Minggu, 31 Agustus 2008

Mata Hati Linda Christanty

oleh Asep Sambodja

Linda Christanty adalah cerpenis perempuan yang menulis tentang persoalan politik dan persoalan bangsanya, yang menempatkan dirinya sebagai sastrawan Indonesia yang patut diperhitungkan. Sastrawan semacam ini sama berisikonya dengan sastrawan yang menulis persoalan di seputar selangkangan atau kegelisahan seksualnya sendiri. Kalau Linda Christanty cenderung akan berhadapan dengan penguasa, maka sastrawan perkelaminan akan berhadapan dengan petinggi agama dan kaum moralis. Tapi, Linda Christanty memilih mengangkat tema-tema politik daripada mengeksploitasi seks dan derifatnya.
Siapakah Linda Christanty? Ketika masih kuliah di Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), ia sudah memperlihatkan kemampuannya di bidang sastra. Ia menulis puisi, cerpen, dan sempat berteater. Bahkan cerpennya yang berjudul “Daun-daun Kering” yang ditulis ketika masih mahasiswa memenangkan lomba menulis cerpen Kompas pada 1989. Cerpen ini kemudian dimuat dalam Riwayat Negeri yang Haru: Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990 (terbit Juni 2006) yang dieditori Radhar Panca Dahana.
Sebagai mahasiswa, ia dikenal sebagai mahasiswa yang kritis, cerdas, dan sering bertanya. Sampai-sampai, teman sekelasnya merasa minder padanya, serta was-was kalau Linda Christanty menunjukkan tangan untuk bertanya dalam diskusi. Karena, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tidak ngawur, tidak asal-asalan, melainkan terlihat bahwa bacaannya banyak dan wawasannya luas. Sayangnya, kata teman sekelasnya, Linda Christanty sering “menghilang” dari ruang kelas. Ia lebih banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa kritis saat itu, seperti Hilmar Farid dan Wilson dari Jurusan Sejarah UI, yang tergabung dalam Forum Belajar Bebas (FBB). Ia sama sekali tidak suka nongkrong seperti beberapa temannya yang lain. Uniknya, kamar kosnya dipenuhi lukisan-lukisan murung berwarna ungu dan gelap karyanya sendiri. Pergaulan Linda dengan teman-temannya di FBB itu membawanya menjadi aktivis yang mengkritisi rezim Soeharto.
Pada pertengahan 1990-an, saya sebagai wartawan majalah Sinar sempat bertemu dengan Linda Christanty dalam bentuk yang lain: ia mengenakan jilbab. Ketika saya hampiri untuk menanyakan hal itu, ia memberi isyarat agar tidak membuka identitasnya. Saya maklum, karena pada saat itu ia tengah bersama teman-teman aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), cikal bakal Partai Rakyat Demokratik (PRD) melakukan demonstrasi menyuarakan demokratisasi di DPR—yang disimbolkan sebagai sarang laba-laba oleh Rendra—meskipun Linda berada di luar lingkaran aksi itu.
Pertemuan saya dengan Linda berikutnya lebih banyak terjadi di dunia maya dan sesekali dalam acara budaya di Teater Utan Kayu. Saya lebih banyak bertemu dengan teman akrabnya, Ucu Agustin, yang saat itu aktif sebagai wartawan radio 68H. Linda aktif di Bumimanusia, Commonground, majalah Pantau, menerbitkan kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto, dan email terakhir yang saya peroleh dari Linda: ia tengah melakukan penelitian dan sebagainya di Aceh pasca tsunami dan terpilihnya Gubernur Aceh yang baru dari kalangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ketika membaca Kuda Terbang Maria Pinto (buku ini menjadi salah satu buku bacaan wajib mahasiswa Sastra Indonesia FIB UI), saya merasa menemukan Linda Christanty kembali. Cerpennya yang berjudul “Danau” dan “Qirzar”sangat puitis. Ada pula cerpen-cerpennya yang menggambarkan dunia aktivis dan pergerakan, seperti “Joao”, “Lelaki Beraroma Kebun”, “Rumput Liar”, “Makam Keempat”, “Perang”, “Kuda Terbang Maria Pinto”, dan yang paling menarik adalah cerpennya yang berjudul “Makan Malam” dan “Pesta Terakhir”, yang memperlihatkan wawasannya yang luas mengenai persoalan bangsanya. Dan, yang lebih memikat, sikapnya yang demikian tegas dan mempesona dalam melihat, menghayati, dan menilai persoalan itu. Dua cerpen terakhir itu, menurut saya, memberi nilai tinggi pada dirinya sebagai seorang sastrawan yang peduli pada persoalan bangsanya, serta memperlihatkan sikapnya yang mengkritik keras penguasa dengan bahasa yang demikian lembut.
Kita tahu bahwa Kuda Terbang Maria Pinto Linda Christanty dan Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2004. Dan, menurut Manneke Budiman, ketua dewan juri pada saat itu, kedua buku itu sama-sama menggunakan bahasa metaforis yang sangat kuat. Apa yang dikatakan Manneke Budiman itu benar. Tapi, menurut saya, yang memberi bobot kedua karya itu tidak sekadar bahasa metaforisnya, tapi pesan (message) yang disampaikan sastrawan itu benar-benar mendalam, terutama bagi pembaca Indonesia yang sebagian besar masa hidupnya berada di bawah kekuasaan Soeharto. Kedua karya itu lebih menonjol membicarakan persoalan bangsanya. Ada kegelisahan politik yang hendak disampaikan kedua sastrawan itu, dan keduanya memiliki sikap yang sama dalam mengutuk kebiadaban rezim Orde Baru, terutama periode tergelap dalam sejarah Indonesia: 1965-1966.
Peran yang diambil Linda Christanty sebagai sastrawan adalah memposisikan dirinya sebagai sastrawan yang selalu mengarahkan mata pedangnya ke penguasa. Dilihat dari cerpen-cerpennya yang dihimpun dalam Kuda Terbang Maria Pinto, tampaknya ia sudah melewati masa-masa kegelisahan eksistensial yang biasanya diidap oleh sastrawan-sastrawan baru, sesuatu yang sama sekali tidak dihiraukannya. Apalagi kalau sekadar mengangkat kegelisahan seksual yang memang lebih banyak mendatangkan uang, namun kurang merangsang Linda untuk memikirkannya. Ia sama sekali tidak ingin terbelenggu dalam labirin persoalan seksual yang itu-itu saja. Melalui cerpennya “Makan Malam”, misalnya, ia ingin mengatakan bahwa kebijakan politik Soeharto yang membabi-buta memberantas Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga ke akar-akarnya telah menyisakan luka yang demikian dalam bagi bangsa Indonesia. Tanpa proses pengadilan, tanpa perikemanusiaan, tanpa pandang bulu, orang-orang yang sangat jauh dari orbit kekuasaan dan tidak mengerti politik, dibunuh hanya gara-gara dicap PKI atau antek PKI.
Saya melihat, apa yang disampaikan Linda Christanty melalui Kuda Terbang Maria Pinto sama pentingnya dengan yang ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Kalau yang ditulis Ricklefs adalah fakta sejarah, maka yang ditulis Linda adalah perasaan luka dari bangsa yang dituliskan sejarahnya itu.
Linda Christanty adalah seorang kawan. Dan ia telah menulis cerpen. Menulis fakta dengan balutan sastra. Ia tidak bermain-main dengan sesuatu yang nonsens. Ia menjadi representasi dari sebuah bangsa yang terluka. ***

Membaca Ayu Utami: Perempuan yang Mempersetankan Perkawinan

oleh Asep Sambodja

Membicarakan novel Saman dan Larung karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Semua tokoh perempuan dalam kedua novel itu, karena merupakan sequel, adalah mereka yang mempersetankan lembaga perkawinan. Dan itu sah saja. Dalam kedua novel tersebut, perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi. Dalam arti, apakah seorang perempuan itu perawan atau tidak, sama tidak ada artinya dengan apakah seorang lelaki perjaka atau tidak sebelum menikah. Pendobrakan nilai-nilai seperti inilah yang lantang disuarakan Ayu Utami dalam Saman dan Larung. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah meruntuhkan lembaga perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak adalah sebaliknya. Para tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cokorda Gita Magaresa (Cok), dan Shakuntala (Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Dalam wawancara dengan sebuah majalah, Ayu Utami mengakui bahwa tema novel Saman dan Larung adalah mengenai seksualitas. Ia pun mengakui bahwa seksualitas adalah problem perempuan.
Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil. Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu (petting) dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya.
Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus dengan bertelanjang dada. Ketika ia menari seperti baling-baling, hingga menjadi seperti gasing, ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur.
Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Hubungan Yasmin yang memperjakai Romo Wis (Saman) itu berlanjut melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Selanjutnya, hubungan itu semakin konkret ketika Yasmin menyusul Saman ke New York.
Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA (kini SMU) sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.
Dengan menggunakan keempat tokoh perempuan itulah Ayu Utami ingin menggempur lembaga perkawinan yang selama ini disakralkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Laila dan Cok dengan sadar menggerogoti rumah tangga orang lain. Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Dan Tala yang biseks memposisikan dirinya di luar lembaga perkawinan yang lazimnya buat kalangan heteroseks.
Anehnya, ibu Saman pun digambarkan sebagai ibu rumah tangga atau perempuan yang aneh. Karena, perempuan itu digambarkan Ayu Utami sering berselingkuh dengan bangsa jin dan mambang. Saya membacanya demikian: bahkan terhadap seorang perempuan yang sudah menikah atau melangsungkan perkawinan pun Ayu mencederainya. Tidak ada gambar atau potret kebahagiaan bagi perempuan yang menikah dalam novel Ayu. Begitu juga nenek Larung yang menikah dengan seorang Belanda dan kemudian menikah lagi dengan seorang gerilyawan, pada akhirnya harus dibunuh oleh cucunya sendiri (Larung Lanang), karena nenek yang berusia 120 tahun itu tidak mati-mati meskipun napas dan tubuhnya bau. Nenek itu akhirnya dibunuh Larung setelah Larung mendapatkan enam cupu sebagai penawar susuk yang dipakai neneknya.
Larung yang digambarkan sebagai laki-laki yang bisa menahan diri dari nafsu setan atau nafsu seks, pada akhirnya harus mati di tangan aparat yang mengejar aktivis. Dalam Larung, Saman dan Larung sama-sama bertugas menyembunyikan dan melarikan tiga aktivis yang dikejar-kejar aparat keamanan karena tersangkut kasus 27 Juli 1996. Namun, keduanya gagal melarikan ketiga aktivis itu ke luar negeri. Larung ditembak di atas perahu motor yang membawanya ke Jakarta. Dalam novel Ayu, laki-laki “baik-baik” pun dimatikan.
Bagaimana kita menyikapi Saman dan Larung? Dalam berbagai kesempatan, Ayu Utami sering mengeluarkan pernyataan (gagasannya) yang menyatakan bahwa dirinya tidak menyetujui adanya lembaga perkawinan, dan cenderung memilih untuk melakoni kehidupan tanpa peraturan mengenai seks. Dengan kata lain, tidak menolak kebebasan seksual. Sedikit banyak, hal ini menjadi semacam kredo bagi Ayu Utami dalam berkarya. Saya sangat yakin bahwa karya-karya Ayu Utami tidak akan lari jauh dari persoalan seksual, anti-perkawinan, emoh-keperawanan, dan sejenisnya. Kalaupun ada karya-karyanya yang mengangkat persoalan di luar seks, maka butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa mewujudkannya. Kalau kita merunut kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dan karya-karya awalnya pada 1974, maka akan kita dapati korelasi seperti itu. Dan, jarak antara lahirnya kredo puisi SCB dengan sajak “Tanah Airmata” yang dahsyat itu, yang diciptakannya menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, demikian panjangnya.
Saya sependapat dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa Ayu Utami memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan memilih dan mengolah kata (diksi) yang demikian cemerlang, atau kata-katanya bercahaya seperti kristal, sebagaimana yang dikatakan Ignas Kleden. Tapi, bahasa yang canggih itu digunakan untuk mengemas sebuah gagasan besar yang merontokkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Bahasa dapat menutupi pikiran-pikiran, kata pepatah Prancis. Dan, memang, daya ungkap Ayu Utami memang luar biasa, sehingga pembaca dibuat terpukau dan terkejut sekaligus.
Saya sangat yakin bahwa Saman dan Larung tidak dimaksudkan Ayu Utami sebagai karya klangenan, apalagi dalam kedua novel tersebut Ayu juga menyinggung kasus kerusuhan rasial di Medan, kasus G30S, pembantaian pasca-G30S terhadap orang-orang yang diduga sebagai PKI, peristiwa 27 Juli 1996, dan beberapa peristiwa sosial politik di tanah air. Ada gagasan besar yang hendak disampaikannya, yakni mendobrak budaya patriarkal. Dalam hal ini, ia ingin membebaskan “kelamin” kemana suka. Sayangnya, Sapardi tidak sampai memberikan penilaian apakah nilai-nilai dalam kedua novel itu bisa dibenarkan atau tidak, memiliki nilai kepantasan di masyarakat kita atau tidak. Inilah yang membuat sebagian pembaca novel Ayu Utami merasa terkejut dengan penanaman nilai seperti ini.
Konsep humanisme universal yang memegang teguh l’art pour l’art, seni untuk seni, dan bahwa sastra memiliki dunianya sendiri bisa menjadi tameng bagi sastrawan untuk tidak mempertanggung jawabkan karyanya. Dengan pola yang mirip (tidak sama) seperti ini pula Ki Panjikusmin tidak berani tampil mempertanggung jawabkan karyanya. Berbeda dengan cerpen “Langit Makin Mendung” yang divonis dari kacamata agama, novel Saman dan Larung dapat ditelaah sedikitnya melalui pendekatan yang dikenalkan Rene Wellek dan Austin Warren sebagai pendekatan intrinsik dan ekstrinsik.
Dari segi intrinsik, tema seksualitas memang sangat menonjol. Demikian pula amanat novel ini yang menggambarkan buram dan gelapnya perkawinan antar-manusia. Tema yang sangat kuat ini sangat berhubungan dengan unsur ekstrinsik, terutama nilai-nilai moral dan agama. Dalam novel Ayu Utami ini, orang yang memilih jalan selibat pun diembat oleh tokoh perempuan Ayu, Yasmin. Setidaknya, dalam novel tersebut juga terbaca bahwa jalan yang dilalui para tokoh perempuan itu juga pada akhirnya merugikan orang (pihak) lain.
Kehadiran Ayu Utami dengan Saman dan Larung dalam sejarah sastra Indonesia seperti magma yang mengejutkan banyak pihak, terutama menyangkut kefasihannya bicara soal seks secara vulgar, yang kemudian melahirkan epigon di wilayah ini seperti Djenar Maesa Ayu. Novel Saman inilah yang mampu menandingi Sitti Nurbaya dan Layar Terkambang dalam hal cetak ulang. Hinga kini, Saman sudah memasuki cetakan ke-24. Sesuatu yang sangat luar biasa dalam penjualan sebuah karya sastra. Membaca Saman, kita seperti berada dalam posisi bimbang Adam: apakah buah kuldi itu harus dimakan? ***

Seno, Ronggowarsito, Foucault, dan Kalatidha

oleh Asep Sambodja

Pujangga besar Indonesia asal Jawa, Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873) telah menorehkan aforisme yang demikian kuat dalam bait ketujuh Serat Kalatidha (‘Zaman Rusak’), yang isinya sudah diketahui banyak pembaca, bahwa mengalami zaman edan, hati gelap kacau pikiran, mau ikut gila tak tahan, jika tak ikut tak kebagian, akhirnya kelaparan, sebenarnyalah kehendak Tuhan, seuntung-untungnya yang lupa, lebih untung yang ingat dan waspada.
Pernyataan Ronggowarsito yang kaya makna itu menjadi pembuka novel terbaru Seno Gumira Ajidarma, Kalatidha. Sebagaimana kita ketahui, prolog novel-novel Seno seringkali menjadi petanda yang penting bagi pembaca untuk menafsirkan teks tersebut secara utuh. Dalam Kitab Omong Kosong, misalnya, Seno memulainya dengan kalimat pembuka seperti ini: Pada punggung terbuka pelacur yang tidur tengkurap itu, terdapatlah lukisan rajah seekor kuda yang berlari. Suatu malam kuda itu melompat lewat jendela, berlari ke luar kota, menuju padang terbuka. Selanjutnya cerita bergulir dan mengalir dengan lincah mengikuti kuda yang berlari itu.
Dari pembacaan terhadap Kitab Omong Kosong, kita dapat mengetahui bahwa si pelacur itu, Maneka, berusaha memperbaiki nasibnya dengan melakukan perjalanan dari kota ke kota, yang pada akhirnya dengan ditemani Satya mencari sebuah kitab yang bernama Kitab Omong Kosong. Apa yang digambarkan Seno di awal Kitab Omong Kosong tersebut memberi ruang baru kepada pembaca, bahwa teks tersebut murni fiksi dan seyogyanya dinikmati dan dimaknai dengan pendekatan fiksi pula. Bahwa nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam karya sastra disampaikan pengarang secara simbolik, dan pembaca berhak memaknai bahasa simbolik dalam karya itu.
Demikian pula yang hendak disampaikan Seno melalui Kalatidha. Kutipan Serat Kalatidha di awal novel ini merupakan pintu gerbang yang dibuat Seno bagi pembaca yang hendak masuk ke dunia rekaannya. Kutipan tersebut sekaligus merangsang pembaca untuk memikirkan zaman rusak atau zaman edan di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Apa yang dimaksud Ronggowarsito dengan zaman edan dalam Serat Kalatidha? Apa pula yang dimaksud Seno Gumira Ajidarma dengan zaman rusak dalam novel Kalatidha?
Sudah cukup banyak ahli yang membahas Kalatidha Ronggowarsito, di antaranya sarjana Belanda, Th. Pigeaud, yang menyatakan bahwa kemasyhuran Ronggowarsito diperoleh dari karya-karyanya yang berbentuk tembang, yang berisi pikiran-pikiran falsafahnya tentang perkembangan kemajuan manusia. Sementara sastrawan Muhammad Yamin menyatakan, “Petunjuk-petunjuk Ronggowarsito terhadap dunia yang dianggap gila seperti termuat dalam kitab Kalatidha telah menjadi rujukan bagi mereka yang suka menyindir keadaan masyarakat pada suatu masa, dengan harapan kelak ada perbaikan di kemudian hari” (lihat Lima Karya Pujangga Ranggawarsita karya Kamajaya, AS).
Bahkan, sarjana Rusia, Villen Vladimir Sikorsky menilai karya-karya Ronggowarsito yang terbit pada 1880-an merupakan bagian penting dari proses panjang terbentuknya sastra Indonesia. Menurut Sikorsky, Ronggowarsito memperlihatkan terobosan baik di bidang pemikiran maupun kesusastraan. Dia telah mengupas masalah universal manusia Indonesia seperti kemiskinan, kemanusiaan, kondisi sosial, dan mengkritik pejabat, walau temanya hanya penentangan nilai-nilai tradisional Jawa saat itu. Pemikiran Sikorsky ini secara tidak langsung telah diadopsi oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan ketika menyusun kanon sastra, Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2001).
Lantas bagaimana dengan Seno? Apa yang dimaksudnya dengan zaman edan dalam novelnya itu? Dibandingkan dengan novel Seno Gumira Ajidarma sebelumnya, Negeri Senja, novel Kalatidha memang lebih transparan dalam mengungkapkan persoalan politik yang terjadi di Indonesia. Saya menilai, melalui Negeri Senja, Seno tengah bercerita kepada pembaca tentang sebuah negeri yang mataharinya nyangkut di cakrawala, sehingga di negeri itu yang ada hanya senja. Dalam situasi remang-remang semacam itu, tidak semua peristiwa dapat dikenali dengan jelas. Dan, dalam situasi seperti itu pula kekerasan politik sering terjadi. Dalam Negeri Senja, Seno memang mendongeng, namun dongeng yang diceritakan adalah dongeng politik.
Dalam Kalatidha, Seno pun masih mendongeng dengan tetap menggunakan kekuatan bahasa metaforisnya, yang dapat kita nikmati dalam karya-karyanya yang lain, namun sekali lagi dengan ungkapan yang lebih transparan. Zaman edan yang dimaksud Seno dalam Kalatidha adalah peristiwa politik 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang yang dicap sebagai PKI—termasuk keluarganya, yang bisa jadi tidak tahu-menahu tentang persoalan politik di tingkat elite.
Dan, perspektif yang dipakai Seno dalam mengungkap peristiwa politik yang hingga kini masih misterius itu adalah perspektif postkolonialisme, yang di antaranya mengadopsi pemikiran Michel Foucault tentang wacana dan kekuasaan. Dalam Kalatidha, ada seorang anak perempuan yang dianggap gila oleh masyarakat setelah seluruh keluarganya—termasuk kembarannya—mati terbakar di dalam rumah yang dikepung warga. Rumah beserta isinya itu dibakar karena sang kepala keluarga dianggap sebagai aktivis PKI. Sang anak perempuan yang selamat dari musibah itu tidak bisa menerima kenyataan seperti itu. Siapa yang pantas dianggap gila? Si anak yang tak mampu menalar tindakan warga yang membakar rumah beserta keluarganya itu atau warganya yang dengan tanpa berpikir panjang melakukan tindakan brutal menghabisi nyawa satu keluarga?
Ketika si anak perempuan itu tumbuh dewasa, dan ditangkap petugas rumah sakit jiwa, yang kemudian memandikannya untuk diberi seragam sebagai orang gila, ia menerimanya dengan terpaksa. Tapi, ketika petugas rumah sakit jiwa itu sadar bahwa secara fisik perempuan itu cantik, terutama ketika mereka memandikannya, dan mereka memperkosanya secara bergiliran, termasuk pimpinan RSJ itu, lalu siapa yang pantas disebut gila? Perempuan itu atau petugas rumah sakit jiwa?
Novel Kalatidha diangkat Seno dengan menggunakan perspektif seorang anak kecil yang terpesona pada kebun bambu yang berkabut. Anak kecil itu sama sekali tidak tahu-menahu tentang peristiwa 1965 itu, tapi ia dapat merasakan sendiri bagaimana nasib orang-orang yang diburu dan dibantai beramai-ramai. Ia juga tahu dari berita-berita koran yang terbit saat itu, yang berhasil dikliping oleh kakak perempuannya. Koran-koran itu, dalam penilaian tokoh utama, menggunakan bahasa yang sangat buruk dan pesan yang sangat jelas terbaca. Sadar atau tidak, media massa Indonesia saat itu telah diperalat penguasa untuk membenarkan sebuah pesta pembantaian.
Membaca novel Kalatidha, kita bisa menangkap message atau pesan yang sama dengan novel-novel Seno yang lainnya, yakni pesan yang disampaikan oleh orang-orang kecil yang terpinggir, tertindas, korban kekerasan politik, dan semacamnya. Suara-suara itu tentu saja menjadi bahan refleksi bagi pembacanya, minimal agar kebiadaban yang pernah terjadi di awal era Orde Baru tidak terulang lagi. Sedetik pun jangan! ***

Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati

oleh Asep Sambodja

Kalau kita mau jujur, barangkali Wiji Thukul adalah satu-satunya penyair yang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap sebuah rezim diktator Orde Baru. Hal ini tidak saja tampak dari aktivitasnya sebagai pelaku kebudayaan dalam Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) yang merupakan underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD)—sebuah partai politik yang lahir, dibesarkan, dan berbasis anak-anak muda yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko—tetapi juga terekspresikan melalui sajak-sajaknya. Salah satu sajaknya yang terkenal, “Peringatan”, yang memberi kesan mendalam pada seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir—yang juga meninggal karena diracun di atas peawat Garuda—menggoreskan kata-kata yang demikian berjiwa: hanya ada satu kata: lawan!
Meskipun Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup. Karena demikianlah sunatullah (hukum alam) yang berlaku di dunia kepenyairan: kata-kata yang dilahirkan oleh penyair akan panjang usianya dibandingkan dengan penyairnya itu sendiri. Chairil Anwar pernah menciptakan sebuah konsep “hidup abadi” dengan mengatakan, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Namun, usia Chairil Anwar tak juga mencapai 30 tahun, tapi kata-katanya masih tetap dikenang orang sampai sekarang. Demikian pula dengan Wiji Thukul yang menghasilkan puisi masterpiece berjudul “Peringatan” yang menunjukkan oposisi biner dan sekaligus berupaya meruntuhkan oposisi biner itu. Wiji Thukul menggambarkan posisinya sebagai penyair yang beroposisi dengan penguasa tiran/diktator. Kata-kata dalam puisi itu akan terus hidup dan digunakan tidak saja oleh pembaca sastra tapi juga oleh aktivis atau orang-orang pergerakan untuk melakukan resistensi terhadap rezim yang otoriter dan represif.
R. von der Borgh (1990) menemukan dua versi sajak “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul, yakni yang ditulis pada 1986 dan yang direvisi pada 1987. Revisi sajak “Peringatan” inilah yang menghasilkan kata-kata berjiwa tersebut: hanya ada satu kata: lawan! Dalam sajak versi pertama, kata-kata itu belum muncul. Sajak “Peringatan” edisi revisi ini sekaligus memperlihatkan kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul. R. von der Borgh mencatat bahwa kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul itu tidak terlepas dari pergaulan Wiji Thukul dengan budayawan-budayawan Jawa Tengah, teristimewa Halim H.D., yang membuka/memberi peluang bagi Wiji Thukul untuk memasuki wilayah sastra dan budaya Indonesia yang lebih luas. Halim H.D. pula yang berjasa memproklamasikan “sastra ngamen” dan “sastra gugat” ciptaan Wiji Thukul di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada September 1987.
Adapun kedua versi sajak “Peringatan” itu adalah sebagai berikut:

Peringatan (sebelum direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat berbisik-bisik
ketika berbicara
penguasa harus waspada
dan belajar mendengar

dan bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
bila rakyat patuh-patuh
penguasa harus mencari sebabnya
bila omongan penguasa tak ada yang membantah
kebenaran pasti terancam

bila usul ditolak
kritik dilarang
dengan dalih mengganggu keamanan
berarti penguasa sedang ketakutan
kekerasan pasti digunakan
maka berhati-hatilah


Peringatan (setelah direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Solo, 1986
Jika kita bandingkan kedua versi sajak itu, tampak bahwa versi kedualah yang memperlihatkan vitalitas penyairnya yang tinggi. Sajak “Peringatan” itu diciptakan Wiji Thukul pada 1986 dan direvisi pada 1987, di saat rezim Soeharto masih sangat kokoh bercokol di kursi kekuasaan—sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang (oposisi) dalam sebuah negara demokrasi Pancasila. Kata-kata ciptaan Wiji Thukul yang terakhir itu seakan-akan menjelma mantera yang dapat memberi spirit bagi perjuangan para buruh dan mahasiswa demonstran, terutama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan.
Memang, Wiji Thukul bukanlah satu-satunya pejuang yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM), karena di luar wilayah sastra, atau tepatnya di kalangan pejuang HAM di Indonesia, kita juga mengenal Marsinah, Udin (Muhammad Syafruddin), Munir, Benjamin Mangkoedilaga, Baharuddin Lopa, Trimoelja D. Soerjadi, dan masih banyak lagi yang belum tercatat. Namun, di bidang sastra, terutama puisi, Wiji Thukullah yang pantas dikenang dan diberi penghargaan. Konsistensi perjuangannya dapat dikatakan menyamai perjuangan Si Burung Merak, Rendra.
Cerpenis Linda Christanty menggambarkan bagaimana Wiji Thukul dan Rendra sama-sama mendapat penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda karena karya-karya yang mereka hasilkan. Saat itu, hanya Rendra yang bisa berangkat ke Belanda. Penghargaan dan hadiah berupa sejumlah uang untuk Wiji Thukul pun dititipkan kepada Rendra. Namun, sampai Wiji Thukul hilang pada pasca kasus 27 Juli 1996, uang itu tidak pernah sampai kepadanya (Christanty, 2002).
Sementara perjuangan Wiji Thukul ibarat memperjuangkan kebenaran hakiki, atau perjuangan untuk mencapai splendor veritatis (‘cahaya kebenaran’) sebagaimana yang diungkapkan Y.B. Mangunwijaya (lihat Taum, 2002), yakni keadilan bagi sesama manusia tanpa memandang kelas sosial. Apa yang disuarakan Wiji Thukul dalam sajak-sajaknya adalah fakta sosial yang jarang atau tidak pernah diungkap bahkan oleh media massa Indonesia—terutama di masa Orde Baru.
Kemiskinan, ketidakadilan, jurang yang dalam antara si kaya dengan si miskin (ketimpangan sosial) diungkapkan Wiji Thukul dengan bahasa yang lugu, lugas, bahasa sehari-hari, bahasa yang sangat familier dengan keluarga, teman, atau masyarakat di sekitarnya. Harry Aveling (2003) menilai sajak-sajak Wiji Thukul seperti itu sebagai sajak yang keras dan konfrontasional. Hanya saja, karena bahasa semacam itu tertimbun oleh bahasa euphimisme yang menyelimuti bahasa Indonesia di zaman Orde Baru, maka bahasa yang digunakan Wiji Thukul itu menjadi bahasa yang unik. Beberapa sajak Wiji Thukul yang menurut saya mampu menggambarkan kenyataan dengan baik adalah “Sajak Suara”, “(Tanpa Judul)”, dan “Buron”. Keberhasilan Wiji Thukul itu dikarenakan ia menyuarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialaminya secara langsung. Dengan demikian, ia menyampaikan substansi tanpa bantuan orang kedua atau bantuan media/peralatan lain. Wiji Thukul tidak sekadar menyampaikan pesan, tapi ia adalah message itu sendiri.

Sajak Suara

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


(Tanpa Judul)

kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

indonesia, 11 agustus 96


Buron

baju lain
celana lain
potongan rambut lain
buku yang dibaca lain
bahan percakapan lain
nama lain
identitas lain
ekspresi lain
menjadi
diri
sendiri
adalah tindakan
subversi
di negeri ini
maka
selalu siaga
polisi
tentara
hukum dan penjara
bagi siapa saja
yang menolak
menjadi orang lain

20 september 96

Gaya bahasa yang lugu seperti ini juga digunakan oleh penyair A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak kontekstualnya, seperti yang tampak dalam sajak “Rasanya Baru Kemarin” yang terdiri dari beberapa versi (Bisri, 2002). Demikian pula mengenai tema penyimpangan dan ketimpangan sosial juga mendapat tempat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang mutakhir, seperti “Tanah Airmata”, “Jembatan”, dan “David Copperfield, Realities ‘90” -- dalam Horison (1998) -- dengan penggunaan bahasa yang sangat canggih. Terlihat bahwa Sutardji Calzoum Bachri yang pada awal kepenyairannya (1974) mengeluarkan kredo puisi yang membebaskan kata dari beban makna atau ide, pada 1990-an telah menunjukkan perkembangan yang sebaliknya, yakni memberi makna pada setiap kata, seperti yang dilakukan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Tidak hanya itu, Sutardji Calzoum Bachri berusaha menggunakan puisi untuk menyampaikan pikirannya terhadap realitas sosial yang dibacanya.
Dengan demikian, kalau dikatakan Wiji Thukul hanya memperalat puisi untuk mencapai maksud tertentu (versi penguasa: kepentingan tertentu) maka tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena, bagaimanapun, kata, puisi, karya sastra, merupakan alat atau media ekspresi bagi sastrawan. Sama halnya dengan tentara yang menggunakan peluru, senjata, dan bom nuklir sebagai alatnya. Tinggal dilihat apakah alat itu digunakan dengan baik dan benar seperti pasukan keamanan PBB atau justru sebaliknya: alat itu digunakan untuk mengintervensi negara-negara kecil seperti Afghanistan, Irak, Palestina, Iran, dan Suriah, misalnya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul merepresentasikan dirinya sendiri sebagai seorang warga negara yang melarat di sebuah negeri yang subur. Apa yang berharga dari puisiku/ Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak/ Jika nasi harus dibeli dengan uang/ Jika kami harus makan/ Dan jika yang dimakan tidak ada? (“Apa yang Berharga dari Puisiku”). Dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Wiji Thukul mengingatkan bahwa ia tidak sedang membela rakyat. “Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri.” (Thukul, 1994).
Ia menyuarakan isi hati dan pikirannya secara apa adanya, lugu, dan jujur. Dan ketika ia bersuara secara lugu dan jujur, sehingga yang terbaca dalam puisinya adalah suara yang murni (otentik), maka yang terjadi kemudian adalah kecemasan penguasa. Ketika seorang warga negara sadar dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya, dan dia mengekspresikan kenyataan dirinya dan menolak penyeragaman, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kemapanan, menjadi the other, meskipun warga tersebut, dalam hal ini penyair Wiji Thukul, tidak berpretensi apa pun selain mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sendiri. Sejatinya, setiap orang berhak untuk memperbaiki nasibnya sendiri untuk menjadi lebih baik. Dalam hal Wiji Thukul, untuk memperbaiki nasibnya tersebut, ia mempertanyakan keadaan yang menghimpit hidupnya. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang bernasib lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan itu mengkristal menjadi kesadaran yang kemudian merangsangnya untuk melakukan perlawanan atau semacam gugatan terhadap ketidakadilan. Apakah nasib kita akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia (“Puisi Untuk Adik”).
Suara Wiji Thukul yang lugu, blokosuto (blak-blakan) ini kemudian dimaknai sebagai tindakan subversif oleh penguasa yang sangat selektif dalam menerima informasi. Bahkan kecenderungan penguasa tiran adalah menguasai informasi dan mengatur lalu lintas informasi itu. Makanya, ketika Wiji Thukul berpuisi dengan segenap kejujuran, hal itu dianggap sebagai upaya mendobrak arus kemapanan yang telah dipelihara oleh penguasa.
Harus diakui bahwa di tangan Wiji Thukul, kata-kata menjadi alat perjuangan untuk merontokkan sebuah rezim yang zalim. Ia bukanlah penyair sekadar—seperti yang disuarakan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah satu sajaknya. Dan, dalam kurun waktu satu-dua dekade, kita sudah bisa melihat runtuhnya sebuah rezim yang angkuh itu. Perhatikan sajak perlawanan seorang Wiji Thukul yang memposisikan dirinya sebagai kaum marginal yang berhadapan dengan penguasa berikut ini:

Bunga dan Tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!

dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!

Solo, ’87 - ‘88

Sejak Soeharto naik menjadi Presiden RI, sejak perseteruan antara seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang beraliran realisme sosial, yang kontekstual—dengan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu)—yang beraliran humanisme universal, yang prinsip keseniannya l’art pour l’art—mulai reda, puisi di Indonesia memang sempat diramaikan dengan puisi-puisi lirik, puisi yang lebih banyak membicarakan kegelisahan atau kegalauan pribadi, seperti yang dipelopori Sapardi Djoko Damono (muda), Goenawan Mohamad (muda), dan mendapatkan tempat yang luas di majalah Horison periode awal. Karya-karya realisme sosial nyaris tidak mendapat tempat di media massa di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut situasi semacam itu sebagai “bandul yang berbalik arah”. Sebelum peristiwa G30S, kehidupan seniman Manikebu sangat nelangsa dan seniman-seniman Lekra berada di dalam orbit kekuasaan Soekarno (tua) yang cenderung diktator. Setelah peristiwa itu, suasananya nyaris berbalik 180 derajat. Bahkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang. Mahasiswa yang memperjualbelikan novel-novel Pram pun ditangkap. Tapi, di sisi lain, hal itu serta-merta menjadi karya subaltern, simbol perjuangan demokratisasi ataupun untuk melawan sebuah rezim.
Wiji Thukul, seorang anak muda yang menurut Arief Budiman (1994) mirip pedagang asongan, mengambil jalan lain. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh teman-temannya sendiri, menulis tentang kenyataan hidupnya sendiri. Ia pun membacakan puisinya ke kampung-kampung hingga ke kampus-kampus di dalam dan luar negeri. Dan, akhirnya kita lihat bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Jika Udin membongkar fakta money politics Bupati Bantul, Yogyakarta, dengan kepekaan jurnalistiknya, Wiji Thukul mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Keduanya sama-sama mengungkap fakta, dan keduanya sama-sama dilenyapkan. Namun, kata-kata sang penyair seperti memiliki sejarah hidup yang berbeda dengan penyairnya. Hanya ada satu kata: lawan!.


Bibliografi

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998.
Magelang: IndonesiaTera.
Bisri, A. Mustofa. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang.
Borgh, R. von der. 1990. “Puisi Wiji Thukul Wijaya”, dalam Tanah Air, Edisi No. 5,
Desember.
Budiman, Arief. 1994. “Wiji Thukul Penyair Kampung”, dalam Wiji Thukul, Mencari
Tanah Lapang.
Leiden: Manus Amici.
Christanty, Linda. 2002. “Wiji Thukul, Seorang Kawan”, dalam Ini Sirkus Senyum.
Yogyakarta: Bumimanusia.
Majalah sastra Horison, No. 6 Juni 1998.
Taum, Yoseph Yapi. 2002. “Puisi-puisi Kerakyatan Wiji Thukul”, dalam Jurnal Puisi,
No. 10, Desember.
Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”, dalam Jurnal
Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November.
_____. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: IndonesiaTera.

Adakah Keindonesiaan dalam Sastra?

oleh Asep Sambodja

Adakah keindonesiaan dalam sastra Indonesia? Persoalan ini menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan persoalan identitas; bagaimana suatu bangsa memproduksi karya sastra. Ciri-ciri seperti apa yang melekat pada karya sastra yang diproduksi oleh suatu kelompok masyarakat atau suatu bangsa bisa dituai dengan pendekatan sosiologis maupun pendekatan pascakolonialisme, misalnya.
Persoalan identitas inilah yang diangkat Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) dalam seminar internasional bertajuk “Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra” di Hotel Maharadja Jakarta, 7-10 Agustus 2006. Secara garis besar dapat dikatakan seminar ini dimaksudkan untuk mengetahui identitas Indonesia dalam sastra berbahasa Indonesia dan identitas Melayu dalam sastra berbahasa Melayu, yang tumbuh pesat di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kalau pertanyaan itu kita alamatkan kepada Seno Gumira Ajidarma, salah satu sastrawan Indonesia papan atas saat ini, maka jawabannya adalah tidak ada. Menurut Seno, tidak ada identitas dalam kesenian. Dengan kata lain, persoalan identitas dalam karya sastra itu tidak penting. Yang penting adalah makna. Adapun alasan Seno adalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini kita tidak bisa mengasingkan diri dari perkembangan budaya mondial, tidak bisa menghindari arus globalisasi. Karena itu, makna universalitaslah yang perlu mendapat perhatian dari pembaca sastra dalam menganalisis suatu karya sastra.
Saya setuju dengan Seno dalam hal adanya nilai-nilai universal dalam suatu karya sastra, sebab pada akhirnya nilai-nilai universal itu tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan lokal. Dalam arti suara-suara lokal pun bermuatan nilai-nilai universal. Namun, saya tidak setuju apabila persoalan identitas dalam karya sastra dikatakan tidak penting. Karena, bagaimanapun, sebuah karya sastra merupakan representasi dari komunitas masyarakatnya, representasi dari bangsanya. Memang, kita tidak bisa pungkiri bahwa kebudayaan kita—termasuk di dalamnya berupa produk budaya seperti karya sastra—tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan yang datang dari luar. Akan tetapi, keterpengaruhan itu sama sekali tidak bisa menghilangkan kekhasan budaya tempatan.
Kita ambil contoh novel Kitab Omong Kosong karya mutakhir Seno Gumira Ajidarma. Novel ini mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005, yang dewan jurinya diketuai Riris K. Toha-Sarumpaet, yang juga Ketua Umum HISKI Pusat. Kemenangan ini mengakibatkan Seno mendapat hadiah Rp100 juta. Jadi, tak bisa disangkal bahwa Kitab Omong Kosong merupakan novel Indonesia terbaik pilihan dewan juri KLA pada 2005.
Kalau kita analisis novel tersebut secara mendalam, maka akan tampak dengan jelas keterpengaruhan budaya India pada pengarangnya. Kita tahu bahwa budaya India sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-4 masehi, bersamaan dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia. Seno yang hidup di abad ke-21 dapat dikatakan masih terpengaruh dengan kebudayaan India tersebut.
Bagaimana bentuk keterpengaruhan itu? Seno Gumira Ajidarma masih menggunakan kisah Sri Rama dalam Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh penting dalam Ramayana karya Walmiki seperti Sri Rama, Dewi Sinta, Laksmana, Rahwana, dan Hanoman muncul sebagai motor penggerak cerita dalam Kitab Omong Kosong. Bahkan Walmiki sendiri juga tampil dalam novel Seno sebagai salah satu tokoh yang memiliki peran penting.
Namun, meskipun ada keterpengaruhan budaya luar, novel ini masih memperlihatkan kekhasannya, yakni kekhasan Seno sebagai representasi manusia Indonesia dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Pertama, sebagian besar karakter atau watak tokoh yang ada dalam Ramayana tampil beda sama sekali dalam Kitab Omong Kosong. Sri Rama yang berwibawa dalam Ramayana tampil menjadi raja yang bengis dan penguasa diktator dalam Kitab Omong Kosong. Dewi Sinta yang tunduk pada titah Rama menjadi seorang istri, seorang perempuan, yang menggugat hak-haknya dan menuntut keadilan sebagai sesama manusia. Hanoman yang taklid pada Rama dalam Ramayana versi R.K. Narayan, tiba-tiba berani menentukan pilihan hidup sesuai hati nuraninya sendiri ketika melihat sikap Rama yang sudah dikuasai nafsu berkuasa—karena sudah dipengaruhi “Gelembung Rahwana”—sebagaimana diceritakan dalam Kitab Omong Kosong.
Kedua, tokoh utama dalam Kitab Omong Kosong adalah Maneka (pelacur) dan Satya (penggembala) yang merupakan representasi wong cilik atau orang kebanyakan, dan bukan manusia agung (uebermensch) dari kalangan istana. Sebagaimana yang juga terlihat dalam karyanya yang lain, seperti Saksi Mata dan Negeri Senja, dalam novel ini pun Seno menggunakan sudut pandang (point of view) orang-orang marjinal untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, dan sikapnya sebagai pengarang. Inilah yang saya kira kekhasan yang melekat pada diri Seno. Keterpengaruhan budaya—apalagi ilmu pengetahuan—merupakan suatu keniscayaan, sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, bagaimana Seno memainkan tokoh-tokohnya dan bagaimana Seno bersuara melalui tokoh-tokohnya memperlihatkan sikap dan ideologi kepengarangannya.
Dalam Kitab Omong Kosong itu, Maneka mencari-cari Walmiki untuk mengubah nasibnya dari seorang pelacur menjadi perempuan baik-baik atau perempuan biasa. Satya pun mendapat bantuan dari Hanoman untuk terus mencari Kitab Omong Kosong, karena dalam kitab itu terdapat ilmu tentang kehidupan, kenyataan, dan kebenaran, yang sangat berguna bagi siapa pun yang membacanya. Kedua tokoh utama itu berhasil mewujudkan obsesi atau impiannya setelah melalui liku-liku kehidupan yang panjang dan melelahkan.
Keterpengaruhan itu bisa dijelaskan demikian: pengaruh budaya India yang masuk berabad-abad lalu, dan sudah menjadi semacam mitos atau kepercayaan di Indonesia, diserap oleh Seno Gumira Ajidarma untuk kemudian diekspresikan menjadi produk budaya yang baru sama sekali, terkadang melalui proses dekonstruksi. Karena, pengaruh yang masuk ke Indonesia itu tidak hanya dari India, melainkan juga dari Barat, semisal pemikiran eksistensialisme, feminisme, dekonstruksi, posmodernisme, poskolonialisme, spectrum oriented, pluralisme, multikulturalisme, dan masih banyak lagi, yang juga diserap Seno. Semua pengaruh itu, baik dari India (Timur) maupun Barat menyatu dalam diri Seno dan dituangkan kembali dalam Kitab Omong Kosong. Pertanyaannya kemudian, di manakah orisinalitas? Menurut hemat saya, orisinalitas itu melekat pada diri sang pengarang. Setiap pengarang memiliki gagasan, pikiran, perasaan, dan cara pengungkapannya yang khas.
Dengan demikian, kalau ditanyakan adakah keindonesiaan dalam sastra Indonesia? Maka, jawabnya: ada. Hanya saja, keindonesiaan atau identitas Indonesia itu tidak tunggal, melainkan sangat beragam sebagaimana dilambangkan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Hakikat Indonesia itu sendiri adalah keberagaman, plural, dan multikultural. Novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma itu barulah memperlihatkan satu ciri keindonesiaan dalam sastra Indonesia dari sekian banyak ciri keindonesiaan yang ada. Sementara kita meyakini every book has a voice. ***

Sabtu, 30 Agustus 2008

Djenar dan Paradoks Masyarakat Kita

Oleh: Asep Sambodja

Belum genap setahun, buku kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) -- selanjutnya disingkat JMMK -- karya Djenar Maesa Ayu sudah mengalami cetak ulang keempat sejak diterbitkan pertama kali pada Januari 2004. Ini termasuk sesuatu yang luar biasa dalam penerbitan buku karena bisa mengalahkan buku pelajaran dalam hal cetak ulang. Di sampul halaman depan buku ini tercantum sebuah catatan singkat, “untuk pembaca dewasa”.
Catatan itu mengingatkan kita pada peringatan yang menempel pada bungkus rokok bahwa “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Peringatan yang terkesan “mulia” itu dilakukan dengan sadar oleh produsen rokok sekaligus tetap berharap rokoknya terus dibeli oleh masyarakat. Sebuah paradoks yang sangat menggelikan, namun terus bergulir di dalam masyarakat kita hingga sekarang. Fakta ini menunjukkan bahwa peraturan atau peringatan kesehatan tidak terlalu diperhatikan atau tidak ditaati di negeri ini.
Demikian pula catatan kecil di sampul buku Djenar Maesa Ayu, “untuk pembaca dewasa”, bisa jadi merangsang pembaca yang belum dewasa untuk segera dewasa. Akibatnya, buku itu akan laku di pasar dan akan terus dicetak ulang karena sangat menguntungkan penerbit dan penulisnya.
Buku terbaru Djenar ini seperti buku pertamanya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (di antaranya terdapat cerpen berjudul “Namanya... ” yang tokohnya bernama Memek) diterbitkan oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, sebuah penerbitan yang mengklaim dirinya sebagai penerbit buku-buku utama. Terbetik penilaian pembaca sesaat setelah membaca JMMK terbitan Gramedia ini. Pertama, seperti inikah buku utama yang dimaksudkan oleh Gramedia? Kedua, buku sastra ini perlu diberi catatan “untuk pembaca dewasa”, dengan asumsi pembaca pemula tidak dianjurkan untuk membacanya! Kenapa pula karya sastra lainnya tidak diberi catatan seperti itu? Apakah itu berarti bahwa buku-buku sastra lainnya boleh dibaca oleh siapa saja, dan buku Djenar tidak?
Di buku ini pula Richard Oh, pemilik QB Worldbooks dan pemberi Khatulistiwa Literature Award (KLA) memberi pengantar yang sangat permisif dan menyebutkan cerpen “Menyusu Ayah” (yang diterjemahkannya menjadi “Suckling Father”) sebagai cerpen terbaik dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen “Menyusu Ayah” dapat diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan seorang (anak) perempuan terhadap laki-laki (Ayah, teman-teman Ayah, dan teman laki-laki sebaya anak perempuan yang bernama Nayla itu).
Sejauh perlawanan itu bertujuan menyejajarkan posisi antara laki-laki dan perempuan, maka hal itu sangat bisa diterima dan bahkan perlu didukung. Tapi, ketika perlawanan itu hanya mengubah posisi dari keadaan “tertindas” (inferior) menjadi “penindas” (superior), maka perlawanan itu hanyalah omong kosong. Tetap saja akan terjadi dominasi satu pihak atas pihak lain, apa pun jenis kelaminnya. Karena, dalam cerpen itu sangat jelas “bentuk” perlawanan si pencerita (perempuan), bahwa “Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati”, yang merupakan antitesa dari ucapan Ayahnya, “Bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki”.
Kalau kita lebih detail lagi masuk ke dalam cerpen “Menyusu Ayah”, maka akan terbaca seperti ini:
“Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.”
Cerpen dalam buku JMMK yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama itu telah mengalami cetak ulang yang keempat, yang berarti pasar sangat merespons dengan baik kehadiran buku tersebut. Tinggallah kita bertanya-tanya, apa yang bisa dipelajari dari “cerpen terbaik” versi Richard Oh dan Jurnal Perempuan itu? Apakah itu merupakan sebuah bentuk perlawanan sebagaimana fungsi sastra sebagai media ekspresi? Atau apakah sebuah potret sosial semata sebagaimana fungsi sastra sebagai representasi? Yakni, sebuah potret masyarakat yang sakit, yang memperlihatkan potret seorang anak perempuan (Nayla), Ayah, teman-teman Ayah, yang semuanya sakit. Dan hanya ada beberapa teman laki-laki sebaya Nayla yang masih menunjukkan harapan untuk menjunjung tinggi moral -- sesuatu yang sangat ditertawakan atau bahkan dikangkangi oleh tokoh-tokoh dalam cerpen Djenar Maesa Ayu. Semua tokohnya nyaris seperti itu, tak terkecuali dalam cerpen yang sengaja diberi judul “Moral”. Apakah karya semacam ini yang akan mewarnai sejarah sastra Indonesia di masa depan, sebagaimana yang pernah diprediksi oleh Sapardi Djoko Damono?
Kebetulan buku JMMK ini masuk dalam lima besar kerya sastra “terbaik” yang berhak mendapatkan KLA 2004. Untungnya, dewan juri yang diketuai Manneke Budiman, pengajar sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) sekaligus Wakil Ketua Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat, masih memiliki akal sehat dengan memenangkan kumpulan cerpen Linda Christanty, Kuda Terbang Maria Pinto yang sangat impresif itu dan roman Negeri Senja Seno Gumira Ajidarma yang sangat simbolis. Penilaian dewan juri KLA 2004 ini sungguh membesarkan hati para pengajar sastra di sekolah-sekolah, bahwa karya sastra yang berhak mendapat penghargaan itu bukanlah karya sastra yang sekadar merangsang kelamin pembacanya, melainkan juga merangsang pemikiran dan nurani pembacanya.
Tapi, kalaupun kata-kata Djenar dalam bukunya sejenis dengan yang saya kutip di atas dianalogikan sebagai racun nikotin dalam sebatang rokok, tidak serta-merta kita menganjurkannya untuk dilarang. Bagaimanapun buku yang beraroma seks dan rokok memiliki hak untuk hidup atau ada. Karena, baik rokok maupun buku Djenar memiliki gerbong yang panjang menyangkut nasib banyak orang, apalagi negara ini sedang belajar berdemokrasi, yang meniscayakan perbedaan dan keberagaman. “Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat,” kata Chairil Anwar.
Hanya saja, minimal pembaca tahu ketika disodorkan buku JMMK, mereka sudah paham bahwa ini adalah buku “untuk pembaca dewasa”, persis seperti film-film “untuk dewasa” yang menyatroni rumah kita lewat televisi. Persoalannya, apakah kita akan terus memelihara paradoks semacam ini atau menyatakannya cukup sampai di sini.

Sastra yang Meretas Kabut Sejarah 1965

oleh Asep Sambodja

Saya sangat yakin bahwa pembaca akan terkejut bila membaca pengakuan 10 perempuan korban perkosaan pasca 30 September 1965 yang dihimpun dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 (SPKT 65) karya Ita F. Nadia (2008: cetakan ketiga). Membaca pengakuan kesepuluh perempuan itu saya sampai pada titik kebimbangan: apakah yang ditulis oleh Ita F. Nadia itu fakta atau fiksi?
Kalau fakta, maka pengalaman traumatik yang dialami oleh perempuan-perempuan itu sangat sulit dipahami dengan bahasa hati nurani dan kacamata kemanusiaan. Jeritan kaum perempuan itu sudah melampaui batas imajinasi kita. Apa yang dialami Yanti, misalnya, yang ketika ditangkap pasca 30 September 1965 masih berumur 14 tahun, meruntuhkan pengetahuan kita akan peristiwa lubang buaya yang tertera dalam buku sejarah bangsa Indonesia.
Peristiwa lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha pada 1965, yang antara lain menyebutkan perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai penyiksa dengan tingkat kesadisan yang melewati batas—yakni menyiksa para jenderal dengan menyungkil matanya dan memotong kemaluannya sambil menari-nari telanjang—yang dulu dianggap fakta yang melatari permakluman atas pembantaian jutaan orang pada 1965/1966, kini terbaca sebagai fiksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam kehidupan berbangsa kita, terlebih kalau kita mengacu pada hasil visum et repertum yang terbaca oleh Ben Anderson (lihat Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam, 2004).
Kalau cerita atau pengakuan 10 perempuan itu dikategorikan sebagai fiksi, maka buku ini layak mendapat penghargaan sebagai karya fiksi terbaik, karena cerita yang disampaikan kesepuluh perempuan itu sangat menyentuh dan menggedor-gedor nurani pembacanya. Siapa pun yang membaca buku ini, apalagi perempuan, bisa dipastikan akan merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kembali kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, serta kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan China pada Mei 1998. Saya menilai buku SPKT 65 itu sebagai sebuah data yang berisi fakta-fakta yang perlu dibuktikan kebenarannya oleh sejarawan.
Dalam pengantar novel Lubang Buaya, Saskia Wieringa (2003), novelis itu menulis, banyak sejarawan masa kini berpendapat bahwa semua sejarah adalah fiksi. “Tidak ada fakta, hanya discourse yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan,” kata novelis yang juga antropolog itu. Kalau sejarah adalah fiksi, apakah fiksi juga berarti sejarah?
Saya tidak ingin terjebak dalam labirin telor ayam: mana yang lebih dulu di antara keduanya. Yang jelas, sedikit berbeda dengan Saskia, saya berpendapat bahwa sebuah karya sastra yang baik senantiasa merekam denyut nadi masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Sastrawan sebagai representasi masyarakatnya merekam dengan baik pikiran dan perasaan masyarakat sezamannya.
Lebih lanjut, Saskia Wieringa mengakui bahwa novel Lubang Buaya berangkat dari hasil penelitiannya pada 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Gerwani. Hasil penelitian itu pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (1999). Tidak mengherankan jika ada fragmen dalam novel itu yang terbaca dengan jelas sama dengan pengakuan Yanti dalam buku SPKT 65.
Yang cukup mengherankan adalah adanya kesamaan fragmen dalam Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dengan pengakuan Darmi dalam buku SPKT 65. Dalam novel Seno itu, seorang gadis kecil menyaksikan pembakaran rumahnya dan pembunuhan seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, hanya karena ayahnya dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena gadis kecil itu tidak bisa menerima kenyataan yang dilihatnya, dan tidak mampu memahami peristiwa itu dengan akal sehatnya, akhirnya ia menjadi gila. Berangkat dari sinilah cerita Seno bergulir hingga menarik pembaca untuk segera menuntaskan pembacaan atas novel setebal 234 halaman itu.
Sementara dalam SPKT 65, Darmi yang saat itu menjadi penari istana di zaman Soekarno, tidak saja menyaksikan suami dan kedua mertuanya dibunuh dan rumahnya dibakar, melainkan ia mengalami penyiksaan mental yang luar biasa. Ia bukan anggota Gerwani, ia hanya penari, tapi suaminya anggota PKI. Gara-gara itulah ia diarak oleh orang banyak yang anti PKI dalam keadaan telanjang bulat, berjalan kaki mengelilingi desa, dan begitu sampai pada tahap pemeriksaan di pos tentara, ia disuruh menari di atas meja dalam keadaan telanjang bulat. Dan, jika ia menolak menari dan menolak diperlakukan tidak senonoh, maka tawanan lain akan dijadikan sasaran penganiayaan.
Selama 30 tahun di masa pemerintahan rezim Soeharto, setiap mendengar gamelan Bali, Darmi mengalami trauma yang luar biasa. Ia merasa bahwa tari adalah jiwanya, dan bunyi gamelan selalu memanggil-manggilnya untuk menari. Namun, bersamaan dengan bunyi gamelan itu, saat itu pula ia merasa takut dan membencinya. Ini akibat penganiayaan yang terjadi pasca 30 September 1965 yang dialaminya di Bali.
Dengan demikian, fakta yang terbaca dalam SPKT 65 lebih mengguncang nurani pembacanya dibandingkan dengan cerita dalam novel Lubang Buaya dan Kalatidha. Meskipun begitu, apa yang dihasilkan Saskia dan Seno tersebut memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi untuk mengungkap kabut politik yang terjadi di negeri ini, termasuk peristiwa pembunuhan massal 1965/1966 dan peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998.
Dalam diskusi novel Kalatidha di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, sejarawan Hilmar Farid mengatakan bahwa dalam menggambarkan korban kekejaman 1965/1966, Seno sengaja menggunakan tokoh aku yang gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkap kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Batas antara fakta dan fiksi menjadi hilang, kadang-kadang tokoh aku dalam Kalatidha menggambarkan kenyataan, kadang-kadang berada dalam dunia kabut yang tak terumuskan. Dalam pembacaan Hilmar Farid, sastra bisa menjadi medium untuk mengungkap fakta, kenyataan, dan kebenaran.
Sementara Melani Budianta, Guru Besar FIB UI yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, menambahkan bahwa fiksi seperti yang ditulis Seno tersebut berpeluang untuk menyembuhkan luka yang terjadi di masa lalu. Tokoh perempuan kembar dalam Kalatidha dibaca Melani sebagai metafora yang digunakan Seno untuk menggambarkan peristiwa 1965/1966.
Tokoh yang satu mati terbunuh, yang menyimbolkan masa lalu yang penuh kekerasan. Tokoh yang satu lagi menjadi gila karena tak mampu melihat kekerasan, yang menyimbolkan masa kini yang masih gagap melihat sejarahnya sendiri. Dilihat dari tataran mental psikologi, novel Kalatidha menampung atmosfir refleksi, kegilaan, perasaan marah dan dendam, bangkitnya belas kasih, pemulihan dari luka, dan transendensi. “Semuanya ada dalam novel itu,” kata Melani.
Meskipun dalam diskusi tersebut Seno mengakui bahwa Kalatidha merupakan novel pesanan, karena ada pihak yang memesannya untuk menuliskan peristiwa kekerasan itu, saya tetap menganggap bahwa Kalatidha merupakan novel Indonesia modern yang penting, yang menurut saya menjadi novel terbaik pada 2007, karena merefleksikan sebuah peristiwa yang tidak mungkin terlupakan oleh bangsa Indonesia: pembunuhan massal 1965/1966. Tapi, bukan hanya karena itu novel ini menjadi novel terbaik. Bahasa yang digunakan Seno sangat kuat. Ia seperti memainkan sebuah orkestrasi yang demikian indah, meskipun lagunya menyayat hati.
Novel Kalatidha mengajak pembacanya untuk mengungkap kabut politik yang menyelimuti sejarah nasional Indonesia. ***

Braginsky dan Sikorsky dalam Sastra Indonesia

oleh Asep Sambodja


Dalam sejarah sastra Indonesia, banyak yang telah mengenal nama A. Teeuw, E.U. Kratz, Claudine Salmon, dan Keith Foulcher. Namun, dapat dikatakan masih sedikit yang mengenal Vladimir I. Braginsky dan Willen Vladimir Sikorsky, meskipun kedua nama terakhir ini juga berjasa bagi perkembangan sastra Indonesia.

Kita tahu bahwa hampir semua buku yang ditulis A. Teeuw menjadi bacaan wajib mahasiswa Program Studi Indonesia di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Mulai dari Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru yang ditulis pada 1952 hingga Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada 1997, yang merupakan contoh terbaik kritik sastra dengan berbagai pendekatan. Cukup banyak karya Teeuw lainnya, namun yang terpenting disebut di sini adalah Sastera dan Ilmu Sastera (1984) yang berisi teori-teori sastra yang cukup komprehensif.

E.U. Kratz, sebagaimana yang kita ketahui, telah menghasilkan dua buku yang sangat penting bagi penulisan ulang sejarah sastra Indonesia. Kedua buku tersebut adalah A Bibliography of Indonesian Literature in Journals (1988) dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (2000). Kenapa sejarah sastra Indonesia harus selalu ditulis ulang? Dan, kenapa buku Kratz menjadi penting dalam penulisan ulang tersebut?

Setidaknya ada dua alasan kenapa sejarah sastra Indonesia harus selalu ditulis ulang. Pertama, sejalan dengan perkembangan zaman, jumlah sastrawan dan karya sastra akan terus bertambah. Dengan demikian kontinuitas penulisan sejarah sastra merupakan sebuah keniscayaan. Kedua, dari berbagai buku sejarah sastra Indonesia yang ada, ternyata masih memperlihatkan ketidaklengkapan. Hal ini bisa disebabkan faktor internal penulisnya, yang memiliki subyektivitas dalam penulisan, maupun disebabkan faktor eksternal saat itu, misalnya adanya kebijakan politik sebuah rezim yang membatasi ruang gerak sejarawan. Karena itulah maka penulisan sejarah sastra Indonesia harus selalu ditulis ulang.

Dua buku Kratz yang disebut di atas menjadi penting karena berupaya menginventarisasi karya sastra Indonesia selengkap mungkin, dalam kurun waktu 60 tahun (1922-1982). Selain itu, buku Kratz juga mendokumentasikan pemikiran para sastrawan dan budayawan Indonesia dalam kurun waktu 1928 (saat Sumpah Pemuda) hingga 1995 (saat terjadi Polemik Hadiah Magsaysay yang diterima oleh Pramoedya Ananta Toer), yang memperlihatkan benang merah perkembangan sastra Indonesia.

Hasil penelitian Claudine Salmon yang dibukukan dalam Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (1985) membuka perspektif baru dalam melihat sejarah sastra Indonesia. Penelitian yang dipicu oleh pemikiran Nio Joe Lan, Pramoedya Ananta Toer, dan C.W. Watson itu memperlihatkan adanya diskriminasi dalam sejarah sastra Indonesia selama ini. Dalam sejarah sastra yang “resmi” (sastra kanon) sama sekali tidak kita temukan karya para sastrawan Cina peranakan, termasuk dalam buku sejarah sastra Indonesia terbaru yang ditulis Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2007). Terkesan sembilan jilid buku Kesastraan Melayu Tionghoa yang disusun sejak tahun 2000 oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tidak diperhatikan sama sekali. Atau, kalaupun sudah diperhatikan, sama sekali tidak digubris, hanya dipandang sebelah mata saja. Dengan kata lain, Yudiono tidak (atau belum?) menganggap sastrawan peranakan itu sebagai warga sastra Indonesia. Ini sekaligus meyakinkan kita bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia memang harus selalu ditulis ulang. Karena, buku sejarah sastra terbaru pun masih memperlihatkan ketidakkompletan.

Sementara Keith Foulcher setidaknya telah melakukan penelitian mengenai sejarah sastra pada empat periode, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan, dan Revolusi Indonesia (1993), dan Social Commitment in Literature and The Arts: The Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965 (1986). Penelitian Foulcher ini sekaligus memperlihatkan bahwa persoalan sastra tidak bisa dipisahkan dengan masalah kebangsaan, nasionalisme. Ini sangat menarik karena, seperti kata Sapardi Djoko Damono, sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Ada sebuah bangsa, ada masyarakat, ada manusia yang melahirkan karya sastra yang merepresentasikan penulis dan bangsanya.

Apa yang dilakukan Braginsky dan Sikorsky sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang telah dilakukan para pakar tersebut. Saya mengemukakan kedua nama tersebut dengan harapan keduanya tidak dilupakan begitu saja dalam sejarah sastra Indonesia. Braginsky, misalnya, menerbitkan Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (1998). Buku tebal ini memperlihatkan ketekunan Braginsky selama puluhan tahun untuk mengungkap pemikiran nenek moyang bangsa Indonesia berupa naskah-naskah berbahasa Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Dari sekitar 10.000 naskah (angka yang fantastis bagi sebuah peradaban bangsa!) itu Braginsky merekonstruksi sejarah sastra Indonesia berbahasa Melayu dengan perspektif yang berbeda dengan yang dilakukan peneliti-peneliti Eropa.

Kerja keras Braginsky ini sama nilainya dengan ketekunan P.J. Zoetmulder yang menghimpun kembali pemikiran nenek moyang bangsa Indonesia yang tertulis dalam naskah-naskah lama berbahasa Jawa Kuno, yang terbit sebagai buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983). Dalam buku tersebut antara lain dibahas karya pujangga-pujangga Indonesia masa lalu, seperti Mpu Kanwa, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Monaguna, Mpu Triguna, Mpu Tantular, Mpu Prapanca, dan Mpu Tanakung.

Satu nama lagi yang cukup penting dalam sejarah sastra Indonesia adalah Sikorsky, yang saya kira berjasa sebagaimana Claudine Salmon, karena membuka perspektif baru dalam melihat sejarah sastra Indonesia melalui disertasi Pembentukan Sastra Modern Indonesia (1991). Jika Claudine Salmon mengajak kita untuk tidak menafikan karya sastra produk sastrawan Cina peranakan, maka Sikorsky membongkar mitos penggolongan sastra Indonesia zaman Balai Pustaka.

Menurut Sikorsky, selama ini pakar sastra seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin menggolongkan sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra, yakni bahasa Melayu tinggi. Penggolongan semacam itu menafikan karya sastra lainnya yang menggunakan bahasa Melayu rendah, seperti karya Semaun dan Mas Marco Kartodikromo. Kedua nama tersebut tidak tercantum dalam khasanah sastra Indonesia karena dianggap meracuni masyarakat, berbau komunis, dan mengandung pornografi. Padahal, penilaian itu menggunakan perspektif atau kacamata kolonial Belanda. Kalau menggunakan perspektif lain, kata Sikorsky, maka yang tampak adalah pencerahan, yakni pemikiran baru yang keluar dari batas-batas konvensi, yang berisi semangat Indonesia, karena mengandung antiimperialisme atau antikolonialisme.

Penggolongan sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Melayu tinggi tidak saja menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu rendah, tapi juga menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa daerah. Betapa banyak karya sastra yang tidak termasuk dalam khasanah sastra Indonesia hanya karena menggunakan bahasa daerah, seperti karya Ronggowarsito, misalnya, padahal message karya Ronggowarsito itu tetap “abadi” hingga kini. Semangat Indonesianya, yang antifeodalisme, sangat kentara dalam karya-karyanya. Sayang kalau karya sastra produk anak bangsa yang berbobot seperti itu luput dari perhatian para ahli sastra atau penulis sejarah sastra Indonesia.

Dalam konteks inventarisasi karya sastra Indonesia dan penerapan perspektif baru yang mencerahkan seperti itulah kita patut mencatat jasa Braginsky dan Sikorsky dalam sejarah sastra Indonesia. ***