Sabtu, 21 November 2009

1965: Perspektif Korban



Pengantar buku Nyanyian dalam Kelam Sutikno W.S.

oleh Asep Sambodja

Pada 1983, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letjen (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo mengajak putra Ketua CC PKI D.N. Aidit, Ilham Aidit, untuk berbicara empat mata, bicara dari hati ke hati. “Ilham, ketika itu, itu adalah tugas buat saya. Ketika itu saya merasa bahwa yang saya lakukan adalah benar. Tapi lama kemudian, berpuluh tahun kemudian, saya sadar, mungkin yang saya lakukan itu keliru. Apakah kamu bisa memahami itu semua?” kata Sarwo Edhie Wibowo kepada Ilham Aidit sebagaimana dituturkan Ilham Aidit dalam film dokumenter Menyemai Terang dalam Kelam karya sutradara I.G.P. Wiranegara (2006) yang diproduksi Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) pimpinan Putu Oka Sukanta.

Apakah pengakuan Sarwo Edhie itu benar? Sayang sekali kita tidak bisa mengkonfirmasikan hal penting seperti itu, karena pembicaraan itu hanya di antara mereka berdua, sementara Sarwo Edhie sudah tiada. Sama halnya kita juga tidak bisa mengkonfirmasikan klaim Sarwo Edhie bahwa pasukannya telah membunuh tiga juta orang komunis. Benar tidaknya pengakuan Sarwo Edhie itu, hukum harus tetap ditegakkan dan sejarah harus diluruskan.

Sejarawan Robert Cribb (2005) mengatakan, “Meskipun mantan komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo memperkirakan bahwa tiga juta orang telah terbunuh, kisaran angka yang lebih cenderung betul adalah setengah juta, atau bisa saja setengah atau kelipatan duanya.” Kenapa Robert Cribb menebak-nebak angka seperti itu? Antara lain karena pembunuhan itu dilakukan secara membabi-buta di berbagai tempat. Tapi, pola pembunuhannya sama, yakni setiap malam selama beberapa minggu datang truk yang diparkir di luar suatu tempat penahanan, lalu seorang petugas akan memanggil beberapa nama para tahanan sebanyak tiga, empat, sampai sekitar dua lusin nama. Kadang-kadang korban disungkup kantung beras usang, kadang mereka hanya diberitahu akan dipindahkan ke lokasi lain. Lalu mereka diangkut pergi lima, 10, 30, bahkan sampai 100 km dari tempat penahanan mereka, ke tempat terpencil—hutan, curaman sungai, gua, atau tepi laut. Di sana, di bawah pengawasan beberapa tentara, mereka dibunuh—ditembak, ditusuk, atau dipukul dengan batangan besi—oleh anggota milisi, terkadang setelah disuruh menggali tanah untuk kuburan mereka sendiri (Cribb, 2005: 57-58).

Dalam film dokumenter Mass Grave karya sutradara Lexy Junior Rambadeta (2002), apa yang dikatakan Robert Cribb itu terbukti benar. Pada 16 November 2000, ditemukan kuburan massal di Hutan Situkup, Desa Dempes, Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Jumlah kerangka yang ditemukan ada 21 jenazah, di antaranya kerangka Sandiwijoyo (anggota DPR), Dul Asror (Camat Tempel), Ibnu Santoro (dosen UGM), Marlan (Direktur Waspada), Muhadi, dan Harsono Siswo Sumarto. Mereka ini adalah tahanan tanpa proses pengadilan dari penjara Yogyakarta. Pada 26 Februari 1966 mereka dikirim ke Wonosobo dan dieksekusi pada 3 Maret 1966. Jenazah itu ada yang dikenali melalui cincin kawin yang ditemukan saat penggalian. Cincin itu bertuliskan nama “Sudjijem, 20/6/1965”.

Pramoedya Ananta Toer (dalam Rambadeta, 2002) mengatakan bahwa di Kabupaten Blora ada 5.000 orang pendukung Soekarno yang dibunuh. Pendukung Soekarno itu ada yang berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan komunis. “Itu baru satu kabupaten. Belum yang lainnya,” kata Pram.

Belum lama ini, tepatnya pada 17 November 2009, diadakan diskusi buku Lobakan: Kesenyapan Gemuruh Bali ’65 di GoetheHouse, Jakarta. Dalam diskusi tersebut, Dharma Santika Putra mengatakan bahwa cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku Lobakan itu sebagai karya sastra yang gagal. Alasannya karena “beratnya beban yang harus dipikulnya di dalam merebut lembar-lembar sejarah kemanusiaan di Indonesia bahkan mungkin juga dunia” (Putra, 2009).

Saya menilai pernyataan Dharma Santika itu sebagai sebuah pernyataan yang arogan dan gegabah. Apa dasarnya mengatakan cerpen-cerpen yang menyuarakan peristiwa pembantaian massal di Bali pada 1965 itu sebagai karya yang gagal? Adakah karya sastra yang gagal? Bukankah W. Sikorsky (1970) memberi makna baru pada karya-karya Ronggowarsito, Padmosusastro, Muhammad Musa, dan Willem Iskandar tanpa memposisikannya sebagai karya yang gagal? Bukankah Agung Dwi Hartanto (2008) menempatkan Marco Kartodikromo ke tempat terhormat dalam sejarah sastra Indonesia meskipun kolonial Belanda menghinanya sebagai “bacaan liar”? Bukankah filolog-filolog juga memberikan makna baru pada naskah-naskah lama? Kenapa Dharma Santika mengatakan karya sastra itu gagal?

Tampaknya Dharma Santika menggunakan kacamata kuda dalam mengapresiasi karya sastra. Ia tidak berusaha mengaitkan karya itu dengan konteksnya, sehingga muncul penilaian semacam itu. Saya menduga bukan karya itu yang gagal, melainkan Dharma Santika yang gagal menafsirkan cerpen-cerpen yang ditulis Martin Aleida, Putu Oka Sukanta, Putu Fajar Arcana, Putu Satria Kusuma, Sunaryono Basuki K.S., Gde Aryantha Soethama, T. Iskandar A.S., Soeprijadi Tomodihardjo, Fati Soewandi, Ni Komang Ariani, Kadek Sonia Piscayanti, Dyah Merta, May Swan, dan Happy Salma dalam buku Lobakan itu.

Dari sini saya menyimpulkan bahwa untuk memahami karya-karya para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan baik, kita harus mengerti dan memahami sejarah dengan baik pula. Begitu juga kalau kita hendak mengapresiasi karya sastra yang berlatar 1965-1966, maka sejatinya kita juga mengerti betul apa yang terjadi pada tahun-tahun itu. Tanpa mengerti dan memahami sejarah, bisa jadi kita gagal menafsirkan karya sastra yang berlatar sejarah sebagaimana yang dialami Dharma Santika.

Di atas telah saya singgung korban tragedi 1965-1966 yang mati. Bagaimana dengan korban yang masih hidup? Sulami, cerpenis yang juga Sekjen DPP Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang ditahan selama 20 tahun, masih memiliki rasa dendam hingga meninggal terhadap Rezim Soeharto. Penyair Sutikno Wirawan Sigit, yang juga Redaktur Majalah Zaman Baru mengekspresikan pikiran dan perasaannya dalam buku puisi Nyanyian dalam Kelam selama ia dipenjara 10 tahun di Penjara Salemba, Penjara Tangerang, dan Pulau Buru. Sangat banyak yang bernasib sama seperti Sulami dan Sutikno itu.

Dalam film dokumenter Seni Ditating Jaman karya kolaboratif Putu Oka Sukanta, Lilik Munafidah, dan Hendro Sutono (2008), misalnya, ditampilkan dalang Ki Tristuti Rahmadi yang ditahan di Pulau Buru. Menurut Ki Tristuti Rahmadi, selama di Pulau Buru, ia benar-benar merasakan ganasnya hutan di sana. Ia pun menulis beberapa suluk untuk para dalang, termasuk untuk Ki Anom Suroto. Suluk karya Tristuti itu terasa lebih berjiwa karena yang ditulisnya adalah sesuatu yang benar-benar dialaminya, bukan semata-mata dari lamunan.
Kemahiran mendalang Tristuti ini tercium pula oleh aparat keamanan di Pulau Buru. Lalu, ia diminta mendalang oleh petugas karena banyak tahanan Pulau Buru yang mati bunuh diri. Menurut Tristuti, sejak ia mendalang secara rutin di Buru, angka kematian akibat bunuh diri menurun (Sukanta, 2008). Terbaca bahwa wayang sebagai karya seni berfungsi sebagai sarana katarsis ataupun sekadar menjadi eskapisme bagi para tahanan.

Bagi penyair Sutikno W.S. puisi tidak saja berfungsi sebagai media katarsis, tapi juga merekam situasi zaman. Ia yang dipenjarakan oleh Rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan sejak 1969 mulai menulis puisi di dalam penjara Salemba pada 1970, di penjara Tangerang pada 1972, dan di Pulau Buru sejak 1973 hingga ia dibebaskan pada 1979. Puisi-puisinya bertarikh 1970-an, masa-masa ia berada dalam penjara, yang terkadang luas langit hanya selebar luas jendela. Mungkin Michel Foucault benar saat ia mengatakan bahwa mengarang itu merupakan upaya untuk menghindari kematian, sebagaimana cerita Seribu Satu Malam yang ditafsirkannya (Heraty, 2000).

Dalam puisi “Nyanyian dalam Kelam”, penyair memposisikan dirinya sebagai orang yang mengamati adanya penindasan. Ia sangat sadar bahwa dirinya termasuk orang-orang yang ditindas, tapi ia sama sekali tidak ingin ditangisi. Bahkan tak ingin dikasihani. Kalaupun harus ada yang ditangisi, maka bumi inilah yang perlu ditangisi, karena bumi merasakan luka dan duka sesama manusia. Bumilah yang menampung setiap tetes darah yang tumpah. Saya melihat Sutikno berhasil mengendapkan peristiwa yang menempatkannya sebagai korban Rezim Orde Baru dengan baik, dan menuangkannya ke dalam puisi dengan diksi yang terjaga dengan baik pula, serta dituturkan secara bersahaja. Ini merupakan kelebihan Sutikno. Ia bisa mendaraskan luka dalam puisi “Nyanyian dalam Kelam” dengan apik.

Nyanyian dalam Kelam

tangisilah bumi ini yang letih dan sengsara
merunduk dalam lecutan siksa dan kesakitan
tangisilah kehidupan ini di mana kuncup-kuncupnya
layu diserap mainan kepalsuan
tetapi jangan kami

orang-orang yang tersisih namun tidak kehilangan hati
untuk mencinta dan mensenyumi dunia
dan bukan kami
anak-anak yang melata di luar sayap induknya
berkubang di tengah musim
mereguk pengap udara
dalam keramahan lagu dan tutur kata

tangisilah kebodohan ini yang sudah
memenjarakan kebenaran
mengepung manusia dalam kecongakan tirani
ya, tangisilah segalanya yang durjana ini demi semua yang akan dilahirkan

dari bayangan kabut dan kandungan kemelut
tetapi jangan kami, o bukan
orang-orang dengan sepotong langit di balik jendela
melihat dunia dalam pelukan kemesraan

tangisilah bumi dan kehidupan ini yang tersedan
dalam kerentanannya
menahan pedihnya cemeti dendam dan kedengkian
ya, tangisilah dunia ini yang tercabik dan merintih karena luka-lukanya

tetapi bukan kami, o tidak
sebab apalah arti kesengsaraan apabila hati rela menggenggamnya
apalah arti perpisahan—dan kebisuan
pabila jantung pun berdebur jua dihangatkan nyala
alangkah banyak derita ini mencacati namamu
o zaman yang memikul sendiri beban anak-anaknya
bermula di kekelaman hari ketika langkah-langkah di
kancah pertarungan
serta menabur, wahai—bagi buminya benih yang akan
melahirkan hari depan
kebebasan terpilih di mana kodrat merdeka melindungi
anak-anaknya

alangkah banyaknya kepiluan ini menjalin jejak kehidupanmu
tapi pun alangkah banyaknya kenangan membekas dalam
selubung kemarakanmu, o kasih yang unggul
yang mengabarkan pada dunia tentang kemuliaan
melagukan manusia serta mengangkat derajatnya
cinta tak terbagi kecuali bagi yang lapar dan terhina

dan air mata pun biarlah tumpah bagi yang tak mengerti
namun memikul juga kesengsaraan ini
anak-anak yang kehilangan orang tua serta kekasih yang
dipunahkan harapannya
rumah-rumah yang diremas sunyi, kegelisahan yang
membludag seperti sampar
dan ketaktahuan—di mana kebenaran bermukim serta
mengembangkan sayap-sayapnya

ya, dan baginya biarlah bumi pun menampung nestapa serta air mata duka
tembang rawan bagi yang tersisih dan disengsarakan
tetapi bukan kami, orang-orang yang terampas namun tak kehilangan daya
untuk menegakkan janji di atas segala kehilangan yang pahit
serta menciptakan
zaman yang marak dilambangi paduan nyanyi
nasi dan melati

(1972—Salemba)

Saya melihat penggunaan judul “Nyanyian” dalam puisi-puisi Sutikno mengandung makna tersendiri. Ia berupaya menghadapi semua peristiwa yang dihadapinya dengan tenang, dengan nyanyian. Upaya ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk untuk menghibur diri agar terlepas dari segala penderitaan. Lagu yang disuarakan memang lagu yang di dalamnya sarat akan luka-luka, penuh kepedihan, namun diam-diam sang pujangga menyusun kekuatan untuk tetap bertahan. Puisi atau karya sastra atau karya seni pada umumnya sejatinya memang memiliki dua fungsi, sebagaimana Horatius (dalam Teeuw, 2003) mengatakan dulce et utile. Pertama, menghibur pembaca atau audiensnya. Kedua, karya itu bermanfaat bagi masyarakat; karya tersebut memberi kekayaan intelektual maupun kekayaan spiritual kepada pembacanya. Puisi-puisi yang lahir dari penjara saya pikir setidaknya memberikan kekayaan spiritual kepada pembacanya. Karena, fakta dan kenyataan diungkapkan secara jujur oleh penyairnya. Dan kejujuran memberikan kontribusi yang sangat besar dalam keindahan sebuah puisi.

Nyanyian Pandak
—untuk trisningku

pabila pita merah
melambai di lekuk ikal rambutmu, nduk
jangan lupakan waktu
ketika kau tangisi kepergian bapakmu

arif diasuh pengalaman
mari ditimba makna perpisahan
yang tahun demi tahun
seperti bajak yang bermain di lumpur waktu
merekatkan getah-getah rindu

namun janganlah melarutkan waktu dengan menunggu
sebab jagung pun
akan berbunga di tiap ladang
dan manusia
menuai hidup dari pekertinya

dan pabila nanti
merah mawar menghias warna langitmu, nakmas
sampirkanlah di sayap-sayap lagu
kasih dan kesetiaan yang tak terkalahkan
dinding penjara dan tanah buangan

(1973—Buru)

Gelap, kelam, senyap, malam, dan sejenisnya adalah kata-kata yang sering muncul dalam puisi-puisi yang lahir di penjara, sebagaimana puisi-puisi Sutikno W.S. Sebagai Redaktur Majalah Zaman Baru, saya pikir Sutikno sangat paham untuk apa sebuah karya sastra diciptakan. Pertanyaan ini juga muncul dari Ni Made Purnamasari dalam diskusi buku Lobakan di GoetheHouse, 17 November 2009. Bahkan Purnamasari menambahkan, apakah karya sastra bisa memberikan solusi untuk pembacanya agar bisa keluar dari kemelut atau keruwetan sejarah ini?

Ya, untuk apa sebuah puisi diciptakan? Dalam konteks Nyanyian dalam Kelam ini, untuk apa Sutikno menciptakan puisi? Apakah puisi-puisi Sutikno bisa memberikan solusi atas persoalan hidup kekinian? Pertanyaan ini saya pikir menarik untuk dijawab. Kalau dilihat dari perspektif sang penyair, minimal ada dua alasan kenapa Sutikno menciptakan puisi. Pertama, penyair yang telah mengalami penderitaan akibat dipenjara selama 10 tahun tanpa pengadilan membutuhkan saluran untuk menuangkan uneg-unegnya, menyuarakan rasa ketidakadilan yang dialaminya, mengingat saluran resmi yang dibikin negara tidak mampu menyalurkan penderitaan warganya seperti itu. Kedua, ada yang hendak dibagi atau diberikan kepada pembaca. Kalau selama ini pemerintah Soeharto memberikan informasi secara sepihak kepada masyarakat, penyair melalui puisi-puisinya menyampaikan informasi lain terhadap kenyataan yang sama dengan perspektif yang berbeda. Puisi-puisi itu memberikan suara lain dalam membaca sejarah.

Kalau dilihat dari perspektif pembaca, apa yang bisa didapat dari puisi-puisi Sutikno itu? Pertama, puisi-puisi Sutikno yang ditulis di dalam penjara pada kurun waktu 1970-an memberikan gambaran baru situasi saat itu dari perspektif sang penyair. Kedua, puisi-puisi Sutikno yang juga survivor ini memberikan kekayaan spiritual kepada pembacanya. Bagaimana seseorang bisa bertahan hidup dari penderitaan, ujian, cobaan yang demikian berat dan mampu melampauinya. Ketiga, puisi-puisi Sutikno enak dinikmati.

Selanjutnya, apakah puisi-puisi Sutikno bisa memberikan solusi bagi pembaca atau masyarakat agar bisa keluar dari persoalan sejarah yang rumit? Secara langsung mungkin tidak. Tapi, secara tidak langsung, puisi-puisi Sutikno bisa memberikan pencerahan kepada pembacanya untuk lebih arif dalam melihat sejarahnya sendiri. Ini penting artinya bagi mereka yang telah direnggut nyawa dan kehormatannya serta penting bagi generasi sesudahnya. Saya sangat ingin mengetahui perasaan algojo-algojo Soeharto yang membunuh sedikitnya 500 ribu bangsanya sendiri pada 1965 itu. Apakah mereka juga merasa seperti Sarwo Edhie Wibowo sebagaimana dituturkan kembali oleh Ilham Aidit? Atau tidak punya perasaan?

Nyanyian Malam

dan pelan kuketuk pintumu
ketika bintang surut
dan malam tidak lagi menyanyi

o alangkah manis rasanya rumah
di mana terukir goresan-goresan lama
tentang engkau dan tentang anak-anak
tentang duniaku belum sudah

dan apabila inilah harinya
ketika panen tiba dan dikau penuainya
apakah lebih indah dari suara-suara
yang menggempitakan langit
menggugurkan dinding kota?

jawabnya adalah tiada
karena betapa ialah yang menyeruku
menjalinkan keharuman cinta
serta kesetiaan pada cita-cita

dan
pabila pelan kuketuk pintumu
ketika bintang surut dan malam tidak lagi menyanyi
adalah ia segumpal damba
yang terbang ke sawang sunyi
mengetuk dinding langit

dan gugur
dalam serpihan hati sendiri

(1974—Buru)

Puisi “Nyanyian Malam” memperlihatkan dengan jelas situasi yang terjadi di dalam dan di luar penjara. Jika pada 15 Januari 1974 kita bisa mengetahui adanya peristiwa huru-hara penolakan modal asing dari Jepang, yang dikenal dengan sebutan seperti nama penyakit, Malari 1974, maka nun jauh di Pulau Buru sana, ada seorang manusia yang terpenjara, yang tengah merindukan rumah dan segala kesentosaannya. Tapi, harapan itu tinggal harapan saja, “dan gugur dalam serpihan hati sendiri”.

Puisi “Ode” yang juga ditulisnya pada 1974 menunjukkan kepenyairan seorang Sutikno W.S. Jujur saja, baru pertama kali ini saya menemukan nama penyair Sutikno W.S. Saya berusaha mencari nama penyair ini dalam beberapa buku sejarah sastra Indonesia, namun nama ini tidak muncul. Dalam biodatanya disebutkan bahwa penyair ini menjadi Redaktur Zaman Baru milik Lekra pada 1964, tapi saya tidak menemukan karya-karyanya pada tahun 1960-an. Dan, ketika Bilven Sandalista dari Penerbit Ultimus Bandung memberikan segepok puisi-puisi Sutikno W.S., saya baru sadar bahwa ternyata masih banyak sastrawan-sastrawan Lekra yang luar biasa.

Dalam hal puisi-puisi Sutikno W.S. ini, pesan yang disampaikannya bukanlah semangat antiimperialisme Amerika sebagaimana yang terbaca dalam puisi-puisi 1960-an. Kenapa yang menjadi tema sentral saat itu antiimperialisme Amerika? Menurut catatan R. Kreutzer (dalam Setiawan, 2003) pada tahun 1948 saja perusahaan-perusahaan swasta Amerika sudah menambang nikel dan bijih besi di Sulawesi; industri pertambangannya di Bangka dan Belitung mengekspor timah dan seng; Rockefeller’s Standard Oil mengebor sekitar 500 ladang minyak mentah di Sumatera; Goodrich dan perkebunan-perkebunan karet raksasa lainnya masing-masing menguasai kurang lebih 100.000 hektare di Sumatera juga. Tapi, yang disuarakan Sutikno adalah suara sepi senyapnya penjara setelah ratusan ribu orang disembelih dan ratusan ribu lainnya, termasuk Sutikno, dipenjara dan diwajibkan korve. Banyak sejarawan yang menyebutkan bahwa Amerika berada di belakang pembunuhan massal yang dilakukan Soeharto dan algojo-algojo Orde Baru.

Ode

apabila inilah hidupku
di mana sawang senyap dan bintang gemerlap
lebur dalam nestapa manusia
serta rimba kelam yang bernyanyi
luluh di desah engah napas-napas yang lelah
apabila lagi yang harus kukatakan
selain menabur cita-cita
meremajakan harapan

sudah tertumpah di sini setumpuk angan
dan mereka yang hilang pun
sudah mencatat pada tapak-tapak tangannya
tentang hari-hari yang surut dan berlalu
serta langit senyap yang memayungi
keabadian cita-cita serta mimpi tunggal angkatannya

sesungguhnya
hari-hari begini panjang
hari-hari begini pekat
tapi pun hari-hari betapa saratnya

di mana setiap orang menghayati kelahiran baru
dalam pribadi
mereka yang kehabisan air mata tetapi bukan cinta
akan hidup yang tidak dipungkiri serta dunia yang dipilihnya

namun adakah kesyahduan lebih syahdu dari nyanyian
yang mengembara di padang-padang kepapaan
dan mengapung seperti doa-doa kudus yang rawan?
ah seandainya ini mengentalkan persahabatan dan meramahkan tutur kata
di mana kelahiran demi kelahiran
ada dalam kehangatan jalinannya
dan apabila inilah hidupku

o dengarlah anak-anak serta kekasih yang menanti
pabila inilah panggilan yang mesti kupenuhi
takkan lagi kuhitung tapak-tapak
juga tangan yang menggeletar lunglai
serta jantung yang mendeburkan rindu demi rindu
pada segalanya yang sirna seperti mainan cahaya yang
disapu senja
tidak, sebab betapa semuanya sudah bagaikan putik
yang mengorak di pangkal pagi
menyalamkan gairah puja bagi dunia

sesungguhnya
inilah mawar dari segenap cintaku
yang setangkai demi setangkai
kusunting di penjuru negeriku
maka apabila inilah hidupku, sepenuhnya
jadilah ia hidup yang bukan menunggu waktu
tapi adalah jalinan suara
dan mainan warna
yang lebur dalam titian cita-cita

dan engkau yang menyertaiku dalam rindu
bukalah hati dan jangan lagi ditangisi, o anak-anak dan kekasih yang menanti
sebab bintang pun belum anti di tengah tasik hidupku ini

(1974—Buru)

Saya merasa nikmat membaca puisi-puisi Sutikno W.S. ini. Dalam arti, apa yang dicita-citakan Lekra melalui Mukaddimah Lekra, yakni tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tampak jelas hadir dalam puisi-puisi Sutikno W.S.***

Citayam, 21 November 2009


Acuan
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. Di Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik.
Heraty, Toeti (ed.). 2000. Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Buku Obor.
Merta, Dyah et.al. 2009. Lobakan: Kesenyapan Gemuruh Bali ’65. Depok: Koekoesan dan LKK.
Purnamasari, Ni Made. 2009. “Lobakan untuk Fakta dan Fiksi Sejarah”. Makalah diskusi buku Lobakan di GoetheHouse, Jakarta, 17 November 2009.
Putra, Dharma Santika. 2009. “Luka Peradaban yang Dipelihara”. Makalah diskusi buku Lobakan di GoetheHouse, Jakarta, 17 November 2009.
Rambadeta, Lexy Junior. 2002. Mass Grave. Film dokumenter. Jakarta: Offstream.
Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism”. Monografi. Belum diterbitkan.
Setiawan, Hersri. 2003. Negara Madiun?: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan. Jakarta: FuSPAD.
Sikorsky, W. 1970. Tentang Sejarah Pembentukan Kesusastraan Indonesia Modern. Terj. Koesalah Subagyo Toer. Moskow.
Sukanta, Putu Oka, Lilik Munafidah, dan Hendro Sutono. 2008. Seni Ditating Jaman. Film dokumenter. Jakarta: LKK.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiranegara, I.G.P. 2006. Menyemai Terang dalam Kelam. Film dokumenter. Jakarta: Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.

Minggu, 15 November 2009

Usai Pembantaian Massal Itu...



Pengantar Buku Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna

oleh Asep Sambodja

Kepahitan bila berlalu
Jadi lagu sangat merdu
(“Sisi yang Cerah”)

Pada mulanya adalah ketidakadilan. Sehari setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah pengamanan, dan bukannya transfer of authority, Soeharto mengeluarkan surat keputusan No. 1/3/1966 yang berisi: 1) membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazaz/berlindung/bernaung di bawahnya. 2) menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuatan negara Republik Indonesia (Adam, 2009; Samsudin, 2005).

Menindaklanjuti surat keputusan itu, pada 5 Juli 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang diketuai A.H. Nasution mengeluarkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan, mengembangkan faham, atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme (Samsudin, 2005).

Apa implikasinya? Negara berusaha mencuci-tangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan algojo-algojonya dalam massacre yang terjadi pascaperistiwa G30S 1965. Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Sebelum PKI dilarang, banyak anggotanya yang dibunuh, ditangkap, disiksa, ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.

Soal jumlah yang pasti mengenai korban yang mati memang belum jelas, karena negara sendiri mencoba menyembunyikan peristiwa berdarah ini dalam kolong sejarah bangsa Indonesia. Tapi, sebagaimana Robert Cribb, Ricklefs (2005) juga menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI yang dibunuh sedikitnya 500.000 orang. Harian Kompas, 13 Agustus 2001 menyebutkan korban yang meninggal dalam pembunuhan massal 1965-1966 hingga satu juta jiwa. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memimpin pembantaian massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu bahkan mengklaim telah membunuh tiga juta orang komunis (Ricklefs, 2005; Aleida, 2009).

Selain itu terjadi penangkapan disertai penyiksaan dan penahanan terhadap orang-orang PKI yang semuanya tanpa proses pengadilan. Harus dicatat di sini bahwa penangkapan, penyiksaan, dan penahanan itu tidak melalui proses pengadilan. Ricklefs (2005) menyatakan sedikitnya ada 100.000 orang yang diperlakukan secara aniaya seperti itu. Kompas menyebutkan ada 700.000 orang yang dizalimi. Mereka memenuhi penjara-penjara yang ada di Jawa dan sebagian dibuang ke Pulau Buru.

Terkait dengan hal itu, perempuan-perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) justru mengalami penderitaan yang berlipat-lipat. Mereka tidak saja ditangkap dan ditahan, tetapi juga diperkosa berkali-kali di dalam penjara. Testimoni yang mereka berikan terekam dengan baik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008).

Melihat peristiwa ini, Amerika hanya menutup mata. Bahkan mereka merasa gembira karena Soeharto telah berhasil menyingkirkan kekuatan sayap kiri di Indonesia. John Roosa menulis, “Washington sangat gembira ketika tentara Soeharto mengalahkan G30S dan merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Soekarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Soeharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya” (Roosa, 2008).

Sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI mengalami nasib sial. Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, dan S. Anantaguna—untuk menyebut beberapa nama saja—mengalami penganiayaan oleh Rezim Orde Baru. Sebagai anggota Lekra, Putu Oka Sukanta dipenjara Rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili (Sukanta, 2008). S. Anantaguna sendiri mendekam di penjara selama 13 tahun (1965-1978) juga tanpa diadili dan tidak tahu kesalahannya apa.

Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam esainya, “Saya Bukan Nelson Mandela”, bahwa ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dengan membawa selembar kertas yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam G30S. Namun, tidak ada proses hukum untuk merehabilitasi namanya. Negara tidak merehabilitasi dan tidak memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, yang telah mengalami penganiayaan selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan itu. Khusus untuk sastrawan Lekra, mereka tidak saja ditahan, melainkan buku-buku mereka juga dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian adalah karya-karya mereka lenyap dari buku sejarah sastra Indonesia (Sambodja, 2009). Mereka adalah orang-orang yang dizalimi bahkan sampai saat ini, karena Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 itu belum dicabut.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer sebagai simbol korban pembantaian massal yang pernah dilakukan negara terhadap rakyatnya sendiri (Kompas, 15 Maret 2000). Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang juga sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), menyayangkan sikap Pramoedya Ananta Toer yang tidak meniru sikap Nelson Mandela yang melakukan rekonsiliasi dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang pernah menindas Mandela (Mohamad, 2004). Menurut Pramoedya Ananta Toer, permintaan maaf Gus Dur itu hanya basa-basi, karena permintaan maaf itu tidak disertai dengan ketetapan MPR/DPR. Sekarang kita pertanyakan kembali: bisakah anggota DPR dan MPR yang sekarang ramai dengan artis-artis sinetron dan pelawak-pelawak itu bisa mewujudkan penegakan hukum di negeri ini—di tengah genggaman dan kekangan mafioso peradilan? Apakah mereka punya hati nurani? Apakah mereka punya nyali?

Puisi-puisi Sabar Anantaguna atau yang lebih dikenal dengan S. Anantaguna ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi Rezim Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh darah rakyatnya sendiri. Yang dihasilkan Anantaguna sungguh luar biasa; suara yang dikeluarkannya seperti suara nabi. Mungkin ini terdengar agak berlebihan. Tapi, kalau melihat penganiayaan yang dilakukan Rezim Soeharto kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, maka yang mereka alami itu lebih memiriskan hati. Dalam pembicaraan dengan mantan-mantan tahanan politik (tapol) yang tergabung dalam Lembaga Pembelaan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), seorang di antaranya mengatakan bahwa penyiksaan yang mereka alami lebih sadis dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Nabi Isa. Benarkah? Wallahualam bissawab. Tapi, kalau membaca puisi-puisi S. Anantaguna, kehidupan mereka di dalam penjara Orde Baru itu sebenarnya sudah berada di ujung tubir antara hidup dan mati.

Yang Diburu Juga Memburu

Mimpi yang ditimang
malam dengan bintang
Mimpi yang diemban
malam pesta bulan
mengadu rindu

Hati digoncang banting antara hidup dan mati
diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati

Mimpi yang diayun
angin bau embun
Mimpi sesah
angin dari lembah
menambah indah

Di bumi sepi diburu hidup dan mati
menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi


Puisi “Yang Diburu Juga Memburu” menggambarkan betapa batas antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang manusia merasa diburu kematian sebagaimana Chairil Anwar mengatakan dalam puisi-puisi akhirnya, “hidup hanya menunda kekalahan” (Anwar, 1990). Tapi, terkadang pula manusia memburu kematian itu jika berada dalam titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian indah jika harga diri sebagai manusia telanjur disampahkan. Di sisi lain, orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian yang maha berat itu akan merasai makna kehidupan itu sendiri.

Kepedasan Hidup

Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
bila hati matang, dik, petiklah
seperti kecapi
Biar hidup tidak kehilangan arti

Meski megap-megap hidup diarungi
Mengapa berjawab mati
Dari ujung kembali ke pangkal
kita kejar soal
memecahkan soal melahirkan soal

Betapa hati berdegup
merebut kualitas hidup
Awan tidak peduli
kita hidup atau mati

Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
Bila hati mematang, dik, petiklah
seperti kecapi
Tanpa persoalan hidup ini sudah mati!

S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidup ini. Melalui puisi “Kepedasan Hidup”, Anantaguna ingin mengatakan dua hal. Pertama, ia yang telah menjalani sebagai tahanan selama 13 tahun tanpa proses hukum, mengerti benar kerasnya atau pedasnya kehidupan. Kedua, pedasnya hidup itu menjadi pengalaman sekaligus pelajaran yang sangat berharga. Kalau hal itu dianggap sebagai persoalan, maka persoalan itu harus ditaklukkan. Dan sejatinya kehidupan tanpa ada persoalan seperti hampa saja, sebagaimana dikatakan penyair, bahkan tak beda dengan kematian itu sendiri. Puisi “Sisi yang Cerah” yang saya kutip di atas, yang saya ibaratkan seperti suara nabi, menegaskan pada pembaca bahwa keberhasilan kita melalui segala rintangan, penderitaan, kepahitan, maka yang dirasakan kemudian adalah keindahan. Anantaguna menuliskannya dengan sangat indah: “Kepahitan bila berlalu, jadi lagu sangat merdu”.

Kini, setelah melalui masa-masa sulit itu, Anantaguna merefleksikan peristiwa yang membuatnya berada di titik nadir itu dengan bersahaja. Kebersahajaan itu terbaca dari puisi-puisinya yang menertawakan keadaan, menertawakan kehidupan, bahkan menertawakan diri sendiri. Anantaguna sudah memasuki tahap yang sangat matang, sehingga dengan mudahnya ia memetik buah pengalamannya itu. Puisi-puisi yang lahir dari tangannya adalah puisi-puisi yang bergizi.

Interogasi

Siapa namamu
namaku cinta

Di mana rumahmu
di hati manusia

Apa pekerjaanmu
memperindah dunia

Apa duniamu
kamar tiga kali dua
kalau sakit tidak diperiksa
tidak sakit malah diperiksa

Siapa temanmu
tak tahu

Harus tahu!
baiklah kalau harus menipu

Siapa menipu!
boleh jabat tangan seri satu-satu


Luar biasa! Saya menempatkan sastrawan-sastrawan Lekra ke tempat yang terhormat kembali. Dalam pandangan saya, posisi mereka sebagai sastrawan senantiasa berada di tengah-tengah rakyatnya. Ada kewajiban bagi sastrawan Lekra untuk benar-benar menyelami dan menghayati penderitaan masyarakat yang ada di lingkungannya dan kemudian mereka mengartikulasikan apa yang dirasakan rakyat melalui karya-karyanya. Di sinilah saya melihat para sastrawan berjasa dalam hal memperkaya kebudayaan bangsanya. Mereka turut serta membangun monumen peradaban bangsa.

Penyair-penyair salon tidak akan menghasilkan karya seperti itu, karena mereka tidak mau “turba”, tidak mau berkeringat dan kerja keras menyuarakan kebenaran hakiki yang bersemayam dalam jiwa dan hati orang-orang kecil. Bukankah Tuhan sendiri berada dalam diri orang miskin, lemah, duafa? Sebagaimana hadits nabi Muhammad, “Carilah Aku di tengah-tengah kaum duafa. Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang duafa?” (Rakhmat, 1991).

Sungguh mengherankan bagi saya bagaimana Taufiq Ismail melalui buku Prahara Budaya menyudutkan sastrawan-sastrawan Lekra untuk lebih terperosok lagi. Dalam buku yang disuntingnya bersama D.S. Moeljanto itu, Taufiq Ismail berupaya keras menaut-nautkan karya para sastrawan Lekra dengan peristiwa G30S. Ini, misalnya, tampak ketika ia menginterpretasi puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” dan esai Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” (Moeljanto, 1995). Padahal, kalau kita kaji dua tulisan itu dengan hati bersih, maka tidak ada sama sekali kata atau kalimat atau simbol dalam karya mereka yang mengarah ke peristiwa berdarah itu (Sambodja, 2009).

Saya pikir aneh kalau Taufiq Ismail berasumsi atau malah menuduh sastrawan-sastrawan Lekra itu terlibat dalam G30S. Apa bukti mereka terlibat dalam peristiwa itu? Apa pula bukti perempuan-perempuan Gerwani terlibat dalam penculikan dan pembunuhan itu? Bukankah perempuan-perempuan itu ditelanjangi secara paksa oleh tentara, dan bukannya menari telanjang sebagaimana yang dimitoskan selama ini? (Roosa, 2008; Nadia, 2008; Poesponegoro, 1984). Apa pula bukti keterlibatan ratusan ribu anggota PKI yang dibunuh tentara dan milisi antikomunis dalam peristiwa itu? Siapa sebenarnya Letkol Untung Samsuri dan Kolonel Abdul Latief itu? Bukankah mereka teman dekat Soeharto sendiri? (Adam, 2009).

Tentu saja kita bersyukur atas terbitnya buku-buku sejarah yang memberikan perspektif yang baru seperti itu; tidak melulu dari kacamata penguasa. Kita juga bersyukur atas terbitnya buku Lekra Tak Membakar Buku yang memberikan gambaran mengenai sastrawan dan seniman Lekra secara proporsional sebagai komplemen terhadap buku Prahara Budaya. Demikian juga dengan terbitnya buku Gugur Merah dan Laporan dari Bawah yang sedikit banyak menyelamatkan aset budaya bangsa yang selama ini diberangus Rezim Orde Baru (Yuliantri, 2008).

Lahirnya Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna ini menjadi bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagai penyair, Anantaguna tidak perlu lagi berpura-pura menyuarakan penderitaan orang lain, karena pengalaman yang dialami Anantaguna merupakan ujian yang maha berat, sebagaimana tokoh-tokoh besar yang keluar dari kawah candradimuka. Maka, apa yang dituturkan Anantaguna adalah suara-suara yang di dalamnya terpancar kasih Ilahi. Saya kutip sebuah puisi Anantaguna untuk mengakhiri pengantar ini.

Catatan

Menghidupi hidup
menghayati hati

Angin merunduk
memeluk bumi

Kecup hidup
sampai mati


Citayam, 15 November 2009


Acuan
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Aleida, Martin. 2009. Mati Baik-baik, Kawan. Yogyakarta: Akar Indonesia.
Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. Di
Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata
. Yogyakarta: Buku Baik.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). Prahara Budaya. Bandung: Mizan.
Mohamad, Goenawan. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia VI
. Jakarta: Balai Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto.
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.
Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis
Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism.” Monografi. Belum diterbitkan.
Samsudin. 2005. Mengapa G30S/PKI Gagal?. Jakarta: Buku Obor.
Sukanta, Putu Oka. 2008. Surat Bunga dari Ubud. Depok: Koekoesan.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku.
Yogyakarta: Merakesumba.

Rabu, 11 November 2009

Hersri Setiawan dan Memoar Pulau Buru



oleh Asep Sambodja

Hersri Setiawan adalah mantan Ketua Lekra Jawa Tengah. Selain menulis cerpen dengan nama pena Setiawan H.S., ia lebih banyak menulis memoar dan menerjemahkan buku-buku penting di bidang sastra dan budaya. Buku Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan yang ditulisnya berdasarkan wawancara dengan tokoh kunci Peristiwa Madiun, Soemarsono, memperlihatkan kemampuannya untuk membaca sejarah seobjektif mungkin, meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.

Dalam buku tersebut, Hersri Setiawan (2003) melihat peristiwa Madiun 19 September 1948 dari perspektif yang lain. Bukan dari perspektif pemerintah Soekarno-Hatta-Sukiman-Nasution, melainkan dari perspektif Soemarsono-Amir Sjarifuddin-Musso. Dari perspektif ini, jelas bahwa Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berbasis massa di Madiun menolak diposisikan sebagai pemberontak yang hendak merebut atau menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta.

Menurut pengakuan Soemarsono, pasukan Laskar Rakyat yang melucuti senjata aparat keamanan di Madiun adalah bentuk penolakan terhadap kebijakan Kabinet Hatta yang akan melakukan reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di dalam tubuh Angkatan Perang. Selain itu, Laskar Rakyat melucuti senjata polisi dan tentara di Madiun karena tidak menginginkan peristiwan penculikan terhadap pimpinan FDR dan Laskar Rakyat sebagaimana yang terjadi pada Akhmad Yadau, perwira berhaluan kiri, di Solo pada 7 September 1948.

Setiawan (2003) menjelaskan bahwa Peristiwa Madiun tidak direncanakan untuk menggulingkan pemerintahan Hatta-Sukiman. Peristiwa itu telah terjadi semata-mata bertolak dari langkah untuk mencegah pelaksanaan Program Re-Ra, dan menghentikan ofensif reaksioner pemerintah, Nasution-Siliwangi, dan Masyumi-Murba. Sementara Soemarsono menilai Peristiwa Madiun sengaja diplot atau direkayasa pemerintahan Hatta-Sukiman untuk melenyapkan Sayap Kiri dari kancah politik.

Kecurigaan adanya persekongkolan itu terbaca dalam siding Dewan Siasat Militer pada 8 Mei 1948. Dalam sidang yang dihadiri Soedirman itu, Hatta mengatakan, “Beda dengan Amerika di Filipina, kami yakin Belanda tidak akan mampu menjamin keamanan kita. Maka jika Amerika mengingini pangkalan militer, kita akan penuhi keinginan mereka itu, tapi dengan syarat mereka harus memasok senjata pada kita.” (Setiawan, 2003). Yang menjadi pertanyaan Sayap Kiri, senjata itu untuk menembaki siapa?

Menurut Arief Budiman (dalam Setiawan, 2003), sebenarnya Bung Karno sudah mengirim utusan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Madiun. Utusan yang dikirim pada waktu itu adalah Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden RI (1966-1998). Soeharto datang dan bertemu Soemarsono, yang kemudian menjelaskan apa yang terjadi. Tampaknya Soeharto, menurut kesan Soemarsono, bisa diyakinkan bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah usaha pemberontakan. Katanya itulah yang akan dilaporkan Soeharto kepada pemerintah pusat. Akan tetapi, pemerintah pusat kenyataannya kemudian mengirim TNI untuk menumpas “pemberontakan” tersebut. Dari cerita ini, Soemarsono bisa jadi merasa curiga bahwa Soeharto telah memutar-balikkan fakta untuk memuaskan orang-orang yang tidak senang terhadap unsur kiri dalam Revolusi Indonesia, atau dia sendiri memang bagian dari komplotan ini (Setiawan, 2003: x-xi).

Dengan perspektif seperti itulah Hersri Setiawan (2004) menulis Memoar Pulau Buru. Dalam buku setebal 584 halaman ini dimuat kisah-kisah keseharian para tahanan politik (tapol) di Pulau Buru. Dari sekian banyak kisah yang disuguhkan Hersri dalam buku itu, ada satu kisah yang membuat trenyuh pembaca, yakni tentang Supardjo P.A., seorang tapol yang sering “ditanggap” oleh sesama rekan tapol karena Supardjo sering memelesetkan lagu-lagu biasa menjadi lagu yang bermuatan politis. Ketika ditanya kepanjangan huruf PA yang di belakang namanya, Supardjo menjawab, “Purworejo Asli alias Pikiran Abnormal”.

Kisah Supardjo ini memperlihatkan bahwa tidak semua tapol bisa tahan dengan siksaan yang mereka alami dan jalani sebagai tapol. Saya tidak tahu persis kenapa Supardjo menamakan dirinya sebagai “Supardjo Pikiran Abnormal”. Yang jelas, dia justru “ditanggap” oleh rekan-rekannya yang lain untuk menghibur mereka.
Ketika ditanya temannya, “Siapa sih nama lu, Jo?”
“Inilah aku Jenderal Supardjo! Yang sanggup membunuh tujuh jenderal dalam satu malam,” jawab Supardjo.
Tentu saja itu jawaban yang asal bunyi saja. Sebab, faktanya, pada bulan Januari 1967, perwira militer tertinggi yang terlibat dalam usaha kudeta, Brigjen Supardjo, ditemukan. Dan, pada Maret 1967, ia divonis mati (Ricklefs, 2005).

Supardjo P.A. memang akhirnya dibebaskan pada 1978. Kepergian Pardjo ini meninggalkan kesan bagi teman-temannya sesame tapol, termasuk Hersri Setiawan. Hersri yang sempat mengantar kepergian Pardjo kemudian membuat catatan kecil berbentuk puisi di beberapa lembar kertas sigaret.

Apel Bendera
kepada Supardjo P.A.

digiring kami dalam barisan
dari barak-barak menuju lapangan
kemudin datang inspektur upacara
bagaikan dewa turun dari suralaya
lalu terdengar seru
“hormat senjataaa grak!”

diiringi sembah sang komandan
selembar kain merah dan putih
merayap lesu setinggi tiang kayu bakau
lalu terdengar seru
“tegap senjataaa grak!”

maka beterbanganlah
burung-burung cocakrawa dan kelelawar
dan langit pun jadi keruh
oleh riuh hura-hura suara

pancasila!
satu: ketuhanan yang berbintang
dua: kemanusiaan yang dirante
tiga: persatuan di bawah pohon beringin
empat: kerakyatan yang dipimpin oleh kerbo
lima: keadilan sosial di kuburan....

barisan budak-budak digiring
memikul perintah masing-masing
menuju lapangan kerja
menuju gelanggang penyiksaan


Dalam memoar Hersri Setiawan (2004) dijelaskan bahwa setiap tapol di Pulau Buru tidak hanya harus hafal bunyi Pancasila seperti burung beo, bunyi setiap sila-silanya kata demi kata. Tapi, tapol juga harus hafal bagaimana masing-masing sila itu dilukiskan sebagai lambang di dada garuda yang mencengkeram semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu. Ini tidak mudah bagi ingatan tapol yang setiap hari makan singkong bergaram dan minum air putih. Tapi, Pardjo telah mengkombinasikan bunyi setiap sila dengan gambar bagaimana sila itu dilambangkan. Lalu hafalan kata-kata masing-masing sila itu pun diubahnya sesuai dengan bagaimana lambang itu dilukiskan. Hasilnya sebagaimana yang tercakup dalam puisi di atas.

Yang menarik adalah interpretasi yang diberikan Hersri Setiawan terhadap bunyi Pancasila versi Supardjo P.A. itu. Untuk mengerti kata-kata Pancasila hafalan Pardjo P.A. di atas, sambil membaca bunyi kata-katanya kita harus melihat lima gambar lambang-lambang yang terlukis pada Garuda Pancasila, sementara itu juga berangan-angan tentang hubungan antara makna kata-kata dalam kombinasi dengan lambangnya masing-masing.

Misalnya, sila pertama yang seharusnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah menjadi “Ketuhanan yang berbintang”—yang merujuk ke kekuasaan militer. Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” diubah menjadi “Kemanusiaan yang dirantai”—karena di mata para tapol, HAM memang ditindas, dan barangsiapa yang bersuara lain akan dirantai bahkan dipetrus. Ketiga, “Persatuan Indonesia” diubah menjadi “Persatuan di bawah pohon beringin”—karena di masa Orde Baru, parpol hanya tiga, dan partai beringin adalah partai pemerintah. Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” diubah menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh kerbo”—karena para wakil rakyat di zaman Soeharto seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh panglima. Kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” diubah menjadi “Keadilan sosial di kuburan”—yang di mata para tapol, keadilan sudah mati.

Saya menilai, Memoar Pulau Buru menyimpan dengan sangat baik ketidakadilan yang pernah dilakukan Rezim Soeharto pada orang-orang PKI, termasuk kepada sastrawan-sastrawan Lekra. Kesaksian semacam ini memang harus diberikan agar ketidakadilan tidak terulang kembali. Memoar ini menjadi pelengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1-2 karya Pramoedya Ananta Toer (1995, 1997).

Plesetan Pancasila yang dilakukan Pardjo Pikiran Abnormal itu mencerminkan sikap muak para tapol; karena apa yang harus mereka lafalkan setiap upacara bendera sangat bertolak-belakang dengan kenyataan yang mereka alami dan jalani sehari-hari. Demikian pula dengan interpretasi yang diberikan Hersri Setiawan atas plesetan itu, saya pikir penuh dengan rekaman pengalaman dan kenyataan yang ada di depan mata. Bagaimana mau bicara keadilan, misalnya, sementara mereka ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Ini merupakan pelanggaran berat HAM yang diwarisi oleh Soeharto. Bagaimana mau bicara tentang kemanusiaan, sementara pemerintahan Orde Baru menginjak-injak kemanusiaan itu sendiri. Pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI oleh militer yang didukung Amerika Serikat hingga saat ini masih dibenamkan dari buku sejarah.

Citayam, 11 November 2009

Selasa, 10 November 2009

Penyair sebagai Pilar Kelima Demokrasi



oleh Asep Sambodja

Dapatkah penyair berfungsi sebagai pilar kelima demokrasi? Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya F.L. Risakotta, maka fungsi tersebut bukanlah suatu utopia. Bahkan penyair terlihat mampu merekam dengan baik apa yang tengah dirasakan oleh masyarakat dan mengartikulasikannya secara jernih serta penuh kejujuran. Dengan demikian, presiden harus benar-benar mendengar dan membaca apa yang ditulis oleh penyair dan sastrawan pada umumnya. Karena, pesan yang disampaikan penyair bukanlah bernada “asal bapak senang”, melainkan segala macam penderitaan rakyat. Mereka menulis secara apa adanya segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.
Kalau kita membaca puisi “Balada Rakyat Indonesia” karya Risakotta ini tampak bahwa penyair benar-benar mengetahui perkembangan sosial politik yang terjadi di sekitarnya; sekaligus memposisikan dirinya berada di tengah-tengah rakyat—ini yang dinamakan hati nurani rakyat. Jika dilihat dari tanggal penciptaan puisi tersebut, terbaca bahwa puisi ini ditulis setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan berbagai macam alasan, di antaranya tidak efektifnya sistem parlementer ala Barat dan timbulnya berbagai pemberontakan di daerah yang dilakukan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Dalam buku Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, Baskara T. Wardaya (2008) menjelaskan secara gamblang keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan separatis itu. Amerikalah yang memasok senjata kepada pemberontak-pemberontak yang ada di daerah (Ricklefs, 2005).
Penyair dengan jelas memposisikan dirinya sebagai pendukung setia Presiden Soekarno. Pada tahun 1950-an akhir citra PKI memang semakin baik di mata rakyat, karena visinya yang antiimperilisme dan anti-neokolonialisme. Presiden Soekarno sendiri memberi tempat di kabinet, karena menurutnya, tanpa memberi tempat pada PKI untuk duduk di kabinet seperti kuda yang berkaki tiga. Bung Karno memberi ruang pada PKI karena partai ini masuk dalam the big four hasil Pemilu 1955. Ternyata kebijakan Bung Karno itu tidak hanya membuat gerah PSI dan Masyumi, tapi juga bikin gerah Amerika Serikat, karena terbaca bahwa Soekarno sudah mulai condong ke kiri.
Risakotta yang merepresentasikan masyarakat Indonesia pada saat itu, yakni pada pertengahan 1950-an akhir, menyatakan dukungan dan kesetiaannya kepada Bung Karno. Tapi, sekaligus menuntut agar Bung Karno juga memberantas kaum separatis itu. Sebab yang dirasakan rakyat pada saat itu sungguh kompleks. Di satu sisi, rakyat baru saja memperoleh kemerdekaan pada 1945 dan berupaya menata cita-cita untuk kemakmuran rakyat. Namun, di sisi lain, ada upaya pihak Barat yang diwakili Belanda, untuk kembali menduduki Indonesia. Ini terlihat dari adanya agresi Belanda yang berakhir di Meja Bundar.
Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI yang antiimperialisme dan keinginan desentralisasi kekuasaan menimbulkan reaksi di berbagai daerah. Rakyat yang berada di daerah tentu saja tidak bisa melakukan perlawanan terhadap gerombolan pemberontak itu, karena mereka sudah tidak bersenjata. Di tingkat pusat sendiri muncul dualisme dalam menyikapi gejolak di daerah ini. Soekarno ingin menggunakan militer, sementara Muhammad Hatta ingin menggunakan jalur perundingan. A.H. Nasution yang mencoba mempertemukan Soekarno dengan Hatta menemui jalan buntu. Akhirnya Soekarno menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat, dan militer yang mengambil peran lebih besar dalam penyelesaian konflik itu.
Puisi “Balada Rakyat Indonesia” ini memperlihatkan bagaimana penyair benar-benar menyelami perasaan rakyatnya. Tentu saja di dalamnya ada kecemasan, kalut, geram, bingung, dan mungkin semangat untuk berjuang, macam-macam, namun yang pasti penyair Risakotta menunjukkan kesetiaannya kepada Bung Karno. “Setelah dua bulan kita berpisah, jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno, tapi kami tetap setia,” tulis sang penyair. Saya melihat kebersahajaan puisi ini karena sang penyair mencoba membaca situasi sosial politik 1950-an yang saling carut-marut tak kauran dengan bahasa yang demikian terjaga, tanpa emosi yang gegabah. Bahkan terbaca dengan jelas bahwa penyair bisa mengendapkan gejolak politik itu dalam dirinya dan menuturkannya dengan bahasa yang jernih. Meminjam idiom Y.B. Mangunwijaya, penyair Risakotta berjiwa seperti laut yang menampung segala sampah dan segala comberan untuk ditampung ke dalam dirinya. Kemudian sampah-sampah dan comberan itu ia endapkan ke dasar laut. Dan laut memberikan ketenangan, meski di dalamnya penuh gejolak. Demikianlah penyair Risakotta.


Balada Rakyat Indonesia

I

senjata ini kami lepaskan setelah pertarungan matimatian, Bung Karno
karena cita-cita menyela pada hati dibakar perjanjian demi perjanjian
kami patuh dan setia dengan keyakinan penuh harap
karena cita-cita ini tidak pernah pudar pada asap dan kertas putih
kami tinggalkan hutan yang menyanyi tiap pagi
ketika kami diburu dan kota habis dihangusi
kami ungsikan diri, Bung Karno
bukan karena mati dan ketakutan tapi lentera pada hati menyala menyimpan cita-cita
ratusan kami berbaris menghadang musuh dengan bambu yang begitu setia
berbanjar seperti benteng tiada terkalahkan
ribuan kami mandi darah di atas tanah kesayangan, karena setia, karena cita-cita mulia

ketika laras kami berdebu di kota-kota
dan tapak kaki-kaki ini belah-belah karena tiada alas
rupa dan wajah kami tiada pernah mengharap karena cita-cita masih
terdukung di berat punggung
kami lantangkan suara meski parau mendekam
kami nyanyikan kemenangan meski ini kekalahan yang dipaksakan
kami teriakkan perlawanan ini suatu permulaan kesyahduan

kami baris, Bung Karno
pada tangan-tangan kurus tiada berdenyut nadi
sepanjang kota rakyat menanti kemerdekaan dan cita-cita
dan kami terus berbaris, kami terus menghentakkan kaki
meski di sisi rakyat membakar cita-cita karena kesetiaan belum nyata
kami jelajahi kota, kami masuki desa, Bung Karno
karena Indonesia, karena cita-cita kita bersama

senjata ini di depanmu kami jamah tanda hormat dan kasih kita
di penghabisan kali karena kami harus menyisih dari barisan senjata
kami bukan orangnya yang mendendam dengan senjata dan penembakan
kami bukan orangnya sisa-sisa pertempuran yang mengharap balas dan bintang jasa
kami bukan pejuang yang didaftarkan di satu kementerian
tapi kami penjelajah hutan ketika revolusi, penggempur kota dan pendukung
setia cita-cita kemakmuran bangsa

inilah kami Bung Karno
yang setia ketika tiada malam dan kelam dalam diri dan hari depan
kami yang masih merayap di kaki bukit ramamandala, di hutan-hutan kerinci,
kuningan dan bolangmangondow
ya, kamilah Bung Karno yang mengharap merek tapi tiada bertanda

dulu kami lepaskan senjata karena kami setia pada cita-cita rakyat
kini kami ditumpas lepas hanya pegangan pada hati
mungkinkah sembilu penghabisan menyayat cita-cita ini bila
keganasan gerombolan mengerkah cita-cita merdeka?

Bung Karno, usang sudah cita-cita ini bila kemenangan tiada di hati kami
remuk dan musnah rumah kampung halaman kami dan istri harus mati
bertekuk di kebiadaban gerombolan sedang kami harus lari
menghindar diri demi merdeka dan cita-cita
adakah yang lebih pahit dari ini Bung Karno, bila napas yang sisa ini
menumpas setiap keganasan, kebuasan, tapi di musim damai kami didera—
disiksa oleh sisa-sisa gerombolan dan hidup merungkak di tanah
berbatu? atau mengharap perintah dari tangan yang tiada pernah berlaga?

ya, Bung Karno, senjata ini kami serahkan demi cita-cita bangsa
tapi padamu Bung Karno, tiada pada siapapun


II

kami harus menekan tumpas karena derita masih menyala
memanggang diri dan airmata
kami harus menekukkan kepala karena hati cinta nusa masih membakar
diri sedang punggung berat membebani cita-cita
kami tidak meminta, Bung Karno, karena kami manusia perjuangan
kami tidak mengharap, Bung Karno, karena kami manusia kerja
tapi kami menuntut, Bung Karno, karena jiwa kami terancam gerombolan dan
hati ini pedih ditindas modal asing
juga kami mati akan setia dan kemegahan demokrasi, Bung Karno,
karena apalah arti cita-cita yang menyala ini andai suara tersumbat
dan tangan kaku di atas kertas putih

Bung Karno, padamu kami dukungkan cita-cita kami sejak revolusi dulu
karena tanpa cita-cita ini kita bukan apapun di bumi Indonesia
ketika ini padamu pimpinan kami serahkan tapi bukan pada siapa-siapa


III

ketika meriam menggelegar 21 kali di kemayoran
senja memisahkan kami, pendukungmu, Bung Karno—
dari istanamu yang putih mengapur
tapi suara dan teriak kami menggelegar memecah senja lebih keras
dari meriam, Bung Karno, meski saat itu kita disisihkan dalam senja
kami menanti dengan hati bukan dengan senjata dan meriam karena senjata
telah kami serahkan ketika revolusi dan setia kembali ke desa
sedang di hati cita-cita ini lebih tajam dari senjata, juga lebih indah dari istana
Bung Karno, kami menanti di depan istana, tapi kita berpisah
karena senjata di depan kami
kami tahu Bung Karno, seperti kau pun tahu bahwa batas kita ini
hanya sementara, bahwa pemisahan kita hanya seketika apakah
yang lebih abadi selain cita-cita, Bung Karno
karena kami pun percaya seperti kau juga mengerti bahwa meriam bisa diam
kalau hati bersusun satu, Bung Karno, tapi imperialisme dunia pun
bisa hancur bila kami pendukung setia cita-cita bangsa

di bawah kesamaran senja dan lampu-lampu, Bung Karno, wajahmu menyala
setelah dua bulan kita berpisah
jauh jarak pengharapan hati ini, Bung Karno
tapi kami tetap setia

suaramu yang kami nantikan seperti apa yang diharapkan hati ini Bung Karno
ucapan yang melaut di hati dan benak kami, mencatat kemenangan, karena
kita berkisar di satu arah di mana dulu kita pernah mengalah
kita kembali ke jalan lama di mana revolusi menuntut kemenangan
dengan senjata cita-cita yang abadi, kemerdekaan, kebebasan, dan kemakmuran
teriakmu naik ke langit malam dan di bintang menyatu diri
kami penanti, Bung Karno, dan suaramu suara kami kembali ke jalan


IV

berhari kita berkira dalam diri dan cita-cita lautan kemegahan
dan keadilan rakyat Indonesia
ke manakah arah angin kan bertiup bila lentera di tanganmu, Bung Karno,
kami satukan langkah, bila napasmu menapasi hati kami
kami sediakan diri, Bung Karno, andai derita dan kepahitan kita dukung bersama
Bung Karno, mimpi kami tidaklah seindah hati dan cita-cita kami
karena berat badan tiada terungkai andai kami terus dirangsang ketakutan
diburu kehancuran, dalam tangan cita-cita demokrasi
tapi kami percaya, Bung Karno, meski cita-cita ini diperam, ia pasti lebih membaja
lebih menyala dari bintang-bintang, tapi juga lebih menggelegar dari meriam
Bung Karno, atasmu cita-cita ini kami serahkan, tapi cita-cita ini
adalah milik kita, Bung Karno
kebenaran cita-cita akan menggaris dalam sejarah, siapa yang setia
dialah pemenang, Bung Karno

Bung Karno, kami pejalan panjang dari revolusi ke jalan revolusi dan
hati tiada henti mendukung cita-cita rakyat indonesia, meski malam jemu
menutup mata seluruh manusia

Kayu Awet, 21 Juli 1959


Citayam, 11 November 2009

Senin, 09 November 2009

Sahabat Agam Wispi



oleh Asep Sambodja

Dalam buku kumpulan puisi Sahabat, Agam Wispi (1959) menulis bebarapa puisi pendek. Salah satunya berjudul “Sahabat”. Menurut saya puisi ini sangat subtil, lembut, halus, sangat dalam maknanya; tentang arti hidup dan persahabatan. Melalui puisi ini, pembaca bisa merasakan bagaimana cinta bisa membangkitkan gairah untuk hidup seseorang. Dan dari puisi ini pula terbaca bahwa hidup akan bermakna jika kita bisa merasakan penderitaan sahabat kita. Puisi ini sungguh luar biasa. Kata-katanya sangat kokoh dan memiliki makna yang dalam. Berikut saya kutip selengkapnya.

Sahabat

dua kali dimamah maut
oleh cinta hidup tertambat
baru berarti mereguk hidup
jika derita duka sahabat

Berlin, April 1959


Citayam, 10 November 2009

BAHASA LANGIT DI UFUK KELABU


MENGENANG MUSIBAH PADANG DARIPADA PERSPEKTIF “ANJAKAN DIKSI”

Oleh ARBAK OTHMAN
Universiti Putra Malaysia


Latar kajian
Antara teori sastera yang sesuai untuk mengesan maksud puisi ialah Teori Anjakan Diksi (TAD). Mengikut teori ini, agak mustahil kita bercakap tentang teori ini secara rasional tanpa memperhitungkan kognisi. Kemajuan asas teori ini ialah menempatkan makna pelunjuran sebagai proses kognitif di pusat kerangka. Model TAD membentuk persepsi biasa pembaca ‘ke dalam teks sastera’, seperti puisi, sebaik pembaca membuat pendirian dunia teks yang terbentuk secara mental. Kemampuan imaginatif ini merupakan ‘anjakan diksi’ yang membenarkan pembaca memahami pengucapan diksi yang dilunjurkan secara relatif ke pusat diksi. Dengan kata lain, pembaca dapat melihat secara visual daripada perspektif penyair di dalam dunia-teks, dan membentuk konteks dengan banyaknya melalui penyelesaian pengucapan diksi daripada sudut yang sama. Di pusat diksi yang teranjak itu terhimpun konsep utama bagi digunakan untuk penyataan persepsi dan pembentukan koherensi sepanjang teks sastera.

Gagasan teoretis
Penyelidikan utama TAD perlulah dibuat dari segi bagaimana pusat diksi dicipta oleh penyair dalam teks, serta bagaimana ia dapat dikenal pasti melalui pemahaman kognitif tentang pola tekstual, dan bagaimana pula ia dianjakkan dan digunakan sebagai sebahagian daripada proses bacaan. Dunia teks sastera mengandungi satu atau lebih bidang diksi yang terbentuk daripada julat keseluruhan pengucapan sama ada daripada kategori perseptual, masa, ruang, hubungan, tekstual atau kategori bersifat komposisi. Kesemuanya disusun di sekitar sifat penyair melalui peranan-entiti dalam teks, walaupun haiwan, tumbuh-tumbhan, unsur lanskap dan objek lain dapat turut membentuk pusat diksi dalam puisi imaginatif.

Mengikut teori ini, di pusat diksilah terletaknya idea-idea utama yang membentuk fikiran yang dilunjurkan oleh penyair dalam puisinya. Sebagai contoh, dalam puisi Padang Luka karya Asep Sambodja, dua stanza yang berikut ini membentuk pusat diksi puisi tersebut:

aku seperti terbiasa membaca gempa
beribu orang mendadak mati
berjuta orang harus tabah lagi

Padang terluka, namun
Ia senantiasa menyimpan rahasia

Manakala dalam puisi Trauma Anak Pariaman karya Mokhtar Rahman, ujaran yang berikut ini membentuk pusat diksi puisi yang berkenaan:

Gegaran musibah Tabah Minang
Rumah adat, rumah gedang
tersungkur ranap, terburai
bersama induk, ayah, sahabat handai

Dia yang menyaksi
Lidah tidak perlu mengungkap lagi
Linangan air mata menceritakan
pasrahnya pada ketentuan

Daripada pusat diksi di atas, maksud keseluruhan kedua-dua puisi di atas bertegak pada makna ‘musibah yang dahsyat’, dengan bahagian diksi yang lain berfungsi untuk menjalin idea-idea sokongan pada keutuhan yang sama sehingga kelihatan kesaksiannya terhukum dalam domain kognisi yang berkoherensi pada teras yang dibangunkan di pusat masing-masing diksi. Dalam puisi, setiap jalinan fikiran yang terbentuk di pusat diksi sesungguhnya merupakan produk mental berbentuk kognisi. Melalui puisi, penyair membuktikan kesenghajaannya menyampaikan buah fikiran sama ada dalam konteks masa, ruang, hubungan, tekstual, atau gabungan komposisi. Pusat diksi puisi Gempa Padang karya Muhammad Subhan, setelah dicari daerahnya, telah ditemukan kemungkinan yang kira-kira dapat ditanggung fungsinya oleh ujaran stanza yang berikut:

Hari itu, orang-orang berlarian
Panik bak menghadapi kiamat
Kiamat, benarkah kiamat tiba?
Belum, Tuhan masih sayang kepada hambaNya
Kiamat kecil, pertanda akan datang kiamat besar
Entah kapan waktunya
Namun kiamat kecil itu, sudah luar biasa dahsyatnya
Konon pula kiamat besar, yang tentunya tak seorang jua
Dapat menanggung kegemparannya.

Maksud-maksud lain ujaran stanza sebelum dan selepasnya merupakan rincian tambahan untuk mengukuhkan idea utama pada pusat diksi tersebut. Keutuhan puisi ini didukung oleh konteks serangan mala petaka di luar dugaan sesiapa pun.

Unsur diksi biasanya melepasi manusia, tempat dan waktu. Dalam puisi bisa saja diwujudkan perkaitan dengan manusia seperti pemangsa tragedi alam teks, iaitu dari segi bagaimana mereka itu dikaitkan secara sosial antara satu sama lain, dan bagaimana setiap pusat persepsi dalam diksi itu menimbulkan anggapan di sisi mereka yang berkenaan. Sebagai contoh, puisi Kemala yang mengandungi ujaran berikut ini dapat berfungsi sebagai jambatan untuk menghubungkan penyair dengan kejadian melalui peranan metafora:

I

Pagi ini Singgalang tersintak
Isyarat telah dihantar Langit
Padang-Pariaman menggeletak
Ribuan terkubur
Iklim dan musim membuak
Inikah tanda kiamat kian
Mendekat mencekik umat?

VI

Tiada sapa. Tiada Cinta
Ada yang kesasar dan gila
Semua keluarga terkambus sepi.
Pabila ditanya
“Saya takpunya Nama!” katanya
Kerusi sang edan diisi.

Tamadun zaman kini
Atas nama nigrat dan materi.

Metafora isyarat telah dihantar Langit berfungsi untuk memberitahu pembaca tentang apa yang dilakukan oleh ummah, sehingga Allah perlu menunjukkan petanda yang mengilas kelemahan manusia, kekurangan manusia, kekajaman manusia dan ketamakan manusia, keadilan yang disisihkan oleh manusia. Meskipun makna-makna ini tidak dilafazkan, tafsirannya terungkap melalui pemakaian kata ‘isyarat’ dan penghantarnya ‘Langit’. Jika penulis tidak tersasar ke luar bicara yang bererti, tafsiran ‘Langit’ itu tidak lain “kuasa tertinggi dan agung”, iaitu Allah. Manakala tanda ‘isyarat’ membayangkan makna “balasan” atau “petanda hukuman”. Memang bukan di sini untuk kita memaknakan puisi, tetapi setiap kata dalam diksi tidak terlepas daripada sangkutan-sangkutan yang bermakna, atau yang jiwa maknanya kian tersentuh, lalu fikiran yang berpusat pada diksi di atas tidak melarikan diri daripada dikenal pasti, kerana kata adalah unsur bahasa yang makna jiwanya tetap berada di badannya (bentuknya yang disebut atau diujarkan). Penyair tidak menggunakan kata-kata yang tidak berguna. Setiap kata dalam diksi bertakhta manikam, penuh dengan isi bertemankan roh. Justeru, idea dalam diksi metaforik yang terpilih di atas menyimpulkan peranan tragedi dalam deskripsi, dalam diri manusia yang memahami kebenaran Ilahi atau pengajaran yang timbul daripada peristiwa.

Dalam puisi, penyair menggunakan beberapa penilaian untuk merumus sikap terhadap makna tragedi, atau mala petaka alam yang dia sampaikan. Dalam aktiviti ini, penyair memilih ujaran tertentu serta mengekod kesedihan padanya. Seperti juga pelukis atau pengukir, penyair memuji kepandaian pengukir, lalu kemudiannya menetapkan persepsi baru dalam hirarki kuasa yang jauh lebih rendah daripada kuasa Ilahi. Kesannya ialah bahawa sikap penyair akan terselaras dengan struktur sosial yang dimiliki penyair dengan struktur sosial pihak yang dia pusatkan perhatian dan tumpuan—semua ini disusun melalui hubungan makna dalam diksi.

Selain itu, ada juga yang dinamakan diksi tekstual sebagai ukuran yang dapat digunapakai untuk pemahaman puitik. Puisi meletakkan tumpuan pada wacana sebagai bahasa tekstual dengan cara yang berbagai-bagai. Puisi menempatkan tangan dan hati penyair melalui penggunaan kata. Dengan cara ini, puisi meningkatkan statusnya sebagai artifak idea. Oleh sebab puisi menumpukan proses pengeluaran yang sejalan dengan lakuan bacaan, penyair yang menciptanya mengembalikan ideanya pada kata melalui maksud-maksud yang dikehendakinya, sama ada berbentuk interpretasi, konotasi atau penyiratan lambang. Kesan kata-kata didapati berbeza apabila dibaca daripada sudut imaginasi. Warna imaginasi dan kebenaran yang digambarkan mendefinisi aspek yang menentukan kualiti puisi dari sudut komposisi teks, atau apa yang dinamakan ‘kualiti komposisi teks’. Sesetengah pola dalam pemilihan kata, sintaksis dan daftar (register) ditetapkan bagi meletakkan puisi di tempatnya betul. Sebagai contoh, daftar berbentuk kata kerja memetik dan menjadi dalam ujaran memetik muhasabah dan menjadi basah dan pasrah dan daftar kata adjektif merah dalam ujaran dalam singgah sebuah musibah merah yang dipetik daripada puisi Membaca Bahasa Semesta karya Raja Rajeswari Seetha Raman benar-benar berupaya membentuk siratan tentang nilai kesedaran dalam diri manusia yang memahami nilai kejiwaan daripada hukum alam. Daftar merah tentu sekali menggambarkan “darah” yang tumpah ke bumi tragedi. Daripada api tragedi yang menyambar nyawa terkesan sejenis rasa bawah sadar tentang kemungkinan yang sentiasa dimungkinkan. Kemungkinan bala menimpa umat Muhammad tidak terkalis daripada kejadian. Banyak tempat telah mengalami kemungkinan ini, kemungkinan bala yang kerapkali termungkin di negara Timur Tengah kerana tersalah tadbir minyak kekayaan umat Islam. Iran sudah beberapa kali disindir, aceh dibedil gelombang ryeuk, Amerika dihanyutkan air, disambar api yang meranapkan hutan berharga, Jepun dan Korea dilanyak ribut dan taufan—semua ini petanda yang perlu disabari dan dijadikan iktibar kehidupan.

Puisi bukan sebidang tikar pemaidani. Polanya bebas dan tersendiri. Ia adalah bumi lecah yang hanya difahami oleh orang yang melacak bumi berlumpur. Terlalu banyak lumpur terpalit di kaki masyarakat. Jejak-jejaknya berpeta-peta, manakala bunyi-bunyinya pula bersajak. Kerana itulah maka puisi tergolong kepada karya sastera yang indah, yang sedap didengar dan enak dibawa ke mimpi. Sebagai dunia mimpi, atau dunia imaginasi, pola kejadiannya bebas dan tersendiri. Tiada siapa yang boleh merencana mimpi; demikian jugalah puisi. Ia datang dengan tiba-tiba, didesak oleh akal manusia untuk memberitahu sesuatu pengalaman dengan cara yang halus dan berseni. Nilai akaliah lazimnya mendominasi makna puisi, walaupun keindahannya terbayang pada bunyi dan struktur diksi. Diksi menjadi pakaian puisi, ia mendefinisi ideologi penyairnya, ciri-ciri dalaman bersifat budaya dan masyarakat. Berdasarkan pakaian dan fesyennya, puisi dapat menarik perhatian ramai orang atas peranannya yang suka membantu, membentuk kebaikan, membaikpulih kelemahan yang membahayakan masyarakat dan sebagainya. Ia juga radio yang memberitahu kita kejadian alam, peristiwa-peristiwa pelik dan luar biasa, termasuk mendidik anak-anak daripada terjerumus ke lembah kehinaan dan kemusnahan jatidiri. Dalam pengucapan musibah gempa bumi pun, kemusnahan jatidiri turut terungkap tentang betapa beratnya tanggungan ke bahu masyarakat:

Tamadun zaman kini
Atas nama ningrat dan materi.

Bantuan lambat tiba
Mereka memamah nangka muda.

Kemala


Dilembar kertas yang kusam
kugambar wajah yang merekah
berdampingan para politis dengan senyumannya
dan kuletakkan wajahku separuh di situ
biar menemani wajah separuh itu

Yo Sugianto

Dalam ujaran dua puisi di atas terungkap sikap segolongan manusia berkuasa yang tidak mempeduli masalah sosial yang melanda rakyat dan negara, meski dalam suasana darurat yang dahsyat kesiksaannya. Supaya orang lain tahu, sebagai penyair, Kemala tetap meneruskan tugasnya bersama-sama mereka yang lain dalam satu angkatan kejiwaan untuk menyampaikan selembar kesedaran, meski kami mengetahui bahawa manusia yang rakus sukar untuk berubah, kecuali apabila kedudukan mereka kian tergugat dalam ranah kuasa yang menjadi kegilaan semua orang.

Siapa itu penyair?
Penyair adalah pencari yang tidak pernah putus asa. Dia juga seorang peneliti yang melakukan pemetaan ke atas persoalan yang menarik perhatiannya—pada saat ini dia ingin mencadangkan sesuatu yang lebih baik daripada tahap-tahap yang sedia ada. Dia ingin menambah pada kebaikan dan kebijaksanaan yang ada supaya lebih tinggi aras keterasaannya pada hati pembaca, aras afektifnya pada kekukuhan kebaikan agar menjadi lebih kukuh, agar ketegangan menjadi semakin longgar dan menipiskan harapan atau mengetatkan lagi skru kebuntuan, sehingga terkadang sakit hati menebalkan pedihnya, kelemahan menjadi semakin kusut untuk dileraikan, atau luka yang semakin mengeraskan parut-parut sosial, seolah-olah masyarakat ini seperti milik segolongan manusia yang tidak pernah susah, tidak pernah miskin dan tidak pernah putus asa. Itu semua sekiranya dia mahu melakukan penerokaan. Jika ke atas pengalaman yang sudah sekian didatangkan ke depan mata kita, itu bukan lagi pencarian; itu suatu perkongsian yang tidak lepas daripada perkaitan kita dengan kehidupan orang lain dalam masyarakat. Penyair menggunakan imaginasi untuk menemukan bahasa dengan akal pembaca supaya terpancar sebuah kesedaran melalui keindahan puitik di tubuh puisi.

Dalam konteks dunia mengalami musibah, minat penyair untuk menegur diambil alih oleh minat untuk berkongsi rasa dan emosi dengan mereka yang dilanda musibah. Perkongsian rasa ini bukan untuk menghapuskan penderitaan pemangsa, tetapi setidak-tidaknya melegakan kesan-kesan psikologi yang tertanggung ke atas mereka, sama-sama merasai simpati terhadap nasib malang yang mereka deritai dan sama-sama mengambil kisah terhadap penderitaan orang lain, sekurang-kurangnya apa yang alami itu menjadi sebahagian daripada beban yang ditanggung secara terkongsi, sama-sama merasai diambil peduli dengan perasaan penuh belas kasihan. Perkongsian rasa dan emosi ini terungkap dalam banyak puisi ciptaan beberapa orang penyair seperti yang diturunkan contoh-contohnya di bawah ini:

dukamu
duka kami
tugu prasasti dalam manik manik nafas hati

Budhi Setyawan

Kedepan....
Aku berdoa padamu ya Allah
Semoga semua warga ranah Minang akan tabah dan tawakal..
Semoga mereka diberi kesabaran, ketabahan dan kegigihan untuk berbenah...
Semoga kita semua sadar untuk memperbaiki kesalahan2...
Baik kesalahan moralitas, kesalahan fisik pembangunan,
kesalahan melupakan karunia Allah dengan tidak menjaganya,
dan kesalahan tidak bersyukur dengan karuniaNya...

Ratnaputri2

Padang sayang
Kami datang ungkapkan kasih sayang
Ranah Minang
Semangatlah berjuang
Bangkitlah sekarang

Mimin

Di sini, di bumi minang ini
Kami mengharapkan ketulusan doa
Agar kami dapat kembali bangkit
Dan ingatlah kami
Di setiap sujud tahajjudmu
Ingatlah kami
Kami menanti uluran keikhlasan
Ingatlah kami wahai saudaraku

Dwi Mita Yulianti

Mungkin masih ada selaksa harap
semoga tak kan padam pelita di hati kami
sebab Allah muara segala harap
tempat mengadu yang tak bertepi

Putri Pratama

Bahasa puisi
Bahasa puisi bukan bahasa biasa. Ia bahasa istimewa yang luar biasa. Ia bahasa simbolik yang memerlukan kepandaian pembaca menterjemah makna-makna pelambangan, makna-makna imaginasi untuk memahami persoalan yang dihantarkan oleh kata-kata (bahasa). Melalui pelambangan penyair terlebur menjadi ikon yang melalui kata-kata dia memuaskan pembaca memahami masalah dan menggeluti persoalan. Beberapa sajak dalam antologi Musibah Gempa Padang yang dikumpulkan oleh Dato’ Kemala merupakan refleksi penyair Nusantara, terutamanya penyair Malaysia dan Indonesia. Sajak-sajak mereka dibatini oleh kegelisahan, luka jiwa dan gumaman batiniah yang memvisualisasikan kaca mata peribadi, mahupun kaca mata sosial. Bukanlah pekerjaan penyair mencuri kesempatan, tetapi tanggungjawab dalamannya untuk merasai dan menjiwai penderitaan orang lain yang bukan kepalang sakitnya, yang tidak dapat dibanding kekeluan yang ditimpakan pengujian Ilahi. Nasib kita belum tahu lagi. Malang kita belum sampai ke tahap pengalaman mereka. Maka sebagai ummah, apa yang dirasai oleh ummah lain juga menjadi perkaitan kita, tanggungjawab kita untuk menyampaikan simpati serasa, simpati yang tidak mengabaikan petaka orang lain, simpati yang tidak melupakan nikmat dan rahmat yang Tuhan anugerahi kepada kita. Maka itulah tugas penyair apabila mendengar apa juga yang berlaku ke atas ummah yang lain di dunia ini.

Perasaan sama sakit ini terungkap dalam beberapa buah puisi karya penyair tertentu di bawah ini:

terpaku aku
mahu sujud rasa terlambat
rela aku
menerima apa yang kau surat

abdullahjones

Tuhan,
seluas-luas Padang seluruhnya berdebu
tanganku lesu
telah berkecai tanah Pariaman
hanya tinggal sedulang puisi
dengannya kutagih prihatin persaudaraan

Hasimah Harun

Demikian yang kurasai
deritamu deritaku
lantaran datuk nenekku
sanak saudaraku di bumi Padang
yang pasti dimamah gempa
dan siapa tak bisa lari

Musalmah Mesra

Seluruh dunia memandangmu Padang
dalam musnah kau masih membawa syiar Tuhan
tegak berdiri masjidmu di celah runtuhan
menjadi sumber kekuatan buat semua insan
Bertongkat di Padang Jarak Tekukur.

Yajuk

Padang...
Inilah ruang antara persinggahan sementara yang menjadi mimpi yang ngeri
Tenanglah saudara-saudaraku
Sabar saudara-saudaraku

Teratakerapung

Penyair bukan golongan orang yang mempunyai kuasa, atau golongan yang kaya raya; kami semua miskin tetapi berakal budi, berbudi mulia, berterima kasih pada segala nikmat dan rahmat Ilahi dan merasakan sama-sama sakit apabila rakan-rakan seagama ditimpa musibah, ditimpakan tragedi yang bukan kita mahu, kecuali berdoa agar pengalaman pahit seperti itu tidak berulang lagi, cukup kepada kita sebagai pengajaran dan unsur penyedaran peribadi.

Apa yang berlaku di Padang pada 30 September baru-baru ini sesungguhnya merupakan pengalaman tegang yang pahit, dengan sifatnya psikologis dan kelangsungannya sosiobudaya. Peristiwa yang membuatkan kita merenung keras pada aras kesedaran ialah kehilangan jiwa, harta benda dan keterkeduan tanpa kata dan lirik yang tidak dapat diramal interpretasi rundungan psikologisnya. Semua ini merupakan akar-akar dari puisi-puisi dalam Musibah Padang ini. Bayangkanlah kemusnahan yang terlukis dalam puisi Pariaman ciptaan Kardy Syaid:

O, masa kanak-kanak yang indah
nurul hidayah *2 di tepi kali
tempat ayat-ayat Allah menggaung
dan adzan ku kumandangkan
kini ranahku tiada bentuk, tunduk ke bumi
anak kehilangan ayah, anak kehilangan ayah
isteri kehilangan suami, suami kehilangan isteri
kembali pd Yang Suci.

O, rumah tua yang pernah dilalap api
kini rebah ke tanah, sujud ke hadiratMu
di mana teman-teman masa bocahku?
ribuah nyawa terkubur tiba-tiba
hewan dan tanaman henti bernafas
dalam tahlil dan duka lara.

Apa yang kita pasti ialah keyakinan kita bahawa hampir semua penyair memiliki kesedaran yang menyedihi tanggapan dalam ujaran-ujaran indah yang luar biasa kesan-kesan kreatifnya. Proses kreatif yang terstruktur mempunyai domain semantik dan semiotik. Dalam penukilan pengalaman tragis gempa bumi di Padang baru-baru ini penyair turut menyatakan asosiasi, nuansa, citarasa, konotasi dan pengertian sendiri-sendiri dalam gaya yang mendekatkan perasaan penyair dengan perasaan yang dialami oleh penduduk Padang, terutama penduduk desa Pariaman yang membajari pantai yang kadang-kadang nyaman, kekadang secara tiba-tiba ganas tetapi berhikmah.

Makna tragedi
Pada umumnya puisi merealisasikan makna tragedi dalam nada yang amat ngeri kerana situasi sebenarnya memang ngeri, terkadang berimaginasi tentang penderitaan yang tidak dapat dibayangkan keperitannya, kerana pemangsa hidup dalam serba kekosongan; tiada barang untuk dapat dibeli, tiada sumber untuk makan minum sehari, segalanya ranap— hidup dalam serba kosong. Puisi membuka kemungkinan imaginasi tentang kedahsyatan hukum alam, hukum Allah, sama ada sebagai dugaan untuk menguji kesabaran, atau sebagai pengajaran untuk diinsafi atas kesilapan ummah. Pengujian kesabaran dan keinsafan tergambar dalam sebahagian ujaran puisi Itulah Gertakan-Nya karya Happy Muslim:

Apakah dengan ini kau terbangun dari kekafiranmu?
Apakah dengan ini kau membagi antara dunia dan akhirat?
Apakah dengan ini kau berserah diri?
Atau semakin menjadi...

Ingatlah itu baru gertakan-Nya saja.

Di sebalik kesederhanaannya, ternyata imaginasi puisi dibangunkan cukup berkesan, ditopang oleh kecermatan berbahasa, oleh kekuatan semantik, meski kekuatan rima bagai kian ditinggalkan. Peninggalan kekuatan rima mendapat kesan automatis sebagai akibat makna diutamakan daripada bentuk.

Pena penyair sering digerakkan oleh kegelisahan jiwa yang menatari pengalaman rasa dan emosi yang berhujan di jiwa pemangsa tragedi. Hujan rasa ini diungkapkan dengan teliti sehingga pembaca dapat merasakan kedekatan dirinya dengan penderitaan yang dialami oleh pemangsa tragedi. Banyak makna menyentuh kalbu pada peralatan bahasa pengalaman dalam pengucapan kesayuan daripada penyataan sosial dalam perhatian yang disisihkan. Apa pun keadaan, setiap pertanyaan yang tidak berjawab dijawab melalui transformasi rasa dan kesedaran pada aras pembacaan dan penikmatan makna. Pernyataan yang dilafazkan tentang kejadian konkrit tersambar pada minda mujarad di sisi penyair dan pembacaan. Sajak tidak sahaja indah tetapi juga menggegar dan mencengkam persepsi penyair (justeru juga, pembaca) bahawa manusia tidak harus berhelah tetapi menerima hakikat yang diserahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Inilah penyerahan takdir yang harus difahami rahmat di sebaliknya—bukannya rahmat tragedi tetapi hikmah daripada tragedi. Nilai penyerahan diri kepada Ilahi tergambar dengan jelas dalam puisi Hikmah karya Sarah Sarena:

keteguhan hati melekat bak laksana pendekar sejati
meyakinkan diri bila semua ini adalah ujian dari sang ilahi
mengambil hikmah sebagai petuah yang menjadi wasiat sepanjang masa
agar lebih peduli masalah kelestarian alam yang dulu sempat terlupa
tanpa sengaja

Puisi Gelegak 7,6 karya Emmy Marthala turut mengungkapkan nilai kepasrahan sebagai pengobat derita:

Mampukah kalian berfikir?

Tinggalkan Lembah Uji, kembali, kembali
mengawasi hati, amal bererti
Wudhuk dinihari menyejuk hati
Wajah memancar makna budi cahaya-Mu kupeluk, Cinta Abadi

Mokhtar Rahman memaknakan nilai kepasrahan dalam kesaksian yang menyaksikan. Dalam puisi Kisah Pemuda Pariaman beliau mengirim suatu peringatan:

Dia yang menyaksi
Lidah tidak perlu mengungkap lagi
Linangan air mata menceritakan
pasrahnya pada ketentuan

Dia pewaris Ranah Pariaman
Berdiri mencari kekuatan

Kata-kata yang digunakan dalam pengucapan kesedihan tragedi tidak ada yang boros. Kelewahan mungkin ada daripada pengulangan maksud yang diulang-ulang. Akan tetapi pengulangan kata mahupun pengucapan pengalaman daripada kejadian-kejadian lampau merupakan unsur pengeras keindahan dan pungutan ini sesungguhnya membuktikan bahawa pengalaman sedih dan penderitaan sosial merupaklan ciri tradisi masyarakat Melayu. Unsur mimesis yang mengulangi kekuatan makna dan tafsiran mencergaskan lagi nilai pengajaran dan iktibar bagi disedari untuk maksud-maksud yang menggerakkan usaha baru dalam mengatasi kehilangan yang berlaku, kekurangan yang menerasi keinsafan serta kelemahan yang memugar daya baru untuk terus mendapat percobaan yang tidak mengalahkan manusia daripada bersedia menerima Qada’ dan Qadar duniawi. Kita telah menyaksikan betapa rumitnya kehidupan. Pengucapan ini sesungguhnya penghantar raksasa yang membelakangkan kepentingan peribadi, tetapi mendepankan kepentingan masyarakat. Rangsangan yang membina ini sesungguhnya menjadi penawar sosial yang mujarab berbanding sikap yang menyalahkan keluhan dan nasib malang. Dalam kehidupan manusia, tidak ada yang menang. Hampir segalanya kekalahan, manakala sedikit kemenangan itu pun sesungguhnya dinimati di celah-celah kekalahan yang diguliti, di sisi kekurangan yang dicetuskan oleh kelemahan manusiawi. Kemenangan dalam kekalahan ini diungguli oleh penyair Lim Swee Tin dalam puisinya Aduh, Prahara Apakah Lagi:

Seperti menangisi pesisir utara
siat sukmaku perih terlalu
maka, sambutlah kasihku Padang
ketika kau pun lebih faham
tafsir atau terjemahan
hikmah tak terjangkaukan
salam belasungkawaku sejernih persaudaraan
di rimbun ketaqwaan.

Kita telah menyaksikan bagaimana mala petaka merumitkan kehidupan tetapi ia tidak merumitkan kebudayaan. Tidak ada dalam budaya Melayu Nusantara kelegaan yang menyebabkan semua orang ketawa dalam kehidupan. Budaya Melayu memang diperkaya dengan sikap penghuni bumi menerima hakikat dan keletetapan Ilahi berkurun-kurun lamanya, sehingga tahap kedewasaannya diukur berdasarkan sejauh mana masyarakat dapat mengatasi masalah kesusahan, penderitaan dan kebahagiaan berduka-lara dalam sahutan kasih dan rindu. Kasih yang tinggi nilainya ialah kasih yang tenggelam dalam penderitaan dan kepayahan hidup sehingga kematangan akan sampai juga ke puncaknya apabila manusia dibijaksanakan oleh keinginan untuk sentiasa berupaya menghadapi rintangan, dugaan Ilahi dan pelbagai macam pancaroba dengan hati yang terbuka. Hakikat inilah antara yang terungkap dalam Musibah Gempa Padang—pengucapan yang mengundang resolusi diri tentang makna-makna musibah, keburukan dan padah. Manusia tidak boleh mengaku lebih daripada kemampuannya, tidak juga pasti tentang bagaimana diri mereka akan terjadi pada suatu masa akan datang. Manusia boleh meramal ikhtiar tetapi tidak boleh meramal kesimpulan. Ramalan ikhtiar dan keinginan mengatasi kelemahan diri menjadi antara asas yang dicadangkan oleh penyair supaya ketetapan Ilahi itu sentiasa dimurnikan dengan kesedaran dan keinsafan diri ke atas sebab-sebab wujudnya kesan-kesan pada diri di alam fana ini. Alam yang sukar kita teka warnanya tetapi mudah kita contengkan keindahannya. Persepsi psikologi dan kognitif harus berkongsi rasa dan maksud secara serentak supaya, melaluinya, kita memahami mengapa musibah sering ditimpakan di tengah-tengah kehidupan manusia. Penyair tidak membawa ubat untuk mengatasi musibah itu, tetapi membawa doa agar kewujudannya tidak berulang, agar generasi akan datang mendapat kebaikan daripada kesan-kesan doa itu jika diizinkan oleh Allah. Ya, kami semua hanyalah pembawa doa dan aksara-aksara keinsafan agar lebih segar di jiwa kita semua yang lemah di domain kesedaran. Bukankah manusia ini makhluk yang lemah, yang kerana itu kita diberikan Allah sumber-sumber untuk hidup, diberikan udara untuk bernafas, diberikan kekayaan bumi untuk diagihkan nikmat keuntungannya kepada semua, diberikan agama untuk kita menjadi baik. Demikianlah antara fungsi penyair dalam masyarakat.

Dalam sepoi-sepoi bahasa yang mengalun lembut, makna pengucapan banyak yang menyirat nuansa penderitaan dalam kewujudan yang tidak disangka-sangka. Melalui kosa kata tertentu bersifat keagamaan, penyair cuba memasuki pengalaman religius yang menjelajah sisi-sisi kesedaran dengan perspektif yang mendoakan penghidupan semula, melupai kepahitan yang mereka alami di tengah-tengah kesederhanaan hidup yang perlu sentiasa segar di ruang dan waktu yang dicirikan oleh desakan membuat pemulihan sendiri demi pembaikpulihan masa depan. Dalam senandung ini, penyair mengemukakan fragmen-fragmen yang berbeza daripada domain kehidupan sengsara yang sama. Fragmen tersebut dapat ditunjukkan perbezaan penekanannya pada maksud mesej yang terungkap dalam ujaran-ujaran yang berikut dalam puisi Tentang Ramalan di Sebuah Mata Kuliah Geologi Itu karya Pringadi Abdi Surya:

Tapi kisahnya di kelas geologi tinggal kenangan
Ia menatap dirinya di ruang kaca
Di antara bola kristal yang menyalanyala
Dikelilingi roda gila, anjang cinta, dan komedi putar
Di sebuah pasar malam yang melupakan
Tentang ramalan di kelas geologi itu

Fragmen lain bersifat trapis terungkap dalam puisi Padang, Dalam Derita, Sentiasa Ada Bahagia karya Wan Nur-Ilyani Abu Bakar:

Padang,
bumimu yang digegarkan tentu sekali membuakkan mata air
yang bakal menumpahkan air mata
bertahun lamanya

namun air matamu nanti kudoakan moga kau hamburkan
ke sejadah taubatmu agar kau tidak putus asa
dan tidak lena akan satu fakta

dalam derita sentiasa ada bahagia

Unsur trapi juga dibekalkan oleh penyair Singapura Elmi Zulkarnain dalam puisi Titik Gempa, Titik Sengsara melalui fragmentasi yang saling menyahut kesengsaraan akibat kemusnahan dan akad untuk berubah:

Pasrah,
Namun jangan mengaku kalah
Kehidupan baharu bakal bermla
Bebekal rahsia hikmah peristiwa...

Menyingkap Bencana Padang

Pengalaman dianggap suatu kesaksian dan pengakuan eksistensi diri, bahawa dalam proses mengalami kehidupan, manusia harus bersedia mengalami pertembungan nilai, idealisme dan etika yang pelbagai, supaya di celah-celah pertimbangan yang kompleks itu akan terbayang kehidupan baru yang sedang berjalan, beraktiviti dan berlumuran dalam nilai moral yang bersedia menerima perubahan ada diri mahpun keperluan untuk hidup dengan gaya baru setelah mengalami luka mimpi ngeri yang tidak tertanggung oleh kehidupan malam yang sedang enak tidur. Mimpi ngeri yang jatuh di waktu siang dirasakan bagai beban malam yang sukar bernafas dalam gelap. Bayangkanlah, betapa legapnya ruang harapan untuk tembus ke cahaya. Kehidupan dianggap seolah-olah suatu simpangan yang tertutup jalan hujungnya. Walaupun begitu, penyair sentiasa berada di sisi mereka yang terlekat pada kebuntuan, baik harapan mahupun keinginan untuk menyambung nafas sehari hingga esoknya. Harapan ini terlukis dengan jelas dalam puisi Ranah Minang karya penyair Jakarta Fikar W. Eda:

Tanah gembur itu
memanggil mereka puang
Mari siapkan ruang
Untuk doa dan kemuliaan

Denting jam gadang
Terasa lambat di ujung waktu
Maghrib tentu syahdu kali ini

Daripada sudut yang membahagikan dua kutub atas pelantar yang sama (satu di pangkal dan satu lagi di hujung), penyair Irwan Abu Bakar menyelaraskan perbezaan dalam satu kesamaan: antara penerimaan ketetapan Ilahi dengan pengajaran terhadap kelemahan diri yang Tuhan laknati. Dalam puisi, Luka Gegar Gempa, Derita Duga Laknat, terungkap kesamaan yang berbeza ini:

Aku berdiri di Padang lapang luas terbentang di depan Tuhan
musibah di Padang jelas terpampang di daulah pinjaman
ada derita Tuhan menduga, ada luka Tuhan melaknat
ini takdir buat hamba-Nya, dalam rencana-Nya, pasrahlah tuan.

Banyak sajak mengisahkan kegelisahan dalam pencapaian hidup yang terhalang di hujung waktu, walaupun sifat hidup ini masih belum boleh dianggap terasing, malahan akrab betul pada masa yang tetap bersedia menyambung kehidupan seterusnya dalam gerak yang masih segar, bukannya penantian yang sedang menunggu hari kiamat. Horizon yang diterokai oleh penyair menyangkut realiti kehidupan yang masih jauh untuk matang. Keadaan yang wujud menjadikan kehidupan masih di ambang muda, di pintu nostalgia yang mengental lama dengan liku-liku hitam dan kelabu. Masalahnya, apakah proses pengentalan melawan liku-liku hitam itu cukup bertenaga untuk mentransformasikan keburukan kepada kesederhanaan minimum yang tertanggung ke atas pemangsa alam? Mahu tidak mahu, kata penyair, arus laut tetap ganas, dan tidak berhenti-henti mengganas meskipun ada kerajaan ikan yang tenang di bawahnya. Ketenangan yang dinikmati ikan-ikan inilah perlu diteroka oleh mereka yang ditimpa mala petaka itu. Ikan tidak mampu menguak keganasan ombak. Mereka mesti terus mencari di mana sahaja ada lompang yang tenang atau yang kurang ngeri di dasar laut seluas mata memandang itu. Mereka tidak boleh putus harapan, meski terkadang terasa mahu memutuskan kehidupan melalui proses kematian. Akan tetapi kematian bukan pilihan manusia yang sedang hidup. Manusia yang hidup di dunia ini tidak berjuang untuk kematian, kecuali kehidupan baru yang mengantarai kematian. Kematian ini masih tetap hidup sifatnya, kerana dalam proses perpindahan entiti kepada entiti yang lain, keinginan untuk masuk syurga tetap ada. Apakah pilihan orang yang ingin masuk syurga? Jawapannya ialah keinginan untuk terus hidup. Kemujaradan semua ini tersimpul dalam puisi Pause musibah negeri karya Jack Efendi. Puisi dipilih kerana liputan persepsi di dalamnya:

Rupanya Engkau bercanda lagi
Tuhan aku bertanya kepada-Mu
Musibah ini menimpa kepada kami, sebagai balasan atau dosa-dosa kami?
Atau karena ujian bagi diri kami?

Ataukah ini sudah menjadi kehendak-Mu
Sebagaimana yang terurai dalam kalam-Mu

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, rang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillahahi wa inna ilaihi raaji ‘uun”

Kesimpulan
Dalam keadaan apa pun kita berada, atau dalam kita sentiasa dianugerahi Tuhan, sama ada sedang menikmati ketenangan alam atau mala petaka, kita harus terus merancang untuk hidup yang lebih lama. Keinginan ini harus bangkit daripada kewujudan alam melalui akal budi dan pertimbangan yang tidak menolak peruntukan Allah kepada kita. Perutusan inilah yang disampaikan oleh kebanyakan penyair dalam antologi Musibah Gempa Padang, terutama untuk penduduk Pariaman. Kemala dan beberapa penyair lain menggunakan sajak sebagai medium pengucapan rasa dan emosi untuk menuangkan kegelisahan luar sangkaan melalui etstetik bahasanya. Antara puisi yang terindah ialah puisi Antara Padang dan Periaman ciptaan Akmal Jiwa. Puisi ini memuatkan kehalusan emosi yang terulit pada kata-kata yang digunakan di permukaan wacana. Kehalusan maknanya, atau seni tafsirannya, tersusun dengan rapi pada aras dalaman semiosis:

Kutatap lagi alam Minangkabau yang asli
Kutatap alam batini yang ghaib
Hijau adalah sakhlat Firdausi
Ngarai menjurai Air terjun Lembah Anai
Menayang wajah nan permai.

Engku, Sutan, Bagindo, Putri dan Dewi
Kulipat makrifat dalam dasawarsa
Kalau terlipat belati darah kering di muncungnya
Bayang Cinta tak sudah, tibakah alamat Langit?
Tujuh lembar senja rawan merintih
Bibir pautan meluka
Digesek piala sumbing kekasih.

Sebelum gempa bumi Minangkabau
Akmal menjejak tapak meremas pasir pantai kemarau.

Pengucapan kegelisahan yang didendangkannya itu bersaksi antara ketidak-pastian dan harapan yang panjang, yang getir untuk kembali menyusuri hutan pantai kehidupan yang lebih puas hingga ke gigir air pulau-pulau yang sentiasa berkocak. Pergolakan air di lautan menyangsikan kemugkinan yang positif buat masa terdekat. Perjuangan kedekatan ini bukan lagi matlamat kehidupan baru, kecuali perlu semula bertatih untuk menjadi remaja meski kemudiannya tidak semudah menjadi dewasa. Harapan yang berbingkaikan kegigihan dalam usaha untuk meneruskan minat dan niat untuk melupakan saat-saat hitam yang dilalui merupakan antara kulit dan isi perjuangan kesemua penyair Nusantara. Simpati dan perkongsian pengalaman menjadi akar semua puisi dalam antologi Musibah Gempa Padang ini.



Bibliografi:
Ahmad Kamal Abdullah (1993), ‘Puisi Melayu Mutakhir: Langkah Keindahan Dan Kebijaksanaan’ dlm Telaah Sastera Melayu: Himpunan Kertas Kerja Minggu Sastera Malaysia di London 1992. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Arbak Othman (2008), Semiotik. Seri Kembangan: Citra Kurnia Enterprise.
Cook, G. (1994), Discourse and Literature. Oxford: Oxford University Press.
Edwards, D. (1997), Discourse and Cognition. London: Sage.
Fauconnier, G. (1997), Mapping in Thought and Language. Cambtidge: Cambridge University Press.
Gibbs, R. (1994), The Poetics of Mind: Figurative Thought, Language and Understanding. Cambridge: Cambridge University Press.
Ortony, A. (1993) (Ed.), Metaphor and Thought. Cambridge: Cambridge University Press.
Stockwell, P. (2002), Cognitive Poetics, An Introduction. London: Routlege.
Tsur, R. (1992), Toward a Theory of Cognitive Poetics. Amsterdam: North-Holland.
Werth, P. (1999), Text Worlds: Representing Conceptual Space in Discourse. Harlow: Longman.