Selasa, 30 September 2008

Membaca Kembali 30 September 1965

oleh Asep Sambodja



* Saya memerankan tokoh iblis dalam lakon "Perempuan di Persimpangan Abad" yang dimainkan Teater UI dalam acara Malam Puisi Nusantara di Panggung Seni Universiti Kebangsaan Malaysia, 16 Agustus 2008. Saya bertindak sebagai sutradara, penulis naskah, dan pemain. Para pemain lainnya yang mendukung pementasan ini adalah Ika Pratiwi, Dhini Hidayati, Zahratun Mutmainah, dan Dwi Siti Aisyah. Fotografer: Haris Setia Bangsawan. Donatur: Aulia Akbari (merangkap penata cahaya).

* Press Release yang saya kirim dan dimuat di Kompas.com:


Teater UI akan mementaskan monolog “Perempuan di Persimpangan Abad” di Malaysia pada 16 Agustus 2008. Pementasan itu digelar dalam acara Malam Puisi ASEAN 2008 yang diselenggarakan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di Panggung Seni UKM, Bangi, Selangor, Malaysia.
Lakon “Perempuan di Persimpangan Abad” ini diilhami oleh esai Benedict Anderson yang berjudul “Petrus Dadi Ratu” di majalah Tempo No. 6, Tahun XXIX, edisi 10-16 April 2000 dan buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia yang terbit pada 2007. Lakon tersebut bercerita tentang perempuan-perempuan korban perkosaan para serdadu pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965.
Berdasarkan testimoni perempuan-perempuan yang luput dari maut dan sakit jiwa itulah dibuat monolog “Perempuan di Persimpangan Abad” oleh Asep Sambodja, yang juga menyutradarai pertunjukan ini. Selain itu, lagu “Genjer-genjer” yang dinyanyikan Bing Slamet dan “Jalang” yang dinyanyikan grup musik Efek Rumah Kaca memberi ruh lakon ini. Adapun pemain yang memperkuat “Perempuan di Persimpangan Abad” adalah Ika Pratiwi, Zahratun Mutmaina, Dhini Hidayati, dan Dwi Siti Aisyah.
Pementasan ini sekaligus mencermati sejarah tergelap bangsa Indonesia yang terjadi pada 1965-1966. Dalam peristiwa tersebut, pasukan pengamanan Presiden Soekarno, yakni Pasukan Cakrabirawa melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira tinggi Angkatan Darat (yang disebut Dewan Jenderal oleh Pasukan Cakrabirawa) di Lubang Buaya, Jakarta. Setelah peristiwa itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dari peristiwa penculikan dan pembunuhan itu, melakukan aksi penumpasan terhadap pelaku pembunuhan itu. Soeharto mengklaim Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar keempat di Indonesia saat itu, berada di balik peristiwa berdarah itu. Dengan demikian, ia menuntut partai itu dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian bukan saja penangkapan dan pembunuhan terhadap elite-elite politik PKI, tetapi juga melukai seluruh anggota partai hingga ke “akar-akar”-nya.
Mereka yang tidak terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal itu juga menjadi korban. Banyak di antara mereka yang mati, masuk penjara tanpa diadili, dan gila. Nah, di antara korban itu ada yang masih bisa bertahan hidup hingga sekarang. Merekalah yang memberi pengakuan, karena perkosaan yang mereka alami tidak mungkin hilang dari ingatan. Pementasan monolog ini juga bisa ditafsirkan sebagai upaya “melawan lupa”.
Sebelumnya, pada acara Malam Puisi ASEAN yang digelar pada 30 Juli 2005, Teater UI mementaskan dramatisasi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri, dengan sutradara Anwari Natari.



* Puisi yang didramatisasi:


PEREMPUAN DI PERSIMPANGAN ABAD


I

pada sebuah kalender
1965
Indonesia bermandi darah
Indonesia berdarah-darah

Jenderal-jenderal itu diculik dan dibunuh
Di lubang buaya

Bagai angin ribut
Badai itu datang
Badai itu datang
Badai itu datang

Siapa yang berani menyanyi
Pasti akan dikebiri...
Siapa yang berani menari
Pasti akan dieksekusi...


II

Genjer-genjer nang kadokan pating keleler...
Mboke tole teko-teko mbubuti genjer...

Aku Yanti, 14 tahun
Masih SMP
Aku tak tahu apa itu politik
Aku tak tahu apa itu dwikora
Yang aku tahu
Aku hanya mengikuti seruan Bung Karno
Kepada seluruh rakyat Indonesia
Untuk berlatih baris-berbaris
di lubang buaya

Di pagi buta
Para serdadu itu menangkapku
Dan menelanjangiku
Di tengah lapang

Setiap diinterogasi
Aku selalu menjawab tidak tahu
Karena benar-benar tidak tahu
Tapi mereka justru menyetrum
Kemaluanku
Hingga kuterjengkang
Dengan beringas
Mereka memperkosaku
Bergiliran

Aku Yanti, 14 tahun
Dipaksa mengatakan “ya”
Untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan

+ Apakah kamu yang membunuh jenderal-jenderal itu?
-- ya
+ Apakah kamu yang mencongkel-congkel mata mereka?
-- ya
+ Apakah kamu yang mengiris-iris penis mereka?
-- ya
+ Apakah kamu yang menyiksa sambil menari talanjang?
-- ya
+ Apakah kamu yang membuang mereka ke lubang buaya?
-- yaaaaaaaaaaaaaaaaa!

Lalu media massa
Memberitakan mitos
Yang tak pernah kulakukan itu

Dan sejarah mencatatnya!

Sebelum aku mati
Aku ingin sekali bertemu
Dengan keluarga para jenderal itu

Aku ingin mengatakan satu:
Bahwa aku bukan pembunuh jenderal-jenderal itu
Apalagi mengiris-iris kemaluan mereka!
“Bukan aku pembunuhnya...
Bukan aku...”


III

Aku Sudarsih
Ketika ditangkap, aku mahasiswa UGM tingkat akhir,
jurusan sastra Inggris
Aku aktif di organisasi mahasiswa CGMI

Ketika jenderal-jenderal itu dibunuh di lubang buaya Jakarta
Aku berada di Kertosono,
Kota kecil di Jawa Timur

Jelas, aku tidak terlibat dalam pembunuhan itu
Tapi serdadu-serdadu itu menangkapku
Dan aku dimasukkan ke penjara Solo

Dan tahu,
Apa yang terjadi di penjara Solo?

Setiap hari aku diperkosa
Dan saking banyaknya serdadu yang memperkosaku
Tak satu pun wajah pemerkosa itu yang kuingat
Tak satu pun!

Setiap dipanggil untuk “bon malam”
Aku sengaja tidak memakai celana dalam
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Tidak perlu!

Karena aku tahu,
aku dipanggil untuk melayani nafsu seksual
Serdadu-serdadu biadab itu

Begitu masuk kamar pemerkosa itu,
Aku langsung telentang
Aku mematikan seluruh inderaku
Aku tak mau melihat
Aku tak mau mendengar
Aku tak mau merasakan
Karena hanya dengan cara itulah aku bisa melawan mereka!

Setiap mandi,
Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri....

Tapi, masih ada yang lebih menderita dariku
Namanya Prasti, temanku di penjara Solo
Ia baru saja melahirkan ketika ditangkap
Bayinya pun belum berumur seminggu ketika ia ditangkap

Hampir setiap hari ia diperkosa
Dan itu selalu mengakibatkan pendarahan hebat

Setelah kami sama-sama melayani nafsu seks para serdadu itu
Kami saling bertukar rasa sakit
Kami saling mengusap kepedihan
Dan penderitaan kami
Hingga timbul kasih sayang

Sungguh, aku tak tahu apa itu lesbian
Yang pasti aku mencintai Prasti

Di satu sisi, kami muak
Dan benci pada laki-laki

Di sisi lain, kami ingin
Mengembalikan harkat dan martabat kami
Sebagai perempuan
Sebagai manusia!


IV

Sejak 1965
Aku tak lagi suka menari
Meski menari adalah ruh dan jiwaku

Ya, aku tumbuh menjadi seorang penari istana
Aku sering menari di depan Bung Karno,
Atau di acara ulang tahun partai-partai politik
Dan organisasi massa

Aku jatuh cinta pada Nyoman
Seorang pemuda biasa yang pandai menari
Meski Nyoman dari kalangan sudra
Dan aku bangsawan, aku tetap cinta padanya
Meski adat tak bisa menerima
Aku tetap cinta padanya
Hingga aku dan Nyoman kawin lari

Meski kami hidup sederhana,
kami bahagia

Setelah jenderal-jenderal itu dibunuh
Di lubang buaya, Jakarta
Suara-suara itu sampai juga di Bali
Suara-suara itu membuyarkan ketenangan kami

+ Nyoman, keluar kau! Hei, PKI, keluar kau!
+ Bakar saja! Bakar saja rumahnya kalau dia tak mau keluar!

Suara-suara itu menusuk jantung kami
Aku takut
Aku sembunyi di semak-semak belakang rumah
Suara-suara itu benar-benar berbisa

Nyoman mati
Kedua mertuaku mati
Tombak menancap di dada mereka
Dan rumahku ludes terbakar

Aku berusaha mengecilkan tubuhku sekecil-kecilnya
Agar tak melihat kebiadaban itu
Tapi mereka menangkapku

Aku ditangkap
Ditelanjangi
Diarak keliling kampung
Tanpa sehelai benang pun!

Aku diikat di tiang Balai Desa
Tanpa baju
Tanpa makan
Tanpa minum
Tanpa kawan...

Sendiri

Lalu aku diinterogasi
Di pos keamanan
Aku disuruh menari
Karena mereka tahu aku penari

Aku disuruh menari di atas meja
Dalam keadaan telanjang

Gusti, apa arti manusia?

Aku menari
Tanpa hati

Dan tangan-tangan busuk para serdadu itu
Terus menggerayangiku
Setiap tepisan tangan yang kulakukan
Setiap kata “tidak” yang keluar dari mulutku
Berarti mati bagi tawanan lain

Ah, menari!

Aku kemudian dibebaskan
Karena terbukti aku tak bersalah

Aku Darmi
Aku hanya penari
Aku ditangkap dan disiksa
Karena suamiku PKI

Kini, setiap mendengar gamelan Bali
Jiwaku ingin menari-nari
Tapi, seketika itu juga aku membayangkan
Kebiadaban yang tak terkira...


V

Sejarah tak pernah mencatat
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
...


Catatan: Puisi ini terinspirasi dari buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 karya Ita F. Nadia. Naskah ini telah didramatisasi oleh Teater UI dan dipentaskan di Panggung Seni Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor, Malaysia dalam acara Malam Puisi Nusantara, 16 Agustus 2008. Terima kasih kepada Efek Rumah Kaca karena lagunya yang berjudul “Jalang” dikutip dalam puisi ini. ***

Selasa, 23 September 2008

Kontroversi KLA 2008

oleh Asep Sambodja


Pada 20 September 2008, saya mendapat email (dari milis Apresiasi Sastra), yang berisi pengumuman hasil seleksi tahap pertama (Longlist) Khatulistiwa Literary Award 2008 dari Panitia KLA 2008. Ada 10 nomine di bidang prosa dan 10 nomine di bidang puisi.
Kesepuluh nomine di bidang prosa adalah Danarto (Kacapiring), Junaedi Setiyono (Glonggong), Dyah Merta (Peri Kecil di Sungai Nipah), Ayu Utami (Bilangan Fu), Mohamad Sobary (Sang Musafir), Mashuri (Hubbu), Lan Fang (Lelakon), E.S. Ito (Rahasia Meede), Helvy Tiana Rosa (Bukavu), dan Arswendo Atmowiloto (Blakanis).
Sementara 10 nomine di bidang puisi adalah Saut Situmorang (Otobiografi), Oka Rusmini (Pandora), Afrizal Malna (Teman-temanku dari Atap Bahasa), Sutardji Calzoum Bachri (Atau Ngit Cari Agar), M. Aan Mansyur (Aku Hendak Pindah Rumah), Binhad Nurrohmat (Demonstran Sexy), Nirwan Dewanto (Jantung Lebah Ratu), Hasan Aspahani (Orgasmaya), Wendoko (Sajak-sajak Menjelang Tidur), dan trio Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi (antologi puisi Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan). Pemenang utama masing-masing genre yang akan menerima uang Rp 150 juta itu akan diumumkan di Atrium Plaza Senayan, Jakarta Selatan, pada 13 November 2008.
Pada keesokan harinya, 21 September 2008, saya mendapat email (dari milis Penyair), yang berupa press release yang berisi penolakan Saut Situmorang atas Khatulistiwa Literary Award. Yang menarik dari rilis itu adalah, pertama, Saut Situmorang memperlihatkan sikapnya yang tegas, apa yang dilakukannya sesuai dengan ucapannya. Artinya, manusia ini tidak mencla-mencle. Jelas dan tegas. Kedua, penolakan itu disertai alasan-alasan yang cukup kritis, bahkan cenderung tajam.
Sebelumnya, melalui short message service (SMS), Saut Situmorang juga mengkritik tajam Sutardji Calzoum Bachri yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award 2008 dan mengantongi uang Rp 150 juta. Saya kira kenapa Saut Situmorang mengkritik Sutardji demikian keras cukup jelas alasannya, yakni penyandang dana Ahmad Bakrie Award adalah Aburizal Bakrie, pemilik PT Lapindo Brantas Inc., sebuah perusahaan yang kini menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo, Jawa Timur, karena tiga desa dan 15 pabrik tertutup lumpur—yang kini dinamai Lumpur Lapindo.
Uang dan idealisme. Itulah persoalan utamanya. Apakah kita akan memilih uang dengan mengabaikan idealisme? Atau kita akan mempertahankan idealisme dengan risiko miskin karena tak punya uang? Setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan ekstrem itu. Tapi, dunia tidak hitam putih. Manusia bahkan memiliki kebebasan untuk tidak memilih pilihan itu, meskipun pilihannya hanya dua.
Ada enam sastrawan yang telah menerima Ahmad Bakrie Award sejak penghargaan itu diberikan pada 2003, yakni Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kasus Lumpur Lapindo mencuat pada 2006, kegamangan antara menerima atau tidak menerima penghargaan berupa uang Rp 150 juta dari keluarga Bakrie itu mulai terjadi. Hal ini dirasakan Putu Wijaya dan juga Rendra, yang dalam pidato penganugerahannya tetap mengkritik tajam keluarga Bakrie agar bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo. Sementara Sutardji Calzoum Bachri, yang pada tahun yang sama juga menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Bintang Budaya Parama, menerima penghargaan itu dengan alasan ia tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh orang lain atau oleh suatu institusi.
Saya bersimpati dan mungkin juga berempati kepada para sastrawan yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award, karena sejauh ini nyaris tidak ada lembaga resmi yang memperhatikan nasib dan kehidupan sastrawan. Karya besar Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri mungkin hanya menghiasi ruang perpustakaan semata. Mereka tidak diperhatikan nasibnya oleh Negara, meskipun jasa mereka dalam memperkaya kebudayaan Indonesia demikian besar. Ketika ada lembaga yang memberi penghargaan dengan jumlah materi yang besar, dalam hati saya bersyukur, masih ada yang memperhatikan karya dan nasib sastrawan.
Sutardji berpegang pada apresiasi. Ya, apresiasi. Sastrawan tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh pembaca, siapa pun pembaca itu. Apakah dicaci-maki atau diberi uang jutaan rupiah. Keduanya merupakan wujud dari apresiasi.
Tapi, dunia ini tidak akan menjadi indah kalau tidak ada orang seperti Romo Frans Magnis-Suseno. Siapa pun yang memiliki hati nurani, pasti akan memberi hormat yang luar biasa pada Romo Magnis. Saya pun menaruh hormat yang dalam pada Romo Magnis, yang sama tingginya dengan hormat saya pada Romo Y.B. Mangunwijaya, penulis Burung-burung Manyar yang membela masyarakat girli di Kali Code Yogyakarta dan masyarakat korban pembangunan Waduk Kedungombo.
Kepada Sutardji, saya berempati, karena saya sadar, bahwa nama besar tidak selamanya diikuti dengan kemakmuran. Memilih penyair, sastrawan, dramawan, atau seniman sebagai profesi merupakan pilihan gila, karena dilihat dari perspektif ekonomi sama sekali tidak produktif. Jasa sastrawan besar, tapi tidak diberi reward yang besar pula. Itulah yang saya katakan nasib. Kalau sekarang Sutardji dapat Rp 150 juta, artinya nasib baik sedang berpihak kepada penyair. Mungkin dia bisa hidup 100 bulan lagi.
Kepada Romo Magnis, saya bersimpati, karena pelajaran yang Romo Magnis dan Romo Mangun berikan kepada saya itu sangat mahal harganya. Sama sekali tidak terukur dengan uang. Jauh lebih tinggi nilainya dari Rp 150 juta.
Saya sebenarnya juga bersimpati pada KLA (yang mulai hadir pada 2001). Apa dasarnya? Karena penghargaan yang diberikan lembaga yang dikomandoi Richard Oh ini memberikan penghargaan yang demikian cukup besar kepada sastrawan. Dari semula Rp 30 juta sekarang melambung menjadi Rp 150 juta.
Dan saya pernah tiga kali menjadi juri tahap pertama KLA, yakni pada 2003, 2005, dan 2007. Dari tiga kali menjadi juri tahap pertama, baru sekali saya menggolkan “jagoan” saya, yakni pada 2005, ketika Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan Rp 100 juta dari KLA berkat novel Kitab Omong Kosong. Pada 2007, saya sekali lagi menjagokan Seno melalui novel Kalatidha, namun tidak lolos ke tahap berikutnya. Tapi, ketika majalah Tempo melakukan survey tentang buku fiksi dan nonfiksi terbaik pada 2007, saya tetap pada keyakinan saya, bahwa novel Kalatidha merupakan novel terbaik pada 2007.
Kalau saya dipilih panitia KLA menjadi juri tahap pertama pada 2008 ini, saya akan memasukkan Otobiografi karya Saut Situmorang sebagai nomine pertama untuk kategori puisi, terlepas apakah buku itu ada di list yang diberikan panitia atau tidak. Setelah itu diikuti Nirwan Dewanto, Hasan Aspahani, Oka Rusmini, dan Afrizal Malna. Karena apa? Alasan utama saya karena puisi-puisi Saut Situmorang itu sangat bergizi. Sebenarnya pula saya ingin melihat “pertarungan” antara Saut ‘the drunker master’ Situmorang melawan Nirwan ‘the monkey king’ Dewanto seperti dalam film The Forbidden Kingdom di mata para juri tahap kedua dan ketiga. Mungkin tidak ada pemenangnya, karena keduanya sama-sama jago, sama-sama memiliki ilmu kanuragan tinggi, tapi beda gaya.
Sayangnya saya tidak menjadi juri tahap pertama lagi, ya, sudah, tidak apa-apa. Itu artinya saya juga tidak dapat honor Rp 1 juta. Artinya lagi, itu bukan rejeki saya.
Terlepas dari itu, saya ingin memberi masukan, bahwa menilai novel maupun cerpen relatif mudah, karena novel yang ditulis sastrawan dalam satu tahun periode penilaian juri KLA, tidak akan muncul lagi pada tahun berikutnya. Demikian pula dengan kumpulan cerpen. Meskipun pengulangan munculnya cerpen yang sama dalam kumpulan cerpen di tahun berikutnya masih memungkinkan.
Nah, untuk menilai kumpulan puisi, ada pengecualian. Saya, misalnya, memiliki semua kumpulan puisi karya Saut Situmorang. Tapi, bisa jadi ada juri yang tidak memiliki buku Catatan Subversif atau Saut Kecil Bicara dengan Tuhan. Hal semacam ini bisa saja terjadi, apalagi kalau kumpulan puisi pertama dan kedua diterbitkan oleh penerbit indie dan tidak didistribusikan melalui jalur distribusi yang diatur dan didominasi oleh Toko Buku Gramedia. Contoh buku Saut memang masih bisa ditemui di Gramedia. Tapi, bagaimana dengan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit indie dan kemudian puisi-puisi yang ada di buku itu diterbitkan ulang ke dalam buku kumpulan puisi yang lebih komplet dan diterbitkan Grasindo, misalnya?
Dengan kata lain, harus fleksibel dalam menilai buku kumpulan puisi. Untuk diketahui, sayalah yang mengusulkan atau menominasikan buku Warna Kita karya Oka Rusmini pada 2007 dengan alasan mutu sajaknya yang bagus. Saya pula yang memasukkan buku Guru Matahari Abdurrahman Faiz ke dalam longlist pada 2005 karena memang tidak ada kriteria usia penyair. Ketika saya menganggap puisi Abdurrahman Faiz bagus, ya, saya nilai bagus, tanpa melihat usianya. Toh, ada penyair tua (maaf tidak saya sebutkan namanya) yang puisinya kurang bagus.
Kepada Saut, saya salut. Di mata saya, Saut adalah penyair besar Indonesia. Tapi, izinkan saya tetap bersimpati pada KLA yang memberi penghargaan cukup besar kepada sastrawan. Biarkan KLA menggunakan sistem penilaiannya sendiri. Biarkan pula Pena Kencana menggunakan sistem penilaian seperti Indonesian Idol, yang menggunakan SMS. Biarkan pula Yayasan Ramon Magsaysay menggunakan kriteria dan sistem penilaiannya sendiri. Sehingga, ketika Pramoedya Ananta Toer mendapatkan penghargaan Magsaysay pada 1995, kita tidak usah menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, seperti yang dilakukan Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan kawan-kawannya itu. Saya setuju dengan KH A Mustofa Bisri yang menolak ajakan Taufik Ismail untuk menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian penghargaan hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Padahal saya tahu, Gus Mus adalah sahabat baik Taufik Ismail.
Sastra Indonesia, insyaallah, akan sehat walafiat. ***

Senin, 15 September 2008

Ungaran is My Country


Foto ini diambil sama Yuni. Saat pulang kampung yang kesekian kalinya. Kami sudah sering pulang kampung. Tapi, rasanya pingin pulang kampung terus. Alangkah senangnya punya kampung halaman. Haidar bilang, sekali-sekali boleh pulang untuk istirahat. Tapi, jangan pulang untuk menetap. Boleh juga.

Seno Gumira Ajidarma dan Kitab Omong Kosong

oleh Asep Sambodja

Apa yang menyebabkan novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari dewan juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005 yang diketuai Prof. Dr. Riris K. Toha-Sarumpaet--yang juga Ketua Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat? Apakah karena bahasa yang digunakan Seno demikian memikat atau karena isinya --yakni pesan (message)-- yang luar biasa?
Kalau kita bandingkan novel Kitab Omong Kosong dengan novel Negeri Senja --karya Seno lainnya yang juga mendapat penghargaan KLA 2004-- akan tampak bahwa bahasa yang digunakan Seno dalam Negeri Senja sebenarnya lebih simbolik, lebih merupakan bahasa metaforis yang memperkuat makna tekstual novel tersebut.
Lantas, apa yang membuat Kitab Omong Kosong terpilih sebagai novel asli Indonesia terbaik pada 2005 lalu serta mendapatkan hadiah Rp 100 juta? Novel yang memiliki ketebalan 623 halaman ini ternyata memiliki message yang luar biasa. Dalam Kitab Omong Kosong, Seno mempertanyakan kembali nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan keadilan yang selama ini sudah dianggap mapan --sebuah sudut pandang yang menggunakan perspektif postkolonial, dengan mendekonstruksi sebuah sistem yang telah ada. Kebenaran, menurut Seno melalui salah satu tokoh utamanya, Satya, hanyalah sebuah dongeng. Kebenaran tidak bisa dipegang dan hanya bisa dikira-kira, dengan cara-cara yang disetujui bersama. Tapi, tetap saja [kebenaran itu] bersifat kira-kira, dan karena sifatnya yang kira-kira itu, maka sifatnya hanya untuk sementara (hlm. 166).
Dengan demikian, kebenaran yang ada adalah kebenaran relatif yang sangat bergantung kepada siapa yang mengemukakan dan adanya pengakuan publik mengenai hal itu. Kebenaran itu akan terus dipegang hingga ada yang membuktikan kekeliruannya. Karena itulah tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar, sebab kebenaran mutlak itu hanya melekat pada Tuhan.
Sama halnya dengan kebenaran, persoalan keadilan dan keindahan pun menjadi relatif dan sangat bergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan serupa itulah Seno Gumira Ajidarma mendekonstruksi kitab Ramayana karya Walmiki dan kemudian merekonstruksinya kembali menjadi Kitab Omong Kosong.
Setidaknya ada tiga hal yang didekonstruksi Seno dari kitab Ramayana Walmiki itu. Pertama, karakter Sri Rama--yang merupakan titisan Dewa Wisnu--dan Laksmana, yang digambarkan sebagai tokoh agung dalam Ramayana, berubah menjadi tokoh yang bengis, tidak mengenal rasa peri kemanusiaan, sekaligus memperlihatkan diri mereka sebagai sosok penguasa yang tidak bijak dalam Kitab Omong Kosong. Di tangan Seno, Rama dan Laksmana digambarkan sebagai orang yang telah terpengaruh oleh apa yang disebut Seno sebagai “gelembung Rahwana” sehingga menyebabkan keduanya, bahkan seluruh rakyat Ayodya, menjadi jahat atau pun menjadi tokoh antagonis dalam cerita itu.
Kedua, sebagaimana lazimnya karya seni produk postkolonial, Seno menggunakan perspektif baru dalam melihat persoalan kehidupan. Suara-suara yang selama ini terpinggirkan atau tersubordinasikan dimanfaatkan dengan baik oleh Seno dalam Kitab Omong Kosong. Suara kaum perempuan, misalnya, yang diwakili Sinta--tokoh yang demikian pasrah dalam Ramayana--keluar dengan deras bagaikan air yang membludak dari bendungan, sehingga sangat menusuk perasaan siapa saja (termasuk perasaan siluman yang digambarkan Seno juga memiliki hati). “Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima saja aku apa adanya, meski seandainya Rahwana telah memperkosa diriku? Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan jika aku telah berbuat seperti seorang pelacur kepada Rahwana, yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah aku seperti apa adanya,” gerutu Sinta (hlm. 26).
Ketiga, terkait dengan gugatan dari kaum pinggiran, Seno juga menggunakan manusia biasa, seperti Maneka (pelacur) dan Satya (penggembala) sebagai tokoh utama dalam novel ini. Sementara manusia agung (uebermensch) seperti Rama, Laksmana, dan bahkan Walmiki dihadirkan sebagai sasaran kritik atau gugatan suara-suara subaltern itu. Satya dan Maneka merupakan simbol orang-orang kecil yang selama ini menjadi korban dan ingin menuntut haknya.
Satya, misalnya, tidak berdaya setelah menyaksikan sendiri bagaimana pasukan berkuda yang dipimpin Laksmana dari kerajaan Ayodya membumihanguskan desanya di kerajaan Mantura. Ayah, ibu, saudara, tetangga, bahkan binatang-binatang ternak yang ada di desanya semuanya dibunuh oleh pasukan Laksmana.
Sementara Maneka adalah seorang perempuan yang sejak berumur sembilan tahun dititipkan ayahnya di sebuah rumah bordil. Apalagi pada punggungnya terdapat rajah atau tatto kuda--yang diyakini banyak orang sebagai penyebab malapetaka. Ketika Maneka berhasil dilarikan dari rumah bordil oleh Sarita, sahabatnya, yang tidak tega menyaksikan Maneka diperkosa oleh seisi kota setelah tahu ada rajah kuda di punggung Maneka, maka ia memantapkan diri untuk segera mengubah nasibnya. Jalan yang ditempuh Maneka adalah mencari Walmiki, tukang cerita dan penulis Ramayana—sebuah buku yang berisi banyak korban berguguran akibat perang. Dan, setiap kali Maneka bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, ia selalu mendapat petunjuk yang sama, bahwa Walmiki selalu berjalan ke arah matahari tenggelam.
Sejak itu pula Maneka yang ditemani Satya selalu berjalan ke arah senja. Tampak bahwa “senja” sering menjadi obsesi Seno Gumira Ajidarma dalam bercerita. Dan, bisa jadi, senja menjadi inspirasi karya-karyanya. Dalam beberapa karyanya, baik cerpen maupun novel, Seno memang sering memanfaatkan latar senja.
Lantas, apa itu Kitab Omong Kosong? Kitab ini lahir dari hasil perenungan Hanoman tentang hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam Kitab Omong Kosong ini, Hanoman dan Walmiki menjadi tokoh yang cukup penting, karena keduanya berkaitan langsung dengan pengembaraan Satya dan Maneka.
Walmiki demikian berarti bagi Maneka yang ingin mengubah nasibnya. Saat bertemu Walmiki, Maneka meminta agar Walmiki mengubah ceritanya agar ia tidak bernasib sial. Gugatan semacam ini juga keluar dari tokoh-tokoh figuran yang tampil sebentar dalam kitab Ramayana dan hanya untuk dimatikan oleh pengarangnya. Misalnya, Kapimoda, Trijata, Talamariam, Bubukshah, dan Gagang Aking. Terhadap semua gugatan itu, Walmiki mengatakan bahwa dirinya sudah lupa dengan tokoh-tokoh figuran semacam itu, apalagi tokoh yang hadir di tengah massa dan tidak memiliki karakter tertentu. Walmiki menjelaskan bahwa sebenarnya tokoh-tokoh itu, termasuk Maneka, bisa menentukan nasibnya sendiri. Kepada seorang tokoh yang tidak jelas karakternya, Walmiki mengatakan, “Tulislah ceritamu sendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi.”
“Aku tidak bisa menulis.”
Walmiki menjadi sangat jengkel. “Kalau begitu engkau sial! Sudahlah! Pergilah!” (hlm. 515).
Sementara tokoh Hanoman sangat berpengaruh dalam proses pencarian makna hidup yang dilakukan Satya, terutama karena Hanoman telah menulis Kitab Omong Kosong selama ia melakukan pertapaan. Hal itu dilakukan Hanoman setelah ia berbeda jalan dengan kebijakan politik Rama yang ingin menjadikan Ayodya sebagai kerajaan adidaya (super power), yang ingin mengkooptasi semua kerajaan yang ada di seluruh anak benua.
Nama kitab itu, Kitab Omong Kosong, tidak keliru sebagai kunci segala bidang dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu sebenarnya omong kosong saja. “Kalau ilmu pengetahuan hanya suatu cara menggambarkan kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri, sementara kenyataan itu sendiri tidak mungkin diketahui, maka ilmu pengetahuan itu sendiri menggambarkan apa kalau bukan kekosongan?” (hlm. 203).
Pada akhirnya, Maneka merasa yakin bahwa ia bisa mengubah nasibnya yang malang. Hal itu terjadi setelah Maneka bertemu Walmiki secara tak sengaja di suatu tempat, di sebuah padang rumput yang tak jauh dari Gurun Thar, tempat Maneka dihukum rajam oleh bandit-bandit Gurun Thar. Demikian pula dengan Satya, yang telah kehilangan segala-galanya, kini sangat paham bagaimana cara memaknai hidup setelah membaca Kitab Omong Kosong tulisan Hanoman yang terdiri dari lima bagian itu.
Isi Kitab Omong Kosong itu tercermin dari judul masing-masing bagian, yakni “Dunia Seperti Adanya Dunia”, “Dunia Seperti Dipandang Manusia”, “Dunia yang Tidak Ada”, “Mengadakan Dunia”, dan “Kitab Keheningan”--yang merupakan puncak pencapaian dari proses panjang pencarian makna hidup. Ternyata, di dalam kitab bagian kelima itu tidak ada satu huruf pun. Kosong. Dan, hanya berisi lembaran-lembaran daun lontar yang bersih tak berhuruf. Dengan kekosongan itu pula Satya dan Maneka membaca dunia, membaca alam semesta.
Seno Gumira Ajidarma yang dalam Kitab Omong Kosong “mengidentifikasikan” dirinya sebagai Togog, mengatakan bahwa ia “tahu diri betapa cerita ini tidak menarik, dibuat dengan ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk, berlari dari kota ke kota, tanpa pernah mau belajar, ditulis tanpa perenungan, berpura-pura pintar, padahal tidak ada isinya sama sekali…. Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca, karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka (hlm. 619). Sebuah epilog yang nakal, tapi bikin penasaran.
Ironis, sekali-sekali kita memang harus mendengar suara Togog dan tidak harus mendengar suara Semar terus. Harapan seperti itu memang selayaknya kita renungkan. Namun, dalam hal Kitab Omong Kosong ini, sebaiknya kita jangan percaya dulu dengan apologi Togog. ***

Sabtu, 13 September 2008

Ketika Anak-anak Menjadi Kupu-kupu

oleh Asep Sambodja

bunda
engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu

Kutipan sajak “Jalan Bunda” karya Abdurahman Faiz (kelahiran Jakarta, 15 November 1995) memperlihatkan dua hal sekaligus. Pertama, ada peran orangtua yang demikian besar dalam diri sang anak dalam melihat kenyataan di sekitarnya. Kedua, nilai-nilai yang diberikan orangtua tersebut menjadi bekal bagi sang anak untuk menyikapi kenyataan yang dihadapinya. Selain kedua hal di atas, karya sastra yang dihasilkan Abdurahman Faiz dan penulis cilik lainnya yang dibicarakan di bawah ini merupakan keunikan dan kemampuan yang mereka miliki.
Dalam buku Untuk Bunda dan Dunia (2004), Faiz tidak saja berbicara tentang hubungannya dengan keluarga, tapi juga tentang orang-orang yang bernasib malang atau kurang beruntung dibandingkan dengan dirinya. Hal ini juga menonjol dalam buku kumpulan cerpen yang diangkat dari catatan hariannya, Permen-permen Cinta Untukmu (2006). Faiz demikian peduli pada teman-teman kecilnya yang miskin. Dan, orang-orang yang dianggapnya sahabat adalah anak kecil yang berasal dari keluarga miskin namun memiliki semangat yang besar untuk maju. Ini, misalnya, dapat dilihat dari cerpennya yang berjudul “Kutitipkan Temanku: Calon Orang Penting di Negeri Ini!” dan “Teman Kecil Bernama L”.
Kekagumannya pada tokoh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat peduli pada kesejahteraan rakyatnya, serta kepedulian dan kepekaan Faiz terhadap wong cilik, merupakan aktualisasi dari nilai-nilai yang didapatnya dari orangtuanya, yakni Helvy Tiana Rosa dan Tomi Satryatomo. Pengaruh orangtua dalam arti yang positif juga tampak jelas pada Ghefira Nur Fatimah (kelahiran Bandung, 27 September 1996), yang mendapat piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena prestasinya menulis cerpen pada usia 7 tahun. Kumpulan cerpen yang dihasilkannya adalah Jalan-jalan ke Hutan (2004). Fira adalah putri kelima dari kiai kondang, K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Ninih Muthmainnah.
Sebagaimana terdapat dalam buku anak-anak yang lain, Aa Gym merasa perlu memberitahukan kepada pembaca bahwa kumpulan cerpen Jalan-jalan ke Hutan benar-benar ditulis oleh Fira dan tidak ada campur tangan orangtua. Kalau kita baca cerpen-cerpen Fira, keterpengaruhan orangtua itu tetap ada. Nilai-nilai agama yang diberikan Aa Gym dan Teh Ninih tampak dari idiom-idiom yang digunakan Fira. Namun, logika cerita dalam cerpen itu murni karya Fira sendiri. Hal ini tampak dari penggambaran yang ekstrim mengenai hukuman yang diberikan orangtua kepada seorang anak kecil yang tidak menghargai waktu: ia ditinggal oleh seluruh keluarganya ke London. Anak kecil yang bernama Jilba itu hanya diberi sedikit uang untuk biaya sekolah dan keperluan sehari-hari di rumah sendirian, karena seluruh keluarga akan tinggal di London selama-lamanya!
Hal yang sama juga dialami oleh orangtua Arifia Sekar Seroja (kelahiran Depok, 4 Juni 1995), Sunu Wasono dan Sri Hastuti Handayani. Suatu hari, Sunu Wasono yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) memperlihatkan cerpen-cerpen karya Fia yang masih berupa tulisan tangan kepada saya. Ada perasaan “sungkan” pada Sunu ketika ia memperbaiki karya anaknya yang belum paham paragraf dan pungtuasi. Memang, naskah Fia yang pertama masih berupa tulisan tangan yang sama sekali belum tersentuh oleh kaidah penulisan yang baik. Namun, dari tulisan-tulisan itu sudah terbaca bahwa Fia sedang bercerita.
Saya melihat campur tangan yang diberikan oleh orangtua Fia masih bisa dibenarkan karena tidak berbeda dengan tugas atau profesi seorang editor/penyunting di sebuah penerbit buku yang memang harus memperbaiki huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, bab demi bab, hingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang menarik. Hal semacam ini sudah lazim dilakukan di luar negeri. Makanya, kedudukan seorang editor di sana sangat dihormati, karena tugasnya tidak saja memperbaiki ejaan, tapi juga berhak merombak sebuah naskah menjadi tulisan yang baru sama sekali dan berbeda dari aslinya. Menurut Sapardi Djoko Damono, lahirnya novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway yang diterjemahkannya juga tidak terlepas dari campur tangan editor.
Karya pertama Fia dibukukan dalam kumpulan cerpen Gigi Kelinci (2004). Dari pengalamannya menerbitkan buku pertama tersebut, Fia—yang menjadi Juara I lomba dongeng tingkat nasional pada 2005—menulis karya-karya selanjutnya yang dihimpun dalam Ketika Potter Hilang (2005). Membaca cerpen-cerpen Fia, ada kesan bahwa Fia memiliki kebeningan hati dan kematangan jiwa anak-anak. Karya Fia memperlihatkan bahwa ia bisa memahami mana yang baik dan mana yang buruk, dan ia bisa menunjukkan sikap terhadap kedua hal tersebut, seperti yang terbaca pada cerpen “Peminjam Teladan” dan “Tukang Contek”. Selain itu, tanpa disadarinya, ia juga menciptakan konflik dalam cerita yang justru menimbulkan tawa pada pembaca dewasa. Dalam cerpen “Ketika Potter Hilang”, Fia mengisahkan kejadian setelah kucing-kucing kesayangannya memakan semua lauk di meja makan. “Peristiwa itu membuat bapakku tidak mau makan di rumah. Selama tiga hari bapak lebih suka makan di warung. Aku dan Mayang menangis, sedangkan ibuku tampak murung dan lesu. Aku menangis bukan karena bapakku tak mau makan di rumah, tetapi karena memikirkan nasib kucing-kucing yang dibuang itu” (Seroja, 2005: 4).
Penulis cilik lainnya yang menunjukkan sinar terang adalah Sri Izzati (kelahiran Bandung, 18 April 1995) dan Fathina Diyanissa Rukandi atau Dena (kelahiran Bandung, 18 Februari 1993). Sri Izzati yang pernah mendapat piagam penghargaan dari MURI sebagai Penulis Novel Tercilik sudah menghasilkan tiga novel, yakni Kado untuk Ummi (2003), Let’s Bake Cookies (2004), dan Hari-hari di Rainnesthood (2005). Dibandingkan dengan novel pertamanya, novel ketiga Izzati memperlihatkan pengaruh bacaan impor terhadap isi cerita yang disampaikannya. Hal ini tampak dari pemberian nama tokoh, setting, dan idiom-idiom yang digunakan Izzati.
Kenyataan semacam ini tidak hanya dialami Izzati, tapi juga penulis cilik lain seperti Ahmad Ataka Awwalurrizqi (13 tahun) yang khusus menulis cerita-cerita detektif berlatar Yogyakarta dan sudah dihimpun dalam Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (2005). Penulis lainnya, Muhammad Faikar Widjanarko (10 tahun) dan Ali Riza (lahir 14 Oktober 1992) tidak saja memperlihatkan keterpengaruhan bacaan, tapi juga keterpengaruhan game—yang memang menjangkiti anak-anak sekarang ini.
Faikar yang menulis dalam bahasa Inggris ini bercerita tentang dua jagoan cilik, Jack dan Bob, yang harus membasmi dua naga, Blue Dragon dan Curse Dragon, yang akan menyerbu Draft Village. Kedua jagoan cilik itu bermimpi menjadi pahlawan bagi warga Draft Village. They wanted to defeat the evil dragons, save the village and become a hero (Widjanarko, 2004: 13). Langkah Faikar ini diikuti Ali Riza, yang kebetulan putra Lubna Assegaf dan Haidar Bagir, bos penerbit Mizan, Bandung. Karya pertamanya tampil dengan dua bahasa dalam satu buku, Kisah Tiga Pengembara atau The Tale of Three Travelers (2005).
Tampaknya, penulis cilik perempuan lebih memperlihatkan “keindonesiaan” dalam cerpen maupun novel mereka dibandingkan penulis cilik laki-laki tersebut, di antaranya, Silmi Sabila (kelahiran Bogor, 6 Desember 1994) yang menghasilkan Juara Sejati (2005), Qurrota Aini (kelahiran Malang, 25 Maret 1997) dengan Nasi untuk Kakek (2004), dan Dena yang menulis May Si Kupu-kupu (2004) dan The NoERu Group (2005).
Sebenarnya, apa yang hendak disampaikan oleh anak-anak itu? Bagaimana kalau mereka jadi “kupu-kupu” dan terbang ke tempat-tempat yang tak terpikirkan, bahkan tak terbayangkan oleh orangtua sedikit pun? Apakah orangtua akan membiarkan “kupu-kupu” itu terbang bebas di taman bunga? Atau, mereka akan menangkap kupu-kupu itu dan dipajang dalam insektarium karena kecantikan dan keberagaman warnanya?
Eva Maria Putri Salsabila yang biasa dipanggil Caca memiliki jawaban sendiri. Dalam Dunia Caca (2004), ia menulis, Dunia anak kecil tidak boleh membuat anak-anak kecil bete atau boring. Jadi, harus banyak hiburan meskipun itu di sekolah. Di sekolahnya harus ada arena untuk bermain seluas kebun binatang. Gurunya semua anak kecil, yang bergantian mengajar. Jadi, semua mendapat giliran untuk menjadi ibu dan bapak guru. Sehingga, pelajaran menjadi sangat asyik dan tidak membuat anak-anak pusing, sebab disampaikan sambil bermain, dengan guru yang suka bermain juga. (Caca, 2004: 39).
Nah, anak-anak pun ternyata memimpikan kebebasan. Pandangan orangtua seperti yang diungkap Haidar Bagir dan Asma Nadia (ibunda Caca) pun menggambarkan pandangan yang sangat maju, pandangan kaum poskolonial: bahwa setiap individu memiliki perspektif yang unik dalam melihat kehidupan. Asma Nadia selalu percaya bahwa semua anak lahir cerdas, dan yang harus dimiliki orangtua terhadapnya adalah keyakinan. Sementara Haidar Bagir mengutip Dustin Hoffman, bahwa mendengar apa saja yang diceritakan anak adalah salah satu tugas orangtua, meski kita tak selalu paham maksud anak-anak itu. Ketika anak-anak menjadi kupu-kupu, cukup bijaksana kalau kita menjadi bunga. ***

Minggu, 07 September 2008

Perempuan Nelangsa dalam Cerpen Happy Salma

oleh Asep Sambodja

Pada mulanya adalah kecurigaan. Kita dapat saja curiga kenapa Happy Salma menulis karya sastra. Kenapa Happy Salma menulis cerpen dan sudah pula diterbitkan dalam kumpulan cerpen Pulang (Depok: Koekoesan, 2006)? Kalau kita mengutip Ignas Kleden, setidaknya ada tiga kegelisahan yang menyebabkan seseorang menulis, yakni kegelisahan eksistensial, kegelisahan politik, dan kegelisahan metafisik. Yang menjadi persoalan kemudian adalah kegelisahan macam apa yang melatarbelakangi Happy Salma ketika menulis cerpen?
Sebagai seorang artis sinetron dan bintang iklan, Happy Salma tidak perlu lagi mencemaskan persoalan eksistensial karena ia sudah eksis di bidangnya. Namun, sebagaimana Rieke Diah Pitaloka—artis yang juga menghasilkan karya sastra berupa puisi dan berpolitik praktis—Happy Salma tampaknya merasa tidak cukup puas dengan gemerlapan di dunia selebritis. Ia ingin lebih dari sekadar terkenal sebagai artis dan bintang iklan, ingin lebih dari sekadar meraih uang dalam jumlah besar, dengan menulis karya sastra, dalam hal ini cerpen.
Karena apa? Kita tahu bahwa sastra sebagai karya seni berpotensi menyimpan sekaligus merekam pikiran dan perasaan kita lebih lama dan “abadi”. Dengan menuangkan gagasannya melalui karya sastra, kita sebagai pembaca tidak saja menikmati cerita Happy Salma, tetapi juga menangkap pesan yang hendak disampaikannya. Bisa jadi melalui media sastra ini, Happy Salma lebih leluasa menyampaikan dan mengekspresikan gagasannya.
Kumpulan cerpen Pulang karya Happy Salma ini sebagian besar berbicara tentang pulang; yang berarti kembali ke rumah, kembali ke kampung halaman, kembali ke orangtua, kembali ke alam baka, atau yang dikenal sebagai sangkan paraning dumadi, manusia berakal yang mencoba mencari asal-muasalnya dan pencarian tujuan bagi segala yang diciptakan di muka bumi. Dalam cerpen-cerpen Happy Salma, Pulang juga bisa berarti meninggalkan tindakan buruk (“Pada Sebuah Pementasan”), kematian (“Adik”), atau juga firasat buruk yang dirasakan ibu terhadap anaknya yang tak pernah memberi kabar meskipun terus mengirim uang dari perantauan (“Pertemuan”).
Ada tiga cerpen dalam kumpulan buku ini yang memperlihatkan Happy Salma serius menghasilkan karya sastra, yakni cerpen “Pulang”, “Pertemuan”, dan “Ibu dan Anak Perempuannya”. Saya katakan serius karena Happy Salma tidak sekadar menghibur, tapi juga bersuara, yakni menyuarakan jeritan perempuan yang nelangsa, perempuan yang sengsara. Dengan demikian, cerpen Happy Salma memenuhi fungsi karya sastra yang disebut Horatius sebagai dulce et utile (menghibur dan bermanfaat).
Dalam cerpen “Pulang”, Happy Salma memperlihatkan seorang perempuan yang memberontak terhadap kekangan budaya patriarki. Semakin keras kekangan itu atau semakin besar represi yang dilakukan oleh orangtua, semakin besar pula resistensi yang dilakukan seorang anak terhadap orangtua. Dalam cerpen tersebut, sang bapak melarang anaknya berhubungan dengan lelaki yang berbeda agama atau keyakinan. “Nar, kita orang Sunda, orang Sunda tidak ada yang memiliki dua keyakinan dalam satu rumah, apa pun alasannya,” suara Bapak berubah parau (halaman 94).
Sang Bapak sangat yakin anaknya dapat mengerti dan memahami pernyataannya. Namun, tanpa sepengetahuan sang bapak, sang anak sebenarnya sangat membencinya, karena hubungannya dengan lelaki beda agama itu sudah demikian jauh, karena ia sudah tidak perawan lagi. Tapi, bukan soal tidak perawan itu yang menggelisahkannya, melainkan kepergian sang kekasih setelah tidak mendapat restu dari orangtua. Meskipun demikian, perlawanan yang dilakukan sang anak hanyalah perlawanan dalam kepatuhan. Hal ini dapat terbaca di akhir cerita. Aku masuk ke dalam rumah, kutatap wajah Bapak yang sedang duduk bersila di hamparan sajadah menanti maghrib tiba. Semakin tua, semakin sering dia berdoa. Kelu kucium tangannya. Tanpa kata aku pergi, tanpa ingin kembali ke rumah ini, sampai aku tahu apa yang kumau. Tak apalah aku dibilang egois, sekali-kali (halaman 97). Ia membenci bapaknya, tapi ia masih menghormatinya.
Perempuan yang nelangsa juga tergambar dalam cerpen Happy Salma yang lain, “Ibu dan Anak Perempuannya”. Dalam cerpen ini, Happy Salma menggunakan metafor yang menarik, “Waduh, halaman rumah harus dirapikan. Walaupun tanaman tropis berwajah hijau dan segar, tapi kalau tidak ditata, ternyata bisa menyesakkan juga. Jadi, penghuni rumah yang sedang sakit pun tercermin.” (halaman 29). Kalimat simbolik itu merujuk pada sang ibu yang memang benar-benar sakit parah dan hanya tergolek lemah di ranjang, karena mengidap sakit gula, sekaligus merujuk seorang anak perempuan, Arum, yang “sakit” karena harus melayani laki-laki hidung belang setiap hari.
Perempuan nelangsa di sini adalah sang ibu yang ditinggal pergi suami dan anaknya sekaligus. Suaminya menikah dengan gadis seusia anaknya dan tega meninggalkan istrinya nelangsa. Sementara anak perempuannya, Arum, kawin lari dengan laki-laki yang sudah beristri, namun kemudian ditelantarkan. Sejak itu dan karena itu pulalah Arum hidup dari satu laki-laki ke laki-laki lain karena hanya dengan cara dan jalan seperti itulah Arum dapat menjaga ibunya untuk terus berobat guna menghadapi penyakit gula yang mematikan dan membutuhkan biaya selangit itu.
Dalam cerpen “Pertemuan”, Happy Salma berhasil bertutur dengan halus sehingga pembaca dikejutkan di akhir cerita. Cantik, perempuan itu, diperintahkan ibunya untuk mencari kakaknya yang tidak pernah berkabar lagi. Dengan perasaan terpaksa, Cantik mencari kakaknya, Bang Jul, yang diketahui tinggal di Depok. Ternyata, pertemuan itu sangat mengejutkan karena kakaknya yang dulu pernah bekerja sebagai office boy di sebuah supermarket, kini menjelma menjadi waria atau banci yang cantik. Yang lebih mengejutkan lagi, dari kamar kakaknya itu keluar seorang laki-laki bule berbadan tegap. Cantik lemas, Cantik terluka, tak mampu berkata apa-apa selain menyampaikan pesan dari ibunya agar kakaknya segera pulang meskipun ia sendiri tak berharap kakaknya yang telah berganti kelamin itu pulang.
Ibu, perempuan, yang muncul dalam cerpen Happy Salma adalah sosok perempuan yang nelangsa. Perempuan yang sakit. Sakit karena suaminya kawin lagi. Sakit karena anaknya kawin lari dengan laki-laki beristri dan kemudian menjadi pelacur. Sakit karena anak laki-lakinya menjelma banci yang cantik dan menjual diri. Sakit karena dilarang kawin dengan laki-laki pilihannya sendiri meskipun berbeda agama. Sakit karena tak dapat menghilangkan pusaka dari dirinya sehingga harus bersetubuh dengan siluman (“Umi”).
Happy Salma berhasil menyuguhkan sebuah karya sastra yang tidak saja memikat, tapi juga mencerahkan. Bahwa masih ada persoalan perempuan yang perlu disuarakan secara terus-menerus dari hati yang paling dalam, dan masih banyak pula permasalahan yang perlu diperbaiki. Karena, “Aku sadar, aku pun bukan aku yang dulu. Waktu telah mengubahnya, ia telah mengubah segalanya.” (halaman 92). Cerpen-cerpen yang terhimpun dalam Pulang menjadi alasan kuat kenapa kita harus menyambutnya dalam khazanah sastra Indonesia. ***

Redefinisi Sastra Dunia

oleh Asep Sambodja

Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) akan menggelar seminar internasional tentang sastra dunia, yang hingga sekarang masih kental dengan definisi yang disuarakan Goethe, bahwa sastra dunia adalah sastra kanon yang membicarakan masalah universal. Benarkah demikian? Apakah sastra dunia harus ditulis dalam bahasa yang dominan, seperti bahasa Inggris?
Dalam pembicaraan dengan Harry Aveling, dosen tamu Program Pascasarjana FIB UI, saya mencoba bertanya padanya mengenai hal ini. Apakah sastra dunia itu? Harry Aveling menjawab, sastra dunia adalah seluruh karya sastra yang ada di dunia. Ketika ditanya, apakah ada kanonisasi? Harry pun menjawab singkat, dengan balik bertanya, siapa yang bisa melakukan kanonisasi?
Dari situ kita dapat menyimpulkan sementara bahwa karya sastra apa pun yang lahir ke dunia merupakan sastra dunia, apa pun temanya dan apa pun bahasa yang digunakannya. Hal ini mengingatkan kita pada pidato pengukuhan H.B. Jassin saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 1975, bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hal yang sama juga mengingatkan kita pada konsepsi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dibuat Asrul Sani, yang menyatakan kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam kritik sastra Indonesia mutakhir, seperti pendekatan feminisme, postkolonialisme, dan new historicism (yang tanpa kita pungkiri semua pendekatan ini berasal dari Barat) mempertegas kembali bahwa tidak ada otoritas tunggal yang berhak mengklaim bahwa suatu karya merupakan warga sastra dunia, dan karya lainnya bukan.
Berbagai pendekatan itu memiliki kesamaan tujuan, yakni mencoba meruntuhkan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Dengan kata lain, tidak ada satu pun kelompok di dunia ini yang dikehendaki mendominasi kelompok lainnya. Oposisi biner yang selama ini mencengkeram kepala kita, yang tanpa kita sadari sebenarnya merugikan salah satu pihak, dicoba diruntuhkan demi menghapuskan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Misalnya, dominasi budaya patriarki yang merugikan perempuan, atau pun dominasi Barat terhadap negara-negara berkembang, dan sebagainya.
Kalau kita membaca Kembang Jepun karya Remy Sylado dengan pendekatan postkolonialisme, misalnya, maka yang terbaca tidak sekadar Keke, gadis Manado, yang menjadi geisha (wanita penghibur yang menguasai seni tradisi Jepang) di Surabaya dan jatuh cinta pada Cak Broto, wartawan idealis yang bisa main ludruk. Akan tetapi, makna karya tersebut menjadi luar biasa karena Keke merepresentasikan perempuan dari sebuah negeri yang terjajah. Keke pun menyimbolkan manusia Indonesia yang terjajah dan teraniaya oleh kolonial Jepang.
Tidak itu saja, melalui tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun, kita bisa mengetahui bagaimana sikap Remy Sylado sebagai seorang sastrawan terhadap suatu peristiwa sejarah (zaman pendudukan Jepang) dengan perspektif kekinian. Bagaimana jeritan suara hati Keke terhadap tentara-tentara Jepang terasa demikian dalam, dendamnya tidak cukup sampai di dunia saja, melainkan ia ingin Hiroshi Masakuni (Komandan Kempeitai yang merebut kemerdekaan Keke) juga disiksa di akhirat karena perbuatannya yang tidak manusiawi, yang memperlakukan perempuan hanya sebagai budak nafsu belaka.
Suara hati Keke, rasa pedih itu, juga senada dengan jeritan hati Tinung dalam Cabaukan karya Remy Sylado lainnya, saat Tinung diperkosa tentara-tentara Jepang di Markas Kempeitai dan akhirnya dijadikan jugun ianfu yang ditempatkan di barak-barak tentara, sehingga ia tidak lagi dipanggil berdasarkan namanya, melainkan dengan nomor. Identitas Tinung sebagai manusia sudah dilenyapkan oleh militer Jepang.
Hal yang sama, yakni jeritan perempuan di negeri jajahan Jepang, juga terbaca dalam Kadarwati, Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana. Kemarahan Kadarwati mencapai puncak ketika ia terpaksa menari striptease di Kurabu Semarang, di hadapan perwira-perwira tinggi Jepang sambil menuangkan sake yang telah dicampur dengan obat tidur dosis tinggi dan bensin. Begitu perwira-perwira tinggi Jepang itu mabuk, Kadarwati menyulut api yang bisa membakar tubuh-tubuh perwira-perwira tinggi Jepang. Sejak itulah Kadarwati berganti-ganti nama untuk menyelamatkan diri dari kejaran intel-intel Kempeitai yang terkenal ganas, dan tempat yang aman baginya hanyalah kompleks pelacuran kelas bawah, baik di Magelang maupun Yogyakarta.
Keke, Tinung, dan Kadarwati hanyalah segelintir tokoh dalam karya sastra yang merepresentasikan perempuan, manusia Indonesia yang terjajah dan tidak punya pilihan dalam hidup. Kalau tokoh perempuan sering dijadikan geisha atau pun budak nafsu dalam karya sastra yang berlatar pendudukan Jepang (1942-1945), maka tokoh laki-laki dalam karya sastra yang berlatar sama, dijadikan heiho (pembantu prajurit Jepang yang ditempatkan di garis depan dalam perang Asia Timur Raya) yang sama sengsaranya dengan geisha. Ini, misalnya, dapat dibaca dalam cerpen “Heiho” karya Idrus, “Dia yang Menyerah” karya Pramoedya Ananta Toer (yang dihimpun dalam Cerita dari Blora), novel Pulang karya Toha Mohtar, serta cerpen “Perang” karya Linda Christanty.
Manusia Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, terekam dengan baik dalam karya sastra Indonesia, yang menunjukkan betapa sengsaranya hidup selama 3,5 tahun di bawah penindasan militer Jepang yang sama sengsaranya dengan hidup di bawah kolonial Belanda selama 3,5 abad—terhitung sejak VOC menginjakkan kakinya di Ambon. Pram, misalnya, menggambarkan kematian dua heiho di Birma yang hanya diganti dengan dua karung beras oleh pemerintah kolonial Jepang.
Sikap atau ideologi pengarang mengenai fakta yang diangkat ke dalam fiksi itu terlihat, antara lain, dari bagaimana sastrawan memperlakukan tokoh-tokohnya, baik tokoh dari Indonesia yang tertindas dan tokoh Jepang yang menindas. Pandir Kelana, melalui tokoh Kadarwati, membakar belasan perwira tinggi Jepang di gedung kurabu Semarang. Sementara Remy Sylado mematikan semua tokoh Jepang yang penting (Kotaro Takamura, Kobayashi, dan Hiroshi Masakuni) yang ada dalam novel itu. Ada yang dibunuh dengan tangan Keke sendiri, ada pula yang mati di tangan Jantje, kakak Keke, dan ada pula yang mati di medan perang di Korea. Tapi, kematian Hiroshi Masakuni di medan perang itu belum cukup bagi Keke. Ia mengatakan, “Kalau sekarang dia mati di Korea, itu belum lunas dari hukuman atas dosa-dosanya di Indonesia. Dia masih akan bertanggung jawab di akhirat nanti atas kekejamannya di Indonesia itu.” ***

Kamis, 04 September 2008

Nyanyi Sunyi Seorang Pramoedya Ananta Toer

oleh Asep Sambodja

PRAMOEDYA ANANTA TOER. Sejarah sastra Indonesia tidak akan lengkap tanpa menyebut nama sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 ini. Karya sastra yang ditulisnya bukanlah karya sastra yang sekadar dan semata-mata untuk menghibur pembacanya, melainkan karya sastra yang sarat dengan semangat untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsanya, termasuk di dalamnya meningkatkan martabat perempuan, serta mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Ada sebuah nation yang dicita-citakannya, yakni nation yang berkeadilan, tidak ada penindasan, makanya Pram, demikian ia akrab disapa, sangat menentang feodalisme yang mengukuhkan dominasi “darah biru” terhadap manusia kebanyakan.
Sebagai seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Toer sama pentingnya dengan karya sastra yang ditulisnya—yang menurutnya sebagai anak-anak rohaninya—karena keduanya memiliki sejarahnya sendiri. Keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang menurut Pram “bukan organisasi bandit”, membuat perjalanan hidupnya bagaikan selalu berada di lidah gelombang pasang. Rezim Orde Baru yang memegang kekuasaan selama 32 tahun (1966-1998) memasukkan Lekra sebagai organisasi terlarang, karena dianggap sebagai underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan, selama pemerintahan Soeharto itu, kehidupan Pram senantiasa terbelenggu. Dalam beberapa kali wawancara penulis dengan Pramoedya, baik di kediamannya di Utan Kayu, Jakarta Timur maupun di Bojonggede, Jawa Barat, ia selalu mengatakan bahwa kemerdekaannya telah dirampas oleh rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan. “Negeri macam apa ini?” katanya berulang kali.
Tapi, Pram bukanlah sastrawan yang cengeng. Meskipun ia dipenjara sejak 1965, ia terus melawan, ia terus menulis, karena kemampuannya menulis menjadi satu-satunya senjata yang masih ia miliki. Sebenarnya, suara Pram, kata-kata yang ia ucapkan bisa menjadi senjata untuk melawan represi penguasa. Namun, kata-kata yang diucapkannya selalu diterbangkan angin mamiri, karena percuma saja, di zaman Soeharto orang-orang PKI ataupun orang-orang yang dicap PKI seperti Pram tidak boleh bicara. Media massa dan penerbit dilarang mencetak apa yang dikatakan Pram. Itulah yang penulis alami ketika hasil wawancara panjang lebar dengan Pramoedya tidak bisa dimuat di majalah Sinar, tempat penulis bekerja sebagai wartawan pada pertengahan 1990-an.
Di dalam penjara, ia terus menulis, baik novel tetralogi—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca—yang melambungkan namanya sebagai “sastrawan nomor wahid di Indonesia” dan yang “tanpa karyanya, seluruh dunia hampir-hampir tidak mengenal kehadiran kesusastraan Indonesia modern” seperti yang dikatakan A. Teeuw, maupun laporan atau catatan-catatan Pulau Buru yang dibukukan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1-2 yang membongkar kekejaman/penyiksaan di penjara tersebut. Dalam buku itu, misalnya, ada catatan rinci tentang teman-temannya yang meninggal di Pulau Buru: ada yang mati bunuh diri minum endrin, deasenon, thiodan, bunuh diri dengan menggantung, 40 orang dibunuh Angkatan Darat, tertimpa pohon, terkena petir, dan yang terbanyak karena terserang berbagai penyakit.
Pada 21 Desember 1979, Pram dibebaskan karena terbukti tidak terlibat dalam G30S 1965 dan dinyatakan tidak bersalah tanpa proses pengadilan. Tapi, sesungguhnya, Pram tidak sepenuhnya bebas, karena ia masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, dan tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, serta wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih dua tahun. Setiap orang yang bertamu di rumahnya harus mengisi buku tamu khusus, meskipun bertandang untuk sekadar ngobrol melepas kangen. Buku-buku yang diterbitkan selepas ia keluar dari penjara dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung era Soeharto. Mahasiswa yang nekat memperjualbelikan buku-buku Pram diganjar dengan hukuman penjara. Pram, dengan sendirinya, menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto.
Adalah penyair dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Toeti Heraty, yang hampir setiap tahun mengusulkan Pramoedya Ananta Toer untuk mendapat Hadiah Nobel Sastra. Berkali-kali nama Pram masuk sebagai nominasi penerima Hadiah Nobel, namun hingga ia meninggal pada 30 April 2006, hadiah itu tak sampai padanya, meskipun Pram sendiri mengatakan, ia menulis bukan untuk mendapatkan penghargaan. Ia sama sekali tak pernah mengharapkan apa-apa dari luar dirinya. Bahkan, hingga akhir hayatnya, selain kepada anak-anak muda yang “di kantongnya tidak ada uang hasil korupsi”, ia sama sekali tidak percaya pada elite politik Indonesia, terutama karena kasus pembunuhan terhadap jutaan pengikut Soekarno pada 1965 tidak pernah dibawa ke ruang pengadilan.
Pada 19 Juli 1995, Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina memberikan anugerah Magsaysay di bidang jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kreatif kepada Pramoedya Ananta Toer. Tanpa diduga, Taufiq Ismail mempelopori penolakan pemberian anugerah itu. Nama-nama sastrawan besar Indonesia turut berderet di belakang nama Taufiq Ismail, yakni H.B. Jassin, Mochtar Lubis (keduanya juga pernah mendapat penghargaan yang sama di zaman Orde Lama), Asrul Sani, Rendra, Danarto, Mochtar Pabottingi, Rachmat Djoko Pradopo, Abdul Rachman Saleh (sekarang Jaksa Agung), Ikranagara, Wiratmo Soekito, Rosihan Anwar, dan beberapa nama penting lainnya. Dalam majalah Horison edisi khusus yang bertajuk “Hadiah Magsaysay dan Kita, 1995”, yang terbit bulan Oktober 1995, kelompok yang disebut “Lubis Twenty Six” oleh Goenawan Mohamad ini—karena jumlah penandatangan pernyataan penolakan itu 26 orang—meminta Yayasan Ramon Magsaysay untuk tidak melupakan apa yang telah dilakukan Pram di tahun 1960-an. Pram, antara lain, dianggap telah membungkam kreativitas sastrawan dan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Pram tak bergeming atas penolakan itu. Ia menganggapnya sepi. Ia tak peduli, meskipun ia sendiri dilarang ke luar negeri untuk mengambil penghargaan itu—yang kemudian hanya bisa diwakili oleh Maimunah, istrinya. Namun, masih ada suara anak-anak muda yang dimotori Ariel Heryanto, Halim H.D., Tommy F. Awuy, Acep Zamzam Noor, Isti Nugroho, dan Sitok Srengenge yang meng-counter suara Taufiq Ismail dan kawan-kawan, yang antara lain menyatakan, “Wacana kebudayaan Indonesia hingga kini belum beranjak dari pengobaran tema dan konflik lama yang bersemangat primordialistik. Masa depan membutuhkan kebudayaan yang demokratis, toleran, dan siap menerima yang lain. Oleh sebab itu, wacana pengembangan kebudayaan masa depan seyogyanya bersih dari konflik-konflik masa silam yang tidak relevan untuk masa kini.” Dalam kaitannya dengan kasus Pramoedya Ananta Toer, masih menurut pernyataan kaum muda itu, selayaknyalah kita rela memandang sebagai sebuah capaian kreativitas atas prestasi budaya salah seorang putra bangsa Indonesia. Kekhawatiran ideologis yang berlebihan, selain tidak mendewasakan juga menghambat lahirnya gagasan kritis yang mencerdaskan.
Yayasan Ramon Magsaysay sendiri menepiskan suara Taufiq dan kawan-kawan. “Yayasan mengetahui Pramoedya sebagai anggota Lekra yang di tahun 1960-an menyerang pengarang-pengarang terkemuka. Dalam kondisi serang-menyerang itu memang ada pihak yang menderita. Tetapi, itu terjadi 30 tahun lalu, yang membuat kedua pihak menderita. Pramoedya sendiri dipenjara 14 tahun karena dituduh komunis, karyanya masih tidak diizinkan terbit di Indonesia, dan dia dilarang bepergian ke luar negeri,” bunyi pernyataan itu.
Polemik hadiah Magsaysay yang ramai di media massa Indonesia pasca-pembredelan majalah Tempo, Detik, Editor pada Juli 1994, itu memperlihatkan pentingnya Pram dalam sejarah bangsa Indonesia, yang menurut Goenawan Mohamad, telah menjadi ikon tersendiri dalam perjalanan bangsa selama lebih dari setengah abad. Ketika Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya pada 21 Mei 1998, kebebasan yang selama ini didamba-dambakan baru bisa diwujudkan. Buku-buku Pram yang dilarang selama Orde Baru, baru bisa diterbitkan dan diperjualbelikan secara bebas. Pembaca pun baru “mulai” membaca kembali karya-karya Pram setelah Soeharto lengser. Padahal, buku Bumi Manusia, misalnya, sejak pertama kali terbit pada 1980 hingga 2005, telah diterjemahkan sedikitnya ke dalam 34 bahasa asing, seperti bahasa Prancis, Belanda, Italia, Korea, Jerman, China, Spanyol, dan Inggris.
Karya-karya terbaik Pram itu kini dicetak ulang dengan desain yang lebih bagus pada 2005-2006 oleh Penerbit Lentera Dipantara, yang dimotori oleh anak Pram sendiri, Astuti Ananta Toer. Dari sini kita tahu bahwa kita bisa membicarakan dan membaca Pram dari biografi maupun puluhan karya-karyanya. Bukan hanya keluarganya saja yang telah diwarisi oleh Pram, tapi bangsa Indonesia patut bersyukur telah memiliki seorang sastrawan yang berdedikasi tinggi, seorang manusia Indonesia yang teramat teguh memegang pendirian, baik melalui sikap hidupnya maupun melalui karya-karyanya. Sebagaimana salah satu judul novelnya, saya ingin mengatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah anak semua bangsa. ***

Acuan

Budianta, Eka. 2005. Mendengar Pramoedya. Jakarta: Atmochademas Persada.
Eneste, Pamusuk. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Horisaon. 6-10/XXX/5, Oktober 1995.
Kurnia, Anton. 2006. Ensiklopedi Sastra Dunia. Jakarta: Iboekoe.
Laksana, A.S. 1997. Polemik Hadiah Magsaysay. Jakarta: ISAI dan Jaringan Kerja Budaya.
Matabaca. Vol. 4/No. 6/Februari 2006.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.
(Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan.
Panitia Dialog Terbuka Refleksi Kebudayaan. 1996. Refleksi Kebudayaan. Jakarta: Panitia
Dialog Terbuka Refleksi Kebudayaan.
Sambodja, Asep. 2002. “Kreativitas Saya Selesai Sampai Di Sini”, dalam Pramoedya Ananta
Toer: Perahu yang Setia dalam Badai.
Yogyakarta: Bukulaela.
Wikipedia.com

Citayam, 19 Maret 2007

Hamid Jabbar: Penyair yang Mati di Atas Panggung

oleh Asep Sambodja

Majalah sastra Horison edisi Juli 2004 menurunkan laporan khusus “In Memoriam Hamid Jabbar”. Kawan dan sahabat dekatnya, seperti Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Cecep Syamsul Hari, Rahman Arge, Berthold Damshauser, Wilson Nadeak, dan Slamet Sukirnanto memberikan catatan obituari kepada penyair yang lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, 27 Juli 1949 ini. Memang agak aneh juga kalau kepenyairannya luput dari perhatian Harry Aveling yang menulis Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003) maupun Sapardi Djoko Damono yang menulis Sihir Rendra: Permainan Makna (1999). Namun, karya-karyanya dimuat dalam Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2003) dan Ketika Kata Ketika Warna (1995) yang dieditorinya bersama Taufiq Ismail dan kawan-kawan.
Saya tidak tahu persis kenapa puisi Hamid Jabbar tidak disinggung Harry Aveling yang membaca puisi Indonesia di zaman Orde Baru dengan perspektif politik. Padahal, pada 1998 Hamid Jabbar menerbitkan kumpulan puisi Super Hilang: Segerobak Sajak, yang mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama dan Pusat Bahasa. Kritik sosial yang disampaikannya pun cukup tajam, misalnya dalam puisi “Proklamasi 2” atau “Indonesiaku”. Ada dua kemungkinan tidak disinggungnya Hamid Jabbar dalam buku Harry Aveling yang mutakhir itu. Pertama, Harry Aveling tidak tahu atau tidak memiliki data berupa puisi-puisi Hamid Jabbar. Kedua, puisi-puisi Hamid Jabbar itu tidak memenuhi selera sastra Harry Aveling.
Apakah Hamid Jabbar bukan penyair besar? Apakah Hamid Jabbar hanya penyair sekadar? Kalau pertanyaan semacam ini ditujukan kepada K.H. A. Mustofa Bisri, mungkin sejak awal sudah tidak digubris, karena ia tidak mempedulikan hal semacam itu. Tapi, kalau kita lihat intensitas dan totalitas Hamid Jabbar dalam berpuisi, maka bagi “Si Bola Bekel” ini, kepenyairan menjadi sebuah pilihan hidup. Sama seperti ketika ia dan Rendra menikmati wisata kuliner di sebuah rumah makan di tepi sungai di Palangkaraya, April 2004. Saat penyakit diabetesnya kambuh, dan sempat mencemaskan kawan-kawan di sekitarnya, ia mengatakan, “Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung.”
Empat puluh lima hari kemudian ia meninggal di panggung saat baca puisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Allah mendengar ucapannya dan mengabulkan doanya. Pada Sabtu malam, 29 Mei 2004, Hamid Jabbar, Jamal D. Rahman, Franz Magnis-Suseno, Putu Wijaya, dan Franky Sahilatua tampil bersama melakukan orasi, baca puisi, baca cerpen, dan menyanyi di UIN. Ketika sampai giliran Franky untuk membawakan lagu, Hamid Jabbar meminta izin kepada panitia untuk membacakan puisi. “Saya janji, habis baca puisi saya benar-benar akan pulang,” ujar Hamid Jabbar sebagaimana diceritakan Agus R. Sarjono kepada Berthold Damshauser. Dan ketika membaca puisi itulah Hamid Jabbar benar-benar “pulang”. Ia meninggal saat membacakan puisinya, yang antara lain berbunyi, “Walau Indonesia menangis, mari kita bernyanyi.”
Siapa pun yang mendengar akhir hayat seorang penyair seperti itu, pasti akan takjub. Sudah pasti sebagai sahabat kita akan merasakan kehilangan, namun sebagai seniman, kematian semacam itu adalah kematian yang indah, kematian yang heroik, bahkan dapat dikatakan mati syahid, karena meninggal di saat sedang menunaikan tugas mulia sebagai seorang penyair. “Betapa dahsyat! Betapa dramatis! Betapa puitis! Betapa mulia bagi seorang penyair. Mengalami saat yang mungkin merupakan saat yang paling bermakna bagi manusia—saat meninggalkan dunia fana menuju dunia yang baru—dalam melakukan sesuatu yang dicintai: berpuisi! Bukankah itu suatu karunia yang sangat luar biasa?” tulis Damshauser.
Sementara Sutardji Calzoum Bachri mengatakan kepada Slamet Sukirnanto, “Kir, teman kita ini meninggal dengan indah. Seorang penyair meninggal ketika sedang tampil di atas panggung dalam pergelaran membaca puisi. Mungkin dalam sejarah sastra, dalam sejarah pembacaan puisi, mungkin baru sekarang ini, yang pertama kali seorang penyair meninggal ketika membaca puisi. Pahlawan puisi!” Julukan Sutardji kepada Hamid Jabbar itu menunjukkan penghargaan yang demikian besar kepada seorang sahabat. Seorang sahabat yang pada 30 Maret 1973 telah mengetikkan Kredo Puisinya yang menghebohkan dunia sastra Indonesia itu. Di harian Republika, Sutardji menegaskan, dalam sejarah pembacaan puisi sejak Empu Tanakung, Ronggowarsito, Abdul Kadir Munsyi, hingga Chairil Anwar, belum pernah ada penyair yang meninggal saat membacakan puisinya di panggung.
Ketika saya masih mahasiswa, sekitar 1992, saya sempat satu panggung di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dengan Hamid Jabbar, Ikranagara, Sapardi Djoko Damono, dan Purwadi Djunaedi. Kami membacakan puisi kami masing-masing. Yang saya ingat, Hamid Jabbar membacakan puisi “Proklamasi 2” dan mendapat sambutan yang meriah dari mahasiswa UI. Puisi itu kemudian dimuat di majalah kampus Suara Mahasiswa UI edisi perdana. Hingga akhir hayatnya, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada kesadaran dalam diri Hamid Jabbar ketika menciptakan puisi. Bahwa puisi yang ditulisnya itu nantinya akan dibacakan di depan publik. Puisi semacam ini, menurut A. Teeuw, merupakan puisi oral, puisi yang memerlukan pengucapan atau kelisanan. Karenanya, saya sependapat dengan Cecep Syamsul Hari, bahwa puisi-puisi Hamid Jabbar sangat memperhitungkan bunyi. Ada unsur musikal dalam puisi-puisi Hamid Jabbar.
Berthold Damshauser keberatan jika Hamid Jabbar hanya dianggap sebagai penyair parodi. Anggapan seperti itu tidak saja salah, melainkan juga membatasi kekayaan kepenyairannya. Menurut Damshauser, tema utama puisi-puisi Hamid Jabbar adalah tentang Tuhan. Selain itu, ciri yang menonjol dalam puisinya adalah adanya kontras yang tajam. Di satu sisi ia seorang manusia yang riang, di sisi lain ia menderita. Menderita karena dunia yang ganas membuat sesamanya menderita. Namun, dalam segala kesedihan yang disebabkan oleh keadaan di sekelilingnya, ia tetap merasa perlu meriangkan dunia, meriangkan sesamanya. Itulah jalan yang dipilihnya. Dan, menurut Damshauser, pilihan itu sangat bijaksana dan arif.
Ada sebuah puisi Hamid Jabbar yang memperlihatkan keseriusannya memperhatikan persoalan bangsa, yakni puisi berjudul “Astagfirullah”. Meskipun menggarap tema-tema sosial, Hamid Jabbar senantiasa mengaitkannya dengan Tuhan sebagai sang Maha Pencipta. Hubungan antara sesama manusia berikut berbagai persoalan yang menggayutinya tak pernah lepas dari Sang Maha Melihat itu. Dalam pengucapannya, Hamid Jabbar sangat mempedulikan irama, yang enak untuk dibacakan atau dideklamasikan. Meskipun tampaknya ia mempermainkan kata, namun yang terjadi kemudian adalah permainan makna dari kata-kata tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kepiawaian Hamid Jabbar dalam berpuisi.


Astagfirullah

astagfirullah penuh sadar
astagfirullah sepenuh istigfar
maka sudah remuk-redamlah aku
dari debu kembali sezarrah debu

walau debu sudah fitrahnya hanya kelu
tapi tanggungjawab tak bisa hanya bisu
katakan kata-kata yang semestinya mesti
walau biar hanya kepada diri sendiri

tapi justru pada diri sendiri aku tak mampu lagi
sebab aku butuh tubuh utuh yang tak saling bunuh
dan kini cerai-berai sudah jungkir-balik salah-kaprah
astagfirullah astagfirullah astagfirullah astagfirullah

astagfirullah hari-hari huru-hara diriku duhai astagfirullah
tak selesai pada sekedar caci-maki ataupun haru-simpati.
astagfirullah jungkir-balik salah-kaprah telah berlaku.
astagfirullah, telah berlaku terbeli terjual, namun bukan
sekedar salah-cetak kiranya bila tiba-tiba laba jadi bala.
astagfirullah bila bala jadi bola jadi loba jadi besar jadi sebar
jadi kabar jadi bakar. astagfirullah. memang ragam jadi
garam, tapi astagfirullah betapa perihnya teramat parah
tersebab hati tertukar tahi. maka jika padat menjadi dapat
tentulah alhamdulillah, tapi apa hendak dikata bila sokong
ternyata kosong, bila larat tak dapat diralat, jika mahar jadi
hamar, bila ramah dinyatakan marah, atau lebah menjadi
belah, rekat jadi kerat, raba jadi bara, bawah jadi wabah,
sahut jadi hasut, gosok jadi sogok, hingga semua hajat dan
hajat semua tertukar tempat menjadi jahat maha jahat,
segalanya lagi gila, dan ini semua bukan salah ketik atau
salah ketuk, hingga biar gratis pun ternyata sungguh tragis
muaranya, maka tak putus-putus astagfirullah kuketuk-
ketuk ke segala remuk dalam diri nisbi ini, duhai diriku
tangis segala tangis!

astagfirullah, wahai diriku, diriku yang kukenal, wahai kukenal
kujunjung tinggi, tapi tak kunjung kumengerti. wahai entah
salah apa, salah faham atau justru saling iti-dengki bin
dendam antara kalian, wahai kalian dalam diriku yang
mengaku bernama otak di kepala, hati di dada, lidah di
mulut, hingga kaki dan tangan dan lutut terbalut-balut
tersebab bertingkai-pingkai tak terlerai, tabrak-lari tabrak-
lari, baku caci-maki! otakku bilang: diabetes! mulutku
bilang: dialapar! tapi lambung dan duburku koor lain lagi:
diarakus diarakus! astagfirullah, begitu biankah rakus
menguras segala, rakus akan kebenaran atau memang
benar diarakus atas segala hal, tak peduli salah atau benar!
astagfirullah!

astagfirullah wahai diri, diriku, urat dan nadi, darah dan
gairah tumpah di arus jutaan jaringan anatomi ini, ruh dan
jasad ini, astagfirullah! astagfirullah kanal-kanal salah arus
menjadi anak-anak nakal dalam diri, wahai anak-anak nakal
banyak lagak salah urus jadi anak-anak galak yang tumpang
tindih antara timpang dan rintih, antara sayang dan sedih,
petak-umpet membangun pedih, repet-merepet tak sampai-
sampai tak letih-letih, di sana dan di sini, di kamar-kamar
malam di rumah diri, ekstasi saling sodomi, zalimi duhai
zalim menzalimi, saling makar di kelam kamar tak terperi.

astagfirullah terbunuh sudah daku
di hari-hari huru-hara diriku
di duka satu koma tiga triliyun
ngilu bertimbun-timbun
duhai tak usai-usai istigfarku
padamu
ya Allah!

astagfirullah
laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyil aziim


Cukup banyak gagasan Hamid Jabbar yang sangat berarti bagi perkembangan sastra Indonesia. Namun, yang paling penting dicatat adalah gagasannya mempertemukan sastrawan dengan para pelajar dan mahasiswa, dalam acara “Siswa Bertanya, Sastrawan Bicara.” Bagi pelajar, bertemu langsung dengan sastrawan adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Mereka tidak saja bisa bertanya mengenai bagaimana cara menulis karya sastra, tetapi juga bisa mendapat ilmu secara langsung dari para sastrawan itu bagaimana menyikapi hidup dan kehidupan, serta berbagi pengalaman tentang apa saja. Dengan mendekati pelajar, mahasiswa, dan guru-guru di sekolah-sekolah, diharapkan apresiasi sastra di dunia pendidikan semakin meningkat. Dan, cukuplah gagasan Hamid Jabbar yang mulia seperti itu diteruskan oleh sahabat dan generasi di bawahnya.
Ada satu lagi puisi Hamid Jabbar yang menurut saya sangat indah, yang temanya sama dengan puisi “Derai-derai Cemara” karya Chairil Anwar. Ada baiknya saya kutip sajak itu secara utuh untuk melengkapi salam hormat saya kepada penyair Hamid Jabbar.


Aroma Maut

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya sampai ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain datang sendiri tak bisa lain!)


Pada Sabtu malam, 29 Mei 2004, Hamid Jabbar, suami Lubuk Minturun ini, meninggal di mimbar puisi. Kematiannya itu “bak panglima perang yang meninggal di titik pusat medan peperangan” sebagaimana dikatakan Emha Ainun Nadjib. Hamid Jabbar dimakamkan di pemakaman Pondok Rangon, Jakarta Timur.


Acuan

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Eneste, Pamusuk. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Horison. Tahun XXXVIII, No. 7, Juli 2004.
Ismail, Taufiq et.al. (ed.). 1995. Ketika Kata Ketika Warna. Jakarta: Yayasan Ananda.
_____. 2001. Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi. Jakarta: Horison.
Jabbar, Hamid. 1998. Super Hilang: Segerobak Sajak. Jakarta: Balai Pustaka.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Citayam, 19 Juli 2007

Ramadhan KH dan Puisi Perlawanan

oleh Asep Sambodja

Ramadhan Kartahadimadja atau yang terkenal sebagai Ramadhan KH lahir dan meninggal pada tanggal yang sama, yakni 16 Maret. Ia lahir di Bandung, 16 Maret 1927 dan meninggal di Cape Town, Afrika Selatan pada 16 Maret 2006 pada usia 79 tahun. Warisan yang ditinggalkan Ramadhan KH sungguh luar biasa. Di bidang sastra, ia telah melahirkan buku kumpulan puisi Priangan Si Jelita (1956) yang menurut Sapardi Djoko Damono, penyair dan guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), merupakan puisi modern berbentuk kinanti terbaik yang pernah lahir di Indonesia.
Dalam buku yang berisi 21 puisi itu, Ramadhan KH sangat intens menggambarkan kehidupan sosial politik di Jawa Barat, yang saat itu diwarnai dengan berbagai kekerasan yang ditimbulkan pemberontakan Darul Islam di bawah pimpinan S.M. Kartosoewirjo—yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada Maret 1948—yang mengakibatkan suasana teror dan mencekam di wilayah Priangan (Jawa Barat). Dalam periode 1948 (saat Belanda menduduki Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu, dan menangkap Presiden Soekarno) hingga 1962 (saat Kartosoewirjo menyerahkan diri pada militer Indonesia dan dihukum mati pada tahun itu juga) situasi sosial dan politik di Jawa Barat tidaklah aman damai. Ini tergambar dari perasaan takut yang diidap banyak orang, termasuk Ramadhan sendiri, saat melakukan perjalanan antarkota Bandung, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon, karena sewaktu-waktu nyawa bisa melayang jika dihadang oleh gerilyawan Kartosoewirjo.
Dalam situasi seperti itu, Ramadhan sebagai penyair menulis, “Penyair paling setia/ mengajak sekali waktu untuk bersikap.” Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa konflik antara kelompok Kartosoewirjo dengan kolonial Belanda dan kemudian dengan militer Indonesia mengakibatkan penderitaan di pihak masyarakat yang sebenarnya tidak terlibat secara langsung dalam perebutan kekuasaan. Karena itu, sebagai penyair, Ramadhan pun sadar bahwa ia harus melibatkan diri dengan caranya sendiri; melawan dengan puisi.

Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.

Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan

Dara!
bimbang hanya
mencekik diri sendiri!

Dara!
takut hanya
buat makhluk pengecut!


Ramadhan mengakui bahwa dalam menulis puisi, ia sangat terinspirasi oleh penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca. Dalam buku Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang disusun Pamusuk Eneste (1986), Ramadhan mengaku tergila-gila dengan sastrawan Amerika Latin seperti Miguel Angel Asturias, Pablo Neruda, J. Luis Borges, dan terutama sekali F.G. Lorca, karena persoalan sosial politik yang mereka ungkap dalam karyanya sangat relevan bila diaplikasikan di Indonesia.
Meskipun terasa adanya pengaruh Lorca dalam puisi Ramadhan, terutama tentang kecintaannya pada alam pegunungan Spanyol, vitalitas hidup para petani, dan hasrat cinta anak manusia di masa perang, namun menurut Harry Aveling, dalam Ramadhan (2003), puisi-puisi Ramadhan tetap mampu menampilkan keunikan dan kebanggaan pada dunia Ramadhan sendiri, yakni Jawa Barat pada era 1950-an.
Dapat dikatakan, Priangan Si Jelita merupakan karya masterpiece Ramadhan KH, karena setelah itu tidak ada buku kumpulan puisi yang diterbitkannya lagi. Ia lebih banyak menulis novel. Dari tangannya, telah lahir empat novel, yakni Royan Revolusi (1970), Kemelut Hidup (1976), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1990). Yang menarik, sebagian besar novel Ramadhan KH itu berbicara tentang korupsi, sebuah pilihan yang berani dan menunjukkan sikap Ramadhan yang sangat tegas terhadap korupsi. Sikap seperti ini muncul karena pengalamannya sebagai wartawan kantor berita Antara selama 13 tahun dan hubungannya yang demikian baik dengan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis, dan Dayat Hardjakusumah (orangtua group musik Bimbo), yang menurut Ramadhan sendiri “sangat cermat cara kerjanya, peka terhadap penderitaan lingkungan, dan menuntut kecepatan dalam bersaing dengan kantor berita lain.” (lihat Eneste, 1986).
Berthold Damshauser dalam Ramadhan (2003) menilai Keluarga Permana merupakan novel terpenting Ramadhan KH. Menurut kritikus sastra asal Jerman itu, untuk pertama kali dalam kesusastraan Indonesia masalah pernikahan antaragama diangkat menjadi tema sebuah novel. Dalam novel yang memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1976 ini pernikahan seorang perempuan Muslim dengan seorang lelaki Katolik kandas karena baik pihak keluarga istri maupun pihak keluarga suami malu kepada tetangga dan kerabat tentang pernikahan ini. “Sikap ini menyebabkan terjadinya sejumlah konflik yang terlalu berat untuk dapat diatasi,” tulis Damshauser.
Novel Ramadhan yang lain, Ladang Perminus, yang membawa penulisnya meraih penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 1993, dinilai Berthold Damshauser sebagai tindakan yang cukup berani karena menggarap tema korupsi—yang berangkat dari kasus korupsi di perusahaan minyak Negara (Pertamina) pada 1970-an yang tersiar di harian Indonesia Raya—yang menyejajarkan nama Ramadhan KH dengan Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer.
Sementara Putu Wijaya (1990) mengkritik Ladang Perminus sebagai sastra propaganda, hitam putih, sastra bertendens, yang penuh pesan moral, meskipun di sisi lain Putu Wijaya juga melihat konsistensi Ramadhan dalam mengangkat kasus-kasus korupsi dalam novelnya. Itu memang merupakan pilihan pengarangnya. Kritikan tajam Putu Wijaya itu karena sebelumnya Ramadhan telah menghasilkan karya puisi yang demikian gemilang, Priangan Si Jelita, sehingga Putu merasa kehilangan intensitas bahasa dalam novel-novel Ramadhan. Yang terasa, kata Putu, hanya sederetan informasi yang disampaikan melalui satu perspektif saja.
Sebelum Ramadhan meninggal dunia, ia kesohor sebagai penulis buku biografi dan otobiografi yang andal. Namanya melambung tinggi saat ia diminta untuk menulis biografi (yang kemudian diolah menjadi otobiografi) Presiden Soeharto, yang saat itu (1980-an) tengah menjadi orang kuat di Indonesia, bahkan disegani di Asia Tenggara. Soeharto, melalui G. Dwipayana, meminta Ramadhan menuliskan biografinya karena kesuksesan Ramadhan menulis buku biografi Inggit Garnasih, Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981).
Menurut pengakuan Ramadhan, ia akan menulis biografi dengan enak kalau ia sendiri yang menginginkannya, biasanya berangkat dari kekaguman atau kesukaan Ramadhan terhadap tokoh yang akan ditulisnya. Dengan demikian, pengagum Oriana Fallaci ini akan menulis dengan penuh totalitas, seperti penulisan biografi Dewi Dja yang berjudul Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982), kemudian biografi E.A. Kawilarang dan Ali Sadikin.
Dalam wawancara dengan berbagai media massa, Ramadhan mengaku bahwa ia hanya bertemu dua kali dengan Presiden Soeharto dalam proses pembuatan buku itu. Selebihnya, ia hanya memberikan pertanyaan tertulis dan dijawab Soeharto dalam bentuk rekaman kaset. Karenanya, Ramadhan merasa tidak bisa menangkap feel atau perasaan Soeharto selama pembuatan buku itu. Selain itu, sebenarnya ia juga merasa takut salah menulis, mengingat orang yang ditulis masih menjadi presiden. Apalagi saat itu banyak pertanyaan kritis yang diajukan sesama sastrawan yang juga sahabat-sahabatnya, kenapa mau menulis biografi Soeharto?
Masyarakat tahu bahwa pada akhirnya buku itu akhirnya terbit juga. Judulnya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988). Memang betul, sebagaimana dikatakan Ramadhan, tidak tertangkap perasaan Soeharto dalam buku itu. “Ketika masih dalam pengumpulan bahan, saya minta kepada Pak Dipo (Dwipayana) supaya dibolehkan mengajukan pertanyaan sebebas-bebasnya. Kalau saya menanyakan sesuatu, supaya jangan ditanyakan kenapa saya menanyakan hal itu. Jangan dicurigai siapa di belakang saya, siapa yang membawa pertanyaan itu. Soalnya tujuannya cuma satu, supaya buku itu menarik. Dan Pak Dipo menagbulkan. Tetapi toh masih ada saja kekurangannya. Ketika pertanyaan itu diajukan, memang (jawabannya) tidak keluar dari Pak Harto. Minim sekali. Pikirannya, ucapannya, dan action-nya memang ya, tetapi perasaannya tidak. Itu sebabnya judulnya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, karena saya tidak berhasil mengorek perasaannya. Pak Harto aganya pandai menyimpan perasaan,” ujar Ramadhan kepada wartawan Media Indonesia, Djadjat Sudradjat.
Meskipun demikian, Amran Nasution (1989), wartawan Tempo saat itu, memuji buku ini masih lebih baik dari buku O.G. Roeder, The Smiling General, President Soeharto of Indonesia (1969). Bagaimanapun, jika menulis berdasarkan kemauan sendiri pasti jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan menulis atas permintaan orang lain, meskipun honornya sangat besar. Dalam menulis biografi Soeharto, misalnya, Ramadhan menerima sebuah mobil baru dan jaminan hidup layak selama dua tahun.
Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 dan meninggal pada 27 Januari 2008, sejumlah antitesa dari biografi Soeharto itu bermunculan, sedikit di antaranya adalah Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2004), Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965 (2006), dan Neraka Rezim Soeharto: Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru (2008). Apakah Kang Atun, panggilan akrab Ramadhan KH salah? Tentu tidak. Bahkan, Ramadhan telah berjasa menyumbangkan sumber sejarah dari perspektif Soeharto, sementara lawan-lawan politik yang menjadi korban Soeharto baru bisa bersuara setelah tidak ada pengekangan berekspresi. Sama halnya dengan Nugroho Notosusanto yang menuliskan sejarah nasional Indonesia dari perspektif penguasa saat itu.
Kini, tugas sejarawan yang memiliki nuranilah yang harus menulis ulang sejarah bangsa Indonesia. Tugas Ramadhan sudah selesai sampai di sini. Selamat jalan, Kang Atun. ***


Bibliografi


Budianta, Eka. 2004. “Dari Mata Ramadhan KH,” dalam On The Record. Jakarta:
Yayasan Lontar.
Eneste, Pamusuk. 1986. Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gunung
Agung.
_____. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Jamil, Taufiq Ikram dan Maria Hartiningsih. 1991. “Lebih Jauh dengan Ramadhan KH,”
dalam Kompas, 24 Februari.
Kleden, Hermien Y. 1994. “Wartawan, Novelis, Penulis Biografi,” dalam Matra,
November.
Maulana, Soni Farid, dkk. 2006. “Selamat Jalan, Kang Ramadhan KH,” dalam Pikiran
Rakyat, 17 Maret.
Nasution, Amran, dkk. 1989. “Dan Berkatalah Pak Harto kepada Bangsanya,” dalam
Tempo, 7 Januari.
Ramadhan KH. 1975. Priangan Si Jelita. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 2003. Priangan Si Jelita: Songs of Praise to Sunda, West Java; Priangan
la Jolie; Priangan, Herrliches Land.
Magelang: Indonesia Tera.
Setiawan, Hawe. 2000. “Cermin Kaca Tokoh Indonesia,” dalam Detak, 20-26 Juni.
Sudradjat, Djadjat. 1992. “Ramadhan KH: Bang Ali Membangun Jakarta dari Nol,”
dalam Media Indonesia, 27 Desember.
Wikipedia Indonesia.
Wijaya, Putu. 1990. “Menggeber Korupsi Perminyakan,” dalam Tempo, 6 Oktober.

Rabu, 03 September 2008

Goenawan Mohamad, Gatoloco, Homo Significans

oleh Asep Sambodja

Goenawan Mohamad adalah salah satu penyair penting Indonesia, karena dilihat dari segi isi, bentuk, maupun cara pengungkapan, sajak-sajaknya memiliki nilai yang tinggi. Penggunaan metafor yang orisinil dan kecermatan dalam pemilihan diksi membuat sajak-sajaknya menempati posisi terhormat dalam peta perpuisian Indonesia. Kepenyairannya mulai tampak pada awal tahun 1960-an, beberapa tahun setelah kemunculan Subagio Sastrowardoyo, Rendra, dan Ajip Rosidi. Ia muncul berbarengan dengan Sapardi Djoko Damono, yang sama-sama memiliki pasemon yang kuat dan permajasan yang efektif, meskipun ada perbedaan di antara keduanya.
Kelebihan Goenawan Mohamad dalam menciptakan sajak-sajak yang bermakna, dalam arti bisa bertahan dalam perubahan waktu yang lama, antara lain disebabkan wawasannya yang luas tentang banyak hal, sebagaimana Harry Aveling menyebut Goenawan was widely-read in socialist and socio-political writings saat membaca sajak “Internasionale”. Selain itu, kecakapannya sebagai wartawan membantunya untuk lebih peka dalam memandang soal-soal kemanusiaan, dan dapat membaca dengan jelas ketidakadilan dan kepincangan yang terjadi di masyarakatnya. Peka, sesuatu yang senantiasa ada dalam diri seorang intelektual.
Dalam pengantar buku kumpulan puisinya yang pertama, Pariksit, Goenawan Mohamad mengaku bahwa Pariksit dibuat sekadar memenuhi “keinginan kenes untuk memiliki sebuah kumpulan puisi seperti penyair-penyair lain, untuk mempunyai bekas yang gampang dilihat orang dalam pergantian waktu”. Tapi sejauh yang kita baca, terbukti langkah yang diambil Goenawan dengan menulis puisi lebih merupakan peninggalan jejak terra incognita ketimbang kekenesan seorang penyair. Ia, misalnya, menganggap musuh penyair bukanlah para kritisi, melainkan salah cetak. Dan ternyata penggunaan kata secara cermat dan hati-hati seperti itu menjadi salah satu kekuatan Goenawan Mohamad, yang mengaku mengikuti tradisi kepenyairan Chairil Anwar, yang menggali kata hingga ke kernwoord, kernbeeld, atau menganggap kata adalah segala-galanya dalam puisi.
Awal keberhasilan Goenawan Mohamad sebagai penyair ditandai dengan sajak panjangnya, “Pariksit”, yang berisi renungan tentang kematian. Sajak tersebut mendapat pujian dari kritikus sastra seperti M.S. Hutagalung dan A. Teeuw. Sajak yang ditulis saat Goenawan Mohamad berusia 22 tahun ini, oleh Teeuw dikatakan “menjadi salah satu di antara cahaya terang dalam persajakan modern Indonesia, menjadi suatu janji tentang apa yang bakal datang di tengah-tengah tahun kegelapan”. Burton Raffel pun menilai puisi Goenawan Mohamad memiliki tenaga gaib, keagungan sebuah misteri, dan nyanyi murni (pure songs).
Banyak kritikus sastra, kecuali A. Teeuw dan Sapardi Djoko Damono, yang terus-terang mengaku kesulitan memahami sajak-sajak Goenawan Mohamad, yang kini secara lengkap dihimpun dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Goenawan Mohamad: Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Karenanya, Sapardi Djoko Damono perlu berkali-kali mengutip sastrawan Inggris kelahiran Amerika Serikat, T.S. Eliot, bahwa puisi bisa dihayati (experienced) sebelum dipahami (understood).
Namun, kalau kita menjadikan manusia sebagai kunci dari segala misteri pengetahuan, sebagaimana yang dikatakan filsuf Rusia, Nicolas Berdyaev, bahwa the essential and fundamental problem is the problem of man – of his knowledge, his freedom, his creativeness, maka dengan mudah kita bisa memahami sajak-sajak Goenawan Mohamad.
Sajak-sajak Goenawan Mohamad yang terhimpun dalam Interlude, oleh sebagian besar kritikus sastra, merupakan sajak-sajaknya yang berhasil. Sajak “Tamu”, “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, dan “Gatoloco” menunjukkan kemampuan Goenawan Mohamad menciptakan suasana dramatik yang sangat kuat dalam puisi lirik. Ketiga sajak itu, menurut penilaian Sapardi Djoko Damono, “adalah yang paling kuat di antara sajak-sajak Goenawan, bahkan di antara sejumlah kecil sajak yang indah karya penyair Indonesia”.
Teeuw menilai sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” adalah contoh sederhana, tetapi mengagumkan, tentang pembayangan manusia sebagai homo significans, yang berusaha memberi arti kepada segala, dan yang selalu sibuk mengabadikan, baik dirinya sendiri maupun benda-benda dan kata-kata. Sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” yang indah tersebut memperlihatkan upaya penyair untuk mengabadikan sesuatu yang kelak retak, yang bakal hancur, musnah. Sajak itu merupakan hasil pengelanaan pikiran Goenawan Mohamad tentang sebuah poci keramik, yang bisa ditafsirkan sebagai karya manusia atau bahkan kehidupan manusia itu sendiri. Kalimat puitis “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi” memiliki makna yang dalam, bahwa kita bisa memberi makna pada kehidupan yang sementara.
Teeuw menafsirkan sajak tersebut dengan menganalogikan, saat dunia nyata menghilang, sesuatu yang diberi harga oleh penyair mungkin akan kekal. Ketika dunia nyata Italia abad 13 dan Inggris tahun 1600 sudah hilang, kita masih bisa membaca Dante, Shakespeare, Gibran, Prapanca, Ronggowarsito, sebagai penyair besar yang membuat kekal yang sia-sia, membikin abadi yang kelak retak. Rene wellek dan Austin Warren dalam Theory of Literature pernah mengatakan, karya sastra memang dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filasafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.
Dalam sajak Goenawan Mohamad lainnya, “Pada Sebuah Pantai: Interlude”, kita juga mendapat gambaran yang sama, bahwa dalam dunia yang nyata, ruang rutin, alam yang makin praktis, si penyair bertugas, terpanggil, terpilih, atau bahkan terkutuk untuk memberi harga pada yang sia-sia, dengan cara apa pun, karena “kita memang bersandar pada mungkin” -- citraan intelektual yang menunjukkan sikap skeptis, khas Rene Descartes, yang banyak mendasari esei-esei Goenawan Mohamad.
Hal yang sama akan kita temui saat membaca “Gatoloco”. Dalam mitos Jawa dijelaskan bahwa Gatoloco adalah seorang ahli mistik yang menganut aliran ekstrem, yang memungkiri perbedaan antara Khaliq dan makhluk, serta menganggap dirinya setara dengan Tuhan. Dengan sombongnya Gatoloco menggembar-gemborkan bahwa Tuhan dan alam semesta tidak menjadi teka-teki lagi baginya. Dalam sajak Goenawan Mohamad ini, Gatoloco digambarkan kalah debat dengan Tuhan.
Dalam Suluk Gatoloco karangan Bagus Burhan atau Raden Ngabehi Ronggowarsito, Gatoloco (Gato = asal, Loco = ngomong) digambarkan sebagai seorang yang senang berdebat dengan para santri dan ulama, untuk menguji sejauhmana keislaman mereka. Karena Gatoloco pandai membolak-balik kata dengan perkataan yang kasar dan dibingkai dengan humor yang kasar pula, maka para santri merasa kuwalahan menghadapi Gatoloco. Semuanya tidak sanggup memenangkan perdebatannya dengan Gatoloco. Karena itu, tidak heran bila Gatoloco menganggap dirinyalah yang paling tahu tentang segala sesuatu.
Dalam sajak “Gatoloco”, Goenawan Mohamad ingin menggambarkan betapa tidak berharganya Gatoloco di hadapan Tuhan. Gatoloco yang suka berdebat dengan mengatasnamakan Tuhan, tertumbuk pada satu kesadaran baru, bahwa manusia hanyalah seorang pengembara, “seorang turis dengan karcis dua jurusan”. Tuhan yang selama ini diperjuangkan Gatoloco di seminar-seminar, pada akhirnya mengatakan, “Aku bukan milikmu” dan “kau tak bisa lagi memamerkanKu”, karena Gatoloco hanya memakai nama Tuhan untuk kepentingannya sendiri. Semata-mata untuk kepentingannya sendiri.
Tuhan sebagai sang maha sutradara dalam pertunjukan abadi di alam ini menjadi persoalan tersendiri bagi manusia yang diciptakanNya. Sajak “Meditasi’ merupakan sajak Goenawan Mohamad yang penuh gairah pencarian Tuhan yang maha gaib dan maha rahasia. Keterangan “dalam tiga waktu” yang tercantum dalam sajak tersebut menyiratkan proses kejadian manusia sejak lahir, masa kehidupan, dan mati.
Dalam fase kelahiran, Goenawan Mohamad menyadari bahwa manusia selalu berupaya mengungkap segala teka-teki kehidupan, yang dikatakannya sebagai “memburu kata”, untuk menunjukkan keberadaan atau eksistensinya sebagai manusia, etre-pour-soi seperti yang dikatakan Jean-Paul Sartre. Manusia tidak akan menjadi apa-apa sampai kemudian dia menjadi sesuatu yang dia bentuk sendiri. Sebab, sebelum “memburu kata”, manusia ibarat apa yang dikatakan Friedrich Nietzche sebagai das nicht festgestellte tier atau binatang yang belum sempurna buatannya.
Kehidupan, bagi Goenawan Mohamad, adalah sesuatu yang penuh dengan ketidakpastian, seperti yang tercermin dalam sajaknya, “Expatriate”. Kondisi semacam ini, situasi keberadaan manusia secara konkret di dunia ini, sebagaimana yang ia sadari, sudah terlempar ada di bumi ini. Martin Heidegger menyebut surga sebagai kecemasan yang mendalam, cemas akan berbagai hal yang melekat pada situasi keterlemparan manusia di dunia. Kehadiran manusia di bumi bukanlah atas kehendak manusia sendiri, melainkan kehendak Sang Pencipta.
Sajak “Expatriate” menggambarkan seorang manusia yang memulai kehidupannya di bumi. Ia merasa damai, meskipun sebenarnya ia banyak tak mengerti. Dalam sajak “Afterword”, kecemasan akan ketidakpastian hidup di dunia itu hanya bersifat permakluman. “Begitulah, kita mesti mengalah. Akhirnya langit toh hanya satu. Musim tak bisa lebih. Mengapa bertanya adakah warna di luar sana?”
Dan kematian, seperti kata William Barret, adalah sesuatu yang sangat individual, dialami secara pribadi dalam kesendirian, orang lain tidak bisa masuk ke wilayah ini. Ketika menghadapi kematian, semua manusia akan merasa bahwa dirinya sebenarnya hanyalah seorang individu yang yatim piatu. Dalam sajak “Buat HJ dan PG”, Goenawan mengisahkan seorang ayah yang ingin sekali menunda kematiannya gara-gara mendapat telegram dari anaknya yang hendak pulang dari rantau. Sang ayah menunjukkan potret anaknya saat diambil gambarnya pada tahun 1985 kepada malaikat, untuk memenuhi keinginannya menemui sang anak. Tentu saja sang malaikat tertawa, dan jadwal kematian tidak bisa ditawar. Ketika sang anak datang, sang ayah sudah terkubur rapi.
Sajak Goenawan Mohamad yang melukiskan tragedi kematian dengan baik adalah “Tamu”, satu-satunya sajak Goenawan yang tercipta pada 1965. Dari sajak ini, tampak sekali kecemasan aku-lirik dalam menghadapi kematian, meskipun ia memiliki firasat bahwa “tamu”-nya atau malaikat maut telah menentukan jadwal kematiannya, atau telah “menyandarkan senapang ke arah kertas penanggalan”.
Suasana sepi, murung, dan tak berdaya dibangun Goenawan dengan simbol-simbol yang orisinil, seperti malaikat yang dilambangkan dengan “pemburu dari kota yang membawa senapang” dan waktu yang dilambangkan dengan “kertas penanggalan”. Bagi Teeuw, sajak “Tamu” mengisyaratkan bahwa maut adalah teman manusia yang tidak dapat ditolak. Kematian bukan untuk disesali, melainkan harus diterima apa adanya, sebagaimana manusia tidak mampu menolak kehadirannya di dunia.
Setidaknya ada 15 sajak Goenawan Mohamad yang bermotif kematian. Dalam pandangannya, kematian bukanlah sesuatu yang mesti ditakuti dan disesali, seperti yang ditulisnya dalam sebuah catatan pinggirnya, “Agama memang mengajar banyak tentang mati dan kefanaan, tapi juga membisiki kita untuk berterima kasih karena karunia yang bernama hidup.”
Dalam menuangkan gagasannya dalam bentuk sajak, Goenawan Mohamad sering menggunakan bentuk sajak dramatik atau naratif. Barangkali dengan cara seperti itu lebih memudahkannya berkomunikasi dengan pembaca. Hal seperti ini dapat kita lihat dalam sajak-sajaknya yang menyoroti persoalan sosial, seperti “Cerita Buat Yap Thiam Hien”, “Der Prozess”, “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, “Aung San Suu Kyi”, “Misalkan Kita di Sarajevo”, dan “Zagreb”.
Sementara sajak-sajak lirik Goenawan Mohamad seperti “Kabut”, “Surat Cinta’, “Nina Bobok”, “Malam yang Susut Kelabu”, dan “Ranjang Pengantin, Kopenhagen”, membuktikan bahwa Goenawan Mohamad adalah seorang penyair lirik terkemuka. Dalam sajak-sajak lirik tersebut, yang diutamakan ialah lukisan perasaan penyairnya, sesuatu yang “tanpa waktu” seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad dalam buku terbarunya, Eksotopi. Dalam pengamatan Sapardi, saat banyak penyair lain menaruh perhatian pada puisi sosial pada tahun 1960-an, Goenawan Mohamad justru bertahan di puisi lirik.
Sajak lirik yang berisi suasana batin Goenawan Mohamad seringkali sulit ditafsirkan ataupun diinterpretasikan, namun enak dinikmati. Hal ini misalnya dapat kita temui dalam sajak-sajaknya seperti “Surat Cinta”, “Kabut”, dan “Barangkali Telah Kuseka Namamu”, sebab bagi Goenawan, “menulis puisi lebih sulit daripada menulis esai. Mungkin karena esai adalah ide, perasaan, dan kata-kata, sedangkan puisi adalah suasana hati, ide yang belum persis terumuskan.” ***