />Begitu akrabnya kematian Subagio Sastrowardoyo atau Chairil Anwar yang selalu menantangi kematian. Penyair kelahiran kota bakso Solo atau kota ujung hidupnya pentolan teroris berwarganegara Malaysia Nurdin M. Top dan telah merambahi jalan pedang wartawan dan berlabuh di dermaga Fakultas Ilmu Budaya memang pantas diberi tanda dagang (trade mark) nJawani yang selalu “mikul duwur dan mendem jero” terutama pada peristiwa budaya Rendra berpulang. Walau Asep yang dosen Susastra FIB-UI ini cukup berani meluruhkan falsafahnya yang jauh dari nJawani:<br /><br /><em>hidup seperti sebuah puisi </em><br /><em>yang harus segera diselesaikan<br /></em><br />Retorika abadi aku lirik yang terasa di lidah Jawa yang sangat kejawen.<br /><br />(Janjiku hanya mampu di sini Tuan Penyair!)<br />Bogor gemuruh dalam perutku yang sedang terganggu asam lambungnya (ataukah ini semacam satra perut?), sehingga menjadi langkah cepat bolak balik ke rest-room di dekat kamar tidur.<br /><br /><strong><em>27 Oktober 2009</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3448756422079738514.post-2725823957305350262009-10-24T09:35:00.000-07:002009-10-24T09:40:47.905-07:00Dua Penyair Indonesia Modern: Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto<a href="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SuMtOX4eaRI/AAAAAAAAALk/6pCWeV5VqyY/s1600-h/saut+situmorang.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5396206503472294162" style="WIDTH: 142px; CURSOR: hand; HEIGHT: 192px" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SuMtOX4eaRI/AAAAAAAAALk/6pCWeV5VqyY/s320/saut+situmorang.jpg" border="0" /></a><br />Saut Situmorang<br /><br /><a href="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SuMtGShZmHI/AAAAAAAAALc/JYidMb-gp50/s1600-h/nirwan+dewanto.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5396206364594378866" style="WIDTH: 150px; CURSOR: hand; HEIGHT: 200px" alt="" src="http://4.bp.blogspot.com/_9f4naIxafRg/SuMtGShZmHI/AAAAAAAAALc/JYidMb-gp50/s320/nirwan+dewanto.jpg" border="0" /></a><br />Nirwan Dewanto<br /><br />oleh Asep Sambodja<br /><br /><br />Puisi Saut Situmorang:<br /><br /><strong>surat bawah tanah<br /></strong><br />bukan rasa perih peluru yang membakar<br />darah kami yang memaksaku<br />menulis surat ini, kawan<br /><br />bukan rasa takut di mata mata hitam itu<br />di suara jeritan jeritan kematian di sekitar kami<br />yang mengingatkanku padamu<br /><br />bukan rasa puas di wajah wajah baret hijau baret merah itu<br />tangan tangan coklat yang kokoh yang kejam yang menggenggam<br />senapan senapan marah mereka<br />yang menembakku untuk mengangkat penaku, kawan<br /><br />bukan matahari, matahari yang dingin dan buta itu<br />bukan kebiruan diam mencekam langit yang cuma menonton itu<br />bukan kebisuan yang tak termaafkan ini<br />yang membuat marah jiwa kami yang frustrasi<br /><br />tapi kewajiban untuk berdiri tegak<br /> melawan ketidakadilan binatang<br /> kemunafikan bau kentut<br /> dan kebenaran diri sendiri yang berkarat berlumut<br />yang membuat kami berani beraksi<br />rasa sakit yang tak tertahan di hati kami<br />yang terluka membuat kami sadar<br />dari candu politik sehari-hari<br /><br />marah kami adalah marah kupu kupu<br />di malam bulan purnama<br />karena mawar merahnya ternoda<br />diperkosa ketawa pelacur pelacur tua ibukota<br /><br />kawan, masih kudengar mereka menembak<br />dan menembak dan menembak<br />waktu akhirnya berhasil kuselesaikan<br />surat duka ini<br />sebagai saksi<br />bagi kita semua<br /><br /><br /><br />Puisi Nirwan Dewanto:<br /><br /><strong>Semu<br /></strong><br />Puisiku hijau<br />seperti kulit limau<br />Kupaslah, kupaslah<br />dengan tangan yang lelah<br />temukan daging kata<br />bulat sempurna, merah jingga<br />terpiuh oleh laparmu<br />Junjunglah urat kata dengan lidahmu<br />sampai menetes darah kata<br />manis atau masam<br />atau dendam yang lama terpendam<br />melukaimu ingin<br />kecuali jika<br />lidahmu hampa seperti angin<br />Puisiku putih kabur<br />seperti cangkang telur<br />Pecahkanlah, pecahkanlah<br />dengan tangan yang hampir alah<br />temukan cairan kata<br />meradang, bening sempurna<br />tak berinti<br />mampu mengalir ke seluruh bumi<br />Tapi kau mencari jantung kata<br />kuning yang kau anggap milikmu<br />dan pernah nyala di lidah ibumu<br />Maafkan aku<br />tak bisa kuceritakan diriku<br />dengarlah, cangkang telur atau kulit limau<br />hanya samaranku<br />Aku sayap kata<br />terbang sendiri, birahi sendiri<br />hingga hancur aku<br />kau tak bisa menjangkauku<br />jika pun kau seluas langit lazuardi<br />sebab kata sesungguh kata<br />tak bisa mengena<br />jika kau masih juga<br />separuh membaca<br />separuh buta<br /><br />2005<br /><br /><br /> Rendra pernah mengatakan bahwa di dunia persilatan tidak ada yang nomor dua, sementara di dunia persuratan tidak ada yang nomor satu. Hal-hal yang berkaitan dengan otot, kekuatan, seperti dalam dunia pencak silat, pemenangnya adalah yang bisa mengalahkan lawannya. Sementara dunia persuratan yang bergerak di bidang kebudayaan, yang ada hanyalah keberagaman. Demikianlah saya menilai penyair Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto sama-sama memiliki ilmu yang tinggi di dunia persuratan, dunia perpuisian Indonesia modern.<br /><br /> Dari dua puisi yang saya perlihatkan di atas, kedua penyair ini memiliki gaya dan muatan isi yang berbeda. Bahasa yang dipergunakan Saut Situmorang adalah bahasa yang familiar dengan pengguna bahasa Indonesi, sementara bahasa yang digunakan Nirwan Dewanto adalah bahasa yang terekam dalam kamus bahasa Indonesia, namun terkadang tidak familiar bahkan oleh pengguna bahasa Indonesia sehari-hari.<br /><br /> Meskipun demikian, kedua penyair ini menciptakan makna dalam puisinya secara utuh. Keduanya sama-sama merahasiakan motif penciptaan puisi; penciptaan suatu karya. Dalam puisi “Surat Bawah Tanah”, Saut Situmorang pada mulanya merahasiakan proses penulisan surat bawah tanah itu. Namun, dalam baris-baris sajaknya kemudian terbaca bahwa ia menulis “surat duka ini” untuk dijadikan “sebagai saksi bagi kita semua”.<br /><br /> Dalam puisi “Semu”, Nirwan Dewanto merahasiakan kata-kata dalam puisinya. Ia menyebut “puisiku hijau seperti kulit limau” dan “puisiku putih kabur seperti cangkang telur”, namun dalam baris-baris puisinya, ia mengungkapkan bahwa “cangkang telur atau kulit limau hanya samaranku”. Penyair seperti memberi teka-teki kepada pembacanya. Meskipun ia mengaku “Aku sayap kata” yang “terbang sendiri, birahi sendiri”, Nirwan Dewanto merasa yakin bahwa pembaca “tak bisa menjangkauku”.<br /><br /> Ada yang terlintas ketika membaca kedua puisi penyair papan atas Indonesia ini. Pertama, ketika membaca puisi “Surat Bawah Tanah” karya Saut Situmorang, yang berkelebat dalam kepala saya adalah puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Mata Penyair”. Saya menilai kedua puisi itu memiliki visi yang sama, yakni mengungkapkan kejujuran dan melawan ketidakadilan. Penyair, dalam hal ini Saut Situmorang dan Subagio Sastrowardoyo, memiliki fungsi atau tugas mulia sebagai pembawa kabar derita; seolah-olah penderitaan rakyat itu berada di pundak kedua penyair itu.<br /><br /> Kedua, ketika membaca puisi “Semu” karya Nirwan Dewanto, yang berkelebat di kepala saya adalah puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” dan “Sajak-sajak Empat Seuntai”. Menurut saya, baik Nirwan Dewanto dan Sapardi Djoko Damono sama-sama bermain kata dan makna kata. Jika dalam puisinya Nirwan Dewanto mengatakan “kau tak bisa menjangkauku jika pun kau seluas langit lazuardi”, maka dalam puisi Sapardi Djoko Damono terbaca “jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan, sia-sia saja memahamiku.”<br /><br /> Jika dalam puisi Saut Situmorang yang menjadi “lawan” adalah penguasa atau penindas, maka yang menjadi “lawan” dalam puisi Nirwan Dewanto adalah pembaca dalam arti luas. Keduanya sama-sama mencoba sembunyi dari “lawan”-nya. Dari judul masing-masing puisi terbaca makna bahwa aku-lirik dalam puisi Saut Situmorang berada dalam posisi memperjuangkan kemerdekaan dari rasa takut. Sementara aku-lirik dalam puisi Nirwan Dewanto bersembunyi dari pemahaman publik. Ia seperti seorang empu atau begawan yang berada di menara mercusuar. Tak seorang pun diperbolehkan mendekatinya, apalagi memahaminya. Kalaupun ada yang ingin disampaikannya kepada pembaca, maka yang disampaikannya hanyalah semu. Hanya tipu daya. Bisa jadi hanya sekadar permainan kata belaka.<br /><br /> Yang menarik dari kedua penyair ini adalah muatan isi pada puisi mereka. Puisi Saut Situmorang terlihat jelas bermuatan politik. Ada relasi kuasa yang tengah bernegosiasi dan Saut Situmorang memposisikan dirinya berada di pihak korban, kaum tertindas. Sikap politik semacam ini muncul dalam puisi-puisinya yang mengangkat kasus Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir dalam <em>Otobiografi</em>. Kalaupun dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan Lekra yang berprinsip “Politik sebagai Panglima”, misalnya dibandingkan dengan puisi Putu Oka Sukanta dan Amarzan Ismail Hamid, maka puisi Saut Situmorang berada dalam garis politik seperti itu. Hanya saja persoalan yang diangkat sudah jauh berbeda, dan masing-masing penyair memiliki kekhasannya masing-masing.<br /><br /> Nirwan Dewanto sedikit banyak meneruskan garis politik sastrawan Manikebu yang apolitis. Prinsipnya “seni untuk seni” yang mengutamakan bentuk pengucapan. Apakah seorang pembaca seperti Anwar Holid mengerti atau tidak terhadap puisi itu, tampaknya itu tak menjadi soal. Puisi menjadi semacam klangenan yang meninabobokan. Jika kita perhatikan puisi-puisi Joko Pinurbo, tampak jelas ia memanfaatkan kata “celana” dan segala yang terkait dengannya untuk menghasilkan sebuah puisi yang memikat. Kalau kita perhatikan betul-betul puisi Nirwan Dewanto, ternyata ia memanfaatkan kata “payudara” atau “susu” untuk memikat pembacanya.<br /><br /> Joko Pinurbo bekerja keras mengolah kata “celana” yang tidak puitis itu menjadi puitis di mata pembaca. Nirwan Dewanto pun bekerja keras mengolah kata “payudara” dan “susu” dalam puisi-puisinya. Sedikitnya ada 13 puisi yang menggunakan kata “payudara” dalam buku <em>Jantung Lebah Madu.</em> Dan itu adalah pilihan. Bisa juga pencapaian. Joko Pinurbo mendapat berbagai penghargaan karena puisi “Celana”. Nirwan Dewanto juga dianugerahi penghargaan karena jasa kata “Payudara” dalam 13 puisinya.<br /><br /> Baik Saut Situmorang maupun Nirwan Dewanto layak diberi penghargaan. Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat, sebagaimana kata Chairil Anwar.<br /><br /><strong><em>Citayam, 24 Oktober 2009</em></strong>Rumah Asep Sambodjahttp://www.blogger.com/profile/07400005006450456472noreply@blogger.com0