Jumat, 15 Mei 2009

Manusia Tionghoa di Indonesia yang Malang


oleh Asep Sambodja

Cerpen “Panggil Aku: Pheng Hwa” karya Veven Sp. Wardhana (2002) memperlihatkan manusia Tionghoa yang bernasib malang ketika hidup di Indonesia. Pheng Hwa merepresentasikan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa yang diperlakukan secara tidak adil oleh bangsa dan negara Indonesia.
Jika terjadi huru-hara berskala nasional, seperti yang terjadi pada 1965 dan 1998, seringkali WNI keturunan Tionghoa turut menjadi korban, meskipun tidak terlibat dalam peristiwa yang menyebabkan huru-hara atau kerusuhan itu. Yang pasti, perempuan keturunan Tionghoa ada yang diperkosa, laki-laki keturunan Tionghoa ada yang dibunuh, harta-benda milik WNI keturunan Tionghoa dijarah dan dibakar.
Kenapa bangsa Indonesia demikian membenci WNI keturunan Tionghoa yang tidak lain adalah saudaranya sendiri—di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika? Salah satu jawabannya saya temukan dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono (2002), bahwa kampanye Sinophobia atau antiTionghoa di Indonesia disponsori oleh pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Pada 1966, sejumlah negara kapitalis Barat, dalam usahanya membendung pengaruh komunis dari Utara yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), berusaha melakukan kegiatan antiTionghoa/Tiongkok untuk mengalihkan perhatian rakyat Indonesia dari kegiatan antiimperialisme Amerika-Inggris; dengan mengatakan melalui media massa Barat seperti VOA dan BBC bahwa musuh bangsa dan rakyat Indonesia yang sesungguhnya adalah Cina yang berasal dari Utara, yaitu RRT (Setiono, 2002: 951-953).
Dalam cerpen “Panggil Aku: Pheng Hwa”, sang tokoh merasa heran, kenapa ia dan WNI keturunan Tionghoa harus dikenai Undang-Undang Ganti Nama No. 4 Tahun 1961? Bukankah itu diskriminatif? Kenapa seseorang harus menjadi asing dengan namanya sendiri?
Dalam cerpen tersebut, Veven membandingkan pandangan masyarakat Indonesia dan masyarakat Prancis dalam menyikapi WNI keturunan Tionghoa. Kalau di Indonesia, Pheng Hwa yang sudah berganti nama menjadi Effendi Wardhana “merasa gatal” kalau dipanggil nama aslinya, Pheng Hwa. Sementara di Prancis, ia “merasa tidak asing” ketika dipanggil Pheng Hwa maupun Effendi Wardhana. Jadi, ada “rasa” yang lain, yang membedakan di balik panggilan itu. Kenapa demikian? Hanya WNI keturunan Tionghoalah yang tahu pasti.
Di akhir cerpen tersebut, Pheng Hwa tiba-tiba diperlakukan sebagai “orang asing” lagi ketika ia pulang ke Indonesia pada 15 Mei 1998. Tidak hanya “merasa asing” saja, keluarga Pheng Hwa juga sudah “lenyap” atau “dilenyapkan” dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Di Indonesia, WNI keturunan Tionghoa merupakan masyarakat minoritas. Namun, apakah mesti diperlakukan secara tidak adil? Hingga kini pun nasib WNI keturunan Tionghoa masih bernasib malang, karena diskriminasi itu masih ada, minimal terbaca dari cerpen Veven Sp. Wardhana. ***

Bibliografi

Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Wardhana, Veven Sp. 2002. Panggil Aku Pheng Hwa. Jakarta: KPG.