Kamis, 03 September 2009

A.S. Dharta, Klara Akustia, dan Jogaswara



oleh Asep Sambodja

Kita tahu bahwa tiga nama di atas dimiliki oleh satu orang, yakni Endang Rodji. Tapi, dalam khazanah sastra Indonesia, ketiga nama samaran itu sama-sama menonjol dibandingkan dengan nama asli pemilik ketiga nama samaran itu. Dalam sejarah sastra Indonesia, A.S. Dharta tercatat sebagai orang penting yang mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bersama Njoto dan M.S. Azhar. Klara Akustia tercatat sebagai penyair yang telah melahirkan kumpulan puisi Rangsang Detik (1957). Sementara Jogaswara mencuat namanya setelah menulis esai “Angkatan ’45 Sudah Mampus”. Esai ini ditulis secara ekspresif, sehingga nada amarah yang meluap-luap sangat terasa. Esai ini masih bisa ditemukan dalam buku Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX yang disusun E. Ulrich Kratz (2000). Selain esai itu, saya tidak menemukan esai Jogaswara yang lain, sehingga tidak bisa menyimpulkan apakah tulisan-tulisan Jogaswara lainnya ditulis secara emosional seperti itu.
Budi Setiyono yang sering berdiskusi dengan A.S. Dharta mengisahkan, ketika menjadi anggota Konstituante, A.S. Dharta dan S. Sudjojono dipecat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dari keanggotaan Konstituante karena kedapatan berselingkuh. Pelukis Sudjojono menerima pemecatan itu dan menikahi selingkuhannya. Namun, A.S. Dharta memilih bertobat karena telah melakukan “kemesuman burjois” seperti itu. A.S. Dharta juga dicopot jabatannya sebagai Sekjen Lekra dan digantikan oleh Djoebar Ajoeb. Tampak bahwa A.S. Dharta lebih memilih menjadi anggota PKI daripada dipecat.
Sementara Eka Budianta menilai puisi-puisi karya Klara Akustia dalam Rangsang Detik memperlihatkan kepenyairan Klara Akustia yang masih menunjukkan keremajaan. Dengan kata lain puisi-puisinya belum menunjukkan kematangan. A. Teeuw dalam buku Sastra Indonesia Modern II (1989) menilai puisi-puisi yang ditulis oleh sastrawan Lekra mengalami kesulitan untuk mencapai kreasi artistik yang berkualitas, karena cita-cita kebudayaan Lekra yang monolit, yang menempatkan politik sebagai panglima. Teeuw menambahkan, puisi sastrawan Lekra yang bisa diterima oleh masyarakat pembaca adalah puisi-puisi sederhana semacam “Nyi Marsih” karya Klara Akustia.
Puisi “Nyi Marsih” memang terbaca sangat sederhana, berkisah tentang seorang penari Senen yang berasal dari desa. Rumahnya terbakar dan suaminya pergi entah kemana. Akhirnya dia mengadu nasib ke Jakarta dengan menjadi penari. Dia menerima nasibnya seperti itu tanpa mempertimbangkan moral lagi.
Dalam Rangsang Detik tersebut, saya menilai puisi “Rukmanda” yang ditulis Klara Akustia pada 1954, saat ia berusia 30 tahun, memiliki karakter yang kuat. Berikut ini saya kutip puisi “Rukmanda” selengkapnya.

Rukmanda

Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku

Sebutkan segala badai
kepahitan pembuangan
kerinduan pada kecapi
kesunyian malam sepi
kenangan pada Priangan
dan kelayuan dari menanti.

Aku yang telah menghitung
rangkaian detik
berpuluh tahun
aku serahkan segala
pada pesta perlawanan
selama ini jiwa remaja
setiap detak nafas nyawaku
dan kala ini juga diminta
aku nyanyikan “bangunlah kaum terhina”

Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanah air tercinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku

Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku
tapi sebutkan juga kesetiaan
kegairahan dan kepahlawanan
itulah aku!


Citayam, 3 September 2009

Tidak ada komentar: