Jumat, 26 Februari 2010

Dari Diskusi Buku Dua Penyair Lekra di FIBUI Depok




oleh Asep Sambodja

Buku Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S. merupakan wakil dari sastra Indonesia yang hilang. Demikian pendapat Hilmar Farid dalam Diskusi Buku Dua Penyair Lekra yang diselenggarakan oleh Departemen Susastra FIB UI bekerja sama dengan IKSI FIBUI dan Penerbit Ultimus Bandung di Auditorium Gd. IV FIBUI pada Kamis, 25 Februari 2010. Lebih lanjut Hilmar Farid mengatakan, minimal dari dua buku puisi ini bisa dijadikan skripsi oleh mahasiswa. “Kalau bisa menjadi tesis akan lebih baik,” katanya. Sebab, “kehadiran sastra Lekra sekarang ini menjadi keping-keping sastra Indonesia yang hilang.”

Thomas Rieger, pengamat sastra Indonesia dari Jerman yang menghadiri acara diskusi ini menekankan perlunya kita membicarakan kembali kanon sastra Indonesia. Sebab, menurut Thomas, ada fenomena menarik bahwa yang menjadi arus utama (mainstream) dalam sastra Indonesia itu objeknya hanya secuil dari keseluruhan korpus (data) yang ada. Ia mempertanyakan, kok begitu banyak pengucilan di Indonesia. Selain sastra Lekra, yang mengalami pengucilan lainnya adalah sastra Melayu Tionghoa yang secara kuantitas jumlahnya banyak sekali, juga sastra picisan.

Thomas menjelaskan bahwa sastra picisan banyak ditulis oleh sastrawan-sastrawan yang juga wartawan pergerakan, karenanya mereka dimusuhi Belanda. “Ada sebuah disertasi mengenai Balai Pustaka, bahwa mereka secara terencana memberlakukan penerbitannya sebagai upaya politik yang sadar menentang nasionalisme. Mereka (Belanda) juga menerbitkan dongeng-dongeng Eropa, seperti Kucing Bersepatu Lars, tapi sudah dimanipulasi dari cerita aslinya. Dan dongeng ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia dan dipolitisasi. Jadi, memang ada kanonisasi kolonialisme. Sudah saatnya kita mengikis habis sisa-sisa kolonialisme,” urainya.

Wahyu Awaludin, mahasiswa Program Studi Indonesia yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengakui bahwa generasi seusia dia yang lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an tidak kenal dengan yang namanya Lekra. Ini disebabkan karena ada pihak yang mencoba menghilangkan atau menggelapkan sejarah. Ia sudah berusaha browsing di google dan twitter mengenai Lekra, namun informasi mengenai Lekra sangat minim. Demikian pula ketika ia mencari nama S. Anantaguna dan Sutikno W.S.

Fay, panggilan akrab Hilmar Farid, menjelaskan bahwa ketika ia masuk jurusan Sejarah FSUI (sekarang FIB UI) pada 1987, ia sudah mengenal Lekra, meskipun Lekra tidak diajarkan dalam sejarah sastra. “Saya cari bahan sendiri, karena saat itu buku-buku yang berbicara mengenai PKI, Lekra, kiri, dibekukan pemerintahan Orde Baru. Lekra memang tidak dikenalkan dan bahkan disingkirkan secara sistematis,” ujarnya. “Kenapa generasi sekarang tidak tahu, itu karena memang dibuat tidak tahu.”

Lilie Suratminto, dosen Program Studi Belanda, menyesalkan adanya pelarangan buku-buku Lekra. Ia menceritakan ketika masih duduk di Sekolah Dasar (SD), ia sudah disuruh gurunya membaca Atheis, Cerita dari Blora, Layar Terkembang, dan lain-lain. “Jadi, dulu kami membaca karya-karya para sastrawan dari kelompok manapun, dan saya merasa bahwa semuanya berisi hal-hal yang baik,” katanya. “Sayang sekali kalau sekarang ini hal-hal yang semacam itu masih dilarang.”

Menurut Fay, sastra Indonesia tidak utuh kalau tidak membicarakan sastrawan Lekra. Demikian pula sastra Indonesia sebelum perang tidak akan utuh kalau tidak membicarakan Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan lain-lain. Lebih lanjut Fay mengatakan bahwa puisi-puisi Anantaguna dan Sutikno W.S. memiliki kekuatan. “Ada semacam the power of writing. Puisi-puisi yang lahir di penjara itu memiliki kekuatan dengan sendirinya.”

Fay melihat bahwa kedua penyair Lekra itu menulis puisi di penjara antara lain untuk menghibur diri mereka sendiri. Mereka ditahan, tidak diadili, tidak dijatuhi hukuman. Dan, begitu dilepaskan dari penjara hanya diberi selembar kertas yang menyatakan mereka tidak terlibat G30S. “Makanya puisi-puisi ‘Hari-hari Tak Punya Siang’ terasa begitu kuat. Saya yakin mereka menulis puisi tidak berharap mendapat hadiah sastra. Mereka hanya berdialog dengan diri mereka sendiri. Puisi-puisi ini merupakan kesaksian yang jujur,” tegas Fay.

Sunu Wasono yang menyoroti teks kedua penyair itu menemukan kekuatan puisi-puisi itu meskipun tidak dikaitkan dengan konteksnya. “Puisi ‘Nyanyian dalam Kelam’ menjadi semacam pendirian Sutikno W.S. dalam berpuisi. Sementara puisi-puisi Anantaguna memperlihatkan keberagaman bentuk,” ujarnya.

Sunu menilai puisi-puisi Lekra semacam ini perlu diterbitkan ulang, agar generasi muda bisa mengenal sastrawan-sastrawan Lekra kembali. Ia menceritakan bahwa ketika bekerja di PDS HB Jassin pada tahun 1980-an, ia memang pernah melihat adanya surat edaran dari Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)—sekarang Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)—yang isinya berupa seruan agar buku-buku kiri disingkirkan.

Putu Oka Sukanta sebagai moderator diskusi ini mengingatkan bahwa dulu pada 1960-an kesenian dan kebudayaan Indonesia pada umumnya menjadi besar bukan karena Lekra, melainkan karena kebudayaan Indonesialah yang besar, kesenian rakyatlah yang tumbuh, dan Lekra hanya menjadi pendorongnya. “Jadi, jangan menganggap bahwa dulu kesenian dan kebudayaan Indonesia itu besar karena Lekra. Bukan, nanti kita jadi ge-er.”

Putu yang juga seorang penyair yang merangkap sebagai ahli akupunktur ini menjelaskan bahwa setidaknya sastrawan Lekra itu sudah dibunuh tiga kali. Pertama, pasca peristiwa G30S, sastrawan Lekra dibunuh. Kalau tidak dibunuh, ditahan. Kedua, buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang. Ketiga, selamanya mereka menjadi tahanan, karena tidak pernah diadili. Dan, begitu bebas karena tidak terlibat G30S, KTP mereka harus dicap ET (eks tapol).

Putu juga memberi catatan, perlu ada penelitian lebih dalam lagi mengenai empat hal. Pertama, kenapa Lekra didirikan. Kedua, kenapa mereka memakai paham seni untuk rakyat. Ketiga, apa itu semboyan 1-5-1. Keempat, bagaimana hubungan antara Lekra dengan PKI.
Acara diskusi ini dimeriahkan dengan pemutaran film Tjidurian 19 karya sutradara Lasja F. Susatyo dan Muhammad Abduh Aziz, pertunjukan KIPAS (koreografer Madia Patra), pembacaan puisi Kinanti Munggareni, dan musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI. Sasina memusikalisasikan puisi “Lagu Tanpa Nada” karya S. Anantaguna dan “Dari yang Selalu Menjalinku” karya Sutikno W.S.

Hadir dalam diskusi ini adalah penyair S. Anantaguna, Sutikno W.S., Syarkawi Manap, Sudjatmiko, Svetlana Dayani, Koesalah Subagyo Toer, Truly Hitosoro, Bilven Sandalista, Melody Violine, I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, dan ratusan pengunjung yang memenuhi ruang auditorium.

Citayam, 25 Februari 2010
Asep Sambodja

Rabu, 17 Februari 2010

Membaca Arahmaiani




oleh Asep Sambodja


Cita-cita

Waktu kecil aku ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak bisa!
Anak perempuan boleh meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma atau ke Cina
Mendapat gelar terhormat
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai nabi
Itu hanya untuk anak lelaki

Sesudah dewasa
Aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang: kapan-kapan saja
Sebab keinginanku untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus punya lelaki
Mestilah ia seseorang yang
Ingin jadi tuhan


Yogyakarta, 2002
Arahmaiani

Arahmaiani adalah seorang seniman tulen. Seluruh tubuh dan ide yang bersarang di kepalanya adalah senjatanya untuk menciptakan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi. Dobrakan pertama yang dilakukannya adalah ingin menjadi nabi. Ia bercita-cita menjadi nabi. Karena, sejak Nabi Muhammad diyakini sebagai nabi terakhir, maka tertutuplah peluang bagi perempuan untuk menjadi nabi. Karena, seluruh nabi adalah laki-laki. Kenyataan seperti ini rupanya menggelisahkan seorang Arahmaiani. Kenapa Tuhan tidak memberi kepercayaan kepada perempuan untuk menjadi nabi? Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang mengemuka dalam benak sebagian perempuan.

Sang Bapak, figur laki-laki, mengatakan: Tidak boleh! Perempuan tidak boleh menjadi nabi, meskipun masih dalam taraf cita-cita. Karena bercita-cita ingin menjadi nabi, sang perempuan juga berkeinginan kelak ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan. Meskipun bahasa yang digunakan Arahmaiani sangat lugas, saya melihat adanya dua kemungkinan interpretasi terhadap bagian akhir puisi ini. Pertama, keinginan untuk menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan menunjukkan ambiguitas sang perempuan itu, bahkan seperti ada bias gender. Semula ia ingin menjadi nabi agar sejajar dengan laki-laki. Namun, kemudian, ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan, yang berarti posisi laki-laki itu tetap lebih superior dibandingkan dengan posisi perempuan, meskipun kelak ia menjadi nabi.

Kedua, hal itu bisa ditafsirkan sebagai laki-laki yang berkeinginan untuk mencapai tingkat kesalehan yang tinggi, mencapai kemakrifatan atau manunggaling kawulo-gusti sebagaimana pengalaman Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, atau Al Hallaj. Interpretasi kedua atas “ingin jadi Tuhan” ini adalah cita-cita untuk menggapai sifat keilahian. Dengan demikian, lelaki yang memiliki sifat keilahian itu mampu mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan dalam perilakunya, dalam kehidupannya.

Puisi ini secara tegas mendobrak oposisi biner yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki; melawan larangan sang bapak yang mengatakan nabi hanya untuk laki-laki. Di sisi lain, sang perempuan tetap mengidolakan laki-laki yang “lebih tinggi” nilainya dari dirinya. Kalau sang laki-laki hanya bercita-cita jadi nabi, maka hal itu menjadi tak istimewa lagi bagi sang perempuan. Karenanya, ia menginginkan laki-laki yang lebih tinggi posisinya.

Saya melihat, memang pada awalnya ada pemberontakan yang cukup mengejutkan dari seorang Arahmaiani. Namun, di ujung perjuangannya itu secara tak sadar (atau malah secara sadar?) ia sepertinya tetap mengukuhkan dominasi laki-laki.

Saya sekadar ingin menambahkan catatan ringkas saya ini: meskipun para nabi itu semuanya laki-laki, namun ibu dari para nabi (kecuali Nabi Adam) itu adalah perempuan.

Citayam, 17 Februari 2010
Asep Sambodja

Sabtu, 13 Februari 2010

Setelah Bertemu Ibrahim, Moses Menjadi Mohammed



Setelah Bertemu Ibrahim, Moses Menjadi Mohammed:
Konstruksi Identitas dalam Monsieur Ibrahim karya Eric-Emmanuel Schmitt

oleh Asep Sambodja dan Hendra Kaprisma

Konstruksi menjadi istilah penting untuk memahami identitas melalui kaca mata kajian budaya. Hubungan antara dunia dan sistem simbolik secara kritis dibongkar agar dapat dipahami secara mendalam. Kepentingan serta strategi kebudayaan dipandang sebagai konstruksi yang membentuk definisi identitas. Eksplorasi terhadap masalah-masalah persepsi dan pengetahuan tidak dapat terlepas dari pengertian ideologis dan politis. Masyarakat turut berperan dalam menciptakan makna yang berlaku, sebagaimana dipaparkan Benedict Anderson (1983: 15), “Communities are to be distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which they are imagined.” Dalam hal ini, citra memainkan peran penting untuk membentuk identitas. Citra menopang sebuah ideologi budaya, yaitu citra tentang realitas yang diciptakan oleh budaya untuk melegitimasi dirinya sendiri dan untuk memproduksi identitas tertentu bagi subjek-subjeknya. Citra tidak merefleksikan dunia, melainkan membentuknya menurut syarat-syarat tertentu (Cavallaro, 2001: 73). Oleh karena itu, identitas yang saat ini tampak bukanlah sebuah hakikat atau substansi yang final (Hall, 2003: 99). Hal tersebut yang menjadi konsep acuan dalam menganalisis novel Monsieur Ibrahim and the Flowers of the Koran karya Eric-Emmanuel Schmitt (2003).
Dalam novel ini dikisahkan persahabatan antara Moses (yang biasa dipanggil Momo) dengan Monsieur Ibrahim. Persahabatan ini terjalin begitu saja karena Momo sering belanja dan mengutil di toko kelontong milik Monsieur Ibrahim. Apa yang menyebabkan kedua orang itu bisa bersahabat meskipun usia mereka jauh berbeda? Salah satu penyebabnya adalah sifat kebapakan yang diperlihatkan oleh Monsieur Ibrahim. Ayah Momo adalah seorang pengacara yang sibuk, sehingga tidak sempat memperhatikan Momo. Karena itulah sikap kebapakan
Monsieur Ibrahim bisa menggantikan keberadaan ayahnya.
Dalam novel yang sarat humor ini, Eric-Emmanuel Schmitt yang memiliki latar belakang Yahudi memberikan warna identitas yang sangat jelas. Momo adalah anak 16 tahun keturunan Yahudi totok. Sementara Monsieur Ibrahim, kalau dilihat perawakannya, adalah keturunan Arab. Tapi, kepada Momo, Ibrahim mengatakan, “I’m not an Arab, Momo. I’m a Muslim.” Dialog-dialog yang meluncur dari kedua tokoh itu memperlihatkan bahwa pengarang ingin menghadirkan dialog terbuka antara Momo yang merepresentasikan Yahudi dan Monsieur Ibrahim yang merepresentasikan Islam. Dalam novel itu, Schmitt juga memperlihatkan adanya kesamaan antara Monsieur Ibrahim dengan Ayah Momo; sama-sama unik dan sama-sama merasa terasing.
Sebagai seorang keturunan Arab, Monsieur Ibrahim tinggal dan berdagang di perkampungan Yahudi di Rue Bleue. Artinya, ia tidak hidup di lingkungan muslim. Bahkan, ketika Momo mengatakan, “I thought that Muslims didn’t drink alcohol.” Ibrahim menjawab, “True, but I’m a Sufi.” Ini berarti bahwa seorang sufi tidak mengikuti aturan atau hukum syariat yang ketat sebagaimana yang diyakini kebanyakan kaum muslim lainnya. Bahkan, ketika menari tekke, Ibrahim menyebutnya sebagai ibadah; karena saat menari itu Tuhan merasuk dalam dirinya.
Sementara Ayah Momo merepresentasikan keturunan Yahudi yang termarginalkan. Menurut Ayah Momo, “Being Jewish is merely having memories. Bad memories.” Peristiwa pembantaian orang-orang Yahudi oleh NAZI Jerman tampaknya meninggalkan trauma yang luar biasa. Dan karena itu, ketika Momo bertanya apakah Ayahnya percaya pada Tuhan, dia menjawab, “No, I’ve never managed to believe in God.”
Kesamaan lain tokoh Monsieur Ibrahim (Islam-sufi) dengan Ayah Momo (Yahudi-totok) adalah keduanya dimatikan oleh sang pengarang. Ayah Momo mati bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta di daerah Marseille. Kemungkinan besar penyebab dirinya bunuh diri adalah pertama, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai lawyer. Kedua, ia masih trauma dengan kematian kedua orangtuanya; yang ketika itu dibawa pergi dengan kereta dan tak pernah kembali.
Tokoh Monsieur Ibrahim yang banyak memberikan pelajaran hidup kepada Momo juga mati karena usianya yang sudah tua. Pelajaran pertama dan utama yang diberikan kepada Momo adalah tersenyum. Ternyata, dengan tersenyum itu pula Momo seperti menjalani hidup barunya. Segalanya banyak yang berubah setelah ia banyak tersenyum, meskipun semula ia meragukan bahwa senyum itu hanya untuk orang-orang kaya saja, serta orang yang tersenyum adalah orang yang bahagia. Monsieur Ibrahim mengajarkan bahwa senyumlah yang membuat orang bahagia, bukan sebaliknya.
Selain itu, segala tindak-tanduk Monsieur Ibrahim seringkali disebutnya berdasarkan Alquran yang dihayatinya. Ia sangat yakin bahwa hidup dan matinya sudah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alquran. Ini pula yang membuat Momo merasa penasaran. Demikian pula pelajaran mengenai kebersahajaan cinta. Bahwa “Your love for her belongs to you. It’s yours. Even if she refuses it, she cannot change it. She isn’t benefiting from it, that’s all. What you give, Momo, is yours forever. What you keep is lost for all time!
Setelah kematian ayahnya, Momo didatangi oleh ibunya (yang lama cerai dengan ayahnya dan sudah kawin lagi). Ketika sang ibu menanyakan identitasnya, Momo mengatakan, “They call me Momo. It’s a diminutive for Mohammed.” Ini bisa ditafsirkan bahwa setelah Ayah Momo (Yahudi) meninggal, dan setelah ia cukup lama bergaul dengan Monsieur Ibrahim (Islam-sufi), ia secara sadar (mungkin juga secara bergurau) mengubah identitasnya menjadi seorang Mohammed. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengambilan posisi (identitas) adalah “perang budaya” yang tak berujung. Ketegangan dilematis antaridentitas kerapkali didramatisasi melalui representasi yang problematic tentang sisi-sisi “lain” dalam konstruksi kebudayaan. Definisi identitas budaya menjadi kompleks dengan berbagai pertarungan makna yang terjadi. Proses pendefinisian identitas, baik individu maupun kelompok, bukanlah suatu esensi yang tetap, melainkan suatu pengambilan posisi. Pengambilan posisi tersebut tidak pernah selesai, sebagaimana dikatakan Hall (2003: 99), “…it is true that those positionalities are never final, they’re never absolute.
Identitas Moses telah hilang dan berganti Mohammed yang bisa menerima adanya perbedaan. “Moses left, Madame. He’d had enough of all of this. He didn’t have any good memories.” Kenapa pengarang akhirnya menghilangkan identitas Moses alias Momo di hadapan ibunya? Kenapa Ayah Momo mengidealkan anak laki-laki bernama Popol? Padahal, menurut ibunya, “I never had a child before Moses. I never had any Popol.” Siapakah Popol—manusia sempurna—yang diidolakan Ayah Momo? Bisa jadi itu merupakan obsesi Ayah Momo semata.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengarang mematikan Monsieur Ibrahim (Islam) dan Ayah Momo (Yahudi) dan membiarkan Momo tetap hidup dengan identitas barunya: Mohammed, keturunan Yahudi yang bisa menerima dan memahami Islam. Paling tidak bisa memahami nilai-nilai keislaman. Karya Eric-Emmanuel Schmitt ini merupakan karya sastra multikultural yang memberikan makna baru bagi keberagaman dan kemanusiaan. Perspektif multikultural tersebut merupakan wujud perlawanan terhadap stereotip-stereotip konstruksi sosial budaya yang rasis dan esensialis. Pengarang memperlihatkan percampuran budaya, toleransi, dan identitas yang majemuk untuk mengatasi fanatisme agama, ras, dan kelompok tertentu. Hal itu diperlukan guna menyoroti perspektif monokultural yang dianggap kodrati oleh fanatisme kelompok masyarakat tertentu, yang sebenarnya adalah konstruksi. Dalam hal tersebut, karya sastra merupakan strategi toleransi untuk melihat keberagaman budaya sebagai identitas yang cair dalam masyarakat.

Daftar Acuan
Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. London and New York: Verso.
Cavallaro, Dani. 2001. Critical and Cultural Theory. London dan New Brunswick, NJ: The Athlone Press.
Hall, Stuart. 2003. “Cultural Studies and Its Theoritical Legacies,” The Cultural Studies Reader (ed. Simon During). London dan New York: Routledge.
Schmitt, Eric-Emmanuel. 2003. Monsieur Ibrahim and the Flowers of the Koran. Trans. Marjolijn de Jager. New York: Other Press.