oleh Asep Sambodja
Kata adalah segala-galanya dalam puisi. Demikianlah kata Sapardi Djoko Damono dalam berbagai kesempatan, baik dalam tulisannya maupun dalam ceramahnya di ruang kuliah. Kata-kata Sapardi Djoko Damono itu sangat melekat dalam ingatan saya. Dan saya menafsirkan bahwa tanpa kata puisi tak berdaya. Kekuatan sebuah puisi bertumpu pada kata. Persoalannya, kata yang seperti apa? Kata yang bagaimana? Nah, di sinilah kreativitas seorang penyair dipertaruhkan.
Seorang Remy Sylado, misalnya, ia sama sekali tidak terlalu memusingkan diri dengan bergelut menaklukkan kata-kata dalam menulis puisi. Ia menggunakan kata-kata yang berseliweran sehari-hari untuk dituangkan ke dalam puisi, sehingga lahirlah puisi-puisi mbeling. Puisi mbeling ini pada awalnya dilecehkan, namun lama-kelamaan, setelah dianalisis secara mendalam ternyata menyimpan makna yang tersirat dalam kelugasan kata-kata dalam puisi mbeling itu.
Satu contoh lagi, Sutardji Calzoum Bachri mencoba membebaskan kata dari beban ide atau makna. Ia menciptakan puisi seperti menulis mantera. Keluar begitu saja. Lepas. Bebas. Ternyata, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri itu mampu menciptakan maknanya sendiri. Dalam buku Tergantung Pada Kata, A. Teeuw mengatakan bahwa meskipun Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata-katanya, namun dalam penulisan puisi, ia masih mengontrolnya, sehingga ada kepaduan irama. Dalam hal puisi Sutardji Calzoum Bachri ini, saya menilai bahwa puisi Sutardji yang paling dahsyat adalah ketika Sutardji benar-benar memilih kata. Hal ini tampak dalam puisi “Tanah Airmata” yang demikian terjaga kata dan iramanya, sehingga menimbulkan makna yang luar biasa.
Puisi-puisi penyair Nur Jehan yang terhimpun dalam Gelisah Dara memperlihatkan bahwa ia tengah bereksperimen untuk memadukan kata-kata dengan cerita. Ia tengah memadukan puisi dengan prosa. A. Badri AQ. T. yang mengkurasi puisi-puisi Nur Jehan ini sengaja memberi porsi yang cukup besar untuk puisi-puisi prosais dalam buku ini.
Puisi, kita tahu, semakin istimewa jika kita melihatnya “serupa dara di balik tirai”. Jadi, ada yang samar-samar, ada yang tersembunyi, ada sesuatu yang membuat pembaca merasa penasaran ingin mengetahui makna di balik kata-kata itu. Sementara bahasa prosa cenderung memberi penjelasan yang lebih dibandingkan dengan bahasa puisi. Dengan demikian, kerja kreatif Nur Jehan benar-benar dipertaruhkan.
Saya melihat, puisi “Gadis Kecilmu, Lengkap Sudah, Utuh Sudah” memperlihatkan keberhasilan Nur Jehan dalam memadukan hal itu. Ia memadukan kata-kata dan cerita dalam sebuah karya yang utuh. Berikut saya kutip selengkapnya.
Gadis Kecilmu, Lengkap Sudah, Utuh Sudah
coba berjanji untuk memiliki
*hari ini, disini. Ibu, masih ingatkah, putri kecilmu, rambut kepang dua bercelana kodok menari-nari ditengah hujan, tarikan tarian kebebasan teriakkan kenaifan, sayup-sayup kudengar kau memanggilku, “Puan hentikanlah, sudah menggigil tubuhmu, biru bibir dan ujung-ujung jarimu” wajahmu kulihat sangat mengkhawatirkanku, tapi putri kecilmu ini, tetap menari hingga lelah menariknya kembali.
*baju kurung, sunting melayu, Ibu, lihatlah, cantik sekali aku, tapi kau tak sempat menyaksikan peristiwa indah ini, ahh tak mengapa, hadirmu kurasakan begitu dekat, sangat dekat..hingga detak jantungmu seirama denganku.
*di rumah ini, 14 tahun yang lalu. Ibu, masih ingatkah, kau peluk aku dalam hangat dekapanmu, bercerita tentang hidup dan kehidupan, katamu “gadisku, ingatlah pesanku ini sehingga kau menikah nanti, kau tau aku sangat menyayangimu, selalu”, tapi aku tidak mengerti yang kau katakan, katamu tentang cinta, peringatanmu tentang lelaki, bijaksanamu bertemu rupa-rupa, .gadis kecilmu ini, Ibu, hanya tertawa, tanpa mengerti apa.
coba berjanji mengikat hati
*Ibu...ahhh, lelaki itu, ternyata dia memanggilku sedari tadi, menarikku jauh dari ingatanku kepadamu, hangat sekali dia menyentuhku, lelahku, sakitku,air mata dan kerinduanku padamu membuncah meruah tumpah, jauh sudah perjalanan, gadis kecilmu, puan maharanimu, utuh sudah, lengkap sudah.
Hari ini, disini..gadis kecilmu mengikat janji, di pusaramu
Aceh Selatan, Tapaktuan, 26012009
Sebagaimana yang saya katakan di atas, Badri sebagai kurator kumpulan puisi ini memberi porsi yang cukup banyak pada puisi-puisi prosais, sementara Nur Jehan memiliki kekuatan pada puisi yang benar-benar lepas; tidak dikontrol ataupun terkontrol dengan bahasa prosa. Puisi “Malam Pertama” dan “Eureka Metamorfosa” saya pikir memperlihatkan kekuatan kepenyairan Nur Jehan. Dalam kedua puisi itu hampir semua unsur pembangun puisi dihadirkan.
Puisi “Malam Pertama” terasa padu, utuh, dan sempurna. Nur Jehan benar-benar total dalam melahirkan puisi ini. Memang banyak cara dalam menghasilkan sebuah puisi. Tapi, saya sangat yakin bahwa puisi yang baik adalah puisi yang lahir bagitu saja setelah mengalami proses pengendapan di dalam diri kita. Proses pengendapan itu bisa berlangsung lama bisa juga berlangsung sesaat. Situasi semacam ini tidak pernah terumuskan, namun senantiasa terjadi pada setiap penyair.
Puisi “Eureka Metamorfosa” lebih memperlihatkan vitalitas Nur Jehan. Puisi ini terasa lebih lepas, bebas, lebih polos, yang di dalamnya terkandung kejujuran, terasa lebih spontan, seperti tak terkontrol, keluar begitu saja. Lagi-lagi, puisi lahir seperti aliran sungai yang mengalir begitu saja. Dan kita sebagai pembaca sangat menikmati aliran kata-kata itu.
Saya ingin menggarisbawahi bahwa dalam hal kosa kata, Nur Jehan memiliki kekayaan yang luar biasa. Diksi atau pilihan katanya terasa unik. Kekuatan Nur Jehan justru terlihat ketika dia membebaskan kata-kata keluar begitu saja dari hatinya. Berikut ini saya kutip dua puisi Nur Jehan yang menurut saya sangat bagus.
Malam Pertama
cacing tanah, kalajengking, semut menggelitik tubuhku
ular, lipan, kaki seribu, menggodaku manja
aku diam saja
aku sedang tak ingin bercanda
gelap ini membuatku takut
dingin sekali, aku butuh selimut
aku bingung, aku kalut
kulihat diriku
bersenggama dengan maut
Tapaktuan, Aceh Selatan, 14 Maret 2009
Eureka Metamorfosa
Eureka
Eureka
malam, sebuah perbincangan panjang
pelan, tentang hidup dan kehidupan
minumlah minumlah kopi di gelas keempat mu
kau tak pernah mau
hingga aku memaksamu
ayolah ayolah minumlah
tidurmu
lelapmu
mendekatlah
hingga tercium bau tubuhmu
melekatlah
enyah sekat udara pemisah
aku ingin melihatmu
benar-benar melihatmu
telanjang
bukalah
hingga tidak ada selembar kainpun menutupimu
aku ingin menikmati tubuhmu
sendiri
disini
usai sudah malam
tubuh-tubuh telanjang bergerak searak
jiwa-jiwa kosong tak berdimensi
membentuk peradaban dunia
dalam sejarah adam hawa, hingga surga enggan bersamanya
dalam percintaan terlarang cleopatra caesar julius, memerahkan warna sungai nil
ah manusia
luka
derita
terlukis dalam fatwa-fatwa pujanga
pencatat cerita duka
lukaku
kututup rapat luka itu
tak sempat
kau melihatnya
ayolah ayolah bukalah
tertawalah
lepaslah
kau masih ingin bersenggama sayang
rahimku
kenapa rahimmu
serasa ada yang mau keluar
keluarkan saja
mauku
kutahan saja dulu
kau ingin berlama-lama rupanya
biarlah biarlah
ruang lembab dan sembab itu membungkusnya lebih lama lagi
berputar
melingkar
disini
sekali lagi
peradaban manusia menemui bentuknya
tidakkah kau rasakan persetubuhan kemarin ... ada air yang membanjir di sungaimu ... membawa berjuta matrial, penuh mineral
persetubuhan itu, bau keringat tubuhmu masih melekat..saat kita teriakkan
Eureka
Eureka
tidakkah kau sadar ...
metamorfase yang kau lalui ...
telah menjelmakanmu ... serupa kupu2 dengan sayap berokat berkilauan
matahari silaukanku
kilauku
menghilang .. berokat itu
kembali
bentukku yang dulu
kepompong putih berbulu
nyaman sekali
memandang kupu-kupu lain terbang
hinggap di bunga
bercanda di udara
sesekali mereka jatuh ke tanah
tak mengapa
akan ada yang menggapainya
eureka
eureka
bayi kita
Aceh Selatan, Tapaktuan, 27012009
Citayam, 30 Agustus 2009
Kata adalah segala-galanya dalam puisi. Demikianlah kata Sapardi Djoko Damono dalam berbagai kesempatan, baik dalam tulisannya maupun dalam ceramahnya di ruang kuliah. Kata-kata Sapardi Djoko Damono itu sangat melekat dalam ingatan saya. Dan saya menafsirkan bahwa tanpa kata puisi tak berdaya. Kekuatan sebuah puisi bertumpu pada kata. Persoalannya, kata yang seperti apa? Kata yang bagaimana? Nah, di sinilah kreativitas seorang penyair dipertaruhkan.
Seorang Remy Sylado, misalnya, ia sama sekali tidak terlalu memusingkan diri dengan bergelut menaklukkan kata-kata dalam menulis puisi. Ia menggunakan kata-kata yang berseliweran sehari-hari untuk dituangkan ke dalam puisi, sehingga lahirlah puisi-puisi mbeling. Puisi mbeling ini pada awalnya dilecehkan, namun lama-kelamaan, setelah dianalisis secara mendalam ternyata menyimpan makna yang tersirat dalam kelugasan kata-kata dalam puisi mbeling itu.
Satu contoh lagi, Sutardji Calzoum Bachri mencoba membebaskan kata dari beban ide atau makna. Ia menciptakan puisi seperti menulis mantera. Keluar begitu saja. Lepas. Bebas. Ternyata, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri itu mampu menciptakan maknanya sendiri. Dalam buku Tergantung Pada Kata, A. Teeuw mengatakan bahwa meskipun Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata-katanya, namun dalam penulisan puisi, ia masih mengontrolnya, sehingga ada kepaduan irama. Dalam hal puisi Sutardji Calzoum Bachri ini, saya menilai bahwa puisi Sutardji yang paling dahsyat adalah ketika Sutardji benar-benar memilih kata. Hal ini tampak dalam puisi “Tanah Airmata” yang demikian terjaga kata dan iramanya, sehingga menimbulkan makna yang luar biasa.
Puisi-puisi penyair Nur Jehan yang terhimpun dalam Gelisah Dara memperlihatkan bahwa ia tengah bereksperimen untuk memadukan kata-kata dengan cerita. Ia tengah memadukan puisi dengan prosa. A. Badri AQ. T. yang mengkurasi puisi-puisi Nur Jehan ini sengaja memberi porsi yang cukup besar untuk puisi-puisi prosais dalam buku ini.
Puisi, kita tahu, semakin istimewa jika kita melihatnya “serupa dara di balik tirai”. Jadi, ada yang samar-samar, ada yang tersembunyi, ada sesuatu yang membuat pembaca merasa penasaran ingin mengetahui makna di balik kata-kata itu. Sementara bahasa prosa cenderung memberi penjelasan yang lebih dibandingkan dengan bahasa puisi. Dengan demikian, kerja kreatif Nur Jehan benar-benar dipertaruhkan.
Saya melihat, puisi “Gadis Kecilmu, Lengkap Sudah, Utuh Sudah” memperlihatkan keberhasilan Nur Jehan dalam memadukan hal itu. Ia memadukan kata-kata dan cerita dalam sebuah karya yang utuh. Berikut saya kutip selengkapnya.
Gadis Kecilmu, Lengkap Sudah, Utuh Sudah
coba berjanji untuk memiliki
*hari ini, disini. Ibu, masih ingatkah, putri kecilmu, rambut kepang dua bercelana kodok menari-nari ditengah hujan, tarikan tarian kebebasan teriakkan kenaifan, sayup-sayup kudengar kau memanggilku, “Puan hentikanlah, sudah menggigil tubuhmu, biru bibir dan ujung-ujung jarimu” wajahmu kulihat sangat mengkhawatirkanku, tapi putri kecilmu ini, tetap menari hingga lelah menariknya kembali.
*baju kurung, sunting melayu, Ibu, lihatlah, cantik sekali aku, tapi kau tak sempat menyaksikan peristiwa indah ini, ahh tak mengapa, hadirmu kurasakan begitu dekat, sangat dekat..hingga detak jantungmu seirama denganku.
*di rumah ini, 14 tahun yang lalu. Ibu, masih ingatkah, kau peluk aku dalam hangat dekapanmu, bercerita tentang hidup dan kehidupan, katamu “gadisku, ingatlah pesanku ini sehingga kau menikah nanti, kau tau aku sangat menyayangimu, selalu”, tapi aku tidak mengerti yang kau katakan, katamu tentang cinta, peringatanmu tentang lelaki, bijaksanamu bertemu rupa-rupa, .gadis kecilmu ini, Ibu, hanya tertawa, tanpa mengerti apa.
coba berjanji mengikat hati
*Ibu...ahhh, lelaki itu, ternyata dia memanggilku sedari tadi, menarikku jauh dari ingatanku kepadamu, hangat sekali dia menyentuhku, lelahku, sakitku,air mata dan kerinduanku padamu membuncah meruah tumpah, jauh sudah perjalanan, gadis kecilmu, puan maharanimu, utuh sudah, lengkap sudah.
Hari ini, disini..gadis kecilmu mengikat janji, di pusaramu
Aceh Selatan, Tapaktuan, 26012009
Sebagaimana yang saya katakan di atas, Badri sebagai kurator kumpulan puisi ini memberi porsi yang cukup banyak pada puisi-puisi prosais, sementara Nur Jehan memiliki kekuatan pada puisi yang benar-benar lepas; tidak dikontrol ataupun terkontrol dengan bahasa prosa. Puisi “Malam Pertama” dan “Eureka Metamorfosa” saya pikir memperlihatkan kekuatan kepenyairan Nur Jehan. Dalam kedua puisi itu hampir semua unsur pembangun puisi dihadirkan.
Puisi “Malam Pertama” terasa padu, utuh, dan sempurna. Nur Jehan benar-benar total dalam melahirkan puisi ini. Memang banyak cara dalam menghasilkan sebuah puisi. Tapi, saya sangat yakin bahwa puisi yang baik adalah puisi yang lahir bagitu saja setelah mengalami proses pengendapan di dalam diri kita. Proses pengendapan itu bisa berlangsung lama bisa juga berlangsung sesaat. Situasi semacam ini tidak pernah terumuskan, namun senantiasa terjadi pada setiap penyair.
Puisi “Eureka Metamorfosa” lebih memperlihatkan vitalitas Nur Jehan. Puisi ini terasa lebih lepas, bebas, lebih polos, yang di dalamnya terkandung kejujuran, terasa lebih spontan, seperti tak terkontrol, keluar begitu saja. Lagi-lagi, puisi lahir seperti aliran sungai yang mengalir begitu saja. Dan kita sebagai pembaca sangat menikmati aliran kata-kata itu.
Saya ingin menggarisbawahi bahwa dalam hal kosa kata, Nur Jehan memiliki kekayaan yang luar biasa. Diksi atau pilihan katanya terasa unik. Kekuatan Nur Jehan justru terlihat ketika dia membebaskan kata-kata keluar begitu saja dari hatinya. Berikut ini saya kutip dua puisi Nur Jehan yang menurut saya sangat bagus.
Malam Pertama
cacing tanah, kalajengking, semut menggelitik tubuhku
ular, lipan, kaki seribu, menggodaku manja
aku diam saja
aku sedang tak ingin bercanda
gelap ini membuatku takut
dingin sekali, aku butuh selimut
aku bingung, aku kalut
kulihat diriku
bersenggama dengan maut
Tapaktuan, Aceh Selatan, 14 Maret 2009
Eureka Metamorfosa
Eureka
Eureka
malam, sebuah perbincangan panjang
pelan, tentang hidup dan kehidupan
minumlah minumlah kopi di gelas keempat mu
kau tak pernah mau
hingga aku memaksamu
ayolah ayolah minumlah
tidurmu
lelapmu
mendekatlah
hingga tercium bau tubuhmu
melekatlah
enyah sekat udara pemisah
aku ingin melihatmu
benar-benar melihatmu
telanjang
bukalah
hingga tidak ada selembar kainpun menutupimu
aku ingin menikmati tubuhmu
sendiri
disini
usai sudah malam
tubuh-tubuh telanjang bergerak searak
jiwa-jiwa kosong tak berdimensi
membentuk peradaban dunia
dalam sejarah adam hawa, hingga surga enggan bersamanya
dalam percintaan terlarang cleopatra caesar julius, memerahkan warna sungai nil
ah manusia
luka
derita
terlukis dalam fatwa-fatwa pujanga
pencatat cerita duka
lukaku
kututup rapat luka itu
tak sempat
kau melihatnya
ayolah ayolah bukalah
tertawalah
lepaslah
kau masih ingin bersenggama sayang
rahimku
kenapa rahimmu
serasa ada yang mau keluar
keluarkan saja
mauku
kutahan saja dulu
kau ingin berlama-lama rupanya
biarlah biarlah
ruang lembab dan sembab itu membungkusnya lebih lama lagi
berputar
melingkar
disini
sekali lagi
peradaban manusia menemui bentuknya
tidakkah kau rasakan persetubuhan kemarin ... ada air yang membanjir di sungaimu ... membawa berjuta matrial, penuh mineral
persetubuhan itu, bau keringat tubuhmu masih melekat..saat kita teriakkan
Eureka
Eureka
tidakkah kau sadar ...
metamorfase yang kau lalui ...
telah menjelmakanmu ... serupa kupu2 dengan sayap berokat berkilauan
matahari silaukanku
kilauku
menghilang .. berokat itu
kembali
bentukku yang dulu
kepompong putih berbulu
nyaman sekali
memandang kupu-kupu lain terbang
hinggap di bunga
bercanda di udara
sesekali mereka jatuh ke tanah
tak mengapa
akan ada yang menggapainya
eureka
eureka
bayi kita
Aceh Selatan, Tapaktuan, 27012009
Citayam, 30 Agustus 2009
2 komentar:
salam kang, numpang mampir ke rumahnya ya.
saya senang main-main kesini, saya banyak dapat pengetahuan ttg sejarah tulisan dan pelaku-pelakunya. terima kasih.
o ya, puisi eureka metamorfosanya..mantabs kang!
Senang sekali dan mendulang ilmu sastra sekali ketika melongok blog kang Asep...Sukses kang
Posting Komentar