Jumat, 24 April 2009

Keith Foulcher dan Sastra Indonesia di Era Orde Baru





Dalam artikel “Roda yang Berputar: Beberapa Aspek Perkembangan Sastra Indonesia Sejak 1965” yang dimuat di Majalah Prisma no. 8 tahun 1988, Keith Foulcher menjelaskan tentang perkembangan sastra Indonesia di masa Orde Baru pada kurun waktu 22 tahun (1966-1988). Pada awal tulisannya, Foulcher menjelaskan adanya dua generasi yang memproduksi karya sastra Indonesia, yakni generasi Angkatan 1945 yang merupakan generasi Indonesia terakhir yang berpendidikan Belanda dan Angkatan Terbaru (1950-an) yang berpendidikan Indonesia dan berorientasi kedaerahan.
Kedua generasi itu hidup berdampingan dan saling mewarnai. Kedua generasi itu hadir dalam kelompok-kelompok ideologis seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang dominan pada 1960-an. Sayangnya, H.B. Jassin muncul dengan Angkatan 66 yang menurut Keith Foulcher mengacaukan perkembangan sastra Indonesia, karena pendefinisian itu berdasarkan peristilahan politik dan historis.
Foulcher melihat bahwa perkembangan awal sastra Indonesia di masa Orde Baru adalah pemekaran karya-karya sastra yang tidak mendapat tempat pada awal 1960-an hingga 1965, saat kesetiaan terhadap politik sangat dominan. Di bidang prosa, muncul Danarto yang menciptakan cerpen berjenis fantasi. Cerpen yang dibicarakan Foulcher adalah “Rintrik”, yang mendapat penghargaan dari majalah Horison pada 1968. Sebagian besar cerpen Danarto dalam Godlob, menurut Foulcher, terdapat pernyataan tentang kompleksitas pengalaman manusia yang disampaikan melalui representasi simbolik.
Di bidang puisi, muncul Subagio Sastrowardoyo yang menggunakan pengungkapan simbolik dalam puisinya, “Salju”, yang terdapat dalam Daerah Perbatasan (1970). Baik Danarto dan Subagio Sastrowardoyo secara paradoksal tidak mempercayai kata-kata, sebab kata-kata memaksakan definisi yang kaku tentang pengalaman, mereka menoleh kepada penggunaan simbolisme yang sangat pribadi dan individualistik, untuk menangkap makna pengalaman.
“Roda yang Berputar” yang dimaksud Keith Foulcher adalah adanya transisi sastra Indonesia sebelum dan sesudah 1965. Jika pada pra 1965 ada pola perhatian terhadap hubungan antara perkembangan sastra dengan isu-isu sosial dan politik, usaha mencari mode representasi yang cocok untuk fiksi dan retorika yang komunikatif untuk puisi, serta perdebatan tentang hubungan antara seni dan masyarakat, maka semuanya tergantikan dengan pola yang baru.
Pasca 1965, yang diperlihatkan sastra awal 1970-an bersifat jauh lebih kompleks dan melihat ke dalam dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seakan-akan sedang mencari unsur sastra dan pengalaman yang tidak mendapat tempat dalam iklim pertengahan 1960-an. Pergeseran dari realisme dan komunikasi kepada fantasi dan simbolisme mencerminkan pengakuan dan penerimaan terhadap keterpencilan sastra modern dan pembaca luas.
Keith Foulcher mengkritik pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, penjelajahan dunia yang dalam telah menjadi semakin subjektif sehingga mencapai titik eksklusivisme, bahasa simbol pribadi sudah menjadi bahasa yang terpisah dari makna, dan internasionalisme telah menjadi bahaya peniruan mode-mode sastra Barat yang sudah usang. Di era ini, Danarto menjadi sastrawan yang sangat diperhitungkan. Ia semakin menjadi penting karena kumpulan cerpennya, Adam Ma’rifat diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka (1982), meskipun dikritik Foulcher sudah mulai kehilangan vitalitasnya dibandingkan dengan fiksi sebelumnya.
Setelah Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, dan Toeti Heraty, muncul Sutardji Calzoum Bachri yang terkenal dengan kredo puisinya itu. Perumusan puisi yang dikembalikan Sutardji kepada mantera dimaknai Foulcher sebagai perumusan yang dimaksudkan untuk menggambarkan basis dari puisinya yang berdasarkan gambar dan bunyi, yang tidak dimaksudkan untuk memiliki makna yang dapat dirujuk, melampaui puisi sebagai objek, atau puisi sebagai bunyi. Apa yang dilakukan Sutardji ini sangat jauh dari perhatian orang pada pertengahan 1960-an.
Keith Foulcher juga mengutip Ajip Rosidi yang mengkritik Sutardji, yang mengatakan puisinya hanya sekadar tipografi. Selain itu, apa yang disebut mantera oleh Sutardji dinilai sebagai peniruan terhadap puisi Dada pada awal abad ke-20 di Eropa. Sebagaimana Dadaisme di Eropa, setelah mantera Sutardji seolah-olah tidak ada lagi tempat untuk beranjak.
Namun, pada pertengahan 1970-an, Rendra muncul dengan puisi-puisi yang komunikatif dan bermakna. Di bidang drama, Rendra menciptakan “Kisah Perjuangan Suku Naga” (1975) dan “Sekda” (1977). Di bidang puisi, Rendra menulis “Sajak Sebatang Lisong” dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1980). Karya Rendra ini berbeda dengan karya sastra khas Orde Baru yang dibahas sebelumnya. Komunikasi makna adalah tujuan utama puisi ini, dan karena itu bahasa ekspresi tidak menghambat komunikasi langsung antara penyair dan pembaca atau pendengarnya.
Karena mudah dikenali, Rendra menjadi sastrawan yang kontroversial dan mengalami penyensoran. Karya-karya Rendra juga menjadi acuan dalam perdebatan sastra kontekstual pada 1980-an. Pada 1981, Emha Ainun Nadjib memulai menyerang “kebungkaman” dalam puisi Indonesia. Emha menyerukan pengembalian sastra Indonesia kepada keterlibatan dalam masalah-masalah sosial yang dapat dikenali; serta menciptakan kriteria penilaian yang relatif. Kedua gagasan itu muncul dalam perdebatan sastra kontekstual 1984.
Ariel Heryanto mengatakan bahwa semua sistem interpretatif, yang salah satu bentuknya adalah sastra, merupakan ekspresi ideologi. Arief Budiman secara keras menentang konsep universalitas, sebagai tujuan yang sahih ataupun mungkin untuk estetika. “Sastra Indonesia kontemporer terlalu terpengaruh dan berorientasi Barat, dan sudah waktunya penulis Indonesia menjadi lebih sadar akan basis sosial dari seninya sendiri,” kata Arief Budiman.
Kemunculan Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko dalam pertunjukannya, dan Wiji Thukul yang menulis puisi untuk dibacakan dari rumah ke rumah, dan menyebut dirinya penyair jalanan, dinilai Keith Foulcher sebagai representasi dari sastra kontekstual itu. ***

Diringkas oleh Asep Sambodja
Citayam, April 2009