Senin, 29 Desember 2008

Penyair yang Menulis Naskah Pidato Politik Presiden Soekarno



















oleh Asep Sambodja


Siapakah penyair yang menulis konsep pidato politik Presiden Soekarno? Mungkin generasi sekarang banyak yang tidak tahu. Kalau penulis naskah pidato Presiden Soeharto mungkin banyak yang tahu, salah satunya adalah Yusril Ihza Mahendra, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang juga mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan itu.
Lantas, siapa penyair yang menulis pidato politik Presiden Soekarno itu? Tidak lain adalah Njoto atau Iramani. Penyair ini lahir di Bondowoso, Jawa Timur, 17 Januari 1923. Lelaki yang juga dikenal sebagai pemain musik dan pengarang lagu ini dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Rakjat, koran politik terbesar dengan oplah 23.000 eksemplar yang pernah terbit di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965.
Njoto juga dikenal sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), tepatnya menjabat sebagai Wakil Ketua II di Politbiro PKI. Ia juga menjabat sebagai Menteri Negara yang diperbantukan pada Presidium Kabinet Dwikora di bawah kepemimpinan Soekarno.
Dalam buku Yang Saya Alami Peristiwa G30S yang ditulis Soebandrio (2006), setelah terjadi peristiwa G30S 1965 dan sebelum PKI resmi dibubarkan, Njoto bersama dua pimpinan PKI lainnya, yakni Dipa Nusantara Aidit (Ketua CC PKI sekaligus Menko/Wakil Ketua MPRS) dan Mohammad H. Lukman (Wakil Ketua PKI sekaligus Menteri/Wakil Ketua DPR GR) ditangkap hidup-hidup dan kemudian mereka dibunuh tanpa proses pengadilan, atau dalam bahasa Soebandrio, mereka “dieliminasi dengan cara tersendiri” (hlm. 124).
Satu lagi petinggi PKI yang ditangkap dan diadili adalah Sudisman, yang divonis mati pada Juli 1967 dan dieksekusi pada 1968 (Ricklefs, 2005). Persidangan Sudisman dan Sjam Kamaruzzaman diliput secara luas oleh pers dan diikuti oleh pengamat politik seperti Ben Anderson.
Soebandrio (2006) juga menjelaskan, Soeharto memerintahkan tentara menembak mati Njoto, Aidit, dan Lukman, dan mereka memang ditembak mati tanpa proses hukum yang berlaku. “Itulah cara Jenderal Soeharto melindungi diri agar kedoknya tidak terbongkar di pengadilan jika ketiga pimpinan PKI itu diadili,” tulis Soebandrio (hlm. 124).
Sastrawan Martin Aleida, yang juga rekan kerja Njoto di jurnal kebudayaan Zaman Baru, yang diterbitkan Lembaga Kebudayaan Lekra (Lekra), memberikan kesaksian atas Njoto menjelang kematiannya. Berikut ini saya kutip tiga alinea yang ditulis Martin Aleida (2003) dalam buku kumpulan cerpen Leontin Dewangga.

“Saya menyaksikan seorang pemimpin redaksi yang baru pulang dari kamar interogasi dengan kulit belakangnya yang lumat digilas ekor pari yang dikeringkan. Karena tak mau menyebutkan di mana teman-temannya bersembunyi, dia dibenamkan ke dalam bak mandi dan dipaksa menghabiskan sepiring penuh sambal merah. Dari kawan yang menjadi pesakitan ini, bagaimanapun saya mendapat pelajaran yang sangat berharga tentang apa pemimpin redaksi itu. Siksa tak kuasa membalikkan hatinya menjadi pendurhaka. Dia tetap tutup mulut. Seorang sersan yang baik hati, yang belakangan bercerita kepada saya, mengatakan bahwa sang wartawan sedikit pun tidak menjerit menerima siksaan. Dia hanya menggigil menahan nyeri. Seperti orang kedinginan.
Sudah lama saya tak bertemu dengan Iramani, seorang budayawan terkemuka yang menjadi idola saya. Dan saya tidak akan pernah bertemu dengan dia lagi. Karena kabar yang dibawa oleh mulut-mulut yang sedang dibungkam membisikkan bahwa dia dibon dari tahanan militer dan dipaksa berdiri di depan regu tembak yang tidak pernah memperoleh perintah yang sah. Dengan meratap di dalam hati, saya hanya bisa melihat istrinya yang dikurung berjejalan dengan anak-anaknya, termasuk bayinya yang baru berusia beberapa bulan, di dalam ruang gelap bekas dapur dari markas militer itu. (Aleida, 2003: viii-ix)
Sebagai kenang-kenangan untuk kawan yang saya kagumi, yang karismatik dan memukau kalau berbicara maupun menulis, saya persembahkan “Ode untuk Selembar KTP”. Satu nyanyian pemujaan pada ketabahan, ketahanan istri Iramani dalam menanggung penderitaan sebagai istri wartawan, publisis, politikus, tokoh partai, budayawan, dan teman dekat Bing Slamet, yang terlahir dengan nama Nyoto. (Aleida, 2003: xvi)

Dalam buku Prahara Budaya yang disusun D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995), Njoto memang menjadi salah satu penggagas berdirinya Lekra. Bersama D.N. Aidit, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta (Klara Akustia), ia berinisiatif mendirikan Lekra pada 17 Agustus 1950.
Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), organisasi Lekra mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam satu dasawarsa sejak awal kelahirannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil Kongres Nasional di Solo, Jawa Tengah pada 24-29 Januari 1959, yang menempatkan sastrawan dan seniman terkemuka Indonesia sebagai anggota pimpinan Lekra Pusat saat itu. Sebagai gambaran, mereka yang duduk sebagai Anggota Pimpinan Pusat Lekra hasil kongres nasional itu antara lain Affandi, Boejoeng Saleh, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, H.R. Bandaharo, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Sudharnoto, S. Rukiah Kertapati, dan Njoto.
Yang pasti, selain bergerak di bidang politik, Njoto juga aktif menulis esai budaya dan puisi di Harian Rakjat yang dipimpinnya. Karena tulisan-tulisannya itulah Njoto menjadi sosok yang sangat disegani saat itu. Baik oleh pihak kawan maupun lawan politiknya.
Dalam kesempatan ini, saya ingin membicarakan sembilan puisi Njoto (Iramani) yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang dieditori Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), yakni “Tahun Baru”, “Catatan Peking”, “Jangtoe”, “Yenan”, “Shanghai”, “Merah Kesumba”, “Variasi Haiku”, “Variasi Cak”, dan “Pertemuan di Paris”. Perlu saya jelaskan di sini bahwa petinggi-petinggi PKI juga lazim menulis puisi. Selain Njoto, D.N. Aidit, H.R. Bandaharo, dan Sudisman juga menulis puisi.
Garis besar puisi-puisi Njoto menyuarakan antifeodalisme dan antiimperialisme Amerika Serikat. Pada 1961, misalnya, D.N. Aidit dan Njoto sama-sama menulis puisi tentang pembunuhan terhadap Perdana Menteri Konggo, Patrice Emery Lumumba, yang diduga dilakukan oleh “boneka Amerika”. Keduanya juga memperlihatkan solidaritas sastrawan Asia-Afrika yang diikrarkan pada 1955.

D.N. Aidit:
Yang Mati Hidup Kembali

Lama nian aku tak menangis.
tidak karena mata sudah mengering
atau hati membeku dingin,
tapi kali ini dengan taksedar
hati kepala penuh tak tertahan
butir-butir airmata membasahi koran pagi
orang hitam berhati putih itu
dibunuh siputih berhati hitam!

Tapi bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup selama-lamanya
Lumumba mati hidup abadi!
Kini dunia tidak untuk siputih yang hitam
tapi untuk semua
putih, kuning, sawomatang, hitam….
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.

14-2-1961

Njoto:
Merah Kesumba

Darah Lumumba Merah Kesumba
darah Lumumba Merah Kesumba
Konggo!
laparmu lapar kami
lapar revolusi

Darah Lumumba Merah Kesumba
darah Lumumba Merah Kesumba
Konggo!

revolusimu revolusi kami
revolusimu revolusi kita
revolusi dunia


Kedua puisi di atas sangat ekspresif dan memperlihatkan adanya kecaman terhadap pembunuh. Menarik bahwa dalam puisi itu D.N. Aidit mengatakan “bukankah pembunuh terbunuh?” dan “Lumumba mati hidup abadi”. Pernyataan Aidit ini sangat dalam maknanya, benarkah pembunuh terbunuh dan yang mati hidup abadi? Kita bisa menafsir bahwa pembunuh yang melakukan kejahatan itu akan senantiasa dihantui atau dibayang-bayangi oleh tindakan kejinya sendiri. Sementara Lumumba yang dibunuh akan terus dikenang orang, minimal perjuangannya untuk bangsa Konggo akan terus dikenang hingga sekarang.
Sedangkan Njoto merefleksikan kemarahan yang luar biasa atas pembunuhan PM Konggo itu, dengan mengatakan “darah Lumumba merah kesumba” yang berarti darah Lumumba merah menyala. Perjuangan rakyat Konggo adalah perjuangan “kami”, bahkan perjuangan “kita” yang menunjukkan solidaritas yang tinggi bangsa Indonesia (pelopor persekutuan negara-negara Non Blok) terhadap Lumumba dan Konggo pada umumnya.
Setidaknya ada empat puisi Njoto yang lahir saat ia mengadakan lawatan ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada Oktober 1959, yakni “Catatan Peking”, “Yenan”, “Shanghai”, dan “Jangtoe”. Dua di antaranya saya kutip secara lengkap:


Yenan

Tepat jam empat
8-10-59 waktu setempat
Pesawat mendarat di Yenan keramat

Kami hirup udara sepuaspuas
Kami bernafas sebebas bebas!

Dulu Mekah tempatsuci
Taat Masyumi
Sekarang biar mampus
Washington lebih kudus;
buat kami kaum revolusioner
Yenan tempat suci yang primer

Yenan tua Yenan gua
Heroik tapi sederhana
Yenan baru Yenan mercu
Pabrik muncul satu persatu
Yenan baru Yenan buku
Ilmu maju selajulaju
Ya, Yenan kini Yenan Komune
Tunduk gunung tinggitinggi
Airsungaipun menyisih menepi

Yenan suci
Yenan abadi,
Tiongkok Rakyat
Tiongkok Baru

Dari Yenan
revolusi membakar
dari Yenan
kemenangan berkobar

Yenan…Stan 9.10.59



Shanghai

Di Shanghai
Srigala pernah berkuasa
Di Shanghai
Manusia kini kuasa

Shanghai rumah
Petualangpetualang laknat?
Shanghai rumah
Proletariat!
Selamattinggal papan ditaman Huangpu
“orang Tionghoa dan anjing dilarang masuk”
Taman ini taman Tiongkok
Anjingpun boleh masuk
Cuma imperialis yang tidak!

Troli trem dan bis
tak habishabis
dan pekerjapekerja bekerjalembur
tak tidurtidur
membangun sosialisme
membangun sosialisme
banyak dan cepat
baik dan hemat
ini garis... buat semua
semua
kejar Inggris!
kita bantingtulang bertahuntahun
biar bahagia seribu tahun
langkah nikmat
jika kekuasaan ditangan rakyat!

Mengintip cahaja
dari balik jendela
matahari pagi
datang membuai
Kukenakan kemeja
Kusingsingkan lengannja:
jalan Maucetung
jalan kami
jalan Maucetung
jalan Asia

Shanghai 20-10-59


Pesan yang ingin disampaikan Njoto melalui kedua puisi tersebut sangat jelas, yakni ingin menjelaskan kiblat PKI yang mengarah ke Yenan, bukan ke Mekah atau Washington. Ini sejalan dengan kebijakan Presiden Soekarno yang menggalang Poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang antiimperealis, yang kemudian dikukuhkan dalam pidato presiden 17 Agustus 1965.
Dalam puisi “Shanghai”, sebuah papan pengumuman di Taman Huangpu yang semula bertuliskan “Orang Tionghoa dan anjing dilarang masuk” sudah dirubuhkan. Tulisan yang sangat diskriminatif itu dihancurkan. Kini, kata sang penyair tak kalah galaknya, siapa pun boleh memasuki taman itu, termasuk anjing, kecuali kaum imperialis. Sekali lagi, semangat antiimperialis inilah yang menonjol dalam puisi-puisi Njoto. Termasuk dalam puisinya yang berjudul “Catatan Peking” dan “Variasi Cak”.
Penulisan puisi semacam ini menunjukkan sikap dan komitmen politik Njoto yang sangat tegas dan jelas. Sebagai sastrawan Lekra, apalagi Njoto adalah salah satu pendirinya, sikap politik yang demikian memang sudah lazim di kalangan sastrawan Lekra, karena mereka berpegang teguh pada konsep “seni untuk rakyat” yang menerapkan prinsip “politik adalah panglima”.
Dengan demikian, teranglah bahwa puisi-puisi sastrawan Lekra, termasuk puisi Njoto, sarat dengan sikap politik penyairnya, yang dalam hal ini tidak boleh menyimpang dari garis kebijakan partai. Kalau berhadapan dengan tema-tema globalisasi saat itu, maka sikapnya tegas: antiimperialisme.
Sebenarnya tidak ada yang salah, tidak ada yang keliru dengan konsep seperti itu. Lagi pula siapa di dunia ini yang mendukung imperialisme? Hanya orang-orang yang haus kekuasaanlah yang bersikap demikian. Hanya negara-negara yang tamak, rakus, dan biadablah yang proimperialisme.
Dari kepenyairan Njoto atau Iramani ini pula kita bisa membaca bahwa sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan gagasan-gagasan politik seseorang. Tentu saja sesuai dengan visi politik masing-masing sastrawan. Kita lihat bahwa petinggi-petinggi PKI memanfaatkan karya sastra, dalam hal ini puisi, untuk mengekspresikan gagasan politiknya itu. Selain Njoto, D.N. Aidit, Sudisman, dan H.R. Bandaharo menulis puisi untuk maksud demikian. Bahkan nama yang disebut terakhir dinilai Goenawan Mohamad sebagai penyair Lekra yang berhasil, yang patut diperhitungkan selain Agam Wispi dan Amarzan Ismail Hamid.
Puisi, dengan demikian, memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan memiliki posisi yang sangat penting sebagai media ekspresi bagi politikus. Biasanya politikus yang akrab dengan puisi atau karya sastra cenderung memiliki empati atau kepekaan terhadap rakyatnya, konstituennya, orang yang diwakilinya. Mereka yang membaca karya sastra, apalagi menulis karya sastra akan bersikap jujur pada rakyatnya, karena mereka senantiasa diasah untuk jujur pada dirinya sendiri. Selalu begitu.
Sebagai penulis naskah pidato politik Presiden Soekarno, tentu hubungan di antara mereka terjalin sangat akrab. Hal ini tercermin dalam puisi “Pertemuan di Paris” yang saya kutip untuk mengakhiri tulisan ini.


Pertemuan di Paris

Pagi ini dihotel “Crillon”
(aku datang dari “Napoleon”)
Bung Karno memeluk aku erat-erat;
(sejumlah mentari diseputar kami melihat)
Selamat jalan Bung Njoto –
Salamku kepada kawan-kawan kita di Moskow.
Di chambre separo
kami diskusikan sensasi sehari sebelumnya;
sambil menghirup cafe dan vin rose
jatuhnya Chrusjcov dari tahta.
Kuceritakan betapa Bung Aidit menasehatkan
jangan diktatur proletariat dihapuskan –
sebab kalau ada usaha penggulingan?
Namun Chrusjcov bukanlah Chrusjcov
kalau tak bersikeras lagi tak dapat –
dia tersungkur oleh “negara seluruh Rakyat“!
Lalu berceriteralah Bung Karno
bahwa dua minggu yang lalu di Moskow
bertengkar ia dengan tsar revisionisme itu
yang – pula karena kepalabatu –
mendorong Bung Karno di Kairo berseru;
Hidup ko-existensi antara Moskow dan Washington!
Mana mungkin yang macam itu antara Jakarta dan London
Atau Sihanouk dan Lyndon Johnson!
Kau kenal pengganti-penggantinya, tanya beliau, aku kenal.
Aku menggelengkan kepala, bukan kesal
Tapi gemas aku akhirnya bikin perbandingan;
Disini di Paris berserakan striptease
Dengan pokalnya di Kongo, di Kuba dan di Vietnam
Bukankah revisionisme juga bermain striptease?
Arus tak kendat-kendatnya di Seine
Manusia terus berkunjungan ke Montmartre,
Dikota 4 revolusi dan 5 republik ini
Tempat Marx dan Engels, Lenin dan Cachin pernah bekerja

udara tak sehangat Asia, dimana api
revolusi membakari sosok-sosok GI jengki
dan segala boneka dari Rachman sampai ke “Gurkha”.
Bersama Szuma Wen-zen di Tour d’argent, gelisah
Aku merasa Tour d’Eifel rendah
Dan di Champs Elisee terasa benar Arc de Triomph lesu –
Kapan proletariat Eropa Barat ini bangkit menyerbu
Bastille-bastille abad kita
markas besar Nato dan armada-armadanya,
pangkalan-pangkalannya, tentara pendudukannya?
Didepan lift “Crillon”, diserambi bawah
Kutatap senyum Bung Karno, lembut seperti seorang ayah –

dua pejuang berpisah sedang hati bertemu.
Reaksi dunia juga yang pilu.


Citayam, 29 Desember 2008

Sabtu, 27 Desember 2008

Catatan Pendek atas Novel Lady Chatterley's Lover


oleh Asep Sambodja

Ini adalah kabar baik. Penerbit Alvabet berani menerbitkan novel Lady Chatterley’s Lover karya D.H. Lawrence yang terbit pertama kali pada 1928. Kira-kira setting suasana di Indonesia saat itu masih ingin merumuskan Sumpah Pemuda. Indonesia sendiri saat itu sudah memiliki novel Salah Asuhan Abdul Muis, Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Sengsara Membawa Nikmat Tulis Sutan Sati, Asmara Jaya Adinegoro, Emas Disangka Loyang E. Joram, dan Jeumpa Aceh H.M. Zainuddin.

Saya katakan penerbit ini berani karena ketika novel itu terbit pertama kali di Inggris (1928), novel ini langsung dilarang beredar. Kaum pagan mencerca Lawrence dengan stigma yang memojokkan, karena disejajarkan dengan pengarang buku cabul. Buku ini juga dilarang beredar di Amerika Serikat pada akhir 1920-an itu. Anehnya, edisi bajakannya beredar di toko-toko buku di New York dan Philadelphia, yang dijual dengan harga tinggi. Inilah yang membuat Lawrence mencak-mencak. Secara resmi, buku itu dilarang karena isinya yang sarat seks. Namun, buku ini beredar secara ilegal dan meraup keuntungan bagi pembajak dan pedagang buku, sementara penulisnya tidak mendapatkan keuntungan finansial sedikit pun. Menyedihkan!

Saya katakan kabar baik karena buku yang diterjemahkan Arfan Achyar dan dieditori Imam Muhtarom ini bahasanya sangat baik. Kalau kita membacanya dari halaman ke halaman, hingga menuntaskan 586 halaman, akan terasa mengalir bahasanya. Meskipun demikian, ada yang tidak enak, yakni harga buku ini nyaris Rp100.000. Di zaman sulit begini, buku seharga Rp100 ribu sangat menyesakkan dada. Tapi, apa boleh buat, karena buku ini penting, akhirnya saya beli juga.

Pada 1950, pengadilan di Amerika Serikat memutuskan bahwa buku ini tidak termasuk buku yang berkategori pornografi. Setelah terbungkam selama 20 tahun, akhirnya novel Lady Chatterley’s Lover ini bebas beredar di Amerika Serikat. Saya melihatnya keputusan pengadilan itu didasarkan pada perubahan pandangan masyarakatnya tentang seks dan seksualitas. Pada 1950 itu, Indonesia masih berusia sangat muda, baru lima tahun (balita). Pada saat itu, Pramoedya Ananta Toer baru muncul ke permukaan, dengan menerbitkan Perburuan, Dia yang Menyerah, dan Keluarga Gerilya.

Novel Lawrence ini memang sarat dengan seks. Ketika novel ini akan ditik, karena aslinya merupakan tulisan tangan, si pengetik, Nellie Morrisson, tidak sanggup meneruskan pekerjaan setelah bab 5 selesai. Karena, mulai bab ke-6 hingga bab 19, yang tergambar dengan gamblang adalah persoalan seks, hubungan intim antara Lady Chatterley dengan tukang kebunnya, Oliver Mellors. Baik pada siang hari maupun senja, atau malam hari. Baik di dalam gubuk maupun di tengah hutan. Baik di saat matahari bersinar maupun di bawah hujan. Bahkan di bawah hujan deras pun mereka menari dalam keadaan telanjang dan bersetubuh dengan penuh hasrat.

Kalau dikatakan ini novel cabul, mungkin tidak sepenuhnya benar. Saya menduga bahwa D.H. Lawrence tengah mendobrak sistem masyarakatnya yang sangat feodalistis. Kalangan aristokrat di Inggris sangat deskriminatif terhadap masyarakat di luar kasta atau kelasnya. Perlakuan terhadap masyarakat kelas pekerja sangat kejam. Para pekerja itu tak ada bedanya dengan budak atau hamba sahaya. Saya menduga, dengan menggunakan tokoh Oliver Mellors sebagai alteregonya, Lawrence ingin mendobrak budaya feodalistis itu.

Dalam novel, Oliver Mellors digambarkan sebagai anak seorang pekerja tambang. Kalau kita baca biografi Lawrence, ada kesejajaran di situ. Lawrence juga anak seorang pekerja tambang. Dan, di dalam novel itu, Mellors digambarkan sebagai seorang laki-laki yang sempurna, yang mampu memikat hati Lady Chatterley (Connie), istri majikannya.

Novel ini juga bisa ditafsir dari perspektif Connie sendiri. Sebagai seorang perempuan, yang suaminya lumpuh setengah badan dari perut ke bawah akibat perang, ia merasakan kehampaan. Sudah dua tahun Connie tidak berhubungan seks dengan suaminya, Clifford Chatterley. Suaminya paham akan hal itu, karenanya ia suka memanggil teman-teman dari kalangan bangsawan untuk menginap di istananya di Wragby. Bukan hanya tidur di rumahnya, tapi juga meniduri Connie. Tapi, Connie merasa ia dilecehkan. Connie akhirnya mendapatkan kelembutan justru dari seorang penjaga hutan, Oliver Mellors.

Novel ini sedikitnya sudah dua kali difilmkan, yakni versi Inggris (1981) dan Prancis (2007). Dalam versi Prancis, artis pemeran Lady Chatterley, Marina Hands, mendapat penghargaan sebagai artis terbaik.

Sekali lagi, ini kabar baik. Penerbit Alvabet berani menerbitkan Lady Chatterley’s Lover pada Desember 2008 ini. Padahal, di Indonesia, kita tahu UU Pornografi baru saja disahkan. Selamat buat Alvabet!

Citayam, 27 Desember 2008

Sabtu, 20 Desember 2008

SAUT SITUMORANG: Lahir Seorang Besar dan Tenggelam Beratus Ribu



oleh Asep Sambodja

Ketika saya mendapat pesan singkat dari Saut Situmorang bahwa buku puisinya, Otobiografi telah terbit, saya sedang berada di kereta Taksaka menuju Yogyakarta. Dan saya memutuskan untuk segera mencari buku itu begitu sampai. Keesokan harinya, saya kesusahan mencari buku itu di Toko Buku Social Agency Kaliurang yang terkenal murah itu. Setelah lelah mencari, akhirnya saya meminta bantuan petugas untuk mencarikan di komputernya. Ternyata buku Otobiografi Saut Situmorang itu diletakkan di rak buku sejarah, berdekatan dengan biografi Tan Malaka dan Pengantar Ilmu Sejarah Kuntowijoyo.
Memang kalau kita lihat cover buku itu sama sekali tidak ada informasi yang menjelaskan kepada pembaca bahwa buku Otobiografi merupakan buku puisi. Nama Saut Situmorang baru dikenal di kalangan penyair, namun tidak semua orang di republik ini mengenalnya sebagai penyair, termasuk pedagang buku di Social Agency, Gunung Agung, Toga Mas, dan Gramedia. Makanya, tidak heran kalau bukunya diletakkan di deretan buku-buku biografi yang kebanyakan berisi tokoh-tokoh politik itu. Foto Saut Situmorang kecil yang terpampang di cover depan dan Saut Situmorang besar di cover belakang rupanya tidak banyak membantu untuk menjelaskan kepada pedagang-pedagang buku itu bahwa Otobiografi karya Saut Situmorang sesungguhnya buku puisi dan bukan buku biografi biasa.
Begitulah. Begitu buku ini lahir, ternyata sudah disalahpahami. Namun, itulah Saut Situmorang, penyair yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 29 Juni 1966. Cukup banyak pikiran, tindakan, dan ucapannya yang menggelisahkan dan disalahpahami banyak orang. Dalam pengantar buku ini, nama pertama yang langsung dikritiknya adalah Nirwan Dewanto, sastrawan dari komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan Salihara, yang mengatakan bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Pernyataan Nirwan tersebut seolah-olah ingin mengatakan bahwa Ayu Utami turun dari langit ke tujuh begitu saja.
Pernyataan Nirwan itu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan beruntun Saut yang kritis: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri, sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia masih menganggap perlu menulis dalam bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, dan bukan dalam bahasa Inggris, misalnya? (hlm. 11).
Dalam pengantar itu pula, bisa kita baca, bahwa Saut Situmorang sangat sadar posisinya sebagai penyair. Tiga alinea terakhir dari pengantarnya itu secara tidak langsung memperlihatkan kredonya sebagai seorang penyair. Saut mengatakan, “Penyair 1990-an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair.” Selain itu, katanya, “Sebuah motif dominan lain pada puisi penyair 1990-an adalah politik. Para penyair 1990-an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak protes dan pamflet penyair seperti pada puisi Wiji Thukul.” (hlm. 17). Meski Saut menyebutnya “Penyair 1990-an” namun saya menangkapnya termasuk Saut di dalamnya.
Dari sinilah saya mencoba memahami puisi-puisi Saut Situmorang dalam Otobiografi dengan perspektif postkolonialisme. Arief Budiman (2006) dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan mengatakan sejak Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) lahir pada 17 Agustus 1950, politik masuk demikian jauh ke dalam sastra Indonesia. Dengan konsep “seni untuk rakyat” dan “politik adalah panglima” sastrawan-sastrawan Lekra memproduksi karya-karya mereka dengan benar-benar mengamati kenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Hal ini dimungkinkan karena mereka diwajibkan “turba” atau turun ke bawah atau turun ke lapangan dan langsung menghayati kehidupan rakyatnya.
Pernyataan Arief Budiman tersebut sejalan dengan pernyataan Joebaar Ajoeb yang dikutip dalam buku Lekra Tak Membakar Buku yang dieditori Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), yang mengatakan sastrawan harus berpolitik, bahkan seharusnya masuk ke dalam partai politik. Sebab, kata Joebaar, kalau sastrawan tidak berpolitik, maka “politik yang akan mencampuri sastrawan”.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan Joebaar Ajoeb. Kalau sastrawan harus mengerti politik, itu sudah pada tempatnya. Tapi, kalau sastrawan diharuskan masuk partai politik, maka saya tidak setuju karena ada kecenderungan orang yang masuk ke dalam sebuah partai politik akan beradaptasi dengan ideologi partai, yang terkadang harus meminggirkan nurani. Ada kecenderungan pula kalau kita masuk partai politik, kita akan seperti “memakai kacamata kuda”. Apa yang ditulis dan dilakukan Saut Situmorang jelas berwawasan politik, tapi setahu saya dia tidak berpartai. Ia independen.
Dalam buku ini, Saut memasukkan puisi-puisinya ke dalam tiga bagian, yakni Cinta, Politik, dan Rantau. Dalam kesempatan ini, saya akan memfokuskan perhatian saya pada puisi-puisinya yang terhimpun dalam bagian Politik. Puisi-puisinya yang terhimpun dalam Cinta dan Rantau akan dibicarakan dalam kesempatan lain. Dengan demikian saya akui bahwa pembicaraan ini masih belum komprehensif benar. Dan sangat kebetulan bahwa sebagian besar puisinya yang terhimpun dalam payung Politik itu pernah dimuat di buku puisinya, Catatan Subversif (2004). Dalam tulisan saya sebelumnya, “Kontroversi KLA 2008”, saya mengatakan Saut Situmorang berhak mendapat penghargaan KLA 2008 karena puisi-puisinya bergizi. Yang saya maksud adalah puisi-puisinya yang terhimpun dalam payung Politik ini.
Menurut saya, buku Otobiografi Saut Situmorang inilah yang bisa mengungguli buku himpunan puisi Jantung Lebah Madu karya Nirwan Dewanto (2008) dalam hal merebut penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2008. Sayang, Saut Situmorang menolak dinilai oleh dewan juri KLA yang menurutnya tidak jelas dan tidak menyehatkan dunia sastra Indonesia itu. Perbandingan antara Saut Situmorang dengan Nirwan Dewanto secara detail akan dibicarakan dalam kesempatan lain pula. Tulisan pendek ini hanya akan mencoba membaca ideologi Saut Situmorang sebagai penyair Indonesia modern, yang memulai menuliskan karyanya pada 1990-an.


Marsinah, Wiji Thukul, Munir
Cukup banyak pokok dan tokoh yang tercatat di media massa. Kalau menggunakan perspektif jurnalisme, nama tokoh yang tercatat itu setidaknya memiliki daya tarik, nilai jual, penting di mata pembaca, atau dengan kata lain tokoh itu layak berita. Sekarang tergantung media yang akan memuatnya: dia akan menempatkan tokoh itu sebagai pahlawan atau pecundang? Saya pikir pers yang masih memiliki idealisme akan berusaha melihat segala sesuatu secara objektif dan proporsional dengan berpegang pada prinsip cover both side.
Dengan mengangkat tiga tokoh, yakni Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir, dan menangkap message yang disampaikan Saut Situmorang melalui puisi-puisinya, jelas bahwa ia ingin melihat sebuah peristiwa dengan sudut pandang korban kekuasaan. Kebetulan bahwa ketiga tokoh tersebut adalah korban tindak kekerasan dari kaki tangan penguasa Rezim Orde Baru. Ketiganya mati setelah bersuara.
Marsinah sebagai buruh pabrik arloji di Sidoarjo bersuara meminta kenaikan upah sebesar Rp550,- agar sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Timur, namun ia diciduk aparat dan mati setelah mengalami proses penganiayaan di selangkangannya.
Wiji Thukul sebagai penyair menyuarakan kehidupannya sendiri, mempertanyakan ketimpangan sosial yang dialaminya, menggugat, dan kemudian sampai pada pencapaian estetis yang luar biasa melalui puisi “Peringatan”, dengan kata-kata yang berjiwa, “hanya ada satu kata: lawan!” Kemudian pasca peristiwa 27 Juli 1996, ia dikejar-kejar aparat karena partainya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dijadikan kambing hitam dalam peristiwa perebutan Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Wiji Thukul diculik dan setelah itu orang-orang menduga bahwa ia telah mati dibunuh.
Munir pun bersuara membela orang-orang tertindas. Mulai dari membela buruh, aktivis yang diculik, hingga korban peristiwa Tanjung Priok 1984, korban Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998, hingga korban Tragedi ’65. Ketika hendak kuliah pascasarjana di Belanda, ia mati sahid karena diracun di pesawat Garuda Indonesia Airways yang membawanya belajar ke Belanda. Munir pun mati. Orang-orang yang bersuara kritis mati.
Bagaimana Saut Situmorang memotret peristiwa itu? Dengan keberanian seperti apa Saut Situmorang menempatkan ketiga nama itu sebagai tokoh? Kalau Sapardi Djoko Damono menulis puisi “Dongeng Marsinah” dalam buku Ayat-ayat Api (2000) dengan bahasa metaforis dan terasa sangat ironis, bagaimana dengan Saut Situmorang? Saya kira “kredo” yang ditulisnya di pengantar buku Otobiografi ada di sini.

Marsinah

dari luka luka tubuhmu
tercipta bintang bintang
setiap bintang adalah sajak
yang mengabadikan suaramu

perempuan muda yang berani itu
mati terbunuh.
kenapa?

tubuhnya yang indah yang suci
rusak
ternodai—kematian yang laknat
menghancurkan
beribu doa ibu yang tinggal termangu.
kenapa?

perempuan muda yang berani angkat suara
karena tak adilnya matahari yang menyengat muka
perempuan bernama marsinah itu
mati dibunuh

dibunuh seperti kambing hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti babi hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti anjing hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti cuma seekor binatang!

kenapa lobang tanah yang sempit yang hitam
lebih menerima seorang manusia yang perempuan
dibanding kita makhluk yang lebih tinggi dari
malaikat tuhan?

seorang perempuan muda
mati
hanya karena berani.

terlalu tinggi dia

bagi kita
yang terkutuk hidup
sebagai

pengecut!

Penyair Saut Situmorang sampai pada kesimpulan bahwa perempuan muda itu mati karena berani, dan kita yang hidup di negeri ini tak lebih dari sekadar manusia pengecut. Puisi yang bermuatan politik ini memang tak menuding pelaku kekerasan itu secara jelas, sama halnya dengan puisi Sapardi, namun pembaca bisa menafsirkannya karena puisi tersebut sarat dengan pertanyaan dan gugatan yang bersandarkan pada nurani. Kedudukan Marsinah yang direndahkan oleh aparat keamanan Sidoarjo ditinggikan atau dipulihkan kehormatannya oleh Saut Situmorang. Repetisi yang digunakan Saut Situmorang dalam puisi ini dan juga dalam puisi-puisinya yang lain menguatkan pesan yang ingin disampaikan penyair.
Saya teringat dengan pernyataan Harry Aveling ketika ia bicara mengenai puisi Indonesia modern 1990-an. Sebenarnya Harry Aveling (2003) sudah cukup bagus menjelaskan puisi Indonesia di masa Orde Baru dalam bukunya, Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998. Namun, saat mengisi waktu senggang di ruang Program Studi Indonesia FIB UI tetap saja saya tanyakan mengenai puisi-puisi 1990-an itu. Dan, jawabannya sangat sederhana, yakni “kecenderungan puisi Indonesia 1990-an sama seperti lukisan di cover buku Saut Situmorang yang berjudul Catatan Subversif.”
Sepulang dari kampus, saya mencoba melihat kembali cover buku itu, yang ternyata lukisan Edvard Munch yang berjudul “Scream” (1893). Dalam lukisan itu, tampak wajah seseorang yang merasa ketakutan, dan tidak jauh di belakangnya tampak dua sosok manusia—yang membuatnya takut. Saya menafsir gambar itu sebagai sesuatu yang menggambarkan suasana suram, yang di antaranya mengakibatkan siapa pun takut untuk bersuara. Ini, di kemudian hari, tertera dengan cukup jelas dalam pengantar buku Otobiografi (2008). Ada persamaan antara pernyataan Harry Aveling dengan pengantar Saut Situmorang itu.
Puisi yang bertendens semacam ini terkadang bisa menjebak penyairnya menulis sajak-sajak pamflet atau sajak-sajak protes yang mirip poster-poster demonstran. Tapi, bagaimanapun sajak-sajak semacam ini memang punya hak hidup yang sama dengan puisi lainnya. Hal ini sangat bergantung pada konteks yang melahirkannya. Karena, sebuah puisi protes bisa lahir akibat kemampatan politik atau karena pemberantasan korupsi yang mengalami stagnasi terus-menerus, misalnya.
Lihat sajak “Peringatan Rakyat” Saut yang semua isinya bertuliskan dengan huruf kapital: KORUPSI DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Menurut saya, puisi sederhana ini bicara sangat banyak. Puisi ini saya sukai, meskipun diambil begitu saja dari pelarangan yang melekat di bungkus rokok—yang ternyata sangat tidak penting dan bisa dihiraukan begitu saja itu—namun memiliki makna yang dalam.

catatan subversif tahun 1998
—disebabkan oleh Wiji Thukul

kau adalah kemarau panjang
yang hanya membawa kematian
kepada daun, bunga, dan
ikan ikan di sungai
kampung tercinta

karena kau adalah kemarau
maka airmata marah kami akan
menggenangi bumi
jadi embun
naik ke langit jadi awan awan
dan dengarlah gemuruh suara kami
sebagai hujan turun

mengusirmu dari sini!

maret 1998

Puisi “Catatan Subversif tahun 1998” ditulis sebelum lengsernya Soeharto. Keterpurukan ekonomi pada 1997-1998 dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto hengkang dari singgasananya pada 21 Mei 1998. Dalam suasana semacam itu Saut Situmorang menulis puisi yang “disebabkan oleh Wiji Thukul”. Kita tahu bahwa Wiji Thukul “menghilang” pascaperistiwa 27 Juli 1996 (“Kuda Tuli”—Kasus Dua Tujuh Juli), dan dia dikenal sebagai penyair yang berani, sama seperti Saut Situmorang ini. Kepenyairan Wiji Thukul yang penuh totalitas itu, yang menyebabkan dia harus ditempatkan sebagai orang yang harus dihapus oleh negara, menyebabkan Wiji Thukul sebagai penyair besar yang menenggelamkan banyak nama seangkatannya. Keberanian. Itulah faktor kebesaran Wiji Thukul. “Kalau takut, jangan jadi pengarang!” kata Pramoedya Ananta Toer suatu kali.
Dalam puisi ini, Saut ingin menegaskan bahwa kau (‘penguasa’) sebagai penyebab kematian “daun”, “bunga”, dan “ikan-ikan” (yang melambangkan keberagaman masyarakat) di negeri ini. Dan karena itulah kami (‘rakyat’) berupaya menghimpun penderitaan yang dialaminya menjadi kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan. Keberanian Wiji Thukul sebagai seorang penyair menempatkannya di posisi yang terhormat dalam sejarah sastra Indonesia. Ulasan yang cukup panjang mengenai Wiji Thukul sudah saya tuliskan dalam artikel “Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati”, yang dimuat dalam buku Kebenaran akan Terus Hidup yang dieditori Wilson (2007).
Namun, satu hal yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa sejatinya seorang penyair atau sastrawan atau seniman pada umumnya harus melihat dan “membaca” kenyataan di sekitarnya. Inilah yang pernah disarankan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto mengenai sastra kontekstual, dan dalam beberapa hal pernah disinggung sastrawan Lekra sebagai “sastra untuk rakyat”, yang menyarankan semua sastrawannya untuk benar-benar memahami dan merasakan kehidupan rakyatnya.
Tugas sastrawan kemudian adalah menyuarakannya dalam bentuk karya sesuai dengan hati nurani rakyat (hanura). Saut Situmorang telah melakukannya dengan baik. Dalam kesempatan ini pula saya ingin menggarisbawahi pernyataan Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara!”. Pernyataan Seno itu menempatkan sastra sebagai sesuatu yang penting dan berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang diucapkan Seno itu mewujud dalam sebagian besar karyanya hingga terbaca dalam cerpen terbarunya, “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”, yang dimuat Kompas, 16 November 2008. Meskipun demikian, ini tidak berarti saya mengharamkan atau menafikan karya sastra yang bicara tentang cinta ataupun eksistensialisme.
Puisi Saut yang juga ditujukan untuk Wiji Thukul, “Sajak Mimpi”, yang merupakan puisi eksperimental itu lebih mendeskripsikan mengenai Indonesia dan keberagaman yang terkandung di dalamnya. Indonesia digambarkan sebagai negeri impian yang di dalamnya ada keindahan, namun ada pula kekerasan. Hidup di negeri impian memang terkadang membuat kita tidak sadar dan kurang waspada. Hari ini kita bisa bermain-main, esok hari kita ternyata sudah mati. “Indonesia adalah mimpi di mana aku tak perlu lagi bermimpi seperti ini!” kata Saut Situmorang (hlm. 171).

Parabel
: Mengenang Munir

seorang bocah laki laki
main layangan
di lapangan

langit biru
angin berhembus sejuk
layangan meliuk indah
di atas ladang sawah

angin tiba tiba meniup kencang
langit mendung gelap
seekor burung garuda raksasa
muncul dari balik awan
menyambar bocah laki laki itu

dan melarikannya ke ujung cakrawala yang jauh

di tanah lapang
sepasang sandal kecil
basah lumpur
oleh hujan yang semalaman tak reda

layangan itu sendiri hilang entah ke mana

Jogja, 10 Nov 2005

Sajak “Parabel” Saut Situmorang yang juga dimuat di buku Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005) ini merekam dengan bagus sekali peristiwa pembunuhan terhadap tokoh HAM Indonesia yang bersahaja itu. Kerja kemanusiaan yang tengah dikerjakan oleh Munir dihentikan oleh negara begitu saja. Dan, kenyataannya, bukan Munir saja yang sirna, tapi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri pun ikut lenyap entah ke mana.
Hingga kini kasus kematian Munir masih bergulir di pengadilan dengan beberapa terdakwa, termasuk mantan petinggi Badan Intelijen Nasional (BIN), Muchdi Pr. Kita lihat saja apakah pengadilan kita bisa memberikan rasa keadilan atau tidak. Dalam buku Untukmu Munir (2008), saya merasa pesimistis pengadilan kita bisa memberikan rasa keadilan itu, dengan berbagai alasan yang terang-benderang, di antaranya aparat penegak hukum masih menjalankan transaksi perkara dengan terdakwa. Jaksa Urip adalah contoh paling konkret.
Sebuah puisi memang terbuka atas beragam interpretasi. Sajak yang ditujukan untuk mengenang Munir tersebut, dalam interpretasi saya, membawa message yang penting bahwa upaya pembunuhan terhadap Munir membawa dampak yang lebih luas, yakni lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini.


Timor Timur, Aceh, Yogyakarta
Ketika Yoselda Malona, mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI, menganalisis buku saut kecil bicara dengan tuhan (2003), ia sampai pada sebuah puisi yang membuatnya masygul, yakni “Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu”. Bagaimana membaca puisi ini? Saya berusaha menjelaskannya tanpa menutup kemungkinan interpretasinya yang lain terhadap puisi itu.
Pertama, dari judul puisi itu, bagi pembaca puisi Indonesia modern akan mengingat puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”, yang baris pertamanya berbunyi “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Nah, puisi masterpiece Sapardi ini kemudian diplesetkan atau diparodikan Saut sedemikian rupa sehingga terkesan vulgar dan sarkastis. Sebelumnya, Saut juga menulis puisi dengan judul yang sama, yakni “aku ingin”, yang baris pertamanya berbunyi “aku ingin mencintaiMu dengan membabi buta—“ (hlm. 95). Dalam puisi ini, Saut memadukan karya Sapardi Djoko Damano dan William Shakespeare hingga melahirkan sebuah karya yang kuat. Sementara dalam puisinya yang lain, dengan judul yang juga sama, “aku ingin”, Saut bicara tentang cinta dengan setting gempa bumi di Yogya (hlm. 162).
Kedua, penggunaan huruf kapital –Ku dan –Mu yang biasanya diperuntukkan pada Tuhan yang maha kuasa, oleh Saut Situmorang dijungkirbalikkan begitu saja. “Karena aku tak percaya segala tuhan itu ada,” katanya (hlm. 215). Huruf kapital bisa digunakan secara arbitrer, siapa pun berhak menggunakan huruf besar pada pronomina. Sepanjang pengetahuan saya, baru kali inilah ada penyair Indonesia yang secara manasuka, bahkan dapat dikatakan secara liar, menggunakan simbol-simbol yang semula diperuntukkan kepada yang maha kuasa menjadi kepada siapa saja.
Ketiga, karena kita terbiasa hidup dengan eufemisme, maka tak heran kita mudah terkejut manakala Saut Situmorang menggunakan kata “jembut” yang di kamus berarti ‘rambut kemaluan’. Sebenarnya Chairil Anwar dan penyair-penyair kita senantiasa mencoba menggunakan kata-kata baru, ataupun berusaha kembali menghadirkan kata-kata arkais. Dan itu hal yang sangat biasa dan lazim.
Saya tidak akan berpanjang-panjang membicarakan hal ini, selain menggarisbawahi bahwa Saut Situmorang secara terus-terang mengakui adanya tradisi kepenyairan yang serta-merta melekat pada dirinya, yang sama sekali sulit dihindari manusia yang lahir di era globalisasi ini. Dalam beberapa puisinya, meskipun dengan gaya parodi, kita bisa menangkap tradisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Apollinaire, dan Chairil Anwar.
Di bawah ini sebuah puisi Saut Situmorang yang mengingatkan saya pada bentuk puisi Chairil Anwar yang berjudul “1943” yang demikian impresif.


requiem

langit hitam
bumi hitam
tanah hitam
asap hitam
puing puing membara
puing puing membara
mobil membara
asap hitam
jalanan kosong
asap hitam
potongan kaki
potongan kaki
potongan tangan
sepatu
sandal
potongan kepala
asap hitam
asap hitam
puing puing membara
langit sunyi
bumi sunyi
asap hitam
jalanan kosong
sunyi
langit
bumi
diam
sunyi
timor timur
mati

15 September 1999

Puisi Saut Situmorang di atas demikian dalam mendeskripsikan Timor Timur saat “lepas” dari cengkeraman Indonesia. Pada 1975-1976, Amerika Serikat dan negara-negara Barat, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung Indonesia menduduki Timor Timur semata-mata untuk melenyapkan partai Fretilin yang kekiri-kirian. Namun, pada 1999, setelah Soeharto lengser dan Habibie menggantikannya menjadi presiden, setelah ada tekanan internasional, setelah Uskup Belo dan Ramos Horta meraih penghargaan Nobel, setelah dilakukan referendum dan 78,5% penduduk Timor Timur mendukung kemerdekaan, terjadi kekerasan yang memakan korban saudara-saudara kita sendiri. M.C. Ricklefs (2005) mencatat orang-orang prokemerdekaan dibunuh, banyak rumah pribadi, perusahaan swasta, bangunan umum, gereja, dan lainnya dihancurkan, serta sekitar 800.000 orang menjadi pengungsi.
Politik “bumi hangus” ini terjadi karena Indonesia yang mau didikte begitu saja oleh Amerika Serikat ketika pertama kali menduduki Timtim. Padahal, waktu itu Indonesia belum memiliki pasukan tempur yang tangguh, akibatnya banyak tentara yang mati saat pendudukan itu. Ketika tekanan internasional demikian keras hingga berujung pada kemerdekaan Timor Leste, tentu saja militer yang telah banyak berkorban atau “dikorbankan” itu melakukan aksi balas dendam. Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi korban pastilah rakyat. Dan Saut Situmorang merekam peristiwa lepasnya Timor Timur itu dengan lagu duka dalam “Requiem”. Dalam bentuk prosa, Seno Gumira Ajidarma juga merekamnya dalam Saksi Mata (1994) dan Jazz, Parfum, dan Insiden (2004).
Tidak hanya bencana politik yang diangkat Saut ke permukaan. Puisi-puisi di bawah ini bicara tentang bencana alam, yakni tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2006. Kepekaan yang memang harus dimiliki oleh setiap penyair yang memiliki nurani.


buat Fikar
—melebihi Belanda
itulah Jakarta!

aku tak percaya tuhan membuat
bencana itu, seperti kata nabi nabi palsu itu,
karena aku tak percaya segala tuhan itu ada.
aku cuma percaya
tak akan begitu banyak saudara kita
binasa sia sia
kalau Jakarta bisa seperti Belanda

menyayangi anak anaknya.

sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penderitaan saja yang diciptakannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi ketakadilan saja yang dikembangbiakkannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penjara dan bukit tengkorak saja yang diberikannya

pada setiap keluh kesah kita.

seperti yang kau katakan sendiri,
puluhan tahun Jakarta, seperti lintah,
menghisap segalanya,
gas alam,
minyak,
emas,
hutan,
sampai akar rumput bumi

sambil mengutip kitab suci!

wahai Fikar,
tak ada negeri yang tak punya bencana alam
di bumi ini, bahkan tsunami
tak jarang terjadi di kepulauan ini. Flores
sudah biasa dengan tsunami, sudah
berpengalaman dengan tsunami

tapi Jakarta tidak mau menyimpan memori ini,
Jakarta tak peduli pengalaman Flores ini,
Jakarta lupa kepulauan negeri kita, nusantara nama kita,

walau diwajibkannya kita untuk menghapalnya:
“dari barat sampai ke timur berjejer…”

Jakarta pinjam uang beli teknologi canggih luar negeri
cuma untuk memata matai kita
cuma untuk menindas kita
cuma untuk keamanannya sendiri

dan kita juga yang harus melunasinya nanti!

wahai sahabatku Fikar,
bukan bencana itu benar yang menusuk kalbu
tapi jumlah saudara kita yang binasa sia sia
terlalu tinggi buat kota kampung kita

yang bertahun sudah dinista moncong senjata tentara.

kalau Jakarta, bisa seperti Belanda,
menyayangi anak anaknya,
sudah lama kita akan diberi tahu
apa arti gelombang yang jauh menyurut,
meninggalkan batas pasir pantai, setelah bumi menggeliat di perut laut.

bahkan bangsa asing menolong kita pun mereka curigai!

itulah Jakarta, begitulah Jakarta.

Jogja, 2 Feb 2005


Puisi “buat Fikar” ini memang ditujukan pada Fikar W. Eda, penyair Aceh yang telah menghasilkan buku puisi Rencong (2003), yang di dalamnya sarat lukisan penderitaan bangsa Aceh, terutama di masa Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan selama satu dekade (1989-1998). Al Chaidar (1998) cukup tajam merekam peristiwa ini dalam tulisan jurnalistik yang demikian memikat, dalam Aceh Bersimbah Darah, yang sangat membantu memaknai puisi-puisi Fikar W. Eda tersebut. Sastrawan Helvy Tiana Rosa (2002), untuk menyebut nama lain, juga merekam peristiwa berdarah itu dalam cerpen “Jaring-jaring Merah” yang sangat memikat pembaca sekaligus mengundang empati pada masyarakat Aceh yang teraniaya.
Dalam puisi itu, Saut Situmorang mengkritik Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang selalu saja menciptakan kesusahan dan kegetiran bagi masyarakat Aceh. Dari segi keamanan, Jakarta jauh lebih kejam dari Belanda karena memberlakukan DOM yang mengakibatkan korban tewas sekitar 5.000 orang. Untuk menggambarkan hal ini, Al Chaidar (1998) mengutip Nikita Khruschev, “One man death is a tragedy, but million death is a statistic.” Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi bagaimana penderitaan rakyat Aceh itu.
Namun, di sisi lain, Jakarta tidak belajar banyak dari Belanda yang bisa hidup bersahabat dengan laut. Ketika tsunami datang dan merenggut sedikitnya 150.000 warga di Aceh, Jakarta seperti terkesiap, tak sanggup berbuat banyak untuk mengantisipasi datangnya bencana. Sudah telanjur. Sudah kebacut. Bahkan ada yang mengatakan Tuhan tengah menguji ummatnya. Saut Situmorang mencatatnya musibah tsunami itu bukan kreasi Tuhan, karena ia “tak percaya segala Tuhan”, melainkan karena kelalaian petugas yang berwenang, dalam hal ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta. Di mata Saut, Jakarta sebagai pusat sudah seharusnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di daerah yang “dikuasainya”. Jangan hanya mengeruk kekayaan alamnya saja.


Blues for Allah

kehidupan begitu fana
dan kematian begitu abadi

bau mayat mayat busuk
dan erang anak anak
terserak antara puing puing rumah
rongsokan mobil dan sandal jepit jepang
di bawah langit biru
di batas debur ombak
dalam peta negeriku
yang sobek tak lagi terbaca –
setelah tentara tentara asing
masuk ke mari
dan menembaki kami
sekarang amarah samudera
menghabisi apa yang
masih tersisa

kehidupan begitu fana
kematian begitu abadi,
dan kata kata? apa yang sanggup
dilakukan kata kata penyair
selain menyanyikan lagu duka
nyiur melambai di pantai
yang kehilangan celoteh camar
dan angkuh sobek layar
nelayan penguasa buih pagi?

kehidupan begitu fana
dan rintih ikan ikan kecil
terdampar di trotoar aspal jalanan
jadi azan terakhir
mengetuk ngetuk
pintu langit tak bernama
menembus kabut awan airmata
semoga diterbangkan burung musim ke batas cakrawala

Buchholz-Hamburg, 7 jan 2005

Sepertinya puisi “Blues for Allah” di atas sangat religius. Sepertinya pula dalam puisi ini Saut masih percaya adanya Allah, Tuhan sekalian alam. Nada dalam puisinya penuh luka, yang masih menyoal penderitaan bangsa Aceh. “Kehidupan begitu fana, dan kematian begitu abadi,” menjadi kata-kata sakti untuk menggambarkan bangsa Aceh yang demikian menderita. Setelah menderita akibat masuknya “tentara-tentara asing”, mereka juga dihantam “amarah samudera”. Bangsa Aceh sepertinya tak putus dirundung malang.
Puisi “Blues for Allah” demikian menyayat hati, sebagaimana lagu blues yang sering dinyanyikan orang-orang negro di Amerika sejak 1911, yang penuh ratapan. Meratap sembari berusaha survive dalam hidup yang penuh cobaan, sambil berupaya untuk bangkit, bebas, dan merdeka. Puisi ini menjadi sangat indah justru karena menyuarakan kepedihan.
Saut Situmorang cukup banyak menghasilkan puisi pascagempabumi di Yogyakarta. Di antaranya puisi “27 Mei 2006”, “bapa kami yang ada di sorga”, “aku ingin”, dan “Blues untuk Jogja”. Hal ini bisa dimaklumi karena ia menyaksikan bahkan mengalami sendiri gempa 5,9 skala richter itu. Saut Situmorang bersama Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, dan Endo Senggono menjadi editor buku Jogja 5,9 Skala Richter (2006) yang berisi puisi tentang gempa di Yogya karya 100 penyair Indonesia.
Dalam puisi “bapa kami yang ada di sorga”, Saut Situmorang seperti mengucapkan doa berulang-ulang dengan kata-kata yang sama: “di kepalaku ada gempa” (hlm. 161). Doa atau wirid yang diucapkan Saut hanya satu kalimat itu saja, karena dalam keadaan seperti itu biasanya manusia tak bisa berpikir dengan tenang.


1966, 1998
Kesadaran akan sejarah bangsanya juga tampak melekat pada Saut Situmorang sebagai penyair. Dalam dua puisinya berikut, terbaca bahwa peristiwa 30 September 1965 tak bisa dilupakan begitu saja. Segala keruwetan, kabut yang menyelimuti kebenaran peristiwa itu hingga kini masih menjadi topik yang terus diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan siapa dalang peristiwa itu, apa dan siapa tokoh-tokoh seperti Sjam Kamaruzzaman, Soeharto, D.N. Aidit, Soekarno, Adam Malik, Sarwo Eddi Wibowo, Letkol Untung, Kolonel Latief, Njono, Subandrio, Oemar Dhani, Sudisman, Ali Murtopo, Yoga Sugama, dan sebagainya terus dibicarakan hingga hari ini.
Peristiwa ini menarik untuk dibicarakan bukan saja lantaran pemainnya adalah tokoh-tokoh penting di negeri ini, melainkan justru yang utama adalah pembunuhan massal yang terjadi pada 1965-1966. Buku John Roosa (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, merupakan buku terbaru yang memberikan perspektif yang baru sama sekali, yang jauh berbeda dengan buku karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh (1989), Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia.


1996
—untuk Jimi Hendrix

di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah

orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan

di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh

bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah

di malam aku lahir


Saut Situmorang lahir pada 29 Juni 1966. Dan malam-malam sebelum kelahirannya, Indonesia bermandi darah. Puisi “1966” karya Saut Situmorang ini merupakan refleksi atas peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang dicap atau diberi stigma sebagai simpatisan PKI yang mencapai angka 1 juta jiwa. Orang-orang PKI yang sebagian besar buruh dan petani itu mati dihabisi oleh militer yang melibatkan warga dan ormas Islam yang berseberangan dengan PKI. Dalam perspektif yang agak berbeda, peristiwa ini juga terekam dengan sangat apik dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dan kumpulan cerpen Linda Christanty (2004), Kuda Terbang Maria Pinto.
Sebuah puisinya yang juga menggambarkan peristiwa sejarah yang masih samar adalah “Jakarta, 14 Mei 1998”. Peristiwa ini tidak hanya terjadi di ibukota menjelang Soeharto turun tahta, melainkan juga terjadi di Palembang, Solo, Surabaya, dan Lampung. Namun, kejadian yang terparah terjadi di Jakarta. Kerusuhan sengaja diciptakan, sebagaimana laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Perempuan-perempuan keturunan China banyak yang diperkosa. Penjarahan terjadi di mal-mal yang terbakar. Banyak warga yang mati terpanggang. Namun, tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Tak ada yang diadili dalam peristiwa itu. Dalam buku Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, Analisis yang dieditori Raymond R. Simanjorang (2007), pihak yang paling bertanggung jawab adalah aparat keamanan, karena ada sinergis antara tindakan aparat keamanan dengan provokator dan pelaku kerusuhan.


Jakarta, 14 Mei 1998

seorang laki laki
seorang bapak
berdiri tegak
hening
sebuah kaleng kecil di tangannya

seorang perempuan kecil
masih anak anak
terduduk di lantai
airmata di wajahnya
memandangnya

“bapak, berikanlah, bapak”
suara memelas itu begitu lembut
begitu pedih

airmata yang tak henti mengalir
jadi genangan kecil di lantai
bercampur darah
bercampur isak tangis…

seorang laki laki tua
seorang bapak
roboh ke lantai
tanpa suara

di sampingnya di tengah genangan darah airmata
anak perempuan kecilnya
mati menenggak sekaleng racun serangga

anaknya satu satunya


Puisi ini hanyalah salah satu perspektif saja dari peristiwa Mei 1998. Meskipun demikian, rasa perih dan tragis yang timbul saat itu tertangkap dengan jelas dalam puisi ini. Rasa putus asa dan malu dan marah yang bercampur-baur melahirkan keinginan untuk bunuh diri. Cukup banyak sastrawan yang merekam peristiwa menjelang reformasi ini dengan berbagai perspektif. Dapat disebut, misalnya, Veven Sp. Wardhana melalui Panggil Aku: Peng Hwa (2002), Seno Gumira Ajidarma lewat “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” dalam buku Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Agus Noor melalui “Jerangkong” dalam buku Bapak Presiden yang Terhormat (2000), Sapardi Djoko Damono melalui Ayat-ayat Api (2000), dan puisi-puisi Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Rendra, Ahmadun Yosi Herfanda, yang terhimpun dalam Horison edisi “Reformasi”.
Demikianlah.


Citayam, 21 Desember 2008

Puisi yang Terlibat



: Pembahasan Nubuat Labirin Luka (Antologi Puisi untuk Munir)*

oleh Asep Sambodja

Selama buku ini menimbulkan amarah, kegelisahan, rasa malu, rasa benci, cinta, bahkan kalau sang pengarang tidak lebih dari sekadar tempat berteduh, ia akan tetap hidup. Setelah itu, datang kiamat.
(Jean Paul Sartre, dalam Hidup Matinya Sang Pengarang)


Kehadiran buku antologi puisi Nubuat Labirin Luka dalam khasanah sastra Indonesia, setidaknya memperlihatkan dua pertanda. Pertama, kreativitas dan kebebasan pengarang dalam mengekspresikan gagasan dan perasaan masih terpelihara di negeri ini. Berkaitan dengan hal ini, siapa pun pengarangnya, ia memiliki kebebasan untuk menulis tentang apa saja dan kemudian mempublikasikannya. Persoalan kreativitas, kata Pramoedya Ananta Toer, adalah persoalan individu, bukan persoalan negara. Karena itu, meskipun negara mengekang atau membelenggu, bahkan membatasi ruang gerak pengarang, kreativitas seorang pengarang haruslah tetap ada. Kehadiran kembali buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang di zaman Orde Baru membuktikan bahwa sebuah rezim diktator sekalipun memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Kedua, kepekaan pengarang terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan semakin mendapat perhatian yang cukup besar. Cukup banyak karya sastra yang lahir menyusul peristiwa tsunami di Aceh yang demikian tak terkatakan, yang selama ini barangkali hanya terbayangkan melalui cerita tentang perahu nabi Nuh. Dan kini, penyair-penyair Indonesia memperlihatkan empatinya terhadap kasus pembunuhan tokoh hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, Munir.
Berangkat dari dua hal di atas, saya ingin mengungkap kekayaan buku Nubuat Labirin Luka. Namun, saya harus jelaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini bukan dimaksudkan untuk “pesta para penyair”, melainkan semata-mata untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang telah dibangun Munir dalam tempo yang demikian singkat. Dan, pemberian arti dari para penyair sebagai homo significans terhadap nilai-nilai yang telah diperjuangkan Munir selama ini. Dengan kata lain, tulisan singkat ini semacam doa tiada akhir yang ditujukan bagi Munir.

Munir, Tokoh Kita

Indonesia yang tampak di depan mata kita saat ini adalah sebuah negeri yang di dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma digambarkan sebagai negeri yang tertutup oleh gelembung-gelembung Rahwana. Gelembung-gelembung itu tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya, dan tidak seorang pun luput dari gelembung-gelembung itu. Dengan demikian, semua orang—kecuali Hanoman yang memiliki kearifan dan memilih jalan bersemadi daripada berada di lingkaran kekuasaan—terkena gelembung itu, sehingga semuanya menjadi jahat.
Munir yang hadir di sebuah negeri yang tertutup oleh gelembung-gelembung Rahwana itu menjadi sebuah sumber cahaya bagi banyak orang yang dirundung kegelapan dan kecemasan. Seperti kita ketahui, munir berarti penerang. Dan Munir menjadi pendobrak sarang laba-laba yang bertahun-tahun menyelimuti rezim Orde Baru. Ketika Munir tampil di depan publik dengan KontraS-nya, semua mata tertuju padanya. Bukan karena mencari eksistensi—apalagi sensasi—tapi memang ada yang harus disuarakan, harus ada yang diungkapkan. Munir dan kawan-kawan aktivis HAM membongkar kasus penculikan aktivis yang dilakukan oleh Tim Mawar, sebuah nama yang indah namun mematikan, karena berisi beberapa anggota Kopassus, pasukan elit di negeri ini.
Begitu mendengar kabar kematian Munir (7 September 2004)—saya sebagai salah satu warga negara yang mendapat penerangan dan pencerahan darinya (sebagai wartawan saya selalu mendapatkan informasi yang faktual, bermutu, berbobot, dan apa adanya dari Munir selaku nara sumber) merasa ada yang hilang. Suasana negeri ini yang seharusnya mulai terang sejak 21 Mei 1998 (saat rezim Soeharto tumbang) tiba-tiba gelap sama sekali. Pelita yang menyala di tengah-tengah kegelapan itu tiba-tiba mati. Gelap. Pekat. Sekarang, tinggal kita saksikan bagaimana hukum ditegakkan di negeri ini. Kalau saya melihat sejarah penegakan hukum di negeri ini, maka harapan terbongkarnya kasus rekayasa pembunuhan Munir semakin tipis, bahkan saya sudah hampir sampai pada titik hopeless. [Fakta betapa buruknya kinerja aparat penegak hukum Indonesia bisa dibaca dalam buku Investigasi yang disusun oleh tim wartawan Tempo]. Tapi, bagaimanapun, hal ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membuktikan ditegakkannya hukum sebagai panglima. Bukan politik sebagai panglima.
Kita telah kehilangan seorang tokoh. Barangkali rezim penguasa tidak merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan. Mungkin mereka menganggap matinya Munir hanya mengubah angka statistik penduduk di Indonesia. Tapi, bagi banyak warga negara, Munir adalah seorang pahlawan. Ia menjadi seperti Tokoh Kita, nama tokoh imajiner karya Iwan Simatupang dalam Merahnya Merah, yang menjadi pelindung dan dicintai kaum gelandangan, kaum marginal, kaum tertindas, kaum yang dipinggirkan. Munir adalah tokoh yang mengayomi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara, mulai dari kasus penculikan aktivis oleh Tim Mawar, kasus 13-14 Mei 1998, kasus Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, sampai kasus-kasus purba yang belum terselesaikan seperti kasus Tanjungpriok 1984 dan bahkan kasus yang terjadi pada 1965. Semua merasa yakin bahwa Munir bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Dalam sajak “Suatu Sore di TMP Kalibata” karya M. Amin dr yang pernah dibacakan pada acara Commemorating Munir di Leiden, 5 September 2005, digambarkan Munir tidak ingin jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata karena merasa jiwanya sudah terbebaskan.

Pahlawan bukan ada di dokumen-dokumen negara
dan taman berbunga
tapi di hati rakyat yang dibelanya [...]
Yang benar-benar pahlawan adalah pembebas
rakyat dari penindasan
militer, intelijen, dan para penjajah hak asasi
Anda harus kecewa karena Munir tidak mati
Dia masih hidup di setiap hati yang suci
Dia masih hidup di tangis rakyat seluruh negeri
Munir-Munir baru tumbuh setiap detik di seluruh
pelosok bumi

Sajak di atas mengubah konsep “pahlawan” yang selama ini terpatri di kepala kita. Bahwa pahlawan bukanlah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat secarik kertas dari penguasa yang menyebutkan dirinya menjadi pahlawan. Sejatinya pahlawan adalah seseorang yang benar-benar mengabdikan hidupnya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu, tanpa melihat partai dan latar belakang agama dan ideologinya. Dan karenanya, setiap individu berpotensi dan memiliki peluang yang sama untuk menjadi pahlawan. Tapi, apa artinya diberi gelar pahlawan kalau dia tak terterima di hati rakyat? Sebaliknya, sungguh mulia seseorang apabila ia masih dikenang dan dicintai oleh rakyatnya, meskipun ia tak digelari pahlawan.
Meskipun Munir tidak dinobatkan sebagai pahlawan, toh, dalam sanubari kami, Munir adalah seorang pahlawan yang menentang tindak kekerasan oleh rezim penguasa. Apa yang dilakukan Munir adalah sebuah mahakarya untuk hidup saling mengasihi, saling mengayomi: hidup damai—sesuatu yang sangat mahal di negeri ini. Bukan karena warganya mudah naik darah, tapi karena demikian gampang diadudomba dan dikelabui.
Sajak “Parabel” Saut Situmorang merekam dengan bagus sekali peristiwa pembunuhan terhadap tokoh HAM yang bersahaja ini. Kerja kemanusiaan yang tengah dikerjakan oleh Munir dihentikan oleh negara. Dan bukan Munir saja yang sirna, tapi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri pun lenyap entah ke mana. Berikut ini sajak “Parabel” Saut Situmorang yang saya kutip secara utuh:

Parabel

seorang bocah laki laki
main layangan
di lapangan

langit biru
angin berhembus sejuk
layangan meliuk indah
di atas ladang sawah

angin tiba tiba meniup kencang
langit mendung gelap
seekor burung garuda raksasa
muncul dari balik awan
menyambar bocah laki laki itu

dan melarikannya ke ujung cakrawala yang jauh

di tanah lapang
sepasang sandal kecil
basah lumpur
oleh hujan yang semalaman tak reda

layangan itu sendiri hilang entah ke mana

Sebuah sajak memang terbuka atas beragam interpretasi. Sajak yang ditujukan untuk mengenang Munir tersebut, dalam interpretasi saya, membawa message yang penting bahwa upaya pembunuhan terhadap Munir membawa dampak yang lebih luas, yakni lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini.
Ada 46 penyair yang menyuarakan pikiran dan perasaannya terkait dengan peristiwa pembunuhan Munir, dan secara tersirat semuanya mengutuk pelaku dan aktor intelektual pembunuhan itu. Sama seperti kita mengutuk pembunuh Marsinah, wartawan Bernas Udin, dan ribuan atau jutaan manusia di Aceh, Poso, Ambon, dan sebagainya. Sama seperti kita mengutuk aksi bom bunuh diri di tempat umum. Satu hal yang patut dicatat di sini adalah empati para penyair terhadap nilai-nilai kemanusiaan memang seharusnya terus-menerus diasah.
Sebuah karya sastra, apa pun bentuknya, sejatinya mengandung nilai-nilai yang bermakna bagi pembaca dan bagi masyarakatnya. Meskipun demikian, saya sama sekali tidak merendahkan seniman yang berprinsip l’art pour l’art, seni untuk seni, membuat puisi hanya untuk dan demi puisi itu sendiri. Namun, alangkah eloknya kalau prinsip-prinsip seni yang kita junjung tinggi itu tidak menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Totalitas dalam berkarya sekaligus menyuarakan keadilan.
Selain “kekayaan” yang telah saya ungkapkan di atas, ada sedikit kekurangan buku ini, yakni belum adanya sentuhan kebahasaan dalam penerbitan buku ini. Masih cukup banyak kesalahan bahasa yang saya temui dalam buku ini. Kesalahan bahasa ini cukup mengganggu, sebagaimana yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, bahwa kesalahan menuliskan [di] saja bisa mengakibatkan kesalahan penafsiran, kesalahan logika, yang berakibat lebih jauh lagi komunikasi menjadi tidak efektif. Sebab, sebagus apa pun message yang ingin kita sampaikan, kalau menggunakan bahasa yang buruk, maka message itu bisa menimbulkan salah tafsir dan salah pengertian.
Yang jelas, buku Nubuat Labirin Luka ini menjadi buku yang sangat penting karena bisa menimbulkan amarah, kegelisahan, rasa malu, rasa benci, bahkan cinta bagi pembacanya.

Citayam, 10 Desember 2005

*) Dibacakan dalam acara peluncuran buku kumpulan puisi Nubuat Labirin Luka di PDS H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, pada Minggu, 11 Desember 2005.

Minggu, 07 Desember 2008

Kanonisasi dalam Sastra Indonesia



oleh Asep Sambodja

Kita patut merasa rugi ketika membaca buku sejarah sastra Indonesia yang selama ini beredar di masyarakat, karena belum ada satu buku pun yang memuat sejarah sastra Indonesia secara komprehensif. Memang harapan akan sebuah buku yang benar-benar komplit seperti sebuah utopia, tapi bagaimanapun upaya semacam itu harus dilakukan. Kalau kita membaca Horison Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh kelompok Horison—Taufiq Ismail dan kawan-kawan—maka tidak akan kita temukan, misalnya, sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun sastrawan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) seperti Sitor Situmorang. Padahal, ketiga nama itu layak dicatat dalam sejarah perpuisian Indonesia.

Apakah dengan demikian Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu patut disalahkan? Tentu saja tidak. Kita malah harus berterima kasih dengan karya yang telah dihasilkan Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu. Karena, bagaimanapun, penyusunan sebuah antologi karya sastra secara kronologis—sehingga sedikitnya ada pretensi kesejarahan—seperti itu tidak terlepas dari subyektivitas penyusunnya, baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Tapi, yang dilakukan Taufiq Ismail rupanya dilandasi dengan kesadaran penuh, karena ternyata nama Sitor Situmorang tidak hanya “hilang” di buku Horison Sastra Indonesia, melainkan juga tidak muncul dalam buku lain yang juga disuntingnya, Ketika Kata Ketika Warna.

Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kaum buruh dan tani semata, puisi Sitor Situmorang dan sastrawan-sastrawan Lekra seperti Sobron Aidit dan Agam Wispi bisa muncul. Buku Prahara Budaya membuktikan hal itu.

Saya sama sekali tidak menyalahkan Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto yang menyusun Prahara Budaya—yang sangat penting artinya sebagai bahan baku penulisan buku sejarah yang lebih obyektif—namun menyayangkan saja, kenapa ketika bicara yang “manis-manis”, seperti untuk buku Horison Sastra Indonesia dan Ketika Kata Ketika Warna nama Sitor Situmorang tidak dimunculkan, dan ketika bicara yang “pahit-pahit”, seperti untuk buku Prahara Budaya, nama Sitor Situmorang berikut karya-karyanya bisa muncul dalam porsi yang berlebihan? Dan, bahkan, secara politik bisa merugikan Sitor Situmorang, kalau kita kaitkan terbitnya buku itu dengan konteks zaman saat itu, saat rezim Soeharto ingin memberantas PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya.

Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi semacam itu? Memang, kita tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B. Jassin memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang fatwa-fatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada yang secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U. Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A Bibliography of Modern Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri “baru” menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66. Lalu, bagaimana sastra Indonesia periode 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah sastra Indonesia pasca-Orde Baru atau di era reformasi?

Ini menjadi tugas kita bersama, terutama pengajar sastra Indonesia di perguruan tinggi untuk bisa menampilkan “wajah” sastra Indonesia selengkap mungkin. Ini tidak hanya tugas pengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI) saja, tapi juga pengajar sastra Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia atau di mana pun. Apa yang dilakukan Yudiono K.S., pengajar sastra Indonesia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, yang menulis buku sejarah sastra Indonesia terbaru patut diapresiasi, karena di dalamnya sudah ada nama-nama sastrawan Indonesia yang baru, meskipun menurut saya masih ada kekurangannya. Misalnya, masih lenyapnya sastrawan Lekra dan sastrawan eksil. Khusus di bidang puisi, upaya yang dilakukan Harry Aveling melalui Rahasia Membutuhkan Kata, yang berisi puisi-puisi yang lahir di masa Orde Baru (1966-1998) pun patut dihargai, meskipun masih banyak juga penyair yang luput dari perhatiannya.

Kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah saja, tapi faktor politik cukup besar pengaruhnya. Ini, misalnya, bisa kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin melalui buku Tonggak (empat jilid). Tapi, niat mulia Linus Suryadi itu tak bisa terwujud, karena penyair atau sastrawan Lekra masih kena “segel merah” alias dilarang berekspresi dan bersuara melalui media apa pun, termasuk karya seni yang bernama puisi. Akibatnya, hanya 180 penyair yang berhasil dikumpulkan oleh Linus. Angka 180 itu pun merupakan angka kompromi antara Linus sebagai editor dengan Gramedia sebagai penerbitnya. Karena, bagaimanapun, penerbitan sebuah karya besar memerlukan dana yang besar pula. Yang patut disayangkan dari buku Tonggak ini adalah tidak adanya penyair-penyair seperti Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan Emha Ainun Nadjib. Tapi, ketiadaan nama-nama itu bukan karena kesalahan Linus Suryadi, melainkan karena keinginan para penyair itu sendiri. Sama halnya dengan tidak adanya nama Rendra dalam kumpulan puisi yang menandai 50 tahun Indonesia merdeka, Ketika Kata Ketika Warna. Tak adanya nama Rendra bukan karena kesalahan Taufiq Ismail, tapi karena ketidakmauan Rendra sendiri.

Jadi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, faktor penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan Lontar baru-baru ini menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup lengkap. Isinya adalah 60 naskah drama yang pernah terbit antara 1895-1995 (satu abad) pilihan Sapardi Djoko Damono.

Apa yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu merupakan kerja raksasa. Apalagi buku itu akan diikuti antologi cerpen, novel, puisi, dan esai (yang belum tersentuh oleh banyak ahli sastra). Meskipun ada kanonisasi dalam pembuatan “buku raksasa” seperti itu, karena banyak yang terpinggirkan, banyak yang tersingkirkan, tetap harus diapresiasi. Saya mensyukuri terbitnya Antologi Drama Indonesia, karena banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Namun, itu jangan dianggap bahwa naskah drama yang baik hanya yang seperti 60 naskah itu. Tentu saja masih banyak naskah drama yang harus dibukukan lagi.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan A. Teeuw, bahwa kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita bisa membaca “karya-karya puncak” yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-karya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit. ***

Kamis, 04 Desember 2008

Redefinisi Sastra Dunia




oleh Asep Sambodja

Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) akan menggelar seminar internasional tentang sastra dunia, yang hingga sekarang masih kental dengan definisi yang disuarakan Goethe, bahwa sastra dunia adalah sastra kanon yang membicarakan masalah universal. Benarkah demikian? Apakah sastra dunia harus ditulis dalam bahasa yang dominan, seperti bahasa Inggris?
Dalam pembicaraan dengan Harry Aveling, dosen tamu Program Pascasarjana FIB UI, saya mencoba bertanya padanya mengenai hal ini. Apakah sastra dunia itu? Harry Aveling menjawab, sastra dunia adalah seluruh karya sastra yang ada di dunia. Ketika ditanya, apakah ada kanonisasi? Harry pun menjawab singkat, dengan balik bertanya, siapa yang bisa melakukan kanonisasi?
Dari situ kita dapat menyimpulkan sementara bahwa karya sastra apa pun yang lahir ke dunia merupakan sastra dunia, apa pun temanya dan apa pun bahasa yang digunakannya. Hal ini mengingatkan kita pada pidato pengukuhan H.B. Jassin saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 1975, bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hal yang sama juga mengingatkan kita pada konsepsi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dibuat Asrul Sani, yang menyatakan kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam kritik sastra Indonesia mutakhir, seperti pendekatan feminisme, postkolonialisme, dan new historicism (yang tanpa kita pungkiri semua pendekatan ini berasal dari Barat) mempertegas kembali bahwa tidak ada otoritas tunggal yang berhak mengklaim bahwa suatu karya merupakan warga sastra dunia, dan karya lainnya bukan.
Berbagai pendekatan itu memiliki kesamaan tujuan, yakni mencoba meruntuhkan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Dengan kata lain, tidak ada satu pun kelompok di dunia ini yang dikehendaki mendominasi kelompok lainnya. Oposisi biner yang selama ini mencengkeram kepala kita, yang tanpa kita sadari sebenarnya merugikan salah satu pihak, dicoba diruntuhkan demi menghapuskan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Misalnya, dominasi budaya patriarki yang merugikan perempuan, atau pun dominasi Barat terhadap negara-negara berkembang, dan sebagainya.
Kalau kita membaca Kembang Jepun karya Remy Sylado dengan pendekatan postkolonialisme, misalnya, maka yang terbaca tidak sekadar Keke, gadis Manado, yang menjadi geisha (wanita penghibur yang menguasai seni tradisi Jepang) di Surabaya dan jatuh cinta pada Cak Broto, wartawan idealis yang bisa main ludruk. Akan tetapi, makna karya tersebut menjadi luar biasa karena Keke merepresentasikan perempuan dari sebuah negeri yang terjajah. Keke pun menyimbolkan manusia Indonesia yang terjajah dan teraniaya oleh kolonial Jepang.
Tidak itu saja, melalui tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun, kita bisa mengetahui bagaimana sikap Remy Sylado sebagai seorang sastrawan terhadap suatu peristiwa sejarah (zaman pendudukan Jepang) dengan perspektif kekinian. Bagaimana jeritan suara hati Keke terhadap tentara-tentara Jepang terasa demikian dalam, dendamnya tidak cukup sampai di dunia saja, melainkan ia ingin Hiroshi Masakuni (Komandan Kempeitai yang merebut kemerdekaan Keke) juga disiksa di akhirat karena perbuatannya yang tidak manusiawi, yang memperlakukan perempuan hanya sebagai budak nafsu belaka.
Suara hati Keke, rasa pedih itu, juga senada dengan jeritan hati Tinung dalam Cabaukan karya Remy Sylado lainnya, saat Tinung diperkosa tentara-tentara Jepang di Markas Kempeitai dan akhirnya dijadikan jugun ianfu yang ditempatkan di barak-barak tentara, sehingga ia tidak lagi dipanggil berdasarkan namanya, melainkan dengan nomor. Identitas Tinung sebagai manusia sudah dilenyapkan oleh militer Jepang.
Hal yang sama, yakni jeritan perempuan di negeri jajahan Jepang, juga terbaca dalam Kadarwati, Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana. Kemarahan Kadarwati mencapai puncak ketika ia terpaksa menari striptease di Kurabu Semarang, di hadapan perwira-perwira tinggi Jepang sambil menuangkan sake yang telah dicampur dengan obat tidur dosis tinggi dan bensin. Begitu perwira-perwira tinggi Jepang itu mabuk, Kadarwati menyulut api yang bisa membakar tubuh-tubuh perwira-perwira tinggi Jepang. Sejak itulah Kadarwati berganti-ganti nama untuk menyelamatkan diri dari kejaran intel-intel Kempeitai yang terkenal ganas, dan tempat yang aman baginya hanyalah kompleks pelacuran kelas bawah, baik di Magelang maupun Yogyakarta.
Keke, Tinung, dan Kadarwati hanyalah segelintir tokoh dalam karya sastra yang merepresentasikan perempuan, manusia Indonesia yang terjajah dan tidak punya pilihan dalam hidup. Kalau tokoh perempuan sering dijadikan geisha atau pun budak nafsu dalam karya sastra yang berlatar pendudukan Jepang (1942-1945), maka tokoh laki-laki dalam karya sastra yang berlatar sama, dijadikan heiho (pembantu prajurit Jepang yang ditempatkan di garis depan dalam perang Asia Timur Raya) yang sama sengsaranya dengan geisha. Ini, misalnya, dapat dibaca dalam cerpen “Heiho” karya Idrus, “Dia yang Menyerah” karya Pramoedya Ananta Toer (yang dihimpun dalam Cerita dari Blora), novel Pulang karya Toha Mohtar, serta cerpen “Perang” karya Linda Christanty.
Manusia Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, terekam dengan baik dalam karya sastra Indonesia, yang menunjukkan betapa sengsaranya hidup selama 3,5 tahun di bawah penindasan militer Jepang yang sama sengsaranya dengan hidup di bawah kolonial Belanda selama 3,5 abad—terhitung sejak VOC menginjakkan kakinya di Ambon. Pram, misalnya, menggambarkan kematian dua heiho di Birma yang hanya diganti dengan dua karung beras oleh pemerintah kolonial Jepang.
Sikap atau ideologi pengarang mengenai fakta yang diangkat ke dalam fiksi itu terlihat, antara lain, dari bagaimana sastrawan memperlakukan tokoh-tokohnya, baik tokoh dari Indonesia yang tertindas dan tokoh Jepang yang menindas. Pandir Kelana, melalui tokoh Kadarwati, membakar belasan perwira tinggi Jepang di gedung kurabu Semarang. Sementara Remy Sylado mematikan semua tokoh Jepang yang penting (Kotaro Takamura, Kobayashi, dan Hiroshi Masakuni) yang ada dalam novel itu. Ada yang dibunuh dengan tangan Keke sendiri, ada pula yang mati di tangan Jantje, kakak Keke, dan ada pula yang mati di medan perang di Korea. Tapi, kematian Hiroshi Masakuni di medan perang itu belum cukup bagi Keke. Ia mengatakan, “Kalau sekarang dia mati di Korea, itu belum lunas dari hukuman atas dosa-dosanya di Indonesia. Dia masih akan bertanggung jawab di akhirat nanti atas kekejamannya di Indonesia itu.” ***

Minggu, 30 November 2008

Orang-orang Lekra Itu Cendekiawan Organik yang Dihilangkan Paksa dalam Gerakan Intelektual Indonesia



Wawancara Asep Sambodja dengan penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.


Apa yang melatarbelakangi Muhidin dan Rhoma melakukan penelitian dan kemudian menyusun buku Lekra Tak Membakar Buku?

“Lekra tak Membakar Buku” kami susun setelah melalui riset panjang tentang pers-pers yang hadir di Indonesia dari tahun 1908-2007. Dari riset ini kami temukan banyak hal yang unik dan menarik dari koran-koran Indonesia itu. Salah satunya kami bertemu dengan begitu banyak koran-koran kiri yang tumbuh dan tumbang dari masa ke masa. Salah satu koran yang kemudian cukup akrab dengan kami adalah Harian Rakjat. Koran milik Partai Komunis Indonesia ini cukup menarik dan unik dengan menyuguhkan banyak hal tentang budaya dan sastra, puisi/cerpen setiap terbitannya, film, senirakyat dan kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) difasilitasi dengan sangat mewah oleh Harian Rakyat. Keunikan inilah yang kemudian menarik-narik kami untuk meriset lembar budaya yang dimiliki Harian Rakjat.


Berapa lama Anda melakukan penelitian dan menyusun buku itu?

Ini sebetulnya buku sampingan. Karena secara bersamaan kami mengerjakan banyak sekali program penulisan/riset sejarah secara kolektif. Jadi selama 1 tahun kami melakukan riset Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Tanah Air Bahasa: Seratus Tokoh Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008 (berisi catatan tentang peristiwa hari ke hari yang tebalnya 1,7 meter), Almanak Abad Partai Indonesia, DIA.RI Partai Politik: Seratus Jalan Parlementer, dan Seabad Pers Perempuan 1908-2008. Selingan dari semua riset itu adalah trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, dan Laporan dari Bawah. Kalau dikalkulasi dalam hitungan matematis dari proses pencarian data, penulisan, edit dan cetak kira-kira memakan waktu 3,5 bulan (April-Agustus 2008).


Bisa diceritakan suka dukanya?

Proses penulisannya barangkali cukup unik. Muhidin awalnya sejak 3 tahun lalu berangan-angan ingin menulis tentang pembakaran buku Lekra yang ia ragukan bagaimana Lekra dan terutama sekali Pram yang berpikir sangat didaktik ihwal buku bisa melakukan pembakaran buku secara terbuka dan penuh sorak. Salah satu esainya DIBALIK BUKU Jawa Pos (“Lekra Membakar Buku?”) untuk memperingati 58 Tahun Lekra, ditanggapi dengan serius Taufiq Ismail yang menegaskan bahwa kabar Lekra membakari buku bukan soal remang-remang lagi, tapi terang-benderang, walau tak pernah bisa membuktikan seperti apa posisi Lekra dalam kobaran api itu. Tiga tahun berselang, bertemulah Muhidin dengan Rhoma Aria dalam tim Seabad Pers Indonesia yang memang Rhoma Aria bertugas mereview biografi koran-koran kiri/komunis yang terpilih dalam tabulasi riset. Termasuk Harian Rakjat. Nah dari diskusi yang ndak serius entah siapa yang mengawali keduanya kemudian bersepakat menulis tentang lembar kebudayaan Harian Rakjat dan Pembakaran Buku. Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah dan gampang untuk meriset koran-koran kiri. Kami mesti izin sana sini dan waktu yang diberikan cukup sempit, korannya pun dalam kondisi tak tertata dan dimakan rayap, bahkan dihiasi kotoran tikus yang aduhai baunya. Dalam waktu 3 hari (kira-kira waktu yang diberikan sebelum koran itu diangkut dan dipindah entah ke mana) kami bisa mengakses Harian Rakjat. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Pada hari ke-2 Muhidin tumbang di bawah kutukan cacar air. Karena korannya ndak lengkap kami harus mengumpulkan dari berbagai tempat dan lokasi. Setelah diverikasi barulah kami menulis. Proses inilah yang memakan energi cukup besar kurang lebih 18 jam setiap hari kami harus menulis, maklum karena buku ini ditulis oleh dua otak maka wajarlah ada sedikit-sedikit bumbu beda pendapat. Karena buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya kami lakukan sendiri. Karena anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan sebungkus rokok.

Kenapa Anda tertarik meneliti Harian Rakjat?

Sebetulnya kami tertarik dengan banyak media bukan hanya Harian Rakjat saja. Alasan utama sebetulnya pada posisi Harian Rakjat. Ia adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga sangat getol menyiarkan nyaris seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini hampir saja “dikutuk” menjadi koran budaya. Setelah menyigi dan membandingkan dengan koran Bintang Timur milik Partai Rakjat Nasional, Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.


Bagaimana dengan surat kabar atau majalah yang berafiliasi dengan PKI lainnya?

Banyak kok SK yang berbau kiri Selompret Masjarakat, Bintang Timur, Nyala, Mowo dsb. Bintang Timur sendiri, misalnya, sewaktu Kongres Lekra I, tak banyak tuh berita Lekra. Baru intensif kemudian pada Oktober 1962 sewaktu Pram masuk dalam barisan dan memunculkan lembar budaya Lentera.

Kenapa Anda memberi judul buku Lekra Tak Membakar Buku?

Mungkin ini soal minat. Kami berdua aktif di Indonesia Buku yang ideologinya adalah memang buku. Hahahaahahaha. Lagipula bab Pembakaran Buku inilah yang ditulis pertama kali. Bagian ini semacam lokomotif yang menarik bab-bab lainnya yang berturut-turut ditulis: seni musik, film, seni rupa, sastra, seni pertunjukan, mukadimah, seni tari, dan khotimah. Kalau bukan karena bab ini, barangkali tak ada buku ini. Jadi untuk memberi “penghormatan”, maka majulah bab ini menjadi judul buku yang diikuti judul kecilnya: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat.

Apakah itu tidak terlalu provokatif?

Masalah judul buku yang dipikirkan waktu itu adalah buat semenarik mungkin, dan buat orang ingin tahu isinya. Ndak ada niatan provokasi sama sekali.

Kenapa tidak menggunakan judul lain? Misalnya, Lekra dan Warga Sastra Dunia yang kesannya lebih netral?

Subbab “Warga Sastra Dunia” pun ditulis paling belakangan sebagai tambahan ketika melihat peran serta Lekra dalam Konferensi Sastrwan Asia-Afrika dalam dua kali event. Dan kali ketiga sebagai tamu pertemuan eksekutif KSAA di Bali. Dan soal netral, Lekra tak mengenal kata netral. Yang dia kenal adalah Politik adalah Panglima.

Apa reaksi Anda setelah mengetahui Gramedia tidak bersedia mendistribusikan atau menjual buku Anda?

Kaget saja sih. Tapi sudah terlatih ditolak (buku Muhidin M Dahlan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur selama 2 tahun ditolak oleh Gramedia setelah muncul reaksi negatif dari sebagian kalangan organ Muslim. Tapi setelah reda mereka baru terima lagi). Ya, anggap saja, Gramedia kan juragan buku. Di mana-mana saudagar buku tak mau usahanya digropyok oleh masayarakat lantaran benturan ideologi. Dari dulu.

Alasan apa yang membuat Gramedia melakukan hal itu?

Menurut distributor kami, Gramedia menolak karena ada “logo palu arit” dan alasan kedua SARA seperti yang tertera dalam surat perjanjian baku Gramedia dan suplier. Di mana ada unsur SARA-nya kami juga nggak tahu.


Kenapa Anda tidak bersedia mengganti gambar palu arit?

Kami sudah menutupi “palu-arit”nya dengan kertas yang dilakban. Jadi inilah edisi “Palu Arit yang Diperban”. Jelek sekali cover itu sekarang. Tapi paling tidak sebagai dokumentasi sejarah (buku), bahwa ada sebuah buku yang sampulnya babak-belur dipukuli saudagar buku….. hahahahah.


Pelajaran apa yang Anda dapati dari peristiwa ini?

Di mana-mana bahwa saudagar tetaplah saudagar. Walau pun itu saudagar buku. Jangan harap ada pemihakan ideologis. Ia akan membela sebuah kaum jika kaum itu bisa membikinnya kaya raya. Jika tidak, ya memang begitu watak saudagar.

Apa yang bisa dibanggakan dari sastrawan-sastrawan Lekra?

Orang-orang Lekra ini mewariskan kepada kita bagaimana harus berorganisasi yang kukuh. Semuanya dijalankan dengan mesin organisasi. Acuannya tentu saja bahwa dengan bersekutu dalam organisasi kita lebih kuat. Apalagi ancaman untuk situasi masa itu memang terang-benderang. Amerika menginvasi di mana-mana, termasuk Vietnam. Beberapa petinggi negara Asia-Afrika terbunuh di depan mata PBB seperti yang dialami Patricia Lumumba (Konggo). Hal lain adalah, jalan yang ditempuh oleh Lekra bukan jalan para pemabuk, orang-orang salon yang berjalan dan berkeliaran dalam masyarakat dengan langkah gontai nggak keruan. Garis kerja mereka ketat dan diputuskan lewat sebuah aturan main yang juga sangat ketat: konggres, konferensi nasional, pleno. Seluruh perkembangan kerja kolektif dievaluasi dalam pertemuan-pertemuan itu. Garis strategi ideologi kebudayaannya pun dirumuskan dengan jelas yang kemudian terangkum dalam kode: 1-5-1. Termasuk metode kerja seluruh bidang budaya yang digeluti yang kemudian menginsipirasi banyak insitusi sesudahnya untuk menirunya: Turba (turun ke bawah). Ada program Kuliah Kerja Njata, ABRI Masuk Desa…. Dan sebagainya. Bahkan di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) ada istilah Turba untuk menggambarkan pengurus besarnya mengunjungi pengurus-pengurus wilayah.

Barangkali orang-orang Lekra inilah potret nyata cendekiawan organik yang dihilangkan paksa dalam raut gerakan intelektual Indonesia.

Begitu saja dulu. Terimakasih.

Citayam, 30 November 2008

Jumat, 21 November 2008

Medy Loekito, Perlukah Seorang Ibu?






oleh Asep Sambodja



Prolog
Barangkali saya termasuk dalam kelompok yang diklaim Sapardi Djoko Damono sebagai pemburu amanat dalam membaca karya sastra, termasuk di dalamnya puisi. Tapi, saya punya alasan kuat kenapa kita harus menafsir, mengungkap makna, bahkan memberi makna pada “sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”, seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad.
Pertama, saya sangat yakin bahwa dengan menulis puisi, ada sesuatu yang hendak disampaikan oleh penyair—sesuatu itu bisa pesan, tapi bisa juga gugatan atau protes tentang apa saja. Kedua, sesuai dengan jiwa atau hakikat puisi yang fiksionalitas dan multiinterpretasi, pembaca justru diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk menafsir. Dengan demikian, ketiga, minimal menghidupkan resepsi sastra yang sangat bergantung pada daya tangkap masyarakat pembaca terhadap karya sastra.
Tentu saja, tak dapat dipungkiri, ada sebagian puisi yang lahir dari penyair hanyalah permainan kata atau bahkan juga permainan bunyi. Saya tidak bisa mengerti, apa benar ada penyair yang hanya bermain kata-kata, tanpa menyelipkan makna dalam sajak-sajaknya. Dan terbukti bahwa puisi yang “abadi” adalah puisi yang sarat makna, seperti puisi “Zaman Edan” karya Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Berikut ini saya ingin memburu makna yang tersembunyi dalam sajak-sajak Medy Loekito yang terhimpun dalam kumpulan sajaknya yang pertama, Jakarta, Senja Hari.

Ibu
Membaca sajak-sajak Medy Loekito yang terhimpun dalam Jakarta, Senja Hari (Bandung: Angkasa, 1998), saya terantuk pada sebuah pertanyaan: perlukah seorang ibu bagi seorang manusia?
Sebuah sajak Medy Loekito yang berjudul “Kepada Rerumput Kecil” membawa saya pada pertanyaan lebih jauh lagi, berbahagiakah seorang anak dengan kasih sayang seorang ibu? Tidak itu saja, perlukah orangtua (ayah dan ibu) dalam kehidupan seseorang? Tapi, sebelum pertanyaan itu diteruskan dan sebelum pertanyaan-pertanyaan itu mendapatkan jawab, ada baiknya kita membaca sajak yang mengejutkan itu.

Kepada Rerumput Kecil

aku rimbun pohon kulindungi kau seperti jubah-jubah
kulumat hujan jadi embun kutangkap terik jadi cahaya
tiap kali setia kubawa berita gejolak dunia
yang kuintip lewat jari-jari pucuk daun tersayat
kubiarkan menjadi cerita Cinderella
hingga tidurmu senyum

Sebuah sajak yang menyentuh perasaan seorang “anak” ini, kita tahu, menggambarkan perjuangan maupun pengorbanan seorang ibu yang menyayangi dan melindungi anak-anaknya. Bahkan, kerasnya kehidupan di dunia (juga kehidupan di akhirat?—karena di sana pun masih ada sebuah kekerasan yang dinamakan neraka) disulapnya menjadi cerita Cinderella untuk (apalagi kalau bukan) meninabobokan sang anak.
Saya termasuk orang yang menghormati perjuangan, pengorbanan, dan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Terlebih pengorbanan yang diberikan adalah pengorbanan jiwa atau nyawa, seperti yang digambarkan Asrul Sani dalam sajak “Elang Laut” (lihat Mantera, Jakarta: Budaya Jaya, 1975).

Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya

Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?

Bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runjam
karang putih,
makin nyata.

Sekali ini jemu dan keringat
tiada akan punya daya
tapi topan tiada mau
dan mengembus ke alam luas

Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi

Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi
Satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara

Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala
senyap pula,
berkata pemukat tua:
“Anjing meratapi orang mati!”

Elang laut telah
hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak kemana dia
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan
berkata:
“Ibu kami tiada pulang.”

Sajak “Elang Laut” karya Asrul Sani yang saya kutip secara lengkap di atas seperti menegaskan bahwa tanpa kehadiran seorang ibu, anak-anak (bayi-bayi) akan jatuh membangkai, mati!
Benarkah tanpa seorang ibu, seorang anak bisa mati? Bukankah sering dikatakan orang bahwa kematian itu di tangan Tuhan? Kenapa Adam yang turun tanpa ayah dan ibu bisa hidup cukup lama dan berkembang biak? Demikian pula nabi Muhammad yang mengisi hidupnya di masa kanak-kanak sebagai yatim piatu? Apa yang diperlukan dari seorang ibu, kalau begitu.
Dan, kasih sayang yang diberikan kepada sang anak, pada akhirnya, menjadi beban yang tak terbayarkan atau terlunaskan, seperti yang diajarkan sejak kecil melalui lagu anak-anak ini:

kasih ibu kepada beta
tak terkira sepanjang masa
hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia

Atau, memakai bahsa Medy Loekito, seorang ibu akan merajut mimpi-mimpi anaknya dengan segenap airmata bunda dan disuapinya lapar sang anak dengan jiwa yang lari ke awan-awan.

Anakku (1)

(anakku berusia sembilan tahun
cantik dan mungil seperti bunga rumput)

“Mama, apa bekal hari ini?”
maka kucium ia
dan kupintal rambut hitamnya dengan karet bekas
sambil kusisipkan cium-cium dan cinta-cintaku

“Mama, ulang tahunku esok
akankah ayah datang bawa baju baru?”
maka kurajut mimpinya
dengan airmata
dan semangat kenangan yang memudar

(anakku berusia sembilan tahun
cantik dan saleh seperti butir tasbih di masjid)

Dan sajak ini:

ketika dadanya kering dari air susu
disuapinya lapar anaknya
dengan jiwa
yang lari ke awan-awan
meremasnya jadi air-air susu
(“Pengemis Perempuan dan Anaknya”)

Jika benar lagu itu, bahwa seorang ibu “hanya memberi tak harap kembali”, kenapa harus ada kutukan pada Malin Kundang? Benarkah kutukan itu hanya balas dendam karena tidak adanya pengakuan? Atau dia tidak merasakan keberhasilan yang telah diraih Malin Kundang?
Apakah seorang anak yang dilempar di pinggir jalan atau ditelantarkan di depan pintu rumah panti asuhan atau bahkan dibunuh dengan cara aborsi bisa mengutuk orangtuanya?
Sajak “Kepada Rerumput Kecil” karya Medy Loekito di atas menjadi stimulus bagi pembaca untuk mencermati kembali peran seorang ibu terhadap anak-anaknya. Dan betapa bahagia memiliki ibu seperti yang digambarkan Medy. Tapi, sampai kapan kebahagiaan itu berlanjut.
Ketika sang anak sudah bisa berpikir dan mencoba mengenali diri sendiri, batas antara kasih sayang, mengarahkan, menganjurkan, menyarankan, dan melarang itu menjadi kian tipis dan terputus. Bisa jadi dengan alasan kasih sayang, seorang ibu melarang anaknya untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, dengan memberi saran atau anjuran, sang ibu sebenarnya melarang atau membatasi sang anak untuk menentukan pilihannya sendiri. Lihat sajak “Menatap Lukisan Anakku” yang saya kutip secara utuh.

Menatap Lukisan Anakku

(bergulir bulan dari bukit ke bukit)
“anakku, anakku,
jangan biarkan bukit melumat bulan
nanti gelita alam oleh tangisan langit”

(berdebam matahari di tepi kali)
“anakku, anakku,
jangan biarkan mentari ditelan kali
nanti gelita alam oleh gairah yang mati”

Hubungan manusia dengan manusia lainnya memang fluktuatif, kadang cinta kadang benci, kadang suka kadang sebel, atau di dunia politik bisa terjadi hari ini kawan besok jadi lawan, demi kekuasaan. Dari kisah Malin Kundang, sang ibu tidak lagi berperan sebagai sekadar ibu, tapi lebih sebagai penguasa yang memiliki hak prerogatif untuk menjadikan anaknya sebagai batu. Demikian pula dengan seorang sahabat nabi Muhammad yang mengalami sekarat yang panjang, tak mati-mati, karena ternyata tidak mendapat ridlo dari ibunya—lagi-lagi, seorang ibu sangat mendominasi atau menguasai, bahkan sampai ajal menjemput pulang.
Dalam sebuah artikel berjudul “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” (yang dihimpun dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), Subagio Sastrowardoyo menilai bahwa pokok perhatian Rendra, dalam buku Ballada Orang-orang Tercinta, menyangkut soal-soal remeh yang masih dirasa gawat oleh orang yang berumur sekitar dua puluh tahun, seperti keinginan hendak berdiri sendiri lepas dari lindungan orangtua (“Ballada Petualang”, “Ballada Lelaki yang Luka”, “Anak yang Angkuh”) dan kemesraan hubungan antara anak dengan ibunya dibarengi dengan perasaan benci kepada bapak (”Tangis”, “Ballada Ibu yang Dibunuh”, “Ada Tilgram Tiba Senja”, “Anak yang Angkuh”, “Di Meja Makan”, “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”).
Sangat mengherankan kritik yang diberikan Subagio Sastrowardoyo terhadap sajak-sajak Rendra demikian terasa nyinyir, berbeda dengan tiga ulasannya yang lain terhadap Chairil Anwar, Sitor Situmorang, dan Toto Sudarto Bachtiar, yang juga terdapat dalam buku tersebut.
Sangat mengherankan pada proses kemandirian seorang manusia dianggap sebagai sesuatu yang remeh. Muncul pertanyaan spontan: masalah apa yang bukan persoalan “remeh”? Sastrawan Jerman sekaliber Gunter Grass saja masih mengangkat pesan-pesan dongeng kuno ke dalam novelnya, The Tin Drum, dalam konteks kekinian (lihat wawancara Arief Budiman dengan Gunter Grass dalam artikel “Gunter Grass -- Seorang Besar yang Sederhana”, yang dibukukan dalam Perdebatan Sastra Kontekstual, Jakarta: Rajawali, 1985). Dengan demikian, persoalan “remeh” dan “tidak remeh” menjadi relatif.
Rasa ingin lepas dari dekapan bunda, dan juga ayahnya, digambarkan Rendra dalam sajak “Ballada Lelaki yang Luka”, demikian penggalannya:

Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, mama!
Akan disatukan dirinya
dengan angin gunung
sempoyongan tubuh kerbau
menyobek perut sepi.
Dan wajah para bunda
Bagai bulan redup putih
pergilah lelaki yang luka
tiada berarah, anak dari angin
Tiada tahu siapa dirinya
didaki segala gunung tua.
Siapa kan beri akhir padanya?
Menapak kaki-kaki kuda
menapak atas dada-dada bunda

Kesadaran akan hidup yang dijalani seorang diri dalam pengertian yang hakiki juga tampak dalam sajak Medy Loekito yang berjudul “Usia”—posisinya sebagai anak yang tumbuh dewasa secara “mekanis”, teringat kembali masa lalu (yang sedih atau gembira tetap saja menimbulkan penyesalan, berapa pun kadarnya).

aku lahir dan terperangkap
usia menjejali pelbagai situasi
menit ke hari ke abad
terkurung tak lagi mungkin punya harap
kapankah masa kanakku kembali?

Perhatikan pula sajak “Sketsa Bayang”: tidakkah kaupikir sungguh mengesalkan/ menjadi begitu penurut/ sendiri hilangkan pikir dari segala angan/ berangkat dewasa mengukur langkah/ untuk berkhir pada gelap. Gagasan sejenis juga terdapat dalam sajak “An Abstruse Obsession”, “Di Buaian Tua”, dan “Epilogue”.
Dalam sebuah sajak yang berjudul “Jika” (yang dimuat di majalah kebudayaan Genta Budaya edisi 8/III/September 2002), Medy bergelut dengan konsep waktu -- sesuatu yang bisa menjadikannya anak-anak dan bisa menjadikannya seorang ibu (orangtua).
Dalam sajak tersebut, Medy memang berperan sebagai aku lirik anak-anak, yang seandainya ada waktu ia ingin bermain boneka, tapi seandainya tak ada waktu, ia ingin memberi bunga mawar pada sang ibu. Sebagai pertanda bahwa konsep ibu demikian merasuk dalam jiwa Medy Loekito. Berikut saya kutip seluruh isi sajak “Jika”:

Jika

jika hari adalah waktu
kuingin ia punya boneka
dan mengajakku bermain

jika hari bukanlah waktu
kuingin ia punya mawar merah
untuk kuberikan pada ibu

Sajak minimalis (memanfaatkan sedikit kata untuk mendapatkan makna yang maksimal) seperti itu pada akhirnya menjadi gaya Medy dalam melahirkan karya-karya terbarunya. Dan kehadiran Medy dalam dunia perpuisian Indonesia cukup membawa ciri tersendiri, meskipun bukan sesuatu yang sama sekali baru, karena mirip sajak haiku Jepang atau gaya Sitor Situmorang saat menulis sajak “Malam Lebaran” atau Sutardji Calzoum Bachri saat menulis sajak “Luka” dan “Kalian”.
Medy terlihat begitu menonjol karena kebanyakan puisi yang lahir pada masanya cenderung menggunakan kata-kata yang berlebihan, atau menggunakan istilah Sutardji, “kebanyakan menggunakan kata-kata yang hingar bingar dalam ungkapan massal”.
Sosok “Ibu” memang cukup menonjol dalam sajak-sajak Medy. Bukan saja ibu yang menderita dan berdarah-darah dalam melindungi anak-anaknya, tapi juga sosok ibu yang memberi kasih sayang dan perhatian sewajarnya, seperti yang tampak dalam sajak “Ibu”.

Ibu

setiap pagi kautuang cinta-cinta ke dalam cangkir
terbaca dengan mudahnya pada asap dan hening teh
lalu dengan cinta mengalir dalam tubuh
kami mulai perlawatan
kumpulkan luka-luka dan kabar derita
sementara hatimu tak pernah ragu tak pernah pura-pura
pada keluh kesah kesedihan hati

petang hari setelah perlawatan
kau sisir luka-luka di baju kami
lalu lelaplah mata dalam tidur
sementara kau rajut jalinan cinta
untuk kau tuang esok
ke dalam cangkir-cangkir kami


Kota
Dalam kumpulan sajak Jakarta, Senja Hari, selain konsep ibu yang demikian menonjol dan menarik untuk dipahami, potret Jakarta sebagai kota metropolitan, megapolitan, bahkan kosmopolitan pun tergambar dengan baik dalam sajak-sajak Medy. Hanya saja, jangan berharap menemukan gemerlap kota Jakarta dalam buku ini. Yang tampak justru kemuraman dan sudut-sudut bau kota Jakarta. Medy membawa pembaca ke pelosok Jakarta “yang lain”—tapi justru sangat dekat dengan kenyataan sehari-hari, bukan Jakarta yang ada dalam impian kaum urban, bukan pula yang dimitoskan banyak orang sebagai kota yang bergelimangan cahaya.
Sajak “The Inferno” merupakan sebuah sajak Medy Loekito yang sangat menusuk. Kota (Jakarta) yang semula memikat banyak orang karena menawarkan berbagai lapangan kerja, telah berubah sebagai “ranjang bordil dan meja judi” yang menyisihkan “bunga-bunga”, menyisihkan orang-orang biasa.
Sudut pandang yang digunakan Medy dalam memotret wajah Jakarta adalah sudut pandang seorang manusia yang terasing dalam hiruk pikuk keramaian yang tak acuh pada manusia dan kemanusiaan. Ia senantiasa melihat keindahan alam yang sempat melintasi Jakarta dari tanah-tanah becek yang bau sampah, dari gubuk-gubuk.
Sajak-sajak yang berjudul “Jakarta (I)” hingga “Jakarta (XI)” (sonder VII dan VIII) serta beberapa sajak seperti “Jakarta, Senja Hari”, “Jalan-jalan di Jakarta”, “Jakarta dan Gelandangan”, dan “Berkatilah Jakarta, Tuhan” menunjukkan keangkuhan ibukota.
Gambaran Jakarta yang murung (tepatnya, realitas Jakarta dan bukan mitos Jakarta) bisa ditangkap dari kutipan sajak-sajak di bawah ini:

Jakarta, Senja Hari

di balik gubuk-gubuk
matahari bulat merah
direjam jembatan-jembatan beton

Jakarta (V)

setiap malam
kubaringkan gedung-gedung batu berhimpitan lelah
menjadi lahan berpetak-petak seperti sawah
lalu kutebar benih-benih penuh kasih
yang tumbuh menjadiu serigala-serigala
setiap pagi

setiap pagi
kubangunkan gedung-gedung batu berhimpitan kantuk
menjadi pusara-pusara makam maha luas
lalu kuukir nama-nama penuh cinta
yang tumbuh menjadi iblis-iblis
setiap malam

Selain itu juga terbaca ironi, persaingan yang tajam seperti di dalam rimba, dan wajah letih Jakarta:

berjuta kenangan terbantai setiap hari di sini
tak guna mencari hari-hari silam
kawan lama pun tak juga jumpa
(“Jakarta (IV)”)

tak lagi kumengerti kemana jalan-jalan ini mampu
berjuta manusia tersesat
bersama kucing-kucing, tikus, dan kecoa
berjalan atas terompah-terompah angkara
berebut piring-piring berisi airmata
(“Jalan-jalan di Jakarta”)

siapa yang tak menangis melihat Jakarta
ia seperti penderita kusta yang tak boleh mati
(“Berkatilah Jakarta, Tuhan”)


Mati
“It seems as though I were a galley-slave, chained to death; every time life moves the chains rattle and death withers everything - and that happens every minute.” Seorang eksistensialis Denmark, Soren Kierkegaard menghayati kematian seperti sesuatu yang mengerikan, karena ada latar belakang trauma yang terus-menerus, akibat kematian saudara-saudaranya secara beruntun. “Aku seperti budak yang terbelenggu pada maut atau kematian; setiap waktu hidup bergerak, maka bergemerincing rantai itu dan maut meluluhlantakkan segalanya—dan ini terjadi setiap menit.”
Sementara kematian bagi Medy Loekito bukan sesuatu yang membebani dan menakutkan, melainkan menjadi suatu “persemaian baru” bagi hidup yang akan datang, untuk melanjutkan “mimpi” di alam lain, atau sebagai salah satu mata rantai dalam sirkulasi kehidupan manusia, yang semula tidak ada kemudian ada dan kembali ke ketiadaan, dengan campur tangan Tuhan.

Tentang Mati
mati tak selalu tanah basah/ dan bunga pucat kehilangan warna, saudara/ kulihatlah langit yang terkubur dengan indahnya/ ditaburi awan jingga dan putih/ bermekaran di tangan Tuhan

Perhatikan pula sajak “Musim Gugur”, “Pemakaman”, “Akhir”, dan “Tulisan Pusara”, dimana Medy tidak lagi menganggap jasad sebagai sesuatu yang berarti, melainkan roh (yang bermekaran di tangan Tuhan)-lah yang penting, karena jasad itu nantinya hanya akan berserak di selangkangan cacing-cacing banci (“Tulisan Pusara”).Karenanya, penyair tak ingin ada airmata yang menetes, dan kematian tidak perlu ditangisi. Dan jangan titikkan airmata/di hari pemakaman, awal perlawatan baru (“Pemakaman”), jangan tangisi/kita pisah bukan lantaran nasib/hanya tak sengaja Tuhan dalam perjalanan ke kota (“Tulisan Pusara”).
Tiga sajak yang menggambarkan kematian dengan indah—sesuatu yang tidak menakutkan, karena mors certa, hora incerta (maut itu pasti, tak mungkin kita sangkal).

Pemakaman

di tanah sepi dimana dedaun bergurat pelangi/ disatukanlah segala yang fana/ kembali kepada bumi/ singkirkan catatan-catatan dunia/ simpan bayang-bayang hari lalu/ ke balik jendela rumah usang/ dan jangan titikkan airmata/ di hari pemakaman, awal perlawatan baru/ telah diikrarkan

Pesan

jika telah kau baringkan aku di tanah/ sesekali kenanglah/ lalu taburkan cinta-cinta dari hatimu yang tak pernah/ henti menetes/ agar padam bara neraka

The Epitaph (2)

(berjuta penyair terpendam di sini)/ siapa mau membeli puisi/koran-koran penuh reklame/ musik cuma menjual teknologi/ aku punya lapar/ tapi tak satu puisiku/ menjanjikan kenyang

Konsep neraka, mimpi, Tuhan, hidup di dunia lain, fana, dunia, nasib, telah menjadi susuatu yang akrab dengan penyair, sehingga tidak lagi menjadi hal yang angker. Gagasan yang sama dapat kita temui dalam sajak “Dan Kematian Makin Akrab” Subagio Sastrowardoyo, yang menyatakan, “kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi,” (Lihat Subagio Sastrowardoyo, Dan Kematian Makin Akrab, Jakarta: Grasindo, 1995).


Dalam “The Epitaph (2)”, Medy menggambarkan makam para penyair, yang ditakdirkan senantiasa hidup merana: sendiri, kesepian, dan cenderung mengikuti gaya hidup kaum sufi.


Epilog


Wanita Adalah Bumi
takdirlah wanita lahir sebagai bumi/ dirajam kaki-kaki jembatan kaki-kaki gedung/ dari lukanya tumbuh doa-doa/ berbuah anak-anak negeri


Tanpa perempuan, tanpa seorang ibu, tanpa ada bumi (tanah-air), kehidupan akan berhenti sampai di sini. Adam barangkali akan terus hidup menyendiri, menjadi penyair yang menulis elegi setiap hari, menulis puisi tentang kesepian demi kesepian, mati dalam kesendirian, dan tak akan ada sejarah.


Wanita adalah bumi, kata Medy, yang bisa ditanami apa saja, yang menahan luka semua siksa lelaki, dan selalu menghasilkan “anak-anak negeri”—cikal-bakal bangsa—bangsa yang ada di muka bumi.


Seorang eksistensialis kelahiran Oldenburg, Jerman, Karl Jaspers, sebagaimana dikutip Fuad Hassan dalam Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), menyatakan bahwa setiap manusia dalam situasinya sendiri-sendiri tampil dengan kekhususannya dalam mengamati dunianya. Karenanya tidak mungkin kita sampai pada penemuan esensi yang tunggal, universal, dan mutlak.


Demikian pula Medy Loekito yang memandang dirinya sendiri, kehidupan Jakarta di sekelilingnya, dan kematian, dengan sudut pandang yang sangat pribadi. Ada suatu waktu ia memerlukan keteguhan sebagai pohon besar yang rimbun, yang melindungi rumput-rumput kecil yang ada dalam jangkauannya.


Di sisi lain ia melihat sebuah masyarakat Jakarta yang busuk kehidupan rohaninya, meski secara kasatmata Jakarta seperti sebuah rumah kaca pada siang hari dan gemerlap lampu pohon cemara pada malam hari, sehingga bisa dimengerti bahwa dalam pandangan Medy Loekito, sosok ibu memegang peranan yang sangat penting—yang sesungguhnya tak terkatakan, tapi dapat digambarkan Medy dengan luar biasa dalam sajak “Ibu”; sementara anak-anak tidur terlelap, “kau rajut jalinan cinta untuk kau tuang esok ke dalam cangkir-cangkir kami.”


Ya, sesederhana itu kelihatannya. Tapi sesungguhnya di balik itu semua adalah perjuangan yang mengeluarkan keringat, darah, bahkan mempertaruhkan nyawa demi kelangsungan hidup sang anak. Dalam sebuah sajak yang berjudul “Sesungguhnya”, perjuangan seorang ibu itu dilampiaskan Medy dengan kata-kata, “aku begitu dendam kepada nasib yang membual.”


Citayam, Maret 2002