Kamis, 22 Januari 2009

Tafsir Ulang Tokoh Sita dalam Puisi Indonesia Modern



oleh Melody Violine


Raksasa yang melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri
(“Asmaradana”)

Dalam petikan puisi karangan Subagio Sastrowardoyo di atas, Sita yang identik dengan gambaran istri suci dan setia dengan sukarela berhubungan intim dengan Rahwana. Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi? Dorothea Rosa Herliany berkata bahwa tugas utama seorang penyair adalah menjadi penafsir segala sesuatu. Oleh karena itu, penyair berhak mengukuhkan atau bahkan membuat tafsiran yang jauh/menyimpang dari rujukannya.
Selain diubah ke dalam bermacam-macam genre, Ramayana yang ditulis oleh Walmiki sekitar abad ke-4 SM ini juga telah ditambah dan dimodifikasi oleh sastrawan-sastrawan Indonesia, baik klasik maupun modern. Dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern, Ramayana telah dihidupkan kembali dalam bentuk puisi, prosa, dan drama. Beberapa contohnya adalah Sendratari Ramayana di Prambanan dan novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.
“Sita Sihir” dan “Benih” karya Sapardi Djoko Damono, “Elegi Sinta” karya Dorothea Rosa Herliany, dan “Asmaradana” karya Subagio Sastrowardoyo merupakan puisi-puisi Indonesia modern yang memberi penafsiran baru terhadap Ramayana, khususnya tokoh Sita.
Ramayana secara umum memang bersifat patriarki. Dalam Kitab Omong Kosong, Dewi Tara pernah menyatakan kekecewaannya terhadap Walmiki yang, sebagai penulis, tidak pernah mempertimbangkan kehendaknya sebagai perempuan.

“Mengapa Walmiki menulis seperti itu? Aku tidak keberatan diperistri wanara, karena perempuan utama tidak mementingkan perwujudan duniawi. Subali adalah seorang resi dan Sugriwa wanara yang perkasa, tapi mengapa kehendakku tidak menjadi pilihan pertama?” (Ajidarma, 2006: 431)

Akan tetapi, ketiga penyair tersebut menggambarkan bahwa Sita bukanlah sekadar istri yang sempurna dalam menjalankan darmanya atau perempuan cantik yang diombang-ambing oleh nasib dan jeratan patriarki. Sita juga diberi hak untuk bersuara, bahkan memilih jalannya sendiri.
Sita adalah istri dari Rama, putra Raja Dasarata, penguasa negeri Ayodya. Akibat kekhilafan Raja Dasarata, Rama dan Sita harus mengasingkan diri di hutan selama 14 tahun. Dalam pengasingan, Sita diculik oleh Rahwana, raksasa penguasa negeri Alengka yang ingin menjadikan Sita permaisurinya. Saat dibawa terbang oleh Rahwana, seekor burung garuda teman Rama yang bernama Jatayu berusaha menyelamatkan Sita. Sayangnya, Rahwana terlalu kuat sehingga Jatayu jatuh dan mati setelah mengabarkan perihal Sita kepada Rama.
Dalam penahanan di Alengka, Sita tetap bertahan dari segala macam bujuk-rayu Rahwana dan gemerlapnya negeri tersebut. Sita tetap setia demi cintanya pada Rama. Sayangnya, setelah menyelamatkannya, Rama malah meragukan kesucian Sita dan bersikap dingin kepadanya. Sita pun membuktikan kesuciannya dengan melompat ke dalam api. Berkat pertolongan Dewa Agni (Dewa Api) yang menyaksikan keteguhan hati Sita selama ditahan Rahwana di Alengka, tentu saja Sita tidak terbakar. Akhirnya, Rama puas dan percaya pada Sita yang amat dicintainya.
Ini adalah Ramayana versi Kakawin Ramayana[1]. Rama, tokoh yang menjadi teladan masyarakat Jawa, sebenarnya adalah pria yang memuja kesetiaan lebih daripada kehidupan. Dewa-dewa sampai turun membujuk Rama supaya percaya bahwa istrinya memang masih suci. Dewa Agni bahkan berkata, “Hai Rama, apa yang membuatmu meragukan kesuciannya? Kau seperti anak kecil yang salah pengertian.”
Sita yang melompat ke dalam api adalah simbol kekalahan dan keharusan perempuan tunduk pada patriarki. Akan tetapi, sesederhana itukah seorang Sita? Sapardi Djoko Damono, Dorothea Rosa Herliany, dan Subagio Sastrowardoyo berusaha menggalinya lebih dalam.

Sendiri,
di menara tinggi,
kusaksikan di atas:
langit
yang tak luntur dingin-birunya;
dan di bawah:
api
yang disulut Rama –
berkobar bagai rindu abadi.
(“Sita Sihir”)

Sapardi menggambarkan betapa Sita merasa sendiri. Langit biru di atasnya terasa “dingin”—takkan ada yang bersimpati padanya. Api di bawahnya “berkobar bagai rindu abadi”—siap menelannya, seakan telah lama menunggunya.
Bait berikutnya mengungkapkan keinginan terpendam Sita, yaitu Tapi aku ingin juga terbebas/dari sihir Rama. Sapardi mengungkapkannya dengan begitu halus. Sita ingin terbebas dari sihir Rama atau, dengan kata lain, dari budaya patriarki yang menjeratnya. Namun, semua ini baru apa yang bergumul dalam hati Sita. Akhir puisi ini adalah kesimpulan tanpa penyelesaian—khas puisi-puisi Sapardi. Kita tidak pernah tahu apakah akhirnya Sita tetap melompat ke dalam api, melarikan diri, atau menyatakan keberatannya kepada Rama.

aku sinta yang urung membakar diri.
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama.
(“Elegi Sinta”)

Dorothea tidak tanggung-tanggung dalam membela Sita. Sita (Dorothea menyebutnya Sinta) versinya tidak sudi melompat ke dalam api untuk membuktikan kesuciannya. Ia bahkan memaki Rama sebagai “lelaki paling pengecut” yang takut benda berharga miliknya telah dinodai oleh raksasa penguasa Alengka.

kuburu rahwana,
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan lagit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.
(“Elegi Sinta”)

Sebagai puncak kekecewaan Sita terhadap Rama, ia memburu Rahwana. Tindakannya ini bukan sekadar pelarian. Rahwana memang tokoh hitam dalam Ramayana, seorang raksasa berwatak angkara murka. Akan tetapi, Rahwana tidak pernah memaksa. Meskipun telah berusaha menipu Sita supaya melupakan Rama, dia tetap menunggu sampai Sita menyerahkan diri dengan sukarela. Rahwana memang mencintai Sita secara lahiriah, tapi dia juga mencintai hubungan atas dasar suka sama suka dan tidak peduli tentang kesucian perempuan. Rahwana yang demikian dipandang Sita lebih baik daripada Rama yang “takut dan kalah”.
Elegi adalah syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian)[2]. Menurut saya, Dorothea sengaja memberi judul ini sebagai ungkapan dukacitanya terhadap Sita. Puisi ini berisi ratapan Sita terhadap ketidakadilan yang terjadi pada dirinya.

Sita di tengah nyala api
tidak menyangkal
betapa indah cinta berahi
(“Asmaradana”)

Subagio Sastrowardoyo membuat alur cerita yang lebih drastis lagi. Saat diculik oleh Rahwana, Sita terpesona oleh kejantanannya secara fisik dan dengan sukarela “menyerahkan diri” kepada raksasa itu. Sita melakukannya dengan sadar. Ia pun bertanggung jawab atas pilihannya ini dengan melompat ke dalam api tanpa takut akan kematian sebagai konsekuensinya.

Dewa tak melindunginya dari neraka
tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa
jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama
(“Asmaradana”)

Akhirnya Sita terbakar karena ia memang sudah tidak suci. Meskipun demikian, Sita tidak merasa bersalah, tidak menyesal, dan tidak menyalahkan siapa-siapa. Ia hanya ingin momen itu—momen bersama Rahwana—tidak “hangus dalam api” dan dikenang selamanya. Ia berharap semua orang akan mengingat dan memahami pilihannya yang naluriah dan manusiawi itu.
Asmaradana adalah tembang/macapat yang berisi kisah cinta sedih antara Anjasmara dengan Damar Wulan. “Asmara” yang merupakan nama dewa percintaan dalam KBBI berarti (rasa) cinta. “Dana” diambil dari kata “dahana” yang berarti api. Selain “api cinta”, “asmaradana” juga dapat diartikan sebagai “percintaan yang menggebu-gebu” atau “rindu dendam asmara”.
Puisi Subagio ini memang bercerita pada saat Sita berada “di tengah nyala api”. Api ini adalah “api cinta” yang dapat membuktikan kesucian cinta antara Sita dengan Rama. Akan tetapi, “Asmaradana” juga bercerita tentang “percintaan yang menggebu-gebu” atau “rindu dendam asmara” antara Sita dengan Rahwana sampai-sampai Sita rela ditelan api setelahnya.
Persamaan antara tembang Asmaradana dengan “Asmaradana” karya Subagio bukan hanya itu. “Asmaradana” juga bisa berisi kisah cinta sedih. Puisi ini diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga yang tidak kita ketahui siapa. Bisa saja orang ketiga ini Subagio, pembaca, atau Rama sendiri saat menyaksikan Sita dilalap api.
Mungkin Rama sedih dan menyesal karena kehilangan istrinya. Rama sangat mencintai Sita dan mungkin sebenarnya tidak membutuhkan pembuktian Sita. Sayangnya, rakyat meragukan Sita dan mendesak Rama untuk menyuruh Sita membuktikan kesuciannya[3]. Saat Sita dilalap api, Rama sedih bukan hanya karena kematian Sita, tetapi juga karena ternyata Sita memang menyerahkan dirinya pada Rahwana. Jadi, puisi ini juga bisa jadi merupakan ungkapan liris perasaan Rama.

Sita yang hamil itu tetap diam: pesona. “Tetapi Raksasa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah…” Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa.
(“Benih”)

Puisi ini menimbulkan banyak pertanyaan. Memang ada versi yang menyebutkan bahwa Sita adalah anak Rahwana dengan Dewi Tari. Setelah selamat dari upacara api, Sita hamil. Karena rakyat masih meragukan Sita, Rama lalu mengusirnya ke hutan. Menurut versi Uttarakanda, Sita lalu melahirkan dua anak kembar, Kusa dan Lawa yang sangat mirip dengan Rama. Bagaimana dengan versi Sapardi dalam puisi ini?
“Benih” mengambil momen saat Rama mempertanyakan kehamilan Sita langsung kepada istrinya itu. Sita telah 12 tahun disekap oleh Rahwana di Alengka. Sekalipun setelah kembali ke Ayodya Rama sempat menggauli Sita, keraguan Rama perihal siapa laki-laki yang membenihi kandungan Sita tetaplah wajar.
Sita diam saja. Apa maksudnya? Sita sendiri tidak yakin siapa bapak dari bayi yang dikandungnya. Saat sadar Sita berusaha sebisanya untuk tetap setia. Sungguhpun demikian, bagaimana ketika ia sedang terlelap? Mungkin inilah yang diragukan oleh Sita.
Apa yang para dewa kehendaki lewat kejadian ini? Mengacu pada tindakan Rama yang kemudian mengusir Sita ke hutan dan ternyata kandungan Sita memang dari benih Rama, berarti para dewa bermaksud mengetes kebijaksanaan dan kesabaran Rama.
Sebenarnya bukan hanya penyair, orang awam pun berhak memberi penafsiran baru terhadap Ramayana, terhadap tokoh Sita. Bagaimana perasaan Sita, apa yang mungkin Sita pilih dalam kondisi-kondisi tertentu, dan seperti apa kelanjutan cerita Ramayana sebaiknya adalah hak penuh pembaca untuk berkreasi saat melakukan interpretasi terhadap Ramayana sebagai sebuah karya sastra.
Penafsiran ulang ini dilakukan bukan untuk mengacak-acak naskah, melainkan untuk memperkayanya. Selain itu, hal ini juga merupakan bukti bagi kecintaan seseorang terhadap karya sastra yang dibacanya.

DAFTAR PUSTAKA

“Dorothea Rosa Herliany.” Style Sheet. http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/login.html%20(14 Februari 2007)

Afiati, Titi. “Cinta Sita kepada Rama dalam Cerita Ramayana.” Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 2002.

Ajidarma, Seno Gumira. 2006. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: Bentang.

Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: IndonesiaTera.

Hartiningsih, Maria. “Bulan Tenggelam di Prambanan.” Kompas, 27 Agustus, 2006, hal.17.

Mursidi, Nur. “Epik Ramayana dalam Berbagai Narasi.” Style Sheet. http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0528/bud2.html%20(30 Maret 2007)

Ratmoyo dan Abas. 1981. Ramayana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sawitri, Cok. “Mencari ‘Karya Sastra’ yang Menguntungkan Perempuan?” Jurnal Perempuan, 30 (Juli, 2003), hal. 55-63.

Tim Penulis Sena Wangi. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 4 (R-S). Bandung: Sena Wangi.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Trisman, B., Sulistiati, dan Marthalena. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Triwikromo, Triyanto. “Pati Wangi untuk Cinta.” Style Sheet. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/kejawen/pringgitan/pringgitan-kejawen02.html%20(30 Maret 2007)

-------------. “Dorothea Rosa Herliany: Puisi Itu Pukulan Bersarung Tinju Beludru.” Style Sheet. http://www.suaramerdeka.com/harian/0611/26/bincang01.htm%20(14 Februari 2007)

Utomo, S. Prasetyo. “Kesetiaan Lelaki (Poligami) dalam Imaji Puisi.” Style Sheet. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0701/15/swara/3238667.htm%20(30 Maret 2007)

Yunus, Umar. 1981. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.


Catatan Akhir:

[1] Diringkas dari terjemahan Kakawin Ramayana dalam lampiran skripsi Titi Afiati, Cinta Sita Kepada Rama dalam Cerita Ramayana, FSUI 2002
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
[3] Dalam versi pewayangan (Ensiklopedi Wayang Indonesia) dan versi Kitab Omong Kosong.

Selasa, 06 Januari 2009

Cara Mudah Menganalisis Puisi



oleh Asep Sambodja

Puisi merupakan salah satu genre sastra yang memiliki bentuk yang khas, unik, dan lazim menggunakan bahasa yang relatif lebih padat dan lebih subtil dibandingkan genre sastra lainnya, seperti cerpen, novel, maupun drama. Suminto A. Sayuti (2002) menganggap tidak begitu penting memberi definisi (batasan) puisi setiap kali kita membicarakan puisi, karena bisa membatasi ruang gerak pembaca dalam “berdialog” dengan puisi atau sebaliknya, membicarakan definisi puisi malah bisa merambat ke mana-mana dan tidak terfokus lagi.
Meskipun demikian, sebagai pegangan, saya mengutip Rachmat Djoko Pradopo (1990), bahwa puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, yang digubah dalam wujud yang paling berkesan. Puisi, bagi Ignas Kleden (2004), bisa berfungsi sebagai kritik sosial, karena sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan.
Sebagai karya sastra, puisi memiliki dua fungsi utama seperti yang dikemukakan Horatius (Teeuw, 2003: 7), dulce et utile; sastra memiliki fungsi keindahan/kenikmatan dan kegunaan/bermanfaat bagi pembacanya. Sebuah puisi biasanya memiliki setidaknya satu dari dua fungsi tersebut. Ada puisi yang indah, seperti puisi-puisi lirik Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., dan Goenawan Mohamad, sehingga pembaca merasa nikmat membaca puisi itu, namun memerlukan proses yang cukup panjang untuk memahaminya. Biasanya puisi semacam itu lahir dari ekspresi perasaan penyairnya. Puisi-puisi yang mengangkat topik cinta biasanya seperti itu. Ia lahir dari perasaan penyair yang terdalam, sehingga kalau kita membaca puisi itu cukup dengan menghayatinya saja.
Sebaliknya, ada puisi yang hanya mengedepankan pesannya saja, sehingga dengan mudah ditangkap maknanya. Misalnya, puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Aksi Boikot” yang dimuat di buku Prahara Budaya (1995), yang tidak ada bedanya lagi dengan suara protes kaum demonstran di jalan. Yang membedakannya hanya bentuk atau tipografinya saja.
Tapi, sebenarnya apa guna puisi? Kenapa puisi masih terus ditulis? Apa istimewanya puisi sehingga terus dipelajari di kalangan akademis? Apa kontribusi puisi bagi sebuah peradaban manusia sehingga dipelajari di dunia akademis?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin mengemukakan pendekatan yang dilakukan M.H. Abrams terhadap karya sastra. Dalam bukunya, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition (1953), Abrams memberikan pondasi yang mendasar untuk mengungkap makna tekstual dan makna referensial sebuah karya sastra. Makna tekstual adalah makna yang lahir dari hubungan-hubungan di dalam teks itu sendiri, sementara makna referensial merupakan makna yang lahir dari hubungan antara teks dan dunia di luar teks (konteks) atau biasa disebut makna kontekstual.
Ada empat komponen utama dalam kritik sastra:
Pertama, sastrawan (artist: novelis, cerpenis, penyair, dramaturgi).
Kedua, alam (universe; kenyataan).
Ketiga, karya sastra (work).
Keempat, pembaca (audience).
Rumusan sederhananya adalah sastrawan melihat kenyataan sosial dalam masyarakatnya, kemudian mengungkapkan fakta itu dalam bentuk cerita (fiksi), untuk kemudian dibaca oleh masyarakat pembaca.
Dua hal yang perlu mendapat perhatian utama pembaca terhadap suatu karya sastra, dalam hal ini puisi, adalah kecenderungan tematik dan stilistik yang dikedepankan sastrawan. Kecenderungan tematik seperti apa yang dikedepankan sastrawan? Dengan tema seperti itu, pesan (message) apa yang hendak disampaikan sastrawan? Pertanyaan selanjutnya, kecenderungan stilistik seperti apa yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan pesannya?
Dari pertanyaan di atas, misalnya, kita bisa tahu bahwa penyair Wiji Thukul memiliki kecenderungan tematik yang berkaitan dengan masalah-masalah politik; ada pesan yang hendak disampaikannya, yakni melawan penindasan. Kecenderungan stilistik yang diterapkan Wiji Thukul pada setiap puisinya adalah penggunaan bahasa yang lugas, bahasa sehari-hari. Di samping kegelisahan politik, banyak pengarang yang mengedepankan kegelisahan eksistensial atau kegelisahan transendental.
Dalam buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden menyebutkan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Jauh sebelum ini, dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1982, Kuntowijoyo pernah menyebutkan adanya kegelisahan transendental, yakni hubungan manusia dengan sang pencipta, yang menitikberatkan pada makna di balik kata, sehingga karya sastra yang dihasilkan tidak melulu menonjolkan keindahan, melainkan dapat berarti bagi kemanusiaan dan peradaban. Sastra yang demikian dinamakan sastra transendental oleh Kuntowijoyo (Kleden, 2004: 265-267; Kuntowijoyo, 1984: 154-158).
Penyair Chairil Anwar cenderung menggunakan kata yang sangat padat. Kekuatan puisinya ditopang dengan pemilihan kata-kata yang bermakna dari suatu proses pencarian kata yang “berdarah-darah”, yang menggali-mengorek setiap kata hingga ke dalamnya, hingga ke kernwoord, kernbeeld, hingga ke akar-akarnya, hingga ke sum-sum kata, saripati kata. Sebaliknya, Sutardji Calzoum Bachri justru membebaskan kata dari beban makna, sehingga kata-kata itu keluar begitu saja seperti mantera dan menghasilkan makna tersendiri.
Afrizal Malna hadir dengan puisi “gelap”; meskipun menggunakan kosa kata yang bisa dipahami pembaca, dengan struktur kalimat yang bisa dimengerti pembaca, namun karena peletakan konsep yang arbitrer—yang merupakan licentia poetica—sehingga puisi Afrizal Malna terbaca sebagai puisi yang absurd; yang bisa disejajarkan dengan cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob atau novel Merahnya Merah Iwan Simatupang. Harry Aveling melihat kecenderungan stilistik Afrizal Malna adalah mempersonifikasikan benda-benda mati. Puisi Afrizal Malna memperlihatkan fenomena postmodern, dengan teknik brikolase dan intertekstualitas, yang merupakan konsekuensi logis dari globalisasi. Brikolase adalah penataan ulang dan pemaduan objek-objek penanda yang sebelumnya tidak saling terkait untuk menghasilkan makna-makna baru dalam konteks yang baru. Intertekstualitas adalah akumulasi dan penciptaan makna lintas teks, di mana semua makna saling tergantung pada makna yang lain (Barker, 2005).
Kritik sastra yang berkembang di Program Studi Indonesia FIB UI saat ini adalah kritik sastra dengan perspektif postkolonialisme dan feminisme, yang dikenalkan oleh Melani Budianta, Manneke Budiman, dan Gadis Arivia. Kritik sastra ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosiologis yang dikenalkan oleh Sapardi Djoko Damono pada 1980-an. Postkolonialisme atau pascakolonialisme adalah teori kritis yang mengeksplorasi wacana pascakolonialitas, hubungan-hubungan kolonial dan kelanjutannya. Teori pascakolonial meneliti wacana-wacana pascakolonial dan posisi subjeknya, berkaitan dengan tema-tema ras, bangsa, subjektivitas, kuasa, hibriditas, dan subaltern (Barker, 2005: 289).
Keith Foulcher dan Tony Day dalam Clearing a Space (2006) menegaskan postkolonialisme adalah strategi membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi atau suara pengamat berkaitan dengan isu-isu tersebut. Sementara Manneke Budiman menjelaskan postkolonialisme secara longgar, dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan “jejak-jejak” kolonialisme dalam konfrontasi “ras-ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan” yang terjadi dalam lingkup “hubungan kekuasaan yang tak setara” sebagai dampak dari kolonisasi Eropa atas bangsa-bangsa di “dunia ketiga” (Budiman dalam Foulcher, 2006: xi).
Jika menggunakan pendekatan sosiologi sastra pembaca bisa mengetahui karya sastra sebagai representasi/cermin masyarakatnya, maka dengan pendekatan postkolonialisme ini pembaca tidak saja mengetahui karya sastra sebagai cermin masyarakatnya, namun bisa juga membongkar (mendekonstruksi) ideologi pengarangnya. Ada relasi kuasa yang berinteraksi di dalam teks atau dalam karya sastra tersebut.
Pendekatan feminisme lebih memfokuskan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dengan mencermati suatu karya sastra itu mengukuhkan budaya patriaki atau meruntuhkannya. Gadis Arivia (2003) tidak ingin memberi batasan mengenai feminisme, karena tidak mau terjebak dalam lingkaran maskulinitas. “Feminisme bagi kebanyakan kaum feminis adalah murni praksis dan bila feminisme diteorikan maka mereka dianggap telah masuk dalam diagram maskulinitas,” (Arivia, 2003: 17). Yang jelas, feminisme hendak mempelajari posisi perempuan dalam masyarakat dan memajukan kepentingan-kepentingan perempuan (Barker, 2005).
Dengan perspektif seperti itulah kita (pembaca) lebih tertantang untuk membongkar ideologi pengarang. Dengan demikian, pembaca karya sastra adalah pembaca yang aktif (active audience); bukan pembaca pasif yang menerima begitu saja (take for granted) pesan (message) yang disampaikan oleh sastrawan. Kenapa? Karena dalam perspektif postkolonialisme, tidak ada pembacaan yang netral.
Ketika sastrawan membaca kenyataan (fakta), dia tidak begitu saja memindahkan kenyataan yang dilihatnya ke dalam sastra, melainkan sudah dipengaruhi oleh latar belakang sastrawannya, baik latar belakang agama, suku, pendidikan, visi hidupnya, partai politik, dan lain-lain.
Membaca karya sastra bisa diibaratkan menyaksikan patung Pangeran Diponegoro di dekat Monumen Nasional Jakarta dari berbagai perspektif (sudut pandang). Kalau dilihat dari sisi kanan, maka kudanya menghadap ke kanan. Sebaliknya, kalau dilihat dari sisi kiri, maka kudanya akan menghadap ke kiri. Bayangkan kalau kita melihat patung itu hanya dari perspektif di bawah patung itu saja, maka yang akan terlihat melulu hanya “anu”-nya kuda. Contoh kasusnya adalah ketika kita membaca novel Saman dan Larung karya Ayu Utami hanya melihat bagian hubungan seksnya saja, tanpa melihatnya secara keseluruhan. Kalau yang diperhatikan hanya hubungan seks antara Romo Wisanggeni (Saman) dengan Yasmin, maka yang tampak adalah keberanian Ayu Utami dalam menggambarkan hubungan seks antara seorang Romo yang selibat dengan Yasmin yang sudah bersuami. Tapi, kalau menggunakan perspektif yang lebih luas, maka yang tampak adalah pendobrakan Ayu Utami terhadap budaya patriarki yang divisualisasikan melalui keempat tokoh perempuan dalam novel tersebut: Yasmin, Laila, Cok, dan Syakuntala. Oleh karena itu, semakin luas perspektif kita dalam membaca karya sastra, maka makna yang akan didapat pun akan semakin lebih kaya, baik makna tekstual maupun makna referensialnya.
Begitu pula dengan puisi. Dalam menulis puisi, tentu ada pesan yang ingin disampaikan oleh penyair. Hanya saja, ada yang menyampaikannya secara lugas, apa adanya, namun ada pula yang menyampaikan pesan itu secara simbolik. Pesan itulah yang harus dicari oleh seorang pembaca, seorang kritikus sastra. Karena, pesan itulah yang merupakan sumbangan penting sastrawan bagi peradaban manusia. Raden Ngabehi Ronggowarsito yang hidup di abad ke-19 masih dikenal hingga sekarang karena pesan (message) yang disampaikan dalam Serat Kalatidha masih relevan dengan kehidupan di abad ke-21 ini. Dalam pandangan sarjana Rusia, Villen Vladimir Sikorsky, Ronggowarsito memperlihatkan terobosan di bidang pemikiran maupun kesusastraan, dengan mengupas masalah universal manusia, seperti kemiskinan, kemanusiaan, kondisi sosial, dan mengkritik pejabat, dengan mengangkat tema penentangan nilai-nilai tradisional Jawa pada saat itu.
Sapardi Djoko Damono dalam buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu: Pengantar Apresiasi Puisi (1996), mengatakan beberapa hal penting:
Pertama, apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap sastra atau kesadaran akan adanya nilai (sesuatu yang berharga) pada sastra. Seseorang yang memiliki apresiasi sastra adalah yang memiliki penghargaan dan kesadaran tersebut. Dalam penghargaan tersirat pengertian pemahaman dan penghayatan.
Kedua, pemahaman tersebut tentunya bertingkat-tingkat, sesuai dengan taraf kemampuan kita sebagai pembaca dan macam karya sastra yang akan kita baca. Yang harus ditekankan di sini adalah adanya hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra.
Ketiga, untuk menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi tersebut, pelbagai cara bisa ditempuh, sejumlah pendekatan dan teori sudah disusun dan diajukan para ahli. Wajarlah kalau yang sudah disusun dan diajukan itu tidak sempurna, namun setidaknya ada hal-hal tertentu yang bisa dijadikan pegangan.
Keempat, dalam usaha memahami karya sastra, bisa saja dua orang pembaca merasa telah memahami suatu karya sastra, namun ternyata penafsiran keduanya berbeda. Penafsiran siapakah yang benar? Di sinilah dialektika Hegel terbukti: bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam semesta ini terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal yang menimbulkan hal lain lagi.
Berkaitan dengan poin keempat itu, perlu ditambahkan bahwa kebenaran dalam sastra itu hanyalah kebenaran relatif; bukan kebenaran mutlak atau kebenaran absolut, karenanya wajar bila menimbulkan perbedaan penafsiran. Teeuw (1993) menjelaskan, sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
A. Teeuw dalam bukunya Membaca dan Menilai Sastra (1983), mengemukakan tiga langkah penting dalam menilai karya sastra. Menurut Teeuw, proses membaca atau memberi makna pada sebuah teks tertentu yang kita pilih atau yang dipaksakan kepada kita (dalam pengajaran, misalnya) adalah proses yang memerlukan pengetahuan system kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam.
Kode pertama yang harus dikuasai adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks itu. Contoh: puisi-puisi Darmanto Jatman dan Linus Suryadi Ag.
Kedua, kode budaya. Dengan mengetahui konteks budaya, kita akan lebih mudah memahami puisi tersebut. Contoh: puisi-puisi Oka Rusmini, Goenawan Mohamad.
Ketiga, kode sastra. Dalam puisi sebuah kata tidak melulu bermakna denotatif, tapi juga bermakna konotatif, dengan menggunakan metafora dan piranti bahasa lainnya. Contoh: puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Remy Sylado. [*]

Catatan Akhir:

Bagaimana memulai membuat essay commentary-nya? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan karena waktunya hanya dua jam dan termasuk singkat? Sulit sekali menemukan makna yang sebenarnya dalam puisi. Bagaimana bisa dengan cepat melihat simbol-simbol pada puisi?

Baca puisi itu baik-baik.
Perhatikan judulnya.
Perhatikan diksi atau pilihan katanya (kode bahasa).
Perhatikan kata yang mengacu pada konteks budaya tertentu (kode budaya); untuk mencari makna referensialnya/kontekstualnya..
Perhatikan makna konotatif setiap kata (kode sastra); untuk mencari makna tekstualnya.
Mencari pesan (message) yang ingin disampaikan penyair.
Dengan cara seperti apa penyair menyampaikan pesan itu.
Bagaimana gaya pengucapan penyair/ciri khas penyair.

Setelah langkah itu ditempuh, dan berhasil mendapat informasi yang memadai, mulailah menulis essay itu dengan menuliskan kesan pembaca secara umum terhadap puisi itu. Misalnya, puisi itu bicara tentang apa dan apa yang hendak disampaikan oleh penyair. Kemudian, dari kesan umum itu kembangkan ke unsur-unsur yang menguatkan kesan itu. Perkaya kesan itu dengan wawasan yang dimiliki.

Bagaimana cara mengutip bagian puisi untuk memperkuat argumentasi?
Pilihlah kata atau kalimat atau bait dalam puisi yang benar-benar memperkuat apa yang sedang kita bicarakan. Kalau ada pesan penyair yang tertangkap oleh pembaca, maka unsur puisi yang berisi pesan penyair itulah yang dikutip.
Kalau ada metafor yang digunakan penyair untuk menyampaikan pesan itu, maka kutiplah metafor itu. Begitu pula dengan aforisma-aforisma yang digunakan oleh penyair; maka yang dikutip adalah aforisma (kata-kata yang subtil, yang memiliki makna yang dalam) itu. Demikian pula dengan dengan gaya bahasa personifikasi dan lain-lain. Kalau teori postkolonialisme yang diterapkan, maka gaya bahasa semacam ini hanya sebagai gimmick-nya saja, bukan substansi masalah.

Bagaimana melihat unsur yang paling dominan dalam puisi, sehingga tepat dalam memilih topik yang akan dikomentari?
Kalau puisi itu tidak ada judulnya, mungkin akan sulit puisi itu akan bicara tentang apa. Tapi, biasanya, judul puisi itu sangat membantu pembaca untuk menikmati dan memahami puisi itu. Judul puisi merupakan pintu gerbang untuk mencari dan menemukan makna puisi. Selain itu, pembaca juga berhak memberi makna puisi itu. Ingat, bahwa dalam teori postkolonialisme, tidak ada pembacaan yang netral. Penyair mengungkapkan fakta sesuai dengan perspektif dia. Pembaca pun bisa menafsir puisi itu dari perspektif pembaca. Misalnya, kalau penyairnya laki-laki, maka pembaca harus curiga apakah diksi atau kata-kata yang digunakannya itu mengukuhkan budaya patriarki atau meruntuhkannya. Biasanya, yang nadanya melecehkan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa penyairnya memang mengukuhkan budaya patriarki. Dan, pembaca (perempuan) yang menggunakan teori postcolonial maupun teori feminisme berhak untuk mengkritiknya.

***

Arsip. Bahan ceramah di Sekolah Pelita Harapan.

Senin, 05 Januari 2009

Pengajaran Puisi di Perguruan Tinggi: Sebuah Pengantar Singkat


oleh Asep Sambodja

Dalam Seminar Sastra dan Bahasa Indonesia yang diselenggarakan Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, 22-23 Januari 2007, Sapardi Djoko Damono mengatakan sebaiknya pengajaran sastra di sekolah, termasuk perguruan tinggi, tidak sekadar menempatkan sastra sebagai ilmu pengetahuan, namun juga sebagai karya seni. Hal ini mengimplikasikan seyogyanya karya sastra itu diposisikan sama seperti karya seni lainnya, seperti seni lukis, seni tari, seni musik, dan sebagainya.
Dengan demikian, banyak hal yang dapat dibicarakan, digali, diteliti secara lebih mendalam lagi terhadap sebuah karya sastra. Sastra dapat dipandang sebagai suatu hasil ekspresi seorang sastrawan dalam melihat, memandang, dan merasakan kenyataan sehari-hari. Dalam hal puisi, pembaca tidak saja melihat unsur-unsur puisi atau keindahan puisinya saja, melainkan menggali makna yang terkandung dalam puisi itu. Pesan penting apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya.
Sebelum berbicara bagaimana menganalisis sebuah puisi, ada baiknya kita tahu dulu data puisi yang kita miliki. Pengamat sastra Indonesia, A. Teeuw, dalam Kratz (1988), mengatakan bahwa setidaknya ada empat orang yang sangat berjasa terhadap dokumentasi dan perkembangan sastra Indonesia. Mereka adalah H.B. Jassin dengan PDS HB Jassin-nya, John M. Echols yang menyimpan karya sastra Indonesia di Cornell University, Claudine Salmon yang meneliti karya sastra peranakan Cina, dan E.U. Kratz.
Jasa Kratz yang sama-sama kita ketahui adalah menyusun Bibliografi Sastra Indonesia dalam Jurnal dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX . Buku yang pertama merupakan buku yang sangat penting, yang berguna bagi peneliti sastra untuk mengembangkan wilayah penelitiannya, sehingga karya sastra yang tercipta dalam kurun waktu 1922-1982 tidak menjadi fosil atau artefak tak bermakna. Buku yang kedua berisi pemikiran sastrawan Indonesia salam kurun waktu 1928-1995 mengenai sastra dan kebudayaan Indonesia. Kedua buku tersebut menjadi bahan baku bagi peneliti untuk melihat sejarah pemikiran bangsa Indonesia.
Dalam bibliografi yang disusun Kratz itu terkandung karya sastra dalam berbagai genre, yakni puisi, cerpen, novel, maupun drama. Dalam tulisan ini, pembicaraan difokuskan ke karya sastra bergenre puisi. Dari hasil pencatatan Kratz, ternyata ada 5.506 penyair Indonesia yang menulis puisi dalam kurun waktu 20 tahun, dan puisi yang dihasilkan sebanyak 26.615 puisi. Kalau ditambah puisi yang diciptakan dalam kurun 1982-2008, tentu jumlahnya sangat melimpah.
Dari data yang ada itu, kita bisa membaca bahwa ternyata dalam sejarah sastra Indonesia yang telah beredar dan digunakan di sekolah-sekolah sebagai materi pelajaran, banyak sekali karya sastra dan pengarang atau penyair Indonesia yang terpinggirkan, tersisihkan, dalam proses kanonisasi itu. Sejarah sastra kanon telah mendistorsi begitu banyak karya sastra Indonesia. Memang ada yang mengatakan ini merupakan proses seleksi yang tumbuh seiring perkembangan zaman. Tapi, nanti dulu, bagaimana cara penyeleksian itu? Apakah karena berdasarkan kualitas karya sastra atau berdasarkan ketersediaan karya? Apakah murni berdasarkan kualitas karya atau ada faktor politik di belakangnya?
Buku Kratz itu sekaligus meruntuhkan sastra kanon yang dibuat oleh Bakri Siregar, H.B. Jassin, dan Ajip Rosidi, serta beberapa penyusun buku sejarah sastra Indonesia ataupun penyusun antologi karya sastra yang bertendens sejarah yang muncul kemudian. Bahwa ternyata sesungguhnyalah jumlah penyair dan puisi Indonesia itu sangat berlimpah dan memerlukan penelitian yang sangat intens dan mendalam. Bukankah akhir-akhir ini kita juga sering dikejutkan dengan hasil kerja filolog yang menemukan dan “membaca” kembali naskah-naskah lama yang dulu tak terbaca atau sulit ditemukan? La Galigo adalah salah satu contoh penting.
Ajip Rosidi berupaya menyusun sebuah antologi sastra yang berwibawa dalam Laut Biru Langit Biru. Karena yang ditampung bukan hanya penyair, melainkan cerpenis, novelis, dan penulis naskah drama, akibatnya jumlah penyair dalam buku itu hanya segelintir saja. Ini merangsang Linus Suryadi Ag. yang mencoba membuat antologi puisi yang lebih komplit, yang dibukukan dalam Tonggak 1-4 (1987). Ternyata, upaya Linus itu mengalami kendala di tengah proses pembuatan buku tersebut. Setidaknya, ada tiga kendala utama yang dihadapi Linus, sehingga ia hanya bisa mengumpulkan 180 penyair dari ribuan penyair Indonesia. Pertama, faktor politik, karena buku Tonggak terbit di zaman Soeharto yang melarang penerbitan karya sastrawan Lekra, maka Linus tidak dapat menampung puisi-puisi karya sastrawan Lekra. Istilah Linus, sastrawan Lekra masih terkena “segel merah”. Kedua, faktor ekonomi; penerbit Gramedia tidak sanggup menerbitkan sebuah antologi puisi dalam ukuran tebal, karena itulah diambil jalan kompromi dengan hanya menerbitkan puisi karya 180 penyair. Ketiga, faktor penyair itu sendiri. Tidak semua penyair mau dan mengizinkan karyanya dibukukan dalam antologi Tonggak yang disusun Linus itu, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Ikranagara.
Pada 1995, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, dan Hamid Jabbar menerbitkan buku Ketika Kata Ketika Warna. Buku itu merupakan proyek dari pemerintah Soeharto untuk memperingati 50 tahun Indonesia merdeka. Tahun Emas Indonesia. Dalam buku luks itu, memang hanya ditampilkan 50 penyair yang merepresentasikan Indonesia, disertai 50 karya pelukis Indonesia. Soal jumlah memang tidak menjadi soal. Yang menjadi persoalan adalah kenapa Rendra dan Sitor Situmorang tidak masuk dalam antologi itu?
Rupanya, dalam antologi puisi lainnya, yang juga disunting oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan, Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi lagi-lagi nama Sitor Situmorang tidak masuk juga. Apa yang salah di situ? Apa kurangnya penyair Sitor Situmorang yang menurut A. Teeuw sebagai penyair terkuat setelah Chairil Anwar.
Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail dan DS Moeljanto menyusun buku Prahara Budaya, puisi dan tulisan Sitor Situmorang bertebaran di situ. Menurut saya, Taufiq Ismail tidak fair terhadap Sitor Situmorang, bahkan lebih ekstrem lagi, tidak fair terhadap sejarah. Puisi-puisi Sitor yang digunakan Taufiq dalam Prahara Budaya bukanlah puisi-puisi terbaiknya, melainkan puisi yang sangat verbal, puisi dengan pesan-pesan yang sangat transparan.
Pertanyaannya: kenapa ketika membuat buku Prahara Budaya yang memojokkan kelompok “kiri”, puisi-puisi Sitor Situmorang ditampilkan, sementara dalam buku Ketika Kata Ketika Warna dan Horison Sastra Indonesia tak satu pun puisi Sitor ditampilkan. Ada apa? Subjektivitas penyusun tampak jelas di sini. Bisa saja alasannya karena faktor like and dislike. Tapi, bisa juga karena masih ada “dendam” sejarah.
Kita dapat berargumentasi bahwa pembuatan antologi karya sastra, termasuk antologi puisi, merupakan hak prerogatif si editor atau penyunting. Ada unsur subjektivitas editor dalam pembuatan antologi itu. Tapi, kalau dasarnya subjektivitas, dan itu menjadi faktor yang sangat menentukan, maka antologi puisi itu sangat diragukan kredibilitasnya. Buku semacam itu sama saja dengan buku keluarga, silsilah raja-raja, yang tentu saja sangat eksklusif.
Saya memang salut dengan Taufiq Ismail dan kawan-kawan yang mengawali sejarah perpuisian Indonesia dengan sosok Hamzah Fansuri. Teeuw, dalam bukunya Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, juga menyebutkan Hamzah Fansuri sebagai penyair pemula Indonesia. Namun, setelah peristiwa 1965, kenapa tidak bisa lagi melihat suatu karya sastra secara objektif? Kenapa Sitor Situmorang dilenyapkan dalam sejarah sastra kanon Indonesia? Di mana pula penyair-penyair Lekra semacam Agam Wispi, H.R. Bandaharo, Klara Akustia, misalnya?
Tapi, saya pun tidak menganggap sastrawan Lekra itu suci atau bersih semuanya. Kita juga harus ingat bahwa ketika PKI dekat dengan kekuasaan, ketika sastrawan-sastrawan Lekra itu juga dekat dengan kekuasaan Presiden Soekarno, mereka juga menindas sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Buku-buku karya sastrawan Manikebu dilarang menyusul pelarangan Manikebu pada 8 Mei 1964. Bahkan buku-buku sastrawan Indonesia yang sedang mengajar di Malaysia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, M. Balfas, dan Idrus, juga dilarang. Karena, pada 1963-1965 ada ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia. PKI menekan Soekarno agar melakukan pengganyangan terhadap Malaysia, yang dituduh sebagai antek imperialisme di Asia Tenggara. Namun, upaya itu tidak didukung para jenderal saat itu. Hingga kita tahu bahwa pada peristiwa 1965 itu para jenderal yang membangkang Bung Karno—yang disebut sebagai Dewan Jenderal—itu menjadi korban pembantaian pasukan pengawal Presiden Soekarno, Cakrabirawa.
Ketika Soeharto naik, dan mengambil alih kekuasaan, “roda berputar”, kata Keith Foulcher. Dan “bandul pun berbalik” kata Ajip Rosidi. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang terbit dan beredar. Bahkan ada surat khusus dari Kepala Bakin (sekarang BIN, Badan Intelijen Negara) Yoga Sugama, yang memberi surat kepada penerbit-penerbit, termasuk penerbit Pustaka Jaya, penerbit besar yang banyak menerbitkan karya sastra saat itu, untuk menarik buku-buku karya sastrawan Lekra dari pasar, dan memusnahkannya. Begitu juga dengan karya-karya yang siap naik cetak.
Ketika Tonggak terbit, bisa dipastikan tidak ada seorang penyair pun dari Lekra. Padahal, Goenawan Mohamad, dalam Kurniawan (2006) menyebutkan setidaknya ada tiga penyair Lekra yang bagus, yakni Agam Wispi, Hr. Bandaharo, dan Amarzan Ismail Hamid. Ketiga penyair itu juga disebut-sebut dalam buku Prahara Budaya, namun dilihat dari perspektif seorang Taufiq Ismail. Namun, dalam konteks lain, ketika sebuah buku sejarah kanon diupayakan kelahirannya, ketiga nama itu tidak muncul atau bahkan tidak disebut. Rasanya agak aneh kalau tiga penyair itu tidak masuk dalam Horison Sastra Indonesia, mengingat buku itu terbit di era reformasi.
Hampir bersamaan dengan terbitnya Prahara Budaya, Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan dari Yayasan Ramon Magsaysay. Tapi, lagi-lagi, Taufiq Ismail membuat manuver politik dengan menghimpun sejumlah sastrawan (26 orang) untuk menandatangani pemberian penghargaan itu. Sebenarnya, apa urusannya pemberian penghargaan kepada Pram oleh Yayasan Magsaysay dengan Taufiq Ismail? Hubungan secara langsung tidak ada. Tapi, beberapa pengamat seperti Ariel Heryanto mengatakan Taufiq Ismail masih terbelenggu dengan masa lalu.
Menurut Arief Budiman, Taufiq Ismail juga mengajak K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) untuk menandatangani petesi itu, tapi Gus Mus langsung menolaknya. Karena, menurut Gus Mus, lebih mulia memaafkan Pram daripada menuntut penolakan pemberian penghargaan kepada Pram. Yang menarik, Arief Budiman dan Goenawan Mohamad yang dulu sejalan dengan Taufiq Ismail saat melahirkan Manikebu, dalam hal hadiah Magsaysay itu justru tidak sepakat dengan Taufiq dan Mochtar Lubis. Arief menyatakan sebaiknya kita tidak dendam kepada Pram, mengingat posisi Pram di masa Orde Baru dalam keadaan tertindas.
Polemik mengenai hadiah Magsaysay itu kemudian dibukukan AS Laksana dalam Polemik Hadiah Magsaysay. Dari polemik itu, kita juga bisa mengetahui sikap sastrawan dan budayawan muda Indonesia yang lebih maju, seperti yang ditunjukkan Ariel Heryanto dan Tommy F. Awuy, yang tidak mau terjebak dalam belenggu sejarah.
Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, pengamat sastra Indonesia Harry Aveling menerbitkan Rahasia Membutuhkan Kata. Buku ini berisi 24 penyair dengan 114 puisi. Perspektif yang digunakan Harry Aveling adalah perspektif politik yang menyoroti kekuasaan Soeharto (1966-1998). Dari buku ini pula kita bisa membaca bagaimana Taufiq Ismail tampil sebagai penyair yang tanggap terhadap masalah politik. Tanggapan dan perlawanan Taufiq Ismail itu bisa dibaca dalam Tirani dan Benteng serta Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dalam MAJOI itu, banyak hal yang ditanggapi Taufiq Ismail, termasuk protes kerasnya terhadap PBB yang tidak mampu menciptakan perdamaian dunia, serta tidak dapat menyelesaikan pertikaian secara adil, karena lebih condong ke kebijakan-kebijakan (policy) yang dikeluarkan negara-negara NATO, terutama Amerika Serikat.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang lebih radikal dan frontal justru dilakukan oleh penyair muda Wiji Thukul. Suara lantang yang dihasilkannya, “Hanya ada satu kata: Lawan!” mengakibatkan Wiji Thukul sering berurusan dengan aparat keamanan. Kenapa Wiji Thukul sering berurusan dengan polisi, dibandingkan dengan Rendra dan Taufiq Ismail yang juga kritis terhadap penguasa? Rendra dan Taufiq meskipun menyuarakan suara kaum tertindas, masih terasa ada jarak antara penyair dengan subjek (orang-orang tertindas) yang disuarakan dalam puisi-puisi mereka. Selain itu, puisi mereka cenderung menggunakan simbol-simbol dan metafor.
Hal ini sangat berbeda dengan Wiji Thukul yang menyuarakan dirinya sendiri sebagai bagian dari orang-orang yang tertindas itu. Pesannya disampaikan secara lugu dan apa adanya. Ia mengakui bahwa dalam menulis puisi, bukan keindahan yang menjadi targetnya, melainkan suara perlawanan, terutama menyuarakan suara orang-orang kecil. Hampir semua puisi Wiji Thukul bersuara seperti itu. Berbicara tentang diri sendiri. Dan ternyata hal ini secara tidak langsung menggoyahkan kekuasaan. Selain itu, Wiji Thukul juga bergerak dalam politik praktis dengan memimpin langsung aksi-aksi demonstrasi kaum buruh. Akibatnya, Wiji Thukul diculik dan dibunuh. Dugaan dari sahabat-sahabat Wiji Thukul, ia diculik oleh aparat keamanan. Peristiwanya terjadi setelah kasus penyerbuan Kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, di mana PRD (Partai Rakyat Demokratik) dijadikan kambing hitam dalam kasus 27 Juli 1996. Sementara Wiji Thukul sendiri aktif di Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker), yang merupakan underbouw PRD.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan, sebaiknya dalam penulisan buku sejarah sastra Indonesia, atau sebuah antologi karya sastra yang berpretensi kesejarahan, penyusun harus bertindak searif mungkin. Harus ada jarak antara penulis sejarah atau penyusun antologi dengan bahan kajian. Dalam politik, memang seringkali kita mendengar slogan “Sejarah hanya ditulis oleh mereka yang berkuasa.” Namun, setelah kekuasaan Soekarno jatuh, setelah kekuasaan Soeharto jatuh, dan kebebasan berada di depan mata, maka bersikap adil dalam menulis buku sejarah, termasuk sejarah sastra Indonesia, harus lebih diutamakan.
Dan yang bisa melakukan hal itu hanya kalangan akademisi maupun peneliti yang independen. Sebab, tanpa independensi, mustahil kita dapat menghasilkan sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang komprehensif. Semua dapat tempat, semua harus dicatat, kata Chairil Anwar dalam puisi “Catetan 1943”.
Bahan baku yang telah dihimpun Kratz, dan juga hasil temuan Claudine Salmon, dapat menjadi bahan kajian sejarah sastra yang sangat memikat. Bahwa ternyata sastra kanon telah menyingkirkan sekian ribu karya sastra lainnya, yang tidak diakui atau tidak dibaca penulis buku sejarah. Dan ini menjadi lahan yang terbuka bagi peneliti sastra. ***

Catatan Lama (Arsip), Januari 2007

Sabtu, 03 Januari 2009

Catatan untuk Asep S. Sambodja



oleh Medy Loekito

Puisi-puisi Asep S. Sambodja yang termuat dalam kumpulan sajak Menjelma Rahwana membawa saya pada kesimpulan bahwa Asep memiliki "kekuatan" lebih dalam mencipta puisi-puisi bernuansa humor. Ambil contoh puisi "Main-main Hidup Tak Main-main":

Rendra bilang,
Hidup memang berat
Gelap dan berat.

aku kasihan sama Rendra
kenapa dia memikul batu malam-malam?

Chairil bilang,
Aku mau hidup seribu tahun lagi

lalu kutengok kuburnya, di Karet
kasihan, penyair tak bisa
mewujudkan impiannya

Contoh lain, penggalan puisi "Sajak Malam Pertama":

ini seandainya kita jadi duduk berdua
di pelaminan semalaman
barangkali aku bisa tersenyum tanpa henti
barangkali kau menahan tangis tak habis-habis
-- kutahu karena kau ingin cepat-cepat ke ranjang

Kesan penyampaian melalui canda juga saya temukan dalam puisi "Tuhan, Sudahkah Kau Baca Koran Hari ini?". Dalam puisi ini Asep menuliskan antara lain:

Sudah, kusarankan padaMu
Berlangganan koran mulai hari ini
Barangkali ada yang lucu

Wartawan jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini berhasil memberikan nilai komunikatif yang tinggi melalui ungkapan humornya melalui puisi. Namun demikian, puisi-puisi Asep memiliki kelemahan imagery, tetapi kelemahan seperti ini memang umum terdapat pada puisi-puisi prosaik.

Di salah satu halaman, saya temukan puisi Asep yang bernada humor, tetapi memiliki filosofi yang dalam. Akan saya kutipkan puisi itu seutuhnya:

Aku Tahu Siapa Kau

hakikat manusia adalah kata

kalau kamu bilang: kerjakan!
berarti kau majikan
kalau kamu bilang: ya, tuan
berarti kau pelayan

kalau kamu bilang: palingkan!
berarti kau juragan
kalau aku bilang: Tidak
lalu kau mau apa

Perhatikan bagaimana Asep membaca keadaan manusia secara terbalik, yakni bahwa manusia bergantung pada kata, bukan menguasai kata. Di sini terbaca semacam pesan tersembunyi, hati-hatilah terhadap kata, atau hati-hatilah berbicara. Puisi yang sarat makna ini disusun Asep dalam bentuk semacam humor ringan, bahkan Asep sempat memperkuat nuansa humornya melalui dua kalimat terakhir. Puisi di atas juga memiliki ritme yang cukup stabil. Didukung dengan aplikasi anaphora, puisi ini menimbulkan nuansa musikal sederhana tetapi menarik.

Pada halaman 23, puisi berjudul "Pengembara" sangat menggelitik. Puisi sederhana ini mengekspresikan pernyataan cinta secara lembut, bukan emosi cinta yang vulgar menggebu ataupun emosi cinta penuh rayuan klise.

Dengan mudah pembaca dapat merasakan cinta sejati yang diberikan oleh sang "aku narasi" kepada seorang gadis yang dikaguminya, hingga gadis itu pun dipilihnya sebagai kawan dalam menapaki hari-hari kehidupannya.

..... ini bunga dari surga, pikirku
lalu gadis itu
kubawa pergi
mengembara

Kesederhanaan dan kelembutan yang sama terasa pada puisi "Puisi Kecil buat Ana". Puisi sedih ini tampil dengan tenang, tidak cengeng atau penuh ratapan klise.

Puisi berjudul "Kehidupan" yang terdiri dari tiga bait sebenarnya akan terasa lebih sempurna apabila terdiri dari dua bait pertama saja.

Kehidupan

angin berderai
membawa sebutir debu
jatuh di bawah pohon talas
di kebun pak tani
dia berucap
terima kasih, Tuhan

setetes air bening
bergulir di daun talas
jatuh di rumput hijau
dan terbangun
aku berucap
terima kasih, Tuhan

kicauan burung-burung
dan seruling anak gembala
saling beriringan
menyanyikan lagi tentang
kehidupan

Bait pertama dan kedua dari puisi ini memiliki ritme senada dan telah berhasil menyampaikan "kehidupan" itu sendiri, yang terlukis melalui interaksi antar berbagai elemen kehidupan, seperti angin, debu, pohon talas, rumput, serta Tuhan. Bait ketiga yang tampaknya dibuat untuk menegaskan misi bait pertama dan kedua, malah menjadikan puisi ini mentah. Dalam hal seperti ini, kadang diperlukan naluri kepenyairan untuk memutuskan kapan sebuah puisi harus diakhiri.

Memaknai sebuah puisi memang individual. Demikianlah tulisan ini, merupakan pendapat saya pribadi. Terimakasih saya sampaikan kepada Asep S. Sambodja yang telah memberi saya kesempatan "belajar" dari puisi-puisinya. ***

---------------------
* Medy Loekito, penyair, mantan ketua Yayasan Multimedia Sastra.