oleh Asep Sambodja
Kalau kita mau jujur, barangkali Wiji Thukul adalah satu-satunya penyair yang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap sebuah rezim diktator Orde Baru. Hal ini tidak saja tampak dari aktivitasnya sebagai pelaku kebudayaan dalam Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) yang merupakan underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD)—sebuah partai politik yang lahir, dibesarkan, dan berbasis anak-anak muda yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko—tetapi juga terekspresikan melalui sajak-sajaknya. Salah satu sajaknya yang terkenal, “Peringatan”, yang memberi kesan mendalam pada seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir—yang juga meninggal karena diracun di atas peawat Garuda—menggoreskan kata-kata yang demikian berjiwa: hanya ada satu kata: lawan!
Meskipun Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup. Karena demikianlah sunatullah (hukum alam) yang berlaku di dunia kepenyairan: kata-kata yang dilahirkan oleh penyair akan panjang usianya dibandingkan dengan penyairnya itu sendiri. Chairil Anwar pernah menciptakan sebuah konsep “hidup abadi” dengan mengatakan, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Namun, usia Chairil Anwar tak juga mencapai 30 tahun, tapi kata-katanya masih tetap dikenang orang sampai sekarang. Demikian pula dengan Wiji Thukul yang menghasilkan puisi masterpiece berjudul “Peringatan” yang menunjukkan oposisi biner dan sekaligus berupaya meruntuhkan oposisi biner itu. Wiji Thukul menggambarkan posisinya sebagai penyair yang beroposisi dengan penguasa tiran/diktator. Kata-kata dalam puisi itu akan terus hidup dan digunakan tidak saja oleh pembaca sastra tapi juga oleh aktivis atau orang-orang pergerakan untuk melakukan resistensi terhadap rezim yang otoriter dan represif.
R. von der Borgh (1990) menemukan dua versi sajak “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul, yakni yang ditulis pada 1986 dan yang direvisi pada 1987. Revisi sajak “Peringatan” inilah yang menghasilkan kata-kata berjiwa tersebut: hanya ada satu kata: lawan! Dalam sajak versi pertama, kata-kata itu belum muncul. Sajak “Peringatan” edisi revisi ini sekaligus memperlihatkan kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul. R. von der Borgh mencatat bahwa kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul itu tidak terlepas dari pergaulan Wiji Thukul dengan budayawan-budayawan Jawa Tengah, teristimewa Halim H.D., yang membuka/memberi peluang bagi Wiji Thukul untuk memasuki wilayah sastra dan budaya Indonesia yang lebih luas. Halim H.D. pula yang berjasa memproklamasikan “sastra ngamen” dan “sastra gugat” ciptaan Wiji Thukul di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada September 1987.
Adapun kedua versi sajak “Peringatan” itu adalah sebagai berikut:
Peringatan (sebelum direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat berbisik-bisik
ketika berbicara
penguasa harus waspada
dan belajar mendengar
dan bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
bila rakyat patuh-patuh
penguasa harus mencari sebabnya
bila omongan penguasa tak ada yang membantah
kebenaran pasti terancam
bila usul ditolak
kritik dilarang
dengan dalih mengganggu keamanan
berarti penguasa sedang ketakutan
kekerasan pasti digunakan
maka berhati-hatilah
Peringatan (setelah direvisi)
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Solo, 1986
Jika kita bandingkan kedua versi sajak itu, tampak bahwa versi kedualah yang memperlihatkan vitalitas penyairnya yang tinggi. Sajak “Peringatan” itu diciptakan Wiji Thukul pada 1986 dan direvisi pada 1987, di saat rezim Soeharto masih sangat kokoh bercokol di kursi kekuasaan—sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang (oposisi) dalam sebuah negara demokrasi Pancasila. Kata-kata ciptaan Wiji Thukul yang terakhir itu seakan-akan menjelma mantera yang dapat memberi spirit bagi perjuangan para buruh dan mahasiswa demonstran, terutama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan.
Memang, Wiji Thukul bukanlah satu-satunya pejuang yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM), karena di luar wilayah sastra, atau tepatnya di kalangan pejuang HAM di Indonesia, kita juga mengenal Marsinah, Udin (Muhammad Syafruddin), Munir, Benjamin Mangkoedilaga, Baharuddin Lopa, Trimoelja D. Soerjadi, dan masih banyak lagi yang belum tercatat. Namun, di bidang sastra, terutama puisi, Wiji Thukullah yang pantas dikenang dan diberi penghargaan. Konsistensi perjuangannya dapat dikatakan menyamai perjuangan Si Burung Merak, Rendra.
Cerpenis Linda Christanty menggambarkan bagaimana Wiji Thukul dan Rendra sama-sama mendapat penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda karena karya-karya yang mereka hasilkan. Saat itu, hanya Rendra yang bisa berangkat ke Belanda. Penghargaan dan hadiah berupa sejumlah uang untuk Wiji Thukul pun dititipkan kepada Rendra. Namun, sampai Wiji Thukul hilang pada pasca kasus 27 Juli 1996, uang itu tidak pernah sampai kepadanya (Christanty, 2002).
Sementara perjuangan Wiji Thukul ibarat memperjuangkan kebenaran hakiki, atau perjuangan untuk mencapai splendor veritatis (‘cahaya kebenaran’) sebagaimana yang diungkapkan Y.B. Mangunwijaya (lihat Taum, 2002), yakni keadilan bagi sesama manusia tanpa memandang kelas sosial. Apa yang disuarakan Wiji Thukul dalam sajak-sajaknya adalah fakta sosial yang jarang atau tidak pernah diungkap bahkan oleh media massa Indonesia—terutama di masa Orde Baru.
Kemiskinan, ketidakadilan, jurang yang dalam antara si kaya dengan si miskin (ketimpangan sosial) diungkapkan Wiji Thukul dengan bahasa yang lugu, lugas, bahasa sehari-hari, bahasa yang sangat familier dengan keluarga, teman, atau masyarakat di sekitarnya. Harry Aveling (2003) menilai sajak-sajak Wiji Thukul seperti itu sebagai sajak yang keras dan konfrontasional. Hanya saja, karena bahasa semacam itu tertimbun oleh bahasa euphimisme yang menyelimuti bahasa Indonesia di zaman Orde Baru, maka bahasa yang digunakan Wiji Thukul itu menjadi bahasa yang unik. Beberapa sajak Wiji Thukul yang menurut saya mampu menggambarkan kenyataan dengan baik adalah “Sajak Suara”, “(Tanpa Judul)”, dan “Buron”. Keberhasilan Wiji Thukul itu dikarenakan ia menyuarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialaminya secara langsung. Dengan demikian, ia menyampaikan substansi tanpa bantuan orang kedua atau bantuan media/peralatan lain. Wiji Thukul tidak sekadar menyampaikan pesan, tapi ia adalah message itu sendiri.
Sajak Suara
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
(Tanpa Judul)
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
indonesia, 11 agustus 96
Buron
baju lain
celana lain
potongan rambut lain
buku yang dibaca lain
bahan percakapan lain
nama lain
identitas lain
ekspresi lain
menjadi
diri
sendiri
adalah tindakan
subversi
di negeri ini
maka
selalu siaga
polisi
tentara
hukum dan penjara
bagi siapa saja
yang menolak
menjadi orang lain
20 september 96
Gaya bahasa yang lugu seperti ini juga digunakan oleh penyair A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak kontekstualnya, seperti yang tampak dalam sajak “Rasanya Baru Kemarin” yang terdiri dari beberapa versi (Bisri, 2002). Demikian pula mengenai tema penyimpangan dan ketimpangan sosial juga mendapat tempat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang mutakhir, seperti “Tanah Airmata”, “Jembatan”, dan “David Copperfield, Realities ‘90” -- dalam Horison (1998) -- dengan penggunaan bahasa yang sangat canggih. Terlihat bahwa Sutardji Calzoum Bachri yang pada awal kepenyairannya (1974) mengeluarkan kredo puisi yang membebaskan kata dari beban makna atau ide, pada 1990-an telah menunjukkan perkembangan yang sebaliknya, yakni memberi makna pada setiap kata, seperti yang dilakukan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Tidak hanya itu, Sutardji Calzoum Bachri berusaha menggunakan puisi untuk menyampaikan pikirannya terhadap realitas sosial yang dibacanya.
Dengan demikian, kalau dikatakan Wiji Thukul hanya memperalat puisi untuk mencapai maksud tertentu (versi penguasa: kepentingan tertentu) maka tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena, bagaimanapun, kata, puisi, karya sastra, merupakan alat atau media ekspresi bagi sastrawan. Sama halnya dengan tentara yang menggunakan peluru, senjata, dan bom nuklir sebagai alatnya. Tinggal dilihat apakah alat itu digunakan dengan baik dan benar seperti pasukan keamanan PBB atau justru sebaliknya: alat itu digunakan untuk mengintervensi negara-negara kecil seperti Afghanistan, Irak, Palestina, Iran, dan Suriah, misalnya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul merepresentasikan dirinya sendiri sebagai seorang warga negara yang melarat di sebuah negeri yang subur. Apa yang berharga dari puisiku/ Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak/ Jika nasi harus dibeli dengan uang/ Jika kami harus makan/ Dan jika yang dimakan tidak ada? (“Apa yang Berharga dari Puisiku”). Dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Wiji Thukul mengingatkan bahwa ia tidak sedang membela rakyat. “Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri.” (Thukul, 1994).
Ia menyuarakan isi hati dan pikirannya secara apa adanya, lugu, dan jujur. Dan ketika ia bersuara secara lugu dan jujur, sehingga yang terbaca dalam puisinya adalah suara yang murni (otentik), maka yang terjadi kemudian adalah kecemasan penguasa. Ketika seorang warga negara sadar dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya, dan dia mengekspresikan kenyataan dirinya dan menolak penyeragaman, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kemapanan, menjadi the other, meskipun warga tersebut, dalam hal ini penyair Wiji Thukul, tidak berpretensi apa pun selain mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sendiri. Sejatinya, setiap orang berhak untuk memperbaiki nasibnya sendiri untuk menjadi lebih baik. Dalam hal Wiji Thukul, untuk memperbaiki nasibnya tersebut, ia mempertanyakan keadaan yang menghimpit hidupnya. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang bernasib lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan itu mengkristal menjadi kesadaran yang kemudian merangsangnya untuk melakukan perlawanan atau semacam gugatan terhadap ketidakadilan. Apakah nasib kita akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia (“Puisi Untuk Adik”).
Suara Wiji Thukul yang lugu, blokosuto (blak-blakan) ini kemudian dimaknai sebagai tindakan subversif oleh penguasa yang sangat selektif dalam menerima informasi. Bahkan kecenderungan penguasa tiran adalah menguasai informasi dan mengatur lalu lintas informasi itu. Makanya, ketika Wiji Thukul berpuisi dengan segenap kejujuran, hal itu dianggap sebagai upaya mendobrak arus kemapanan yang telah dipelihara oleh penguasa.
Harus diakui bahwa di tangan Wiji Thukul, kata-kata menjadi alat perjuangan untuk merontokkan sebuah rezim yang zalim. Ia bukanlah penyair sekadar—seperti yang disuarakan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah satu sajaknya. Dan, dalam kurun waktu satu-dua dekade, kita sudah bisa melihat runtuhnya sebuah rezim yang angkuh itu. Perhatikan sajak perlawanan seorang Wiji Thukul yang memposisikan dirinya sebagai kaum marginal yang berhadapan dengan penguasa berikut ini:
Bunga dan Tembok
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!
Solo, ’87 - ‘88
Sejak Soeharto naik menjadi Presiden RI, sejak perseteruan antara seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang beraliran realisme sosial, yang kontekstual—dengan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu)—yang beraliran humanisme universal, yang prinsip keseniannya l’art pour l’art—mulai reda, puisi di Indonesia memang sempat diramaikan dengan puisi-puisi lirik, puisi yang lebih banyak membicarakan kegelisahan atau kegalauan pribadi, seperti yang dipelopori Sapardi Djoko Damono (muda), Goenawan Mohamad (muda), dan mendapatkan tempat yang luas di majalah Horison periode awal. Karya-karya realisme sosial nyaris tidak mendapat tempat di media massa di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut situasi semacam itu sebagai “bandul yang berbalik arah”. Sebelum peristiwa G30S, kehidupan seniman Manikebu sangat nelangsa dan seniman-seniman Lekra berada di dalam orbit kekuasaan Soekarno (tua) yang cenderung diktator. Setelah peristiwa itu, suasananya nyaris berbalik 180 derajat. Bahkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang. Mahasiswa yang memperjualbelikan novel-novel Pram pun ditangkap. Tapi, di sisi lain, hal itu serta-merta menjadi karya subaltern, simbol perjuangan demokratisasi ataupun untuk melawan sebuah rezim.
Wiji Thukul, seorang anak muda yang menurut Arief Budiman (1994) mirip pedagang asongan, mengambil jalan lain. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh teman-temannya sendiri, menulis tentang kenyataan hidupnya sendiri. Ia pun membacakan puisinya ke kampung-kampung hingga ke kampus-kampus di dalam dan luar negeri. Dan, akhirnya kita lihat bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Jika Udin membongkar fakta money politics Bupati Bantul, Yogyakarta, dengan kepekaan jurnalistiknya, Wiji Thukul mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Keduanya sama-sama mengungkap fakta, dan keduanya sama-sama dilenyapkan. Namun, kata-kata sang penyair seperti memiliki sejarah hidup yang berbeda dengan penyairnya. Hanya ada satu kata: lawan!.
Bibliografi
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998.
Magelang: IndonesiaTera.
Bisri, A. Mustofa. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang.
Borgh, R. von der. 1990. “Puisi Wiji Thukul Wijaya”, dalam Tanah Air, Edisi No. 5,
Desember.
Budiman, Arief. 1994. “Wiji Thukul Penyair Kampung”, dalam Wiji Thukul, Mencari
Tanah Lapang. Leiden: Manus Amici.
Christanty, Linda. 2002. “Wiji Thukul, Seorang Kawan”, dalam Ini Sirkus Senyum.
Yogyakarta: Bumimanusia.
Majalah sastra Horison, No. 6 Juni 1998.
Taum, Yoseph Yapi. 2002. “Puisi-puisi Kerakyatan Wiji Thukul”, dalam Jurnal Puisi,
No. 10, Desember.
Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”, dalam Jurnal
Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November.
_____. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: IndonesiaTera.
Minggu, 31 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar