Kamis, 04 September 2008

Nyanyi Sunyi Seorang Pramoedya Ananta Toer

oleh Asep Sambodja

PRAMOEDYA ANANTA TOER. Sejarah sastra Indonesia tidak akan lengkap tanpa menyebut nama sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 ini. Karya sastra yang ditulisnya bukanlah karya sastra yang sekadar dan semata-mata untuk menghibur pembacanya, melainkan karya sastra yang sarat dengan semangat untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsanya, termasuk di dalamnya meningkatkan martabat perempuan, serta mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Ada sebuah nation yang dicita-citakannya, yakni nation yang berkeadilan, tidak ada penindasan, makanya Pram, demikian ia akrab disapa, sangat menentang feodalisme yang mengukuhkan dominasi “darah biru” terhadap manusia kebanyakan.
Sebagai seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Toer sama pentingnya dengan karya sastra yang ditulisnya—yang menurutnya sebagai anak-anak rohaninya—karena keduanya memiliki sejarahnya sendiri. Keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang menurut Pram “bukan organisasi bandit”, membuat perjalanan hidupnya bagaikan selalu berada di lidah gelombang pasang. Rezim Orde Baru yang memegang kekuasaan selama 32 tahun (1966-1998) memasukkan Lekra sebagai organisasi terlarang, karena dianggap sebagai underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan, selama pemerintahan Soeharto itu, kehidupan Pram senantiasa terbelenggu. Dalam beberapa kali wawancara penulis dengan Pramoedya, baik di kediamannya di Utan Kayu, Jakarta Timur maupun di Bojonggede, Jawa Barat, ia selalu mengatakan bahwa kemerdekaannya telah dirampas oleh rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan. “Negeri macam apa ini?” katanya berulang kali.
Tapi, Pram bukanlah sastrawan yang cengeng. Meskipun ia dipenjara sejak 1965, ia terus melawan, ia terus menulis, karena kemampuannya menulis menjadi satu-satunya senjata yang masih ia miliki. Sebenarnya, suara Pram, kata-kata yang ia ucapkan bisa menjadi senjata untuk melawan represi penguasa. Namun, kata-kata yang diucapkannya selalu diterbangkan angin mamiri, karena percuma saja, di zaman Soeharto orang-orang PKI ataupun orang-orang yang dicap PKI seperti Pram tidak boleh bicara. Media massa dan penerbit dilarang mencetak apa yang dikatakan Pram. Itulah yang penulis alami ketika hasil wawancara panjang lebar dengan Pramoedya tidak bisa dimuat di majalah Sinar, tempat penulis bekerja sebagai wartawan pada pertengahan 1990-an.
Di dalam penjara, ia terus menulis, baik novel tetralogi—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca—yang melambungkan namanya sebagai “sastrawan nomor wahid di Indonesia” dan yang “tanpa karyanya, seluruh dunia hampir-hampir tidak mengenal kehadiran kesusastraan Indonesia modern” seperti yang dikatakan A. Teeuw, maupun laporan atau catatan-catatan Pulau Buru yang dibukukan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1-2 yang membongkar kekejaman/penyiksaan di penjara tersebut. Dalam buku itu, misalnya, ada catatan rinci tentang teman-temannya yang meninggal di Pulau Buru: ada yang mati bunuh diri minum endrin, deasenon, thiodan, bunuh diri dengan menggantung, 40 orang dibunuh Angkatan Darat, tertimpa pohon, terkena petir, dan yang terbanyak karena terserang berbagai penyakit.
Pada 21 Desember 1979, Pram dibebaskan karena terbukti tidak terlibat dalam G30S 1965 dan dinyatakan tidak bersalah tanpa proses pengadilan. Tapi, sesungguhnya, Pram tidak sepenuhnya bebas, karena ia masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, dan tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, serta wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih dua tahun. Setiap orang yang bertamu di rumahnya harus mengisi buku tamu khusus, meskipun bertandang untuk sekadar ngobrol melepas kangen. Buku-buku yang diterbitkan selepas ia keluar dari penjara dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung era Soeharto. Mahasiswa yang nekat memperjualbelikan buku-buku Pram diganjar dengan hukuman penjara. Pram, dengan sendirinya, menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto.
Adalah penyair dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Toeti Heraty, yang hampir setiap tahun mengusulkan Pramoedya Ananta Toer untuk mendapat Hadiah Nobel Sastra. Berkali-kali nama Pram masuk sebagai nominasi penerima Hadiah Nobel, namun hingga ia meninggal pada 30 April 2006, hadiah itu tak sampai padanya, meskipun Pram sendiri mengatakan, ia menulis bukan untuk mendapatkan penghargaan. Ia sama sekali tak pernah mengharapkan apa-apa dari luar dirinya. Bahkan, hingga akhir hayatnya, selain kepada anak-anak muda yang “di kantongnya tidak ada uang hasil korupsi”, ia sama sekali tidak percaya pada elite politik Indonesia, terutama karena kasus pembunuhan terhadap jutaan pengikut Soekarno pada 1965 tidak pernah dibawa ke ruang pengadilan.
Pada 19 Juli 1995, Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina memberikan anugerah Magsaysay di bidang jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kreatif kepada Pramoedya Ananta Toer. Tanpa diduga, Taufiq Ismail mempelopori penolakan pemberian anugerah itu. Nama-nama sastrawan besar Indonesia turut berderet di belakang nama Taufiq Ismail, yakni H.B. Jassin, Mochtar Lubis (keduanya juga pernah mendapat penghargaan yang sama di zaman Orde Lama), Asrul Sani, Rendra, Danarto, Mochtar Pabottingi, Rachmat Djoko Pradopo, Abdul Rachman Saleh (sekarang Jaksa Agung), Ikranagara, Wiratmo Soekito, Rosihan Anwar, dan beberapa nama penting lainnya. Dalam majalah Horison edisi khusus yang bertajuk “Hadiah Magsaysay dan Kita, 1995”, yang terbit bulan Oktober 1995, kelompok yang disebut “Lubis Twenty Six” oleh Goenawan Mohamad ini—karena jumlah penandatangan pernyataan penolakan itu 26 orang—meminta Yayasan Ramon Magsaysay untuk tidak melupakan apa yang telah dilakukan Pram di tahun 1960-an. Pram, antara lain, dianggap telah membungkam kreativitas sastrawan dan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Pram tak bergeming atas penolakan itu. Ia menganggapnya sepi. Ia tak peduli, meskipun ia sendiri dilarang ke luar negeri untuk mengambil penghargaan itu—yang kemudian hanya bisa diwakili oleh Maimunah, istrinya. Namun, masih ada suara anak-anak muda yang dimotori Ariel Heryanto, Halim H.D., Tommy F. Awuy, Acep Zamzam Noor, Isti Nugroho, dan Sitok Srengenge yang meng-counter suara Taufiq Ismail dan kawan-kawan, yang antara lain menyatakan, “Wacana kebudayaan Indonesia hingga kini belum beranjak dari pengobaran tema dan konflik lama yang bersemangat primordialistik. Masa depan membutuhkan kebudayaan yang demokratis, toleran, dan siap menerima yang lain. Oleh sebab itu, wacana pengembangan kebudayaan masa depan seyogyanya bersih dari konflik-konflik masa silam yang tidak relevan untuk masa kini.” Dalam kaitannya dengan kasus Pramoedya Ananta Toer, masih menurut pernyataan kaum muda itu, selayaknyalah kita rela memandang sebagai sebuah capaian kreativitas atas prestasi budaya salah seorang putra bangsa Indonesia. Kekhawatiran ideologis yang berlebihan, selain tidak mendewasakan juga menghambat lahirnya gagasan kritis yang mencerdaskan.
Yayasan Ramon Magsaysay sendiri menepiskan suara Taufiq dan kawan-kawan. “Yayasan mengetahui Pramoedya sebagai anggota Lekra yang di tahun 1960-an menyerang pengarang-pengarang terkemuka. Dalam kondisi serang-menyerang itu memang ada pihak yang menderita. Tetapi, itu terjadi 30 tahun lalu, yang membuat kedua pihak menderita. Pramoedya sendiri dipenjara 14 tahun karena dituduh komunis, karyanya masih tidak diizinkan terbit di Indonesia, dan dia dilarang bepergian ke luar negeri,” bunyi pernyataan itu.
Polemik hadiah Magsaysay yang ramai di media massa Indonesia pasca-pembredelan majalah Tempo, Detik, Editor pada Juli 1994, itu memperlihatkan pentingnya Pram dalam sejarah bangsa Indonesia, yang menurut Goenawan Mohamad, telah menjadi ikon tersendiri dalam perjalanan bangsa selama lebih dari setengah abad. Ketika Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya pada 21 Mei 1998, kebebasan yang selama ini didamba-dambakan baru bisa diwujudkan. Buku-buku Pram yang dilarang selama Orde Baru, baru bisa diterbitkan dan diperjualbelikan secara bebas. Pembaca pun baru “mulai” membaca kembali karya-karya Pram setelah Soeharto lengser. Padahal, buku Bumi Manusia, misalnya, sejak pertama kali terbit pada 1980 hingga 2005, telah diterjemahkan sedikitnya ke dalam 34 bahasa asing, seperti bahasa Prancis, Belanda, Italia, Korea, Jerman, China, Spanyol, dan Inggris.
Karya-karya terbaik Pram itu kini dicetak ulang dengan desain yang lebih bagus pada 2005-2006 oleh Penerbit Lentera Dipantara, yang dimotori oleh anak Pram sendiri, Astuti Ananta Toer. Dari sini kita tahu bahwa kita bisa membicarakan dan membaca Pram dari biografi maupun puluhan karya-karyanya. Bukan hanya keluarganya saja yang telah diwarisi oleh Pram, tapi bangsa Indonesia patut bersyukur telah memiliki seorang sastrawan yang berdedikasi tinggi, seorang manusia Indonesia yang teramat teguh memegang pendirian, baik melalui sikap hidupnya maupun melalui karya-karyanya. Sebagaimana salah satu judul novelnya, saya ingin mengatakan bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah anak semua bangsa. ***

Acuan

Budianta, Eka. 2005. Mendengar Pramoedya. Jakarta: Atmochademas Persada.
Eneste, Pamusuk. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Horisaon. 6-10/XXX/5, Oktober 1995.
Kurnia, Anton. 2006. Ensiklopedi Sastra Dunia. Jakarta: Iboekoe.
Laksana, A.S. 1997. Polemik Hadiah Magsaysay. Jakarta: ISAI dan Jaringan Kerja Budaya.
Matabaca. Vol. 4/No. 6/Februari 2006.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.
(Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah). Bandung: Mizan.
Panitia Dialog Terbuka Refleksi Kebudayaan. 1996. Refleksi Kebudayaan. Jakarta: Panitia
Dialog Terbuka Refleksi Kebudayaan.
Sambodja, Asep. 2002. “Kreativitas Saya Selesai Sampai Di Sini”, dalam Pramoedya Ananta
Toer: Perahu yang Setia dalam Badai.
Yogyakarta: Bukulaela.
Wikipedia.com

Citayam, 19 Maret 2007

Tidak ada komentar: