Sabtu, 29 Agustus 2009

Nur Jehan Bersenggama dengan Maut


oleh Asep Sambodja

Kata adalah segala-galanya dalam puisi. Demikianlah kata Sapardi Djoko Damono dalam berbagai kesempatan, baik dalam tulisannya maupun dalam ceramahnya di ruang kuliah. Kata-kata Sapardi Djoko Damono itu sangat melekat dalam ingatan saya. Dan saya menafsirkan bahwa tanpa kata puisi tak berdaya. Kekuatan sebuah puisi bertumpu pada kata. Persoalannya, kata yang seperti apa? Kata yang bagaimana? Nah, di sinilah kreativitas seorang penyair dipertaruhkan.
Seorang Remy Sylado, misalnya, ia sama sekali tidak terlalu memusingkan diri dengan bergelut menaklukkan kata-kata dalam menulis puisi. Ia menggunakan kata-kata yang berseliweran sehari-hari untuk dituangkan ke dalam puisi, sehingga lahirlah puisi-puisi mbeling. Puisi mbeling ini pada awalnya dilecehkan, namun lama-kelamaan, setelah dianalisis secara mendalam ternyata menyimpan makna yang tersirat dalam kelugasan kata-kata dalam puisi mbeling itu.
Satu contoh lagi, Sutardji Calzoum Bachri mencoba membebaskan kata dari beban ide atau makna. Ia menciptakan puisi seperti menulis mantera. Keluar begitu saja. Lepas. Bebas. Ternyata, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri itu mampu menciptakan maknanya sendiri. Dalam buku Tergantung Pada Kata, A. Teeuw mengatakan bahwa meskipun Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata-katanya, namun dalam penulisan puisi, ia masih mengontrolnya, sehingga ada kepaduan irama. Dalam hal puisi Sutardji Calzoum Bachri ini, saya menilai bahwa puisi Sutardji yang paling dahsyat adalah ketika Sutardji benar-benar memilih kata. Hal ini tampak dalam puisi “Tanah Airmata” yang demikian terjaga kata dan iramanya, sehingga menimbulkan makna yang luar biasa.
Puisi-puisi penyair Nur Jehan yang terhimpun dalam Gelisah Dara memperlihatkan bahwa ia tengah bereksperimen untuk memadukan kata-kata dengan cerita. Ia tengah memadukan puisi dengan prosa. A. Badri AQ. T. yang mengkurasi puisi-puisi Nur Jehan ini sengaja memberi porsi yang cukup besar untuk puisi-puisi prosais dalam buku ini.
Puisi, kita tahu, semakin istimewa jika kita melihatnya “serupa dara di balik tirai”. Jadi, ada yang samar-samar, ada yang tersembunyi, ada sesuatu yang membuat pembaca merasa penasaran ingin mengetahui makna di balik kata-kata itu. Sementara bahasa prosa cenderung memberi penjelasan yang lebih dibandingkan dengan bahasa puisi. Dengan demikian, kerja kreatif Nur Jehan benar-benar dipertaruhkan.
Saya melihat, puisi “Gadis Kecilmu, Lengkap Sudah, Utuh Sudah” memperlihatkan keberhasilan Nur Jehan dalam memadukan hal itu. Ia memadukan kata-kata dan cerita dalam sebuah karya yang utuh. Berikut saya kutip selengkapnya.

Gadis Kecilmu, Lengkap Sudah, Utuh Sudah

coba berjanji untuk memiliki

*hari ini, disini. Ibu, masih ingatkah, putri kecilmu, rambut kepang dua bercelana kodok menari-nari ditengah hujan, tarikan tarian kebebasan teriakkan kenaifan, sayup-sayup kudengar kau memanggilku, “Puan hentikanlah, sudah menggigil tubuhmu, biru bibir dan ujung-ujung jarimu” wajahmu kulihat sangat mengkhawatirkanku, tapi putri kecilmu ini, tetap menari hingga lelah menariknya kembali.

*baju kurung, sunting melayu, Ibu, lihatlah, cantik sekali aku, tapi kau tak sempat menyaksikan peristiwa indah ini, ahh tak mengapa, hadirmu kurasakan begitu dekat, sangat dekat..hingga detak jantungmu seirama denganku.

*di rumah ini, 14 tahun yang lalu. Ibu, masih ingatkah, kau peluk aku dalam hangat dekapanmu, bercerita tentang hidup dan kehidupan, katamu “gadisku, ingatlah pesanku ini sehingga kau menikah nanti, kau tau aku sangat menyayangimu, selalu”, tapi aku tidak mengerti yang kau katakan, katamu tentang cinta, peringatanmu tentang lelaki, bijaksanamu bertemu rupa-rupa, .gadis kecilmu ini, Ibu, hanya tertawa, tanpa mengerti apa.

coba berjanji mengikat hati

*Ibu...ahhh, lelaki itu, ternyata dia memanggilku sedari tadi, menarikku jauh dari ingatanku kepadamu, hangat sekali dia menyentuhku, lelahku, sakitku,air mata dan kerinduanku padamu membuncah meruah tumpah, jauh sudah perjalanan, gadis kecilmu, puan maharanimu, utuh sudah, lengkap sudah.

Hari ini, disini..gadis kecilmu mengikat janji, di pusaramu

Aceh Selatan, Tapaktuan, 26012009

Sebagaimana yang saya katakan di atas, Badri sebagai kurator kumpulan puisi ini memberi porsi yang cukup banyak pada puisi-puisi prosais, sementara Nur Jehan memiliki kekuatan pada puisi yang benar-benar lepas; tidak dikontrol ataupun terkontrol dengan bahasa prosa. Puisi “Malam Pertama” dan “Eureka Metamorfosa” saya pikir memperlihatkan kekuatan kepenyairan Nur Jehan. Dalam kedua puisi itu hampir semua unsur pembangun puisi dihadirkan.
Puisi “Malam Pertama” terasa padu, utuh, dan sempurna. Nur Jehan benar-benar total dalam melahirkan puisi ini. Memang banyak cara dalam menghasilkan sebuah puisi. Tapi, saya sangat yakin bahwa puisi yang baik adalah puisi yang lahir bagitu saja setelah mengalami proses pengendapan di dalam diri kita. Proses pengendapan itu bisa berlangsung lama bisa juga berlangsung sesaat. Situasi semacam ini tidak pernah terumuskan, namun senantiasa terjadi pada setiap penyair.
Puisi “Eureka Metamorfosa” lebih memperlihatkan vitalitas Nur Jehan. Puisi ini terasa lebih lepas, bebas, lebih polos, yang di dalamnya terkandung kejujuran, terasa lebih spontan, seperti tak terkontrol, keluar begitu saja. Lagi-lagi, puisi lahir seperti aliran sungai yang mengalir begitu saja. Dan kita sebagai pembaca sangat menikmati aliran kata-kata itu.
Saya ingin menggarisbawahi bahwa dalam hal kosa kata, Nur Jehan memiliki kekayaan yang luar biasa. Diksi atau pilihan katanya terasa unik. Kekuatan Nur Jehan justru terlihat ketika dia membebaskan kata-kata keluar begitu saja dari hatinya. Berikut ini saya kutip dua puisi Nur Jehan yang menurut saya sangat bagus.

Malam Pertama

cacing tanah, kalajengking, semut menggelitik tubuhku
ular, lipan, kaki seribu, menggodaku manja
aku diam saja
aku sedang tak ingin bercanda
gelap ini membuatku takut
dingin sekali, aku butuh selimut
aku bingung, aku kalut
kulihat diriku
bersenggama dengan maut

Tapaktuan, Aceh Selatan, 14 Maret 2009

Eureka Metamorfosa

Eureka
Eureka

malam, sebuah perbincangan panjang
pelan, tentang hidup dan kehidupan
minumlah minumlah kopi di gelas keempat mu
kau tak pernah mau
hingga aku memaksamu
ayolah ayolah minumlah
tidurmu
lelapmu

mendekatlah
hingga tercium bau tubuhmu
melekatlah
enyah sekat udara pemisah
aku ingin melihatmu
benar-benar melihatmu
telanjang
bukalah
hingga tidak ada selembar kainpun menutupimu
aku ingin menikmati tubuhmu
sendiri
disini

usai sudah malam
tubuh-tubuh telanjang bergerak searak
jiwa-jiwa kosong tak berdimensi
membentuk peradaban dunia
dalam sejarah adam hawa, hingga surga enggan bersamanya
dalam percintaan terlarang cleopatra caesar julius, memerahkan warna sungai nil
ah manusia

luka
derita
terlukis dalam fatwa-fatwa pujanga
pencatat cerita duka

lukaku
kututup rapat luka itu
tak sempat
kau melihatnya
ayolah ayolah bukalah
tertawalah
lepaslah

kau masih ingin bersenggama sayang

rahimku

kenapa rahimmu

serasa ada yang mau keluar

keluarkan saja

mauku
kutahan saja dulu

kau ingin berlama-lama rupanya

biarlah biarlah
ruang lembab dan sembab itu membungkusnya lebih lama lagi
berputar
melingkar

disini
sekali lagi
peradaban manusia menemui bentuknya

tidakkah kau rasakan persetubuhan kemarin ... ada air yang membanjir di sungaimu ... membawa berjuta matrial, penuh mineral
persetubuhan itu, bau keringat tubuhmu masih melekat..saat kita teriakkan

Eureka
Eureka

tidakkah kau sadar ...
metamorfase yang kau lalui ...
telah menjelmakanmu ... serupa kupu2 dengan sayap berokat berkilauan

matahari silaukanku
kilauku
menghilang .. berokat itu
kembali
bentukku yang dulu
kepompong putih berbulu
nyaman sekali
memandang kupu-kupu lain terbang
hinggap di bunga
bercanda di udara
sesekali mereka jatuh ke tanah
tak mengapa
akan ada yang menggapainya

eureka
eureka

bayi kita

Aceh Selatan, Tapaktuan, 27012009


Citayam, 30 Agustus 2009

Kamis, 27 Agustus 2009

Wiji Thukul Layak Dapat Bakrie Award 2010



oleh Asep Sambodja

Penyair Wiji Thukul layak mendapat penghargaan Bakrie Award 2010. Setidaknya ada dua alasan kenapa Wiji Thukul layak mendapatkan penghargaan sastra yang cukup bergengsi itu. Pertama, Wiji Thukul mengembangkan konsep berkesenian sastra perlawanan, yang secara tidak langsung mewarisi sikap berkesenian Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dan Cak Durasim yang melawan kolonial melalui sastra dan seni. Sastra perlawanan yang dikembangkan Wiji Thukul tersebut dapat diartikan sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan maupun perlawanan terhadap rezim diktator.
Kedua, cara Wiji Thukul mengembangkan sastra perlawanan di era sastra modern adalah dengan menggunakan kata-kata yang lugas, kata-kata yang berisi. Karya-karya Wiji Thukul bukanlah karya sastra klangenan. Dia tidak sekadar membuat puisi untuk menghibur pembaca, melainkan ada sikap dan pesan yang jelas yang ingin disampaikan Wiji Thukul melalui karya-karyanya.
Sikap berkesenian Wiji Thukul tersebut tidak main-main. Dia menulis dengan sepenuh jiwa. Dia bukan penyair sekadar. Dia penyair yang benar-benar menghayati kehidupannya untuk diekspresikan melalui puisi. Bahkan, ia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan sebuah puisi. Sehingga semua tahu bahwa penyair Wiji Thukul hilang di tanah airnya sendiri.
Melihat sepak terjang penyair Wiji Thukul seperti itu, saya menilai Wiji Thukul layak menerima Bakrie Award 2010, yang bisa diterima secara in absentia, mengingat Wiji Thukul hingga sekarang masih belum bisa diziarahi. Masih hilang.

Citayam, 28 Agustus 2009