Kamis, 04 Desember 2008

Redefinisi Sastra Dunia




oleh Asep Sambodja

Departemen Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) akan menggelar seminar internasional tentang sastra dunia, yang hingga sekarang masih kental dengan definisi yang disuarakan Goethe, bahwa sastra dunia adalah sastra kanon yang membicarakan masalah universal. Benarkah demikian? Apakah sastra dunia harus ditulis dalam bahasa yang dominan, seperti bahasa Inggris?
Dalam pembicaraan dengan Harry Aveling, dosen tamu Program Pascasarjana FIB UI, saya mencoba bertanya padanya mengenai hal ini. Apakah sastra dunia itu? Harry Aveling menjawab, sastra dunia adalah seluruh karya sastra yang ada di dunia. Ketika ditanya, apakah ada kanonisasi? Harry pun menjawab singkat, dengan balik bertanya, siapa yang bisa melakukan kanonisasi?
Dari situ kita dapat menyimpulkan sementara bahwa karya sastra apa pun yang lahir ke dunia merupakan sastra dunia, apa pun temanya dan apa pun bahasa yang digunakannya. Hal ini mengingatkan kita pada pidato pengukuhan H.B. Jassin saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 1975, bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hal yang sama juga mengingatkan kita pada konsepsi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dibuat Asrul Sani, yang menyatakan kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam kritik sastra Indonesia mutakhir, seperti pendekatan feminisme, postkolonialisme, dan new historicism (yang tanpa kita pungkiri semua pendekatan ini berasal dari Barat) mempertegas kembali bahwa tidak ada otoritas tunggal yang berhak mengklaim bahwa suatu karya merupakan warga sastra dunia, dan karya lainnya bukan.
Berbagai pendekatan itu memiliki kesamaan tujuan, yakni mencoba meruntuhkan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Dengan kata lain, tidak ada satu pun kelompok di dunia ini yang dikehendaki mendominasi kelompok lainnya. Oposisi biner yang selama ini mencengkeram kepala kita, yang tanpa kita sadari sebenarnya merugikan salah satu pihak, dicoba diruntuhkan demi menghapuskan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Misalnya, dominasi budaya patriarki yang merugikan perempuan, atau pun dominasi Barat terhadap negara-negara berkembang, dan sebagainya.
Kalau kita membaca Kembang Jepun karya Remy Sylado dengan pendekatan postkolonialisme, misalnya, maka yang terbaca tidak sekadar Keke, gadis Manado, yang menjadi geisha (wanita penghibur yang menguasai seni tradisi Jepang) di Surabaya dan jatuh cinta pada Cak Broto, wartawan idealis yang bisa main ludruk. Akan tetapi, makna karya tersebut menjadi luar biasa karena Keke merepresentasikan perempuan dari sebuah negeri yang terjajah. Keke pun menyimbolkan manusia Indonesia yang terjajah dan teraniaya oleh kolonial Jepang.
Tidak itu saja, melalui tokoh-tokoh dalam Kembang Jepun, kita bisa mengetahui bagaimana sikap Remy Sylado sebagai seorang sastrawan terhadap suatu peristiwa sejarah (zaman pendudukan Jepang) dengan perspektif kekinian. Bagaimana jeritan suara hati Keke terhadap tentara-tentara Jepang terasa demikian dalam, dendamnya tidak cukup sampai di dunia saja, melainkan ia ingin Hiroshi Masakuni (Komandan Kempeitai yang merebut kemerdekaan Keke) juga disiksa di akhirat karena perbuatannya yang tidak manusiawi, yang memperlakukan perempuan hanya sebagai budak nafsu belaka.
Suara hati Keke, rasa pedih itu, juga senada dengan jeritan hati Tinung dalam Cabaukan karya Remy Sylado lainnya, saat Tinung diperkosa tentara-tentara Jepang di Markas Kempeitai dan akhirnya dijadikan jugun ianfu yang ditempatkan di barak-barak tentara, sehingga ia tidak lagi dipanggil berdasarkan namanya, melainkan dengan nomor. Identitas Tinung sebagai manusia sudah dilenyapkan oleh militer Jepang.
Hal yang sama, yakni jeritan perempuan di negeri jajahan Jepang, juga terbaca dalam Kadarwati, Wanita dengan Lima Nama karya Pandir Kelana. Kemarahan Kadarwati mencapai puncak ketika ia terpaksa menari striptease di Kurabu Semarang, di hadapan perwira-perwira tinggi Jepang sambil menuangkan sake yang telah dicampur dengan obat tidur dosis tinggi dan bensin. Begitu perwira-perwira tinggi Jepang itu mabuk, Kadarwati menyulut api yang bisa membakar tubuh-tubuh perwira-perwira tinggi Jepang. Sejak itulah Kadarwati berganti-ganti nama untuk menyelamatkan diri dari kejaran intel-intel Kempeitai yang terkenal ganas, dan tempat yang aman baginya hanyalah kompleks pelacuran kelas bawah, baik di Magelang maupun Yogyakarta.
Keke, Tinung, dan Kadarwati hanyalah segelintir tokoh dalam karya sastra yang merepresentasikan perempuan, manusia Indonesia yang terjajah dan tidak punya pilihan dalam hidup. Kalau tokoh perempuan sering dijadikan geisha atau pun budak nafsu dalam karya sastra yang berlatar pendudukan Jepang (1942-1945), maka tokoh laki-laki dalam karya sastra yang berlatar sama, dijadikan heiho (pembantu prajurit Jepang yang ditempatkan di garis depan dalam perang Asia Timur Raya) yang sama sengsaranya dengan geisha. Ini, misalnya, dapat dibaca dalam cerpen “Heiho” karya Idrus, “Dia yang Menyerah” karya Pramoedya Ananta Toer (yang dihimpun dalam Cerita dari Blora), novel Pulang karya Toha Mohtar, serta cerpen “Perang” karya Linda Christanty.
Manusia Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, terekam dengan baik dalam karya sastra Indonesia, yang menunjukkan betapa sengsaranya hidup selama 3,5 tahun di bawah penindasan militer Jepang yang sama sengsaranya dengan hidup di bawah kolonial Belanda selama 3,5 abad—terhitung sejak VOC menginjakkan kakinya di Ambon. Pram, misalnya, menggambarkan kematian dua heiho di Birma yang hanya diganti dengan dua karung beras oleh pemerintah kolonial Jepang.
Sikap atau ideologi pengarang mengenai fakta yang diangkat ke dalam fiksi itu terlihat, antara lain, dari bagaimana sastrawan memperlakukan tokoh-tokohnya, baik tokoh dari Indonesia yang tertindas dan tokoh Jepang yang menindas. Pandir Kelana, melalui tokoh Kadarwati, membakar belasan perwira tinggi Jepang di gedung kurabu Semarang. Sementara Remy Sylado mematikan semua tokoh Jepang yang penting (Kotaro Takamura, Kobayashi, dan Hiroshi Masakuni) yang ada dalam novel itu. Ada yang dibunuh dengan tangan Keke sendiri, ada pula yang mati di tangan Jantje, kakak Keke, dan ada pula yang mati di medan perang di Korea. Tapi, kematian Hiroshi Masakuni di medan perang itu belum cukup bagi Keke. Ia mengatakan, “Kalau sekarang dia mati di Korea, itu belum lunas dari hukuman atas dosa-dosanya di Indonesia. Dia masih akan bertanggung jawab di akhirat nanti atas kekejamannya di Indonesia itu.” ***

Tidak ada komentar: