Sabtu, 20 Desember 2008

Puisi yang Terlibat



: Pembahasan Nubuat Labirin Luka (Antologi Puisi untuk Munir)*

oleh Asep Sambodja

Selama buku ini menimbulkan amarah, kegelisahan, rasa malu, rasa benci, cinta, bahkan kalau sang pengarang tidak lebih dari sekadar tempat berteduh, ia akan tetap hidup. Setelah itu, datang kiamat.
(Jean Paul Sartre, dalam Hidup Matinya Sang Pengarang)


Kehadiran buku antologi puisi Nubuat Labirin Luka dalam khasanah sastra Indonesia, setidaknya memperlihatkan dua pertanda. Pertama, kreativitas dan kebebasan pengarang dalam mengekspresikan gagasan dan perasaan masih terpelihara di negeri ini. Berkaitan dengan hal ini, siapa pun pengarangnya, ia memiliki kebebasan untuk menulis tentang apa saja dan kemudian mempublikasikannya. Persoalan kreativitas, kata Pramoedya Ananta Toer, adalah persoalan individu, bukan persoalan negara. Karena itu, meskipun negara mengekang atau membelenggu, bahkan membatasi ruang gerak pengarang, kreativitas seorang pengarang haruslah tetap ada. Kehadiran kembali buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang di zaman Orde Baru membuktikan bahwa sebuah rezim diktator sekalipun memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Kedua, kepekaan pengarang terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan semakin mendapat perhatian yang cukup besar. Cukup banyak karya sastra yang lahir menyusul peristiwa tsunami di Aceh yang demikian tak terkatakan, yang selama ini barangkali hanya terbayangkan melalui cerita tentang perahu nabi Nuh. Dan kini, penyair-penyair Indonesia memperlihatkan empatinya terhadap kasus pembunuhan tokoh hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, Munir.
Berangkat dari dua hal di atas, saya ingin mengungkap kekayaan buku Nubuat Labirin Luka. Namun, saya harus jelaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini bukan dimaksudkan untuk “pesta para penyair”, melainkan semata-mata untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang telah dibangun Munir dalam tempo yang demikian singkat. Dan, pemberian arti dari para penyair sebagai homo significans terhadap nilai-nilai yang telah diperjuangkan Munir selama ini. Dengan kata lain, tulisan singkat ini semacam doa tiada akhir yang ditujukan bagi Munir.

Munir, Tokoh Kita

Indonesia yang tampak di depan mata kita saat ini adalah sebuah negeri yang di dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma digambarkan sebagai negeri yang tertutup oleh gelembung-gelembung Rahwana. Gelembung-gelembung itu tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya, dan tidak seorang pun luput dari gelembung-gelembung itu. Dengan demikian, semua orang—kecuali Hanoman yang memiliki kearifan dan memilih jalan bersemadi daripada berada di lingkaran kekuasaan—terkena gelembung itu, sehingga semuanya menjadi jahat.
Munir yang hadir di sebuah negeri yang tertutup oleh gelembung-gelembung Rahwana itu menjadi sebuah sumber cahaya bagi banyak orang yang dirundung kegelapan dan kecemasan. Seperti kita ketahui, munir berarti penerang. Dan Munir menjadi pendobrak sarang laba-laba yang bertahun-tahun menyelimuti rezim Orde Baru. Ketika Munir tampil di depan publik dengan KontraS-nya, semua mata tertuju padanya. Bukan karena mencari eksistensi—apalagi sensasi—tapi memang ada yang harus disuarakan, harus ada yang diungkapkan. Munir dan kawan-kawan aktivis HAM membongkar kasus penculikan aktivis yang dilakukan oleh Tim Mawar, sebuah nama yang indah namun mematikan, karena berisi beberapa anggota Kopassus, pasukan elit di negeri ini.
Begitu mendengar kabar kematian Munir (7 September 2004)—saya sebagai salah satu warga negara yang mendapat penerangan dan pencerahan darinya (sebagai wartawan saya selalu mendapatkan informasi yang faktual, bermutu, berbobot, dan apa adanya dari Munir selaku nara sumber) merasa ada yang hilang. Suasana negeri ini yang seharusnya mulai terang sejak 21 Mei 1998 (saat rezim Soeharto tumbang) tiba-tiba gelap sama sekali. Pelita yang menyala di tengah-tengah kegelapan itu tiba-tiba mati. Gelap. Pekat. Sekarang, tinggal kita saksikan bagaimana hukum ditegakkan di negeri ini. Kalau saya melihat sejarah penegakan hukum di negeri ini, maka harapan terbongkarnya kasus rekayasa pembunuhan Munir semakin tipis, bahkan saya sudah hampir sampai pada titik hopeless. [Fakta betapa buruknya kinerja aparat penegak hukum Indonesia bisa dibaca dalam buku Investigasi yang disusun oleh tim wartawan Tempo]. Tapi, bagaimanapun, hal ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membuktikan ditegakkannya hukum sebagai panglima. Bukan politik sebagai panglima.
Kita telah kehilangan seorang tokoh. Barangkali rezim penguasa tidak merasakan hal yang sama dengan apa yang kita rasakan. Mungkin mereka menganggap matinya Munir hanya mengubah angka statistik penduduk di Indonesia. Tapi, bagi banyak warga negara, Munir adalah seorang pahlawan. Ia menjadi seperti Tokoh Kita, nama tokoh imajiner karya Iwan Simatupang dalam Merahnya Merah, yang menjadi pelindung dan dicintai kaum gelandangan, kaum marginal, kaum tertindas, kaum yang dipinggirkan. Munir adalah tokoh yang mengayomi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara, mulai dari kasus penculikan aktivis oleh Tim Mawar, kasus 13-14 Mei 1998, kasus Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, sampai kasus-kasus purba yang belum terselesaikan seperti kasus Tanjungpriok 1984 dan bahkan kasus yang terjadi pada 1965. Semua merasa yakin bahwa Munir bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Dalam sajak “Suatu Sore di TMP Kalibata” karya M. Amin dr yang pernah dibacakan pada acara Commemorating Munir di Leiden, 5 September 2005, digambarkan Munir tidak ingin jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata karena merasa jiwanya sudah terbebaskan.

Pahlawan bukan ada di dokumen-dokumen negara
dan taman berbunga
tapi di hati rakyat yang dibelanya [...]
Yang benar-benar pahlawan adalah pembebas
rakyat dari penindasan
militer, intelijen, dan para penjajah hak asasi
Anda harus kecewa karena Munir tidak mati
Dia masih hidup di setiap hati yang suci
Dia masih hidup di tangis rakyat seluruh negeri
Munir-Munir baru tumbuh setiap detik di seluruh
pelosok bumi

Sajak di atas mengubah konsep “pahlawan” yang selama ini terpatri di kepala kita. Bahwa pahlawan bukanlah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat secarik kertas dari penguasa yang menyebutkan dirinya menjadi pahlawan. Sejatinya pahlawan adalah seseorang yang benar-benar mengabdikan hidupnya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu, tanpa melihat partai dan latar belakang agama dan ideologinya. Dan karenanya, setiap individu berpotensi dan memiliki peluang yang sama untuk menjadi pahlawan. Tapi, apa artinya diberi gelar pahlawan kalau dia tak terterima di hati rakyat? Sebaliknya, sungguh mulia seseorang apabila ia masih dikenang dan dicintai oleh rakyatnya, meskipun ia tak digelari pahlawan.
Meskipun Munir tidak dinobatkan sebagai pahlawan, toh, dalam sanubari kami, Munir adalah seorang pahlawan yang menentang tindak kekerasan oleh rezim penguasa. Apa yang dilakukan Munir adalah sebuah mahakarya untuk hidup saling mengasihi, saling mengayomi: hidup damai—sesuatu yang sangat mahal di negeri ini. Bukan karena warganya mudah naik darah, tapi karena demikian gampang diadudomba dan dikelabui.
Sajak “Parabel” Saut Situmorang merekam dengan bagus sekali peristiwa pembunuhan terhadap tokoh HAM yang bersahaja ini. Kerja kemanusiaan yang tengah dikerjakan oleh Munir dihentikan oleh negara. Dan bukan Munir saja yang sirna, tapi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri pun lenyap entah ke mana. Berikut ini sajak “Parabel” Saut Situmorang yang saya kutip secara utuh:

Parabel

seorang bocah laki laki
main layangan
di lapangan

langit biru
angin berhembus sejuk
layangan meliuk indah
di atas ladang sawah

angin tiba tiba meniup kencang
langit mendung gelap
seekor burung garuda raksasa
muncul dari balik awan
menyambar bocah laki laki itu

dan melarikannya ke ujung cakrawala yang jauh

di tanah lapang
sepasang sandal kecil
basah lumpur
oleh hujan yang semalaman tak reda

layangan itu sendiri hilang entah ke mana

Sebuah sajak memang terbuka atas beragam interpretasi. Sajak yang ditujukan untuk mengenang Munir tersebut, dalam interpretasi saya, membawa message yang penting bahwa upaya pembunuhan terhadap Munir membawa dampak yang lebih luas, yakni lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini.
Ada 46 penyair yang menyuarakan pikiran dan perasaannya terkait dengan peristiwa pembunuhan Munir, dan secara tersirat semuanya mengutuk pelaku dan aktor intelektual pembunuhan itu. Sama seperti kita mengutuk pembunuh Marsinah, wartawan Bernas Udin, dan ribuan atau jutaan manusia di Aceh, Poso, Ambon, dan sebagainya. Sama seperti kita mengutuk aksi bom bunuh diri di tempat umum. Satu hal yang patut dicatat di sini adalah empati para penyair terhadap nilai-nilai kemanusiaan memang seharusnya terus-menerus diasah.
Sebuah karya sastra, apa pun bentuknya, sejatinya mengandung nilai-nilai yang bermakna bagi pembaca dan bagi masyarakatnya. Meskipun demikian, saya sama sekali tidak merendahkan seniman yang berprinsip l’art pour l’art, seni untuk seni, membuat puisi hanya untuk dan demi puisi itu sendiri. Namun, alangkah eloknya kalau prinsip-prinsip seni yang kita junjung tinggi itu tidak menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Totalitas dalam berkarya sekaligus menyuarakan keadilan.
Selain “kekayaan” yang telah saya ungkapkan di atas, ada sedikit kekurangan buku ini, yakni belum adanya sentuhan kebahasaan dalam penerbitan buku ini. Masih cukup banyak kesalahan bahasa yang saya temui dalam buku ini. Kesalahan bahasa ini cukup mengganggu, sebagaimana yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, bahwa kesalahan menuliskan [di] saja bisa mengakibatkan kesalahan penafsiran, kesalahan logika, yang berakibat lebih jauh lagi komunikasi menjadi tidak efektif. Sebab, sebagus apa pun message yang ingin kita sampaikan, kalau menggunakan bahasa yang buruk, maka message itu bisa menimbulkan salah tafsir dan salah pengertian.
Yang jelas, buku Nubuat Labirin Luka ini menjadi buku yang sangat penting karena bisa menimbulkan amarah, kegelisahan, rasa malu, rasa benci, bahkan cinta bagi pembacanya.

Citayam, 10 Desember 2005

*) Dibacakan dalam acara peluncuran buku kumpulan puisi Nubuat Labirin Luka di PDS H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, pada Minggu, 11 Desember 2005.

Tidak ada komentar: