Sabtu, 28 Februari 2009

Kegelisahan Metafisik Ibnu Wahyudi



oleh Asep Sambodja

Sebelum membicarakan puisi-puisi Ibnu Wahyudi dalam kumpulan puisi keduanya, Haikuku (Jakarta: Artiseni, 2009), saya ingin mengutip artikel Matsumoto Yoshiyuki yang berjudul “Kalong Taman Firdaus: Catatan Perjalanan Kaneko Mitsuharu ke Malaya dan Hindia Belanda” yang dimuat dalam buku Dari Botchan sampai Kalong Taman Firdaus yang disunting Jonnie Rasmada Hutabarat (Depok: FIBUI, 2007), untuk “merasakan” sastra Jepang, mengingat haiku berasal dari negeri sakura itu.
Dalam artikel tersebut, Matsumoto Yoshiyuki mencoba membaca kepenyairan Kaneko Mitsuharu (1895-1975) secara kronologis. Sebagai penyair, Kaneko Mitsuharu pernah mengalami titik jenuh dalam hidupnya di Tokyo, Jepang. “Bagiku Tokyo sudah menjadi tempat yang kejam dan tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal. Selain itu, karena harga diri juga terasa hilang, sebaiknya pergi ke luar negeri dua tiga tahun untuk mendinginkan situasi sambil mencari kehidupan yang lain,” tulis Kaneko Mitsuharu dalam Shijin (‘Penyair’).
Berangkat dari perasaan seperti itulah Kaneko Mitshuharu mengembara ke negeri asing, di antaranya ke Shanghai, Kanton, Hongkong, Singapura, Johor, dan Jawa. Dalam petualangan itu, Kaneko menemukan sesuatu yang lain, unik, yang tidak pernah ditemuinya di Jepang. Kalaupun ditemukan, fungsinya bisa berbeda sama sekali. Temuan itu ia tulis dalam puisinya yang berjudul “Senmenki” yang artinya “Baskom”. Saya kutip puisi itu selengkapnya.

Baskom

Bunyi sepi
Dalam baskom

Di teduh hujan
Di senja tanjung
Bergoyang
Condong
Pada hati yang lelah
Gema yang terus tak lekang

Sepanjang hayat di kandung badan
Kupingku! Aku harus mendengarkan
Bunyi sepi
Dalam baskom


Yang menarik, Kaneko Mitsuharu memberi pengantar yang cukup panjang untuk puisinya itu. Bunyinya demikian: “Sejak dulu saya menganggap bahwa baskom adalah bejana yang diisi air atau air panas untuk mencuci muka atau tangan saja. Ternyata orang Jawa memakainya sebagai tempat untuk daging domba, ikan, ayam, dan sebagainya yang direbus dengan santan dan rempah-rempah, lalu menunggu tamu di bawah naungan pohon flamboyan. Sementara itu, wanita Kanton, di depan mata tamu kencannya, mengangkangi baskom yang sama seperti itu untuk membersihkan bagian tubuhnya yang kotor, dan membuang air kecil di situ juga dengan bunyi sseeeeerr…. ssssseeeeerrrr…. yang sepi.”
Dalam buku Haikuku Ibnu Wahyudi, kita juga akan menemukan suasana serupa. Artinya, alam dan fenomena alam menjadi piranti yang sangat penting dalam penciptaan puisi Ibnu Wahyudi kali ini. Kalau kita membaca Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden (2004), kita akan tahu bahwa setidaknya ada tiga alasan yang menyebabkan seorang penyair menulis puisi. Pertama, adanya kegelisahan eksistensial si penyair itu sendiri. Kedua, kegelisahan politik sang penyair. Ketiga, adanya kegelisahan metafisik pada penyair.
Ignas Kleden menjelaskan bahwa kegelisahan metafisik itu muncul ketika penyair menghadapi kedudukannya atau kedudukan orang lain dalam alam semesta, dalam kosmos, yang tidak diciptakannya, tetapi hanya dapat diterima atau ditolaknya. (Kleden, 2004: 265).
Dalam artikel Matsumoto Yoshiyuki di atas juga terbaca bahwa penyair Kanoke Mitsuharu menggunakan alam maupun fenomena alam untuk mengekspresikan dirinya. Dalam puisi-puisi Ibnu Wahyudi dalam Haikuku pun fenomena alam seperti kabut, hujan, pelangi, gerimis, angin, musim, cuaca, dan lain-lain dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Ada semacam kredo yang disampaikan penyair melalui puisi “Inilah Haikuku”

inilah haikuku
menyapaku selalu
dengan sembilu

Ada perasaan luka, pedih, perih, nelangsa, sakit yang banyak mewarnai puisi-puisi Ibnu Wahyudi dalam Haikuku ini. Puisi itu sendiri merepresentasikan sebagian besar puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi ini. Saya mencatat ada tiga puisi lainnya yang saya pikir sangat bagus, yang memiliki kesamaan gagasan dengan puisi di atas. Ketiga puisi itu saya kutip secara utuh.

Mata Hatiku

mata hatiku
mulai rabun
tertimbun kecewa
yang berduyun

Anomali Hati

anomali hati
menyambangiku selalu
setiap sungsang musim

Kesiur Angin

kesiur angin kusimpan
rapi dalam ingatan
: aku tersesat dalam hutan


Sebagaimana Kaneko Mitsuharu, Ibnu Wahyudi pun melakukan perjalanan ke manca negara, seperti Australia, Moskwa, Korea Selatan, Brunei Darussalam, dan beberapa tempat di nusantara. Dalam perjalanannya itu, Ibnu Wahyudi juga merasa takjub dengan keadaan alam yang sama sekali berbeda dengan keadaan yang selalu dilakoninya di seputar Jakarta dan Depok. Dan sayangnya, keadaan atau panorama alam yang ditemuinya di luar negeri lebih indah dan terjaga, sangat berbeda dengan kondisi kali Ciliwung, misalnya, yang demikian hitam pekat itu.
Ibnu Wahyudi saya pikir sangat jeli memanfaatkan fenomena alam yang memang sangat puitis untuk menyampaikan perasaannya. Hujan, gerimis, cuaca, musim, angin, kabut, bianglala, daun, embun, mendung, air, senja, subuh, rembulan, bintang, malam, pelangi, cakrawala, adalah kata-kata yang puitis. Dengan demikian, ketika kata-kata itu kita munculkan ke dalam teks, maka kata-kata itu memberi kontribusi yang demikian besar dalam menghasilkan puisi yang indah—yang sangat bermanfaat bagi kaum urban untuk melakukan katarsis.
Ini agak berbeda dengan upaya Joko Pinurbo untuk mencoba mempuitisasikan kata-kata yang sama sekali tidak puitis, seperti celana, telepon genggam, sarung, becak, dan sebagainya. Namun, upaya Joko Pinurbo itu ternyata menjadi suatu temuan baru dalam dunia perpuisian Indonesia. Tidak hanya menggunakan kata-kata yang tidak puitis menjadi puitis dalam puisi, Joko Pinurbo juga lihai merangkai kata dan mengemasnya dengan unsur humor sehingga menghasilkan puisi yang sarat makna, sebagaimana puisi “Celana Ibu” dalam buku Kekasihku.
Dalam Haikuku ini, Ibnu Wahyudi mencoba menggunakan lambang-lambang yang tersedia di komputer untuk menghasilkan sesuatu yang baru dalam penciptaan puisi. Namun, kenikmatan saya sebagai pembaca justru terganggu dengan lambang-lambang itu. Ilustrasi yang ada di setiap puisi justru lebih pas untuk mendampingi puisi-puisi alit itu. Eksperimen yang dilakukan Ibnu Wahyudi melalui puisi-puisi dalam Haikuku ini saya pikir lebih liar dibandingkan dengan kumpulan puisi pertamanya, Masih Bersama Musim (2005).

Citayam, 28 Februari 2009

Jumat, 06 Februari 2009

Catatan Kecil atas Novel Tinta Cinta Sitti Hawwa



oleh Asep Sambodja

Novel Tinta Cinta Sitti Hawwa karya Dellafirayama memberi warna baru dalam sastra Indonesia modern, terutama dalam hal substansi yang diangkat Della sebagai sebuah fiksi. Dari segi bentuk, novel ini menyerupai solilokui tentang cinta. Namun, dari segi isi, novel ini akan menjadi bahan pembicaraan bahkan perdebatan yang berkepanjangan. Della berbicara tentang Sitti Hawwa yang harus berganti nama menjadi Salamah setelah dibaiat dalam sebuah kelompok yang bernama Negara Islam. Ketika ajaran yang disampaikan sang pemimpin Negara Islam berbeda dengan keyakinannya selama ini, Sitti Hawwa pun berusaha menanggalkan nama itu dan berupaya meninggalkan kelompok fundamentalis itu. Tapi, yang dihadapinya kemudian adalah dirinya dinyatakan halal untuk dibunuh. Keberanian Dellafirayama mengangkat topik ini ke dalam karya sastra patut diapresiasi. Jika pengamat sastra mengakui bahwa karya sastra merupakan representasi dari kenyataan, apakah yang diangkat Della merupakan cerminan dari kenyataan itu? Novel ini sangat menarik jika dibaca dengan perspektif multikulturalisme.
***