Kamis, 01 April 2010

The Reader: Kenapa Hanna Schmitz Bunuh Diri?



oleh Asep Sambodja


Next morning, Hanna was dead. She had hanged herself at daybreak.
(Schlink, 1997: 203)

Hanna Schmitz melakukan bunuh diri justru setelah ia dibezuk oleh Michael Berg, teman kencannya sebelum ia dipenjara. Kenapa Hanna Schmitz melakukan bunuh diri? Bukankah hal ini merupakan ironi jika melihat keseriusan Hanna belajar membaca dan menulis dalam penjara dari kaset-kaset yang dikirimkan Michael? Apa yang salah pada Michael sehingga Hanna sama sekali tidak meninggalkan pesan kepadanya? So she had not left any message for me. Did she intend to hurt me? Or punish me? Or was her soul so tired that she could only do and write what was absolutely necessary? (Schlink, 1997: 207).

Hanna Schmitz merupakan representasi dari perempuan Jerman yang bekerja sebagai penjaga penjara di era kepemimpinan Adolf Hitler (1933-1945). Dalam novel The Reader karya Bernhard Schlink, Hanna mulai bergabung dengan Schutzstaffel (SS) atau pasukan pribadi Hitler pada 1943 (Schlink, 1997: 96). Setelah pasukan sekutu menduduki Jerman pada April 1945, Hitler bunuh diri dan pasukannya diadili sebagai penjahat perang. Bernhard Schlink ingin menggambarkan sosok Hanna Schmitz dari sisi yang lebih manusiawi. Bisa jadi selama ini persepsi masyarakat dunia menilai bahwa seluruh warga negara Jerman bersalah dan bertanggung jawab atas meninggalnya jutaan orang Yahudi—yang di mata Hitler dianggap sebagai ras rendah yang harus dimusnahkan. Padahal, sejatinya tidaklah demikian. Hanna Schmitz, misalnya, ia hanyalah seorang perempuan mandiri—dalam arti dapat hidup secara mandiri tanpa bergantung kepada siapa pun—yang terpaksa masuk dalam lingkaran SS karena illiterate.

Bernhard Schlink tidak ingin menggeneralisasikan bahwa semua anggota SS di masa Hitler bersalah. Schlink juga ingin menjelaskan bahwa di antara warga Jerman yang diposisikan Hitler sebagai bangsa Aria, bangsa yang unggul, ternyata ada seorang perempuan Jerman yang seperti Hanna: tidak bisa menulis dan membaca. Tapi, Hanna memiliki disiplin kerja yang sangat baik. Oleh karenanya, ia dipromosikan dengan jabatan yang lebih tinggi. Namun, karena posisi itu menuntutnya untuk menulis dan membaca, ia pun keluar dan mencari pekerjaan lain, sehingga sampailah ia menjadi sipir.

Pergantian rezim pascajatuhnya Hitler mengakibatkan perubahan-perubahan yang signifikan. Hanya saja, orang kecil semacam Hanna seringkali menjadi korban perubahan politik semacam itu. Dalam pengadilan yang sudah menerapkan hukum dan Undang-Undang yang berbeda, Hanna divonis penjara seumur hidup. Kenapa Michael Berg, mahasiswa Fakultas Hukum yang pernah kencan dengan Hanna Schmitz, diam saja melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya? Kenapa Michael yang mengetahui bahwa Hanna could neither read nor write (Schlink, 1997: 132) tidak berkutik saat mendengar pengakuan Hanna bahwa ialah yang membuat laporan tertulis yang ditunjukkan Hakim Ketua? Bukankah itu memperlihatkan kepengecutan seorang Michael? Kalaupun tidak dikatakan sebagai pengecut, bukankah Michael hanya mencari selamat? So I was still guilty. And if I was not guilty because one can not be guilty of betraying a criminal, then I was guilty of having loved a criminal (Schlink, 1997: 134).

Dalam masa transisi, wajar bila banyak orang mencari selamat seperti Michael. Dalam persidangan kasus Hanna, banyak pengunjung sidang yang menghujatnya, bahkan sesama rekan sipir penjara pun menyudutkannya. Michael yang tahu persis kemampuan Hanna dalam hal menulis dan membaca tidak berkutik karena risiko yang akan didapatkannya adalah disudutkan seperti Hanna, apalagi kalau terlontar pengakuan bahwa ia pernah tidur bersama Hanna, yang kini dicap sebagai seorang kriminal. Hanna benar-benar berada dalam posisi yang tak berdaya, dan Michael berada di posisi serba salah.

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Michael mengambil inisiatif untuk mentransformasi karya-karya sastra ke dalam bentuk audio (rekaman). Ia merekam Odyssey karya Homerus, Intrigues and Love karya Schiller, War and Peace karya Leo Tolstoy, buku-buku Dostoyevsky, Charles Dickens, Balzac, dan lain-lain. Hingga beberapa tahun kemudian sejak Michael dan Hanna “berpisah” di ruang pengadilan, ia sangat terkejut dengan datangnya sebuah surat singkat. In the fourth year of our word-driven, wordless contact, a note arrived. “Kid, the last story was especially nice. Thank you, Hanna.” (Schlink, 1997: 187).

Setelah bertahun-tahun berpisah, pandangan Hanna terhadap Michael tetaplah sama. Ia masih memanggil Michael dengan sebutan “kid”, seperti ketika mereka masih menjalin hubungan asmara dulu. “Read me something from them. Please, kid?” (Schlink, 1997: 63) atau “Let me bathe you, kid.” (Schlink, 1997: 79). Hanna memperlakukan Michael seperti anak kecil yang harus dibimbing dalam menjalani kehidupan yang ganas. Bahkan, dalam hal cinta pun Michael tampak masih seperti anak bawang. Masih kekanak-kanakan.

“Do you forgive me?”
She nodded.
“Do you love me?”
She nodded again. “The tub is still full. Come, I’ll bathe you.”
(Schlink, 1997: 49).

Sementara fantasi Michael tentang Hanna yang dulu pernah membimbingnya dalam hal percintaan seperti buyar ketika ia melihat Hanna setelah dikurung 18 tahun penjara. Apa yang dibayangkan Michael terhadap Hanna selama ini adalah bayangan ketika masih remaja. I sat next to Hanna and smelled an old woman. I don’t know what makes up this smell, which I recognize from grandmothers and elderly aunts, and which hangs in the rooms and halls of old age homes like a curse. Hanna was too young for it. (Schlink, 1997: 197).

Dalam pertemuan di penjara itu, yakni pertemuan menjelang dibebaskannya Hanna untuk bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar. Setelah terkurung selama 18 tahun dalam penjara untuk sesuatu yang bukan murni kesalahannya membuat Hanna demikian berharap kepada Michael ketika disadarinya ada yang akan menyambutnya di luar kelak ketika dia dibebaskan dari penjara. Namun, tampaknya posisi Hanna yang terpenjara dan Michael yang bebas membuat komunikasi di antara keduanya tidak pernah berjalan mulus. Artinya, apa yang dibayangkan Michael tidak seperti yang diharapkannya ketika ia melihat kenyataan. Apa yang diharapkan Hanna ternyata juga demikian. Ia berharap Michael bisa menerimanya kembali sebagaimana belasan tahun lalu ketika Hanna menerima Michael di apartemennya. Rupanya, harapan Hanna itu memang sulit diwujudkan mengingat Michael sendiri sudah berkeluarga, meskipun ia sudah bercerai dengan Gertrud.

“I’m glad you’re getting out.”
“You are?”
“Yes, and I’m glad you’ll be nearby.” I told her about the apartment and the job I had found for her, about the cultural and social programs available in that part of the city, about: the public library. “Do you read a lot?”
“A little. Being read to is nicer.” She looked at me. “That’s over now, isn’t it?”
“Why should it be over?” But I couldn’t see myself talking into cassettes for her or meeting her to read aloud. “I was so glad and so proud of you when you learned to read. And what nice letters you wrote me!”
(Schlink, 1997: 197-198).

Dialog antara Hanna dan Michael di dalam penjara itu merupakan pertanda bahwa hubungan mereka akan berakhir. Saya menilai bahwa keputusan Hanna untuk melakukan bunuh diri setelah ia mengetahui bahwa satu-satunya orang yang bisa memahami dan mengerti dirinya di dunia ini sudah berubah. Michael yang sekarang tetap dipanggilnya “kid” bukanlah Michael yang dulu. Jika Hanna Schmitz merepresentasikan perempuan Jerman yang menjadi korban generalisasi pandangan orang-orang terhadap SS dan Nazi, maka Michael Berg merepresentasikan orang-orang yang tinggal di Jerman yang tidak mengikuti kebijakan Hitler, namun belum bisa menerima secara tulus terhadap orang-orang yang telanjur dihakimi sebagai penjahat perang.

Pilihan Hanna untuk bunuh diri memperlihatkan sikapnya yang tegas. Saya sangat yakin bahwa tindakan kontraproduktif ini diambil Hanna setelah Michael tidak memberikan jawaban yang memenuhi harapannya. Hanna berharap agar ia bisa diterima kembali oleh Michael. Tapi, ternyata Michael hanya membantu memfasilitasi Hanna untuk bekerja sebagai penjaga perpustakaan umum. Jadi, Michael-lah yang menyebabkan Hanna bunuh diri. Jika bukan karena faktor Michael atau karena motif lain, saya pikir sudah sejak awal Hanna bisa melakukan bunuh diri itu. Sebab, sebagai terpidana seumur hidup, Hanna tidak memiliki banyak pilihan untuk menunda kematian. Terlebih lagi, semangat Hanna untuk belajar membaca di dalam penjara juga dikarenakan adanya setitik cahaya kehidupan yang diberikan oleh Michael melalui kaset-kaset yang berisi cerita yang dikirimnya secara rutin.

Sekali lagi, Bernhard Schlink menampilkan sosok Hanna Schmitz secara manusiawi. Mungkin terkesan lugu atau naif. Tapi, kehadiran sosok Hanna dalam The Reader, yang merupakan cermin masyarakatnya, memperlihatkan bahwa sejatinya dalam melihat segala persoalan, kita jangan mudah menggeneralisasikan, jangan terlalu mudah menyederhanakan persoalan. Dari The Reader ini pula kita bisa memetik pelajaran bahwa apa yang diputuskan pengadilan sebagai suatu kesalahan, belum tentu itu merupakan keputusan yang benar. Dalam memutuskan suatu perkara, pengadilan hanya berdasarkan UU yang berlaku dan bukti-bukti yang ditemukan dalam persidangan. Sementara dalam kasus Hanna, ia mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya karena ia malu kalau publik mengetahui bahwa ia tidak bisa menulis dan membaca. Saya juga bertanya-tanya, kenapa Bernhard Schlink mematikan tokoh Hanna Schmitz dengan bunuh diri? Apakah dalam bawah sadar Schlink juga terlintas bahwa mereka yang terlibat dalam pembantaian orang Yahudi harus dimatikan?
“Take care, kid.”
Citayam, 1 April 2010
Asep Sambodja