Sabtu, 25 Oktober 2008

Menafsir Puisi-puisi DN Aidit



oleh Asep Sambodja

“Tukang pidato adalah seniman,” kata Njoto alias Iramani, menerjemahkan pernyataan Multatuli, “Ook de redenner is een kunstenaar.” Paling tidak, DN Aidit yang dikenal dunia internasional sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) itu juga menulis puisi.
Ada sembilan puisi DN Aidit yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, yang terbit pada bulan September 2008. Sebenarnya jumlah puisi Aidit lebih banyak dari itu, hanya saja ada puisi-puisi Aidit yang tidak lolos dari redaksi Harian Rakyat Minggu, Amarzan Ismail Hamid, yang kini menjadi redaktur senior Tempo dengan nama Amarzan Loebis.
Dari kesembilan puisi itu, ada satu puisi yang sepertinya tidak utuh karena kertas Koran Harian Rakyat itu sudah dimakan rayap, yakni puisi yang berjudul “Jauhilah Imperialis AS”, yang ditulis pada 20 Juli 1965. Meskipun demikian, pesan yang ingin disampaikan Aidit melalui puisi itu jelas tertangkap, yakni meminta Amerika Serikat menghentikan agresinya di Vietnam.
Kedelapan puisi Aidit yang lainnya adalah “Hanya Inilah Jalannya”, “Sekarang Ia Sudah Dewasa”, “Yang Mati Hidup Kembali”, “Kidung Dobrak Salahurus”, “Sepeda Butut”, “Untukmu Pahlawan Tani”, “Tugas Partai”, dan “Ziarah ke Makam Usani”.
Dari judulnya saja sudah cukup terbaca dengan terang-benderang pesan apa yang hendak disampaikan oleh penyair DN Aidit ini. Memang, kebijakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan redaksi Harian Rakyat tidak mengharamkan puisi pamflet. Justru yang dihindari itu adalah puisi-puisi yang dinilai dekaden, klangenan, dan kosong melompong. Konsep seni Lekra adalah 1-5-1, dalam arti “Politik adalah panglima”, “5 kombinasi”, dan “Turun ke bawah”.
Yang dimaksud 5 kombinasi di sini adalah: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan massa, (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner.
Dengan kata lain, kelima kombinasi itu menjadi dasar dalam kerja kreatif seniman Lekra dengan payung “politik adalah panglima”. Dan, itu hanya bisa diwujudkan kalau senimannya itu langsung turun ke bawah, langsung merasakan denyut nadi rakyatnya, baik nelayan, petani, buruh, prajurit, pegawai, atau katakanlah kaum wong cilik.
Nah, konsep seperti itulah yang terbaca dalam puisi-puisi DN Aidit ini. Ia, misalnya, langsung bersimpati pada orang-orang kecil yang mati memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani” Aidit menuliskan /kutundukkan kepala/ untukmu pahlawan/ pahlawan tani boyolali. Jelas, bahwa yang dikatakan Aidit dalam puisinya itu memiliki konteks, yakni peristiwa penembakan petani yang terjadi pada 18 November 1964, yang menewaskan tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo.

Peristiwa penembakan petani itu cukup terekspos secara nasional, sehingga yang merespons peristiwa itu melalui puisi bukan hanya DN Aidit. Penyair lainnya yang juga menulis puisi dengan konteks yang sama adalah Sitor Situmorang, yang menulis "Pesan 3 Petani Boyolali", Budi Santosa Djajadisastra yang menulis "Ketahon--Suatu Titik Balik", dan Amarzan Ismail Hamid yang menulis "Boyolali". Amarzan tidak hanya menulis puisi mengenai hal ini. Dalam buku Laporan Dari Bawah:Sehimpunan Cerita Pendek Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 (yang juga disusun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Amarzan juga menulis cerpen dengan judul yang sama, "Boyolali". Bahwa ketiga petani itu mati karena memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagi hasil yang sama antara petani dengan pemilik tanah ('tuan tanah') Wirjowiredjo, yakni 1:1 sesuau UU Pokok Agraria. Sayang, ketiga petani itu ditembak mati.
Demikian pula dalam puisi “Ziarah ke Makam Usani”, Aidit menulis /semua kawan tunduk berdiri/ duka cita menyayat hati/ airmata mengalir, butir demi butir/ dan semua berjanji/ akan nyalakan api juang usani …usani pergi, api juangnya nyala abadi/ PKI mekar harum mewangi. Sekali lagi, konteksnya jelas, yakni Usani, seorang perempuan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, tapi di mata seorang ketua partai politik terbesar keempat di Indonesia diberi penghargaan yang demikian terhormat. Aidit menyebutnya, “Wanita pejuang komunis, pembela setia buruh dan tani, yang mati dalam pengabdiannya sebagai proletariat sejati.”
Dalam puisi “Ziarah ke Makam Usani” ini, Aidit juga memasukkan ideologinya atau ideologi partainya, yakni “Mengganyang si lima jahat”. Kelima “lawan” yang dianggap “jahat” itu adalah (1) “Malaysia”, (2) kabir, (3) 7 setan desa, (4), imperialis AS, (5) Revisionis.
Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 mengeluarkan kebijakan mengenai Dwikora, yang terdiri dari: pertama, “Ganyang Malaysia”, yang dianggap sebagai negara bentukan neokolonialis Inggris, dan kedua, membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Kebijakan ini ditafsir Aidit sebagai lawan yang harus dihadapi, terutama untuk pembentukan negara federasi Malaysia.
Kabir atau Kapbir adalah akronim dari Kapitalis Birokrat, yakni para purnawirawan militer yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan negara, sehingga mengakibatkan mismanagement yang akrab dikenal dengan “salah urus”. Bisa dibayangkan jika Aidit jadi presiden seandainya menang dalam pemilihan umum, maka para purnawirawan militer itu akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan. Makanya, dengan menjadikan kabir sebagai musuh, Aidit dan PKI pun berhadapan dengan militer, terutama Angkatan Darat.
Tujuh setan desa juga dimaksudkan Aidit dan PKI untuk memudahkan warga desa mewaspadai musuh-musuhnya. Ketujuh setan desa yang dimaksud adalah (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa. Untuk poin nomor 6, tentu saja menyebabkan massa PKI di desa berhadapan dengan massa Islam, karena membayar zakat itu merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, sama halnya dengan melakukan ibadah sholat atau puasa, serta naik haji bagi yang kaya. Dibandingkan seruan menyerang 3 setan kota, seruan mengganyang 7 setan desa ini lebih bergemuruh di bawah. Dampaknya adalah terjadi konflik horisontal di level akar rumput, mirip dengan konflik di Ambon dan Sambas.
Dengan menempatkan imperialis AS sebagai musuh, meskipun hingga kini kita masih melihat “kreativitas” Amerika di Afghanistan dan Irak, sudah pasti PKI berhadapan dengan Amerika, lengkap dengan mata-matanya. Kalau dalam penelitian Asvi Warman Adam mengenai peristiwa G 30 S 1965 disebutkan adanya keterlibatan CIA, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Demikian pula dengan menempatkan kaum Revisionis, kalangan yang tidak sejalan dengan paham Revolusi belum selesai, sebagai musuh, maka Aidit dan PKI serta merta membuat jurang pemisah yang semakin dalam.
Dari puisi “Ziarah ke Makam Usani” itu pula Aidit memperlihatkan bahwa api juang Usani, semangat Usani dan kaum proletar lainnya, bahkan semangat partai komunis demikian tumbuh bergelora. Semangat seperti inilah yang membuat hidup lebih hidup, membuat hidup penuh taste, sama sekali tidak menciptakan generasi yang enjoy aja.
Hanya saja, kita tahu, bahwa kita tidak hidup di lingkungan yang homogen. Meminjam kata-kata Utuj Tatang Sontani, “sayang ada orang lain”. Dan lagi, pengaruh globalisasi juga bisa terasa sampai di dapur dan tempat tidur kita. Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet terasa juga sampai di Jakarta, sampai ke Lubang Buaya, sampai pula pada pembunuhan massal orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kenapa di Jawa Barat, yang notabene berjarak paling dekat dengan Lubang Buaya, tidak ada pembantaian massal terhadap orang-orang PKI? Dari penelitian Ben Anderson terbaca bahwa Pangdam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie, tidak mengizinkan RPKAD beroperasi di wilayahnya. Siapa yang menggerakkan RPKAD saat itu? Siapa yang berani bertanggung jawab?
Aidit pun mati. Ia menjadi salah satu target yang diburu. Ia diburu seperti Amerika memburu Osama bin Ladin. Osama, bukan Obama. Meskipun Aidit mati, karyanya akan tetap abadi. Karyanya akan terus dibaca. Karena, di balik karyanya, sesungguhnya Aidit ingin bicara banyak. Tukang pidato yang ingin jadi penyair itu boleh saja dihilangkan, tapi pesan yang ingin disampaikan masih terpelihara hingga kini.
Berikut saya kutipkan sebuah sajak lengkap Aidit, “Kidung Dobrak Salahurus”, yang tetap memperlihatkan garis ideologi dan keyakinan politiknya yang demikian kental.

Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita

Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki

Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia

Cipanas, 13 Januari 1963


Apa yang ditulis penyair Aidit di atas tidak jauh beda dengan apa yang diucapkan para calon presiden Indonesia sekarang ini. Baik yang kita baca di media massa atau yang kita tonton di iklan televisi. Jadi, sama saja. Siapa pun ketua partai politiknya, siapa pun yang ingin menjadi penguasa, suaranya akan sama seperti itu. Inilah puisi pamflet. Dan itu sah saja, meskipun bukan satu-satunya. ***

Jumat, 24 Oktober 2008

Merekonstruksi Sejarah Sastra Indonesia



oleh Asep Sambodja

Setiap kali membaca buku sejarah sastra Indonesia, baik tulisan A. Teeuw maupun Ajip Rosidi, terasa ada yang hilang, yakni sastrawan besar seperti Hamzah Fansuri dan Raden Ngabehi Ronggowarsito. Belum lagi kita menyinggung pengarang besar Mpu Kanwa yang menulis dalam bahasa Kawi Arjunawiwaha pada zaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan 12), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sanusi Pane pada 1948. Atau karya besar Mpu Prapanca yang dibuat pada zaman Majapahit, tepatnya tahun 1365 (abad ke-14), Nagarakrtagama, yang dinilai sangat penting karena menguraikan riwayat Singhasari dan Majapahit dari sumber-sumber pertama, yang menurut arkeolog Soekmono, ternyata sesuai dengan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Ada mata rantai yang terputus ketika para pengamat sastra Indonesia seperti A. Teeuw, Ajip Rosidi, dan Umar Junus membuat titik awal kelahiran sastra Indonesia. Tampak bahwa ketiganya menggunakan tolok ukur ‘kesadaran kebangsaan’ (istilah Ajip Rosidi) dan ‘bersifat nasional’ (istilah Umar Junus) yang merupakan kriteria di luar wilayah sastra untuk dijadikan acuan dimulainya sejarah sastra Indonesia. Mereka tidak mempertimbangkan dan bahkan cenderung menafikan embrio yang melahirkan sastra Indonesia.
Ketika sekarang bangsa Indonesia mengakui candi Borobudur yang didirikan pada abad ke-8 di zaman dinasti Syailendra sebagai anasir sejarah nasional Indonesia, kenapa karya-karya sastra pujangga-pujangga lama kita tidak diakui dalam sejarah sastra Indonesia?
Dalam hal ini persoalan bahasa sebagai media sastra bisa menimbulkan perdebatan. Mpu Kanwa, Mpu Prapanca, Hamzah Fansuri, Teungku Chik Pantee Kulu, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Haji Hasan Mustapa, Raja Ali Haji, Nuruddin Alraniry, dan sejumlah pujangga lainnya masing-masing menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa ibunya. Apabila pengarang-pengarang yang berdomisili di dalam wilayah Indonesia itu telah meninggal bersama bahasa ibu yang mereka gunakan, maka seyogyanya kita tidak begitu saja menafikan hasil karya mereka sebagai bagian dalam khasanah sastra Indonesia. Sama halnya dengan pengarang modern yang menulis dengan menggunakan bahasa ibunya, seperti Ajip Rosidi yang menggunakan bahasa Sunda dalam Jante Arkidam (1967) dan beberapa karya terbarunya.

Sifat Nasional

Dalam tulisannya “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’” Umar Junus mengatakan, sastra ada setelah bahasa ada. Premis yang dimuat dalam Medan Ilmu Pengetahuan Juli 1960 itu bermakna sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada, yakni sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (lihat pula Sejarah Sastra Indonesia Abad XX E. Ulrich Kratz, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, yang mengawali sejarah pemikiran sastra Indonesia modern pada hasil putusan kongres pemuda-pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928).
Umar Junus tidak memasukkan karya-karya sastra yang terbit sebelum Sumpah Pemuda seperti Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (Nur Sutan Iskandar, 1922), Muda Teruna (Muhammad Kasim, 1922), Tanah Air (Muhammad Yamin, 1922), Bebasari (Rustam Effendi, 1926), Pertemuan (Abas Dt. Pamoentjak, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), dan Puspa Mega (Sanusi Pane, 1927) ke dalam golongan hasil sastra Indonesia, melainkan hanya menganggapnya sebagai hasil sastra Melayu baru atau modern.
Alasan yang dikemukakan Umar Junus, karya-karya itu bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu. Melihat tolok ukur Umar Junus yang menetapkan awal kelahiran sastra Indonesia pada 1928 dan bersifat nasional, sedikitnya ada tiga titik kelemahan yang melekat padanya.
Pertama, Umar Junus menafikan unsur pengarang dan lebih menitikberatkan pada bahasanya. Padahal, tanpa pengarang, sastra tidak ada, dan pengarang bisa menggunakan bahasa apa saja dalam menghasilkan karya sastra, tidak harus dengan bahasa Indonesia.
Kedua, dengan menyebutkan sastra Indonesia bermula sejak 28 Oktober 1928, premis tersebut gugur dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Adinegoro, Muhammad Kasim, Nur Sutan Iskandar, Abas Dt. Pamoentjak, Merari Siregar, dan Marah Rusli telah menulis jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, serta tidak ada yang menyangsikan ataupun meragukan bahwa nama-nama tersebut merupakan sastrawan Indonesia tulen (lihat dua buku sederhana Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, Kompas, 2001, dan Bibliografi Sastra Indonesia, IndonesiaTera, 2001).
Belum lagi kalau kita bersikap jujur terhadap karya-karya sastra yang dihasilkan sastrawan-sastrawan peranakan Tionghoa, seperti Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roes dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Bintang Toedjoeh (1886) karya Tjhit Liap Seng, dan Siti Akbari (1884) karya Lie Kim Hok, yang menurut Monique Zaini-Lajoubert merupakan penjelmaan dari Syair Abdul Muluk (1847) karya Zaleha, adik Raja Ali Haji.
Contoh lainnya adalah Istri jang Dibeli (1922) dan Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng, penulis produktif pada zamannya. Ada pula Tjoema Boet Satoe (1927) karya Ong Ping Lok, Boekoe Tjerita Resianja Goela-goela (1912) karya Tan Boen Kim, Soepardi dan Soendari (1925) karya Tan Hong Boen, Nona Tjoe Joe (1922) karya Tio Ie Soei, Satoe Djodo Jang Terhalang (1917) dan The Loan Eng (1922) karya Tjoe Bou San, mantan Pemimpin Redaksi Sin Po.
Ketiga, “sifat nasional” dalam karya sastra yang sangat diagung-agungkan Umar Junus, yang kini menetap dan mengajar di Malaysia, justru menjadi bumerang yang dapat mengukung kebebasan berekspresi sastrawan. Karena sastrawan memiliki kebebasan untuk mengekspresikan apa saja. Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Pramudya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Iwan Simatupang, Yanusa Nugroho, atau Budi Darma dalam menghasilkan karya sastra tidak selalu dan tidak harus memaksakan diri untuk selalu “bersifat nasional”.
Apakah Olenka Budi Darma “bersifat nasional”? Bagaimana pula dengan Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag., Sri Sumarah dan Bawuk Umar Kayam, dan Godlob Danarto? Saya yakin sastrawan besar tidak akan mau, bahkan tidak sudi, terkungkung dengan atau oleh batasan apa pun, termasuk di dalamnya kungkungan berupa “sifat nasional” yang digagas Umar Junus dan “kesadaran kebangsaan” yang digagas Ajip Rosidi.
Ketika R. Ng. Ronggowarsito menulis sajak “Zaman Edan”, yang merupakan fragmen dari Serat Kalatida (terbit pada tahun 1820-an) yang membuatnya masyhur sampai sekarang adalah lebih karena berisi pikiran-pikiran falsafah tentang perkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata: “Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliran wekasanipun, dilalah kersaning Allah. Begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.” Bukan karena pretensi apa pun.
Karya ini sudah diterjemahkan oleh sedikitnya tiga orang, yakni Slamet Sukirnanto dalam Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995), Ahmad Norma dalam Zaman Edan (Bentang, 1998), dan Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita (Balai Pustaka, 1991). Adapun terjemahan versi Kamajaya adalah, “Mengalami zaman edan, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tak tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang sadar dan waspada.”

Kesadaran Kebangsaan

Konsep yang menyebutkan sastra Indonesia harus ‘bersifat nasional’ dan ‘berkesadaran kebangsaan’ telah membuat pemikiran kita mandek dalam merekonstruksi sejarah sastra Indonesia.
Hampir senada dengan Umar Junus, Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964) menyatakan, sastra Indonesia lahir pada 1922. Tapi, menurut Ajip, bukan karena Azab dan Sengasara dan Siti Nurbaya lahir, melainkan karena pemuda-pemuda Indonesia seperti Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, dan Sanusi Pane mengumumkan sajak-sajak yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra.
Puisi-puisi lirik bertema cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah, kata Ajip Rosidi, tidak kita jumpai dalam khasanah sastra Melayu. Ajip Rosidi menetapkan tahun 1922 sebagai tahun kelahiran sastra Indonesia karena bertepatan dengan terbitnya kumpulan sajak Tanah Air karya Muhammad Yamin.
Ajip Rosidi menambahkan, Azab Sengsara dan Siti Nurbaya tidak sesuai dengan “sifat nasional” karena yang menerbitkan kedua buku tersebut adalah Balai Pustaka (saat itu) yang menjadi organ kolonial Belanda.
Meskipun Ajip Rosidi memajukan sedikit tahun kelahiran sastra Indonesia dari angka tahun yang disebutkan Umar Junus, alasan yang dijadikan tolok ukur kelahiran sastra Indonesia juga tidak kuat. Jika “kesadaran kebangsaan” dijadikan ukuran, bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak menghiraukan “kesadaran kebangsaan”, apakah tidak dianggap sebagai anak kandung sastra Indonesia?
Pada perkembangannya, memang ada yang setia pada tema kebangsaan sebagaimana yang diingini Ajip Rosidi, tapi lebih banyak yang mengangkat tema kemanusiaan, keterasingan individu, seperti dalam novel Iwan Simatupang, dan mengangkat masalah keagamaan, seperti yang terbaca dalam karya-karya Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, dan A. Mustofa Bisri, meskipun dalam beberapa karyanya ada juga yang mengangkat realitas bangsanya.
Lantas mengenai penafian Siti Nurbaya dan Azab dan Sengsara yang hanya gara-gara diterbitkan oleh penerbit organ kolonial Belanda, itu merupakan pandangan yang sempit (gegabah). Sebab, hampir semua karya sastra Indonesia ‘modern’ yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan (1945) diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang disebut Ajip Rosidi sebagai organ kolonial itu.
Selain menerbitkan kedua buku di atas, Balai Pustaka juga menerbitkan Salah Asuhan (Abdul Muis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Kasih Tak Terlerai (Suman Hasibuan), Dian yang Tak Kunjung Padam dan Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Kalau Tak Untung (Selasih), Ni Rawit Ceti Penjual Orang dan Sukreni Gadis Bali (A.A. Panji Tisna), Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), serta Andang Teruna (Sutomo Djuhar Arifin).
Rasanya sulit bagi Ajip Rosidi untuk tidak menerima karya sastra Indonesia yang diterbitkan oleh ‘organ kolonial’ itu dalam khasanah sastra Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas, maka gugurlah konsep kelahiran sastra Indonesia yang dikemukakan Umar Junus dan Ajip Rosidi.

Inovatif

Kritikus sastra Indonesia A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980) mengatakan, sastra Indonesia lahir pada 1920. Kita tahu bahwa pada 1920 belum ada Sumpah Pemuda (1928) dan belum pula Indonesia diproklamasikan (1945). Dengan demikian, belum ada konsep tentang Indonesia, meski sudah dipolemikkan pada 1930-an oleh Sutan Takdir Alisjahbana di satu sisi dan Sanusi Pane di sisi lain.
A. Teeuw menyebutkan, pada ketika itulah (1920) para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional. Mereka mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua (lihat Sastra Baru Indonesia I, halaman 25). Benarkah demikian?
Jauh sebelum 1920, tepatnya 1637, sastrawan besar Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Pasai al Sumatrani, telah menghasilkan karya sastra yang “menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dari perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional”. Pada 1637, karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang terbit di Aceh dilarang dan dimusnahkan atas perintah Raja Aceh, Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan fatwa ulama istana Aceh, Nuruddin Al Raniri, yang menyatakan ajaran tasawuf aliran wujudiyah yang terkandung dalam karya Hamzah Fansuri sebagai ajaran atau aliran sesat.
Dalam buku yang sama, A. Teeuw juga menyebutkan, kenapa sastra Indonesia lahir pada 1920, karena pada tahun-tahun itu para pemuda menulis puisi baru Indonesia. “Dan karena dilarang di bidang politik (oleh kolonial Belanda), mereka mencoba mencari jalan keluar berbentuk sastra bagi pemikiran, perasaan, emosi, dan cita-cita baru yang mulai mengalir dalam diri mereka,” tulis Teeuw.
Dalam bukunya yang lain, Indonesia: antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994: 44-73), terutama dalam tulisan bertajuk “Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia”, Teeuw mengakui adanya tiga corak pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.
Pertama, individualitas: puisi-puisinya tidak anonim. Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya dengan syair. Ketiga, penggunaan bahasa yang sangat kreatif. Penemuan A. Teeuw tersebut melemahkan sekaligus meruntuhkan premisnya sendiri, yang menyebutkan sastra Indonesia lahir 1920 dan mengakui Hamzah Fansuri sebagai pemula (pelopor) puisi Indonesia.
Kepenyairan Hamzah Fansuri juga menarik penelitian lebih mendalam. Seorang penyair sufi asal Madura, Abdul Hadi W.M., dalam bukunya Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Bandung, Mizan: 1995) mengungkapkan bahwa di bidang sastra, Hamzah Fansuri memelopori penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad 17-18 kebanyakan berada di bawah baying-bayang kejeniusan dan kepiawaian Hamzah Fansuri.
Abdul Hadi juga mengakui, Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a. Selain itu, Hamzah Fansuri dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang diasaskan dalam sastra Indonesia dan Melayu yang masih kelihatan sampai abad ke-20, khususnya di dalam karya penyair Pujangga Baru, seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Dari penjelasan singkat di atas, sudah waktunya dilakukan rekonstruksi sejarah sastra Indonesia. Bukan hanya perlu, tapi menjadi satu kewajiban yang harus segera diwujudkan. Kriteria ‘bersifat nasional’ dan ‘kesadaran kebangsaan’ yang dibuat Umar Junus dan Ajip Rosidi, yang menggunakan tataran nilai di luar wilayah sastra, memiliki banyak kelemahan dan sama sekali tidak mencerahkan. Sebaliknya, mereka memasung pemikiran kita dengan pandangan yang membelenggu.
Kriteria yang digunakan A. Teeuw justru dapat diterima, karena menggunakan ukuran-ukuran yang lazim dalam dunia sastra, yakni bentuk-bentuk sastra yang berbeda dengan bentuk sastra yang sudah ada, serta adanya kebaruan dalam karya sastra yang diciptakan. Hanya saja, ketika Teeuw menjatuhkan vonis bahwa awal kelahiran sastra Indonesia pada 1920, kita jadi mempertanyakan dan meragukannya: benarkah demikian? Temuan-temuan Teeuw dan Abdul Hadi menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri (yang lahir jauh sebelum 1920) sangat layak disebut sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia.
Tapi, persoalan sejarah sastra Indonesia bukan persoalan siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri, tapi lebih diutamakan pada kejujuran para peneliti sastra Indonesia itu sendiri. Kenapa kita dengan mudah mengakui tari Saman, candi Borobudur, candi Prambanan, dan patung Asmat sebagai anasir sejarah kebudayaan Indonesia, sementara kita menutup mata pada Hang Tuah, Serat Centhini, La Galigo, Gatholoco, Babad Tanah Jawi, Nagarakrtagama, Arjunawiwaha, Serat Kalatida, Jaka Lodhang, Wulang Reh, Suluk Seh Siti Jenar, Suluk Seh Ngabdul Salam, Panitisastra, Babad Jaka Tingkir, Cemporet, dan sebagainya sebagai bagian dari khasanah sastra Indonesia?
La Galigo, misalnya, yang baru dikodifikasi dan dikumpulkan dari para penutur lisan di akhir abad ke-19, diyakini merupakan karya sastra terpanjang di dunia. Tak kurang dari 300.000 stanza terdapat dalam buku tersebut. Bandingkan dengan Mahabarata yang panjangnya hanya 100.000 stanza saja. Karya itu begitu indah bila dibaca dalam tulisan aslinya yang berbahasa Bugis Kuno, dengan menggunakan aksara lontarak. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam dua jilid, masing-masing lebih dari seribu halaman.
Jika sejarah Indonesia mengakui bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh sembilan wali (walisongo), kenapa kita tidak jujur mengakui bahwa beberapa tahun kemudian muncul Suluk Seh Siti Jenar? Buku Suluk Seh Siti Jenar yang terbit pada abad ke-18 telah dilarang raja dan sudah dimusnahkan, karena dinilai mengandung ajaran sesat. Padahal, buku yang meng-counter hal itu pun sudah ada: Suluk Seh Ngabdul Salam. Pantaskah melihat sastra hanya dengan kacamata politik? Kenapa bangunan Borobudur bisa dilestarikan, sementara Arjunawiwaha tidak?
Apakah kita masih memegang teguh mitos “nenek moyangku seorang pelaut”? Kenapa kita menutup mata pada nenek moyang bangsa Indonesia yang bernama Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Mpu Kanwa, dan deretan panjang nama-nama pujangga besar yang sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Leiden, Belanda? Apakah kita tidak merasa ‘dirampok’, ketika kolonial Belanda memboyong berton-ton karya sastra Indonesia lama, cikal bakal sastra Indonesia modern?
Terlepas dari hal itu, kita wajib belajar dari sejarah sastra Prancis yang sudah berjalan berabad-abad, sejak abad pertengahan (Moyen Age, abad ke-11) hingga Alain Robbe-Grillet (abad ke-20). Pada abad pertengahan di Prancis itu penulisan sejarah sastra Prancis juga dimulai dengan kehidupan di sekitar raja-raja. Persis ketika sastra Indonesia masih bersifat istanasentris.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya perjalanan sejarah sastra Indonesia pun sudah berabad-abad. Hanya saja, kita tidak pernah jujur dan tidak menghargai kerja nenek moyang kita yang berprofesi pujangga, bukan pelaut. Bangunan pemikiran para mpu atau katakanlah juru tulis kerajaan tampaknya tertutup kabut ketidakjujuran kita sendiri. ***

Kamis, 23 Oktober 2008

Kumpulan Cerpen China Moon: Paradoks Indonesia



oleh Asep Sambodja

Dalam sebuah acara peluncuran buku China Moon di Hotel Alila, Jakarta Pusat, belum lama ini, pimpinan Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Rusdy Rukmarata mengatakan, sampai saat ini identitas keturunan Tionghoa di Indonesia masih belum jelas. Warga Tionghoa atau China masih dianggap sebagai bagian dari “mereka”, dan belum dianggap sebagai “kami” atau setidak-tidaknya “kita” sebagai warga Indonesia yang sah. Karenanya, masih menurut Rusdy, EKI atau setidak-tidaknya dirinya sendiri terus melakukan pencarian jatidiri, dengan perasaan marah yang menggumpal di dada. Sehingga, ketika ada unsur dari luar, katakanlah dari Barat, seperti gaya penyanyi Eminem yang masuk ke Indonesia dan dianggap sebagai sesuatu yang berbeda, maka warga keturunan Tionghoa merasa terwakili dengan kehadiran “budaya” baru seperti itu.
Jauh sebelum itu, dalam diskusi bertajuk “Ada Apa dengan Cina?” di sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, muncul suatu pemikiran dari psikolog Universitas Indonesia, Myra Sidharta, bahwa sebenarnya yang terjadi dalam diri warga keturunan Tionghoa di Indonesia bukanlah pencarian identitas kelompok, melainkan pencarian identitas diri yang memang tidak akan pernah usai.
Terkait dengan kumpulan cerpen kedua yang diterbitkan EKI setelah Gallery of Kisses, yakni China Moon, Sujiwo Tejo sebagai editor sekaligus pemberi kata pengantar buku pink ini mengatakan, “Lho, bukankah siapa pun kalau diberi angin juga berpotensi menjelma ular culas?”
Pernyataan Tejo seperti itu pun langsung mendapat sanggahan dari Richard Oh, yang cerpennya berjudul "Mantau and The Invisible Kid" (masih asli dalam bahasa Inggris, dan belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana delapan cerpenis Indonesia lainnya yang menulis dalam bahasa Indonesia dalam China Moon, mungkin kelak bahasa Inggris akan menjadi bahasa nasional kedua di Indonesia? Siapa tahu, AS) juga terdapat dalam buku tersebut, mengatakan bahwa tidak selalu orang yang diberi angin akan menjadi ular culas.
Persoalannya bukan menjadi ular culas atau tidak, melainkan semuanya terpulang kembali pada pribadi masing-masing. Dan menegaskan adanya identitas kelompok di tengah-tengah lingkungan sosial bukanlah tanpa bahaya. Seorang preman yang membunuh seorang warga sipil di Sambas, Kalimantan Barat, bisa melebar menjadi perang antarsuku manakala masyarakat sekitar (bisa juga berkat ulah media massa dan politikus) mengaitkan preman dan warga sipil itu dengan latar belakang sukunya. Demikian pula kasus pembunuhan yang dilakukan seorang preman terhadap seorang sopir di Ambon, bisa menjelma perang antaragama manakala masyarakat sekitar (dan media massa serta politikus) mengait-ngaitkannya dengan latar belakang agamanya.
Berkaca pada kasus di atas, saya cenderung menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Myra Sidharta, bahwa kegelisahan kaum keturunan Tionghoa di Indonesia lebih didorong oleh pencarian identitas pribadi atau jatidiri. Jangan dikira orang Jawa atau suku-suku lainnya tidak memiliki kegelisahan yang sama, dalam wujud yang berbeda tentunya. Orang Jawa, misalnya, banyak yang merasa terwakili dengan sosok Werkudara atau Bima dalam cerita-cerita wayang, terutama dalam kisah Dewa Ruci.
Terkait dengan buku China Moon, yang menurut saya mutu sastranya tidak kalah dengan mutu sastra cerpen-cerpen yang muncul di majalah Horison, Prosa, Kalam, ataupun yang muncul di media cetak di Indonesia, bahkan yang kemudian dibukukan dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun sekian. Alasan yang paling sederhana adalah karena penulis-penulis cerpen dalam China Moon adalah cerpenis yang itu-itu juga, yang juga sering mengirimkan cerpen-cerpennya ke berbagai media cetak atau bahkan telah membukukan cerpen-cerpennya sendiri.
Nama-nama seperti Putu Wijaya, Yanusa Nugroho, Veven Sp. Wardhana, Sapardi Djoko Damono, Tommy F. Awuy, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Reda Linda Gaudiamo, dan Richard Oh sudah tidak asing dalam dunia “selebritis” sastra Indonesia. Dengan catatan, karya-karya ini mau tidak mau bisa diklaim sebagai karya pesanan, sesuai dengan permintaan penerbit EKI, sama halnya dengan karya-karya hasil seleksi suatu sayembara dengan topik tertentu. Bedanya, cerpen-cerpen dalam China Moon memang dipersiapkan untuk melengkapi atau berjalin-berkelindan dengan pertunjukan yang digarap EKI. Tentu saja hal ini sah-sah saja, sama sahnya dengan van Gogh yang mengiris kupingnya sebelum melukis potret diri. Sama sahnya pula dengan Picasso yang selalu mengatakan lukisan terbaik dari semua lukisannya adalah lukisan yang akan dibuatnya beberapa saat lagi.
Dalam cerpen Putu Wijaya, “Nio”, Indonesia yang digambarkan adalah sebuah monster yang sangat mengerikan, mungkin sama mengerikannya dengan Minotaurus bagi rakyat Kreta. Sama persis dengan Indonesia yang digambarkan Veven Sp. Wardhana dalam “Déjà vu: Kathmandu” (dalam Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001), di mana seorang wanita keturunan Tionghoa sama sekali tidak mau menyebutkan nama negara Indonesia, bahkan ingin melupakan nama itu dari ingatannya.
Ini memang sebuah paradoks, apa yang dilukiskan Putu Wijaya dalam cerpennya di atas benar-benar sangat mengiris dan membuat miris pembaca. Seorang perempuan keturunan yang bernama Nio meniti karir sebagai penari dari bawah, hingga menjalani pekerjaan yang sulit sebagai penari klab, dan mendapatkan kemewahan yang dulu menjadi idaman orangtuanya. Tapi, begitu kemewahan itu diperoleh, kerusuhan terjadi; harta kekayaannya dijarah, dan kehormatannya diperkosa. Karena itulah ia lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena dia Cina atau bermata sipit, “Tetapi karena aku orang Indonesia.”
Kata-kata terakhir Putu Wijaya dalam cerpennya tersebut demikian menghantam, menyisakan kepedihan yang dalam, yang juga diabadikan Taufiq Ismail dalam Malu Aku Jadi Orang Indonesia dan dalam beberapa cerpen Veven dan Seno Gumira Ajidarma. Indonesia sepertinya tidak memberikan kedamaian dan keamanan, apalagi kenyamanan bagi warganya. Dalam China Moon, saya memang tidak menemukan jawaban yang terang-benderang sebagaimana yang diharapkan Rusdy Rukmarata sejak awal. Dalam buku berwarna pink ini memang hanya berisi kisah, barangkali dibumbui sedikit gugatan, seperti dalam cerpen “Tidur Dengan Gong Li” karya Tommy F. Awuy (yang berperan sebagai ‘pejuang’ atau ‘pembela’ perempuan) dan “Payudara Nai Nai” Djenar Maesa Ayu (yang ‘fasih’ bicara persoalan kelamin).
Jawaban yang jelas justru saya dapatkan dalam buku Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia karangan Leo Suryadinata (Jakarta: LP3ES, November 2002). Bahwa “Cina bukanlah entitas yang homogen, melainkan majemuk, baik dalam soal ekonomi, kebudayaan, agama, dan pendidikan. Susahnya, selama ini Cina diidentikkan dengan konglomerat … (padahal) Cina yang konglomerat itu umumnya masih punya kebudayaan Cina yang kuat. Mereka umumnya bukan peranakan. … Jadi, dalam soal pribumi dan non-pribumi ini kita mesti arif. Tiap-tiap pihak harus lebih saling mengetahui dan berkenalan kembali. Dan dalam konteks ini peran negara menjadi sangat penting.” (hal. 258).
Sayang, EKI tidak menampilkan cerpenis atau sastrawan semacam Marga Tjoa atau Mira Widjaja dalam kumpulan cerpennya. Karena, bisa jadi suara hati atau jeritan batin yang jujur bisa terungkap dalam karya-karyanya, sebagaimana nilai-nilai sosial Jawa yang mencuat dalam karya-karya Umar Kayam yang menggunakan setting Jawa, yang menurut A. Teeuw, lebih mudah memahami sosiologi Jawa dari karya-karya Umar Kayam dibandingkan jika kita membaca seluruh buku-buku teori sosiologi Jawa yang ada.
Apa yang hendak dicapai dengan buku China Moon maupun pertunjukannya? Sekadar katarsis? Apakah sekadar menunjukkan kegelisahan-kegelisahan yang menggumpal di dada setiap warga keturunan Tionghoa, atau setidak-tidaknya kegelisahan seorang seniman Rusdy Rukmarata, atau ada keinginan untuk menimbulkan saling memahami dan mengerti di antara beribu-ribu bahkan berjuta-juta perbedaan yang terbentang di hadapan mata, yang melekat pada setiap manusia, sejak Qabil membunuh Habil untuk kali pertama di saat jauh dari cahaya maha cahaya?
Apakah identitas kelompok itu perlu?


Citayam, September 2003

Menikmati Cairan Perempuan Riris K. Toha Sarumpaet



oleh Asep Sambodja

Naskah “Cairan Perempuan” karya Riris K. Toha Sarumpaet bukanlah naskah drama yang konvensional. Dengan demikian, apabila naskah ini diusung ke pentas, maka sang sutradara, berikut pemainnya, harus berani menafsirkan naskah tersebut secara merdeka, dengan menjadikannya sebagai satu bentuk seni tersendiri, yang bebas dari belenggu teks.
Apabila dipentaskan dengan mematuhi naskah yang ada, maka isi naskah tersebut harus ditampilkan secara utuh, tak bisa ditambah atau dikurangi, karena ia merupakan satu bagian yang tak terpisahkan, semacam puisi lirik. Dengan kata lain, naskah yang tidak konvensional itu harus pula ditampilkan secara inkonvensional pula. Jika dibawakan secara konvensional, maka yang tampak adalah kecanggungan, atau kikuk.
Naskah seperti inilah yang dibawa Teater Bejana yang disutradarai Daniel H. Jacob ke Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada Sabtu-Minggu (5-6 April 2003). Para pemain utama yang semuanya artis (selebritis), yakni Ria Irawan, Rieke Dyah Pitaloka, Ria Probo, dan Sophie Navita, di satu sisi mampu mengundang daya tarik penonton untuk hadir dan menyaksikan teater di gedung mewah.
Di sisi lain, dengan melihat kesibukan mereka sebagai artis, yang padat acara show di layar kaca atau layar lebar atau di belakang layar, menjadikan permainan mereka tampak kurang total. Sangat terasa bahwa dasar-dasar acting di panggung tidak dilakoni dengan serius, sebagaimana yang diharapkan dari seorang peraih piala citra. (Tapi, kerja teater memang berbeda dengan kerja di film, yang bisa di-cut dan diulang berkali-kali).
Membaca naskah drama monolog ini sebelum menyaksikannya di panggung, lebih menjadi suatu kecelakaan (meski tidak terlalu fatal) ketimbang bekal yang membantu -- ketika kita menonton drama monolog tersebut dipentaskan.
Menjadi suatu kecelakaan, karena benturan antara apa yang telah kita tangkap saat membaca naskah tersebut dengan apa yang kita saksikan di panggung sangat keras. Sedikit banyak, kita telah memiliki pemahaman tersendiri dengan membaca naskah tersebut, dan membayangkan yang muluk-muluk yang akan didapatinya di panggung.
Sementara bagi penonton yang menyaksikan drama monolog dengan kepala yang kosong, barangkali akan merasa lebih menikmatinya, karena siap menerima apa pun tanpa pretensi apa pun.

Teks
Naskah “Cairan Perempuan” itu sangat sarat dengan perenungan, pemikiran, dan juga terkadang terselip perasaan seorang perempuan. “Cairan Perempuan” yang dimaksud, menurut saya, lebih bermuatan pemikiran seorang perempuan, yang tertindih konsep ‘perempuan di titik nol’ seperti yang digambarkan Nawal el-Saadawi, dan tentu saja ingin merdeka dari kondisi seperti itu.
Namun, kemerdekaan seperti apa? Dalam naskah drama monolog dan lebih mirip solilokui itu terkesan bahwa sang aku-lirik ingin kehidupan yang bersahaja, tidak bertopeng, dalam arti, ia ingin menjalani kehidupan sesuai dengan isi hatinya dan bukan untuk memuaskan pandangan umum atau masyarakat umum terhadap individu atau pribadi, serta melakukan sesuatu (pekerjaan) sesuai dengan kemampuannya (apa yang ia bisa) – bukan apa yang dimaui orang lain. Dalam hal ini, saya teringat dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa ia ingin menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dan seniman memang selayaknya seperti itu.
Dalam “Cairan Perempuan”, Riris pun menyinggung orang-orang kecil yang hidup susah, tapi harus (dengan terpaksa) menerima perintah tuan (boss) secara terus-menerus.
Dan perempuan, di mata Riris, adalah manusia yang ditindas berkali-kali, baik di dalam maupun di luar rumah, terutama oleh mereka yang tidak memahami perempuan. Kalau saja laki-laki (yang memakai topeng apa saja untuk merebut hati perempuan, dan menyarangkan dan mengandangkannya kemudian) bisa memahami dan mengerti perempuan dengan baik, tentu tak ada yang perlu dirisaukan. Hanya saja, kebanyakan laki-laki memang ingin enaknya sendiri, ingin menangnya sendiri, apalagi kalau laki-laki yang dimaksud itu lebih mendewakan uang atau benda daripada perempuan (istri-ibu-saudari).
Dalam naskah tersebut, Riris juga menyinggung “kata majemuk” rumah tangga; yang dipertanyakannya dengan -- apakah ada hubungan antara rumah dengan tangga? Setiap kata, dengan demikian, harus memiliki arti. Rumah tangga, setelah diutak-atik Riris, menjadi sebuah tempat yang terpuji, terhormat, karena berada di tempat yang tinggi, yang memerlukan “tangga” untuk memasukinya.
Segala kerisauan hati, perenungan, dan pemikiran seorang perempuan ini, bagi saya sangat menarik. Yang terbayang dalam benak saya ketika membaca naskah itu adalah film Life is Beautiful, tapi bukan muatan isinya yang menggambarkan kekejaman Nazi, melainkan bagaimana cara seorang ayah yang menciptakan “fakta” baru dalam pikiran anaknya yang masih bocah, meskipun masyarakat umum akan menilainya sebagai kebohongan, namun mereka pun bisa memaklumi hal itu, karena maksud sang ayah adalah demi kebaikan anak itu sendiri.
Apa yang dikatakan orangtua, dan apa yang diperbuat orangtua, itulah “pelajaran” yang paling mudah ditangkap sang anak. Bukan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orangtua. Dengan demikian, apa yang dirasakan dan dipikirkan orangtua, adakalanya perlu dikatakan atau disampaikan kepada sang anak, betapa pun pahit perasaan itu. Sebab, anak tidak sanggup menerima seluruh pesan orangtua hanya melalui gerutu, apalagi omelan yang berkepanjangan.
Begitu juga guru terhadap muridnya. Seorang guru harus cerewet, bisa secara lisan maupun tulisan. Kalau hanya diam, maka yang dikenang hanyalah senyumnya, persis seperti Megawati yang presiden itu, dan (sialnya) saya termasuk orang yang alergi dengan senyum tanpa arti seperti itu.

Pentas
Pementasan “Cairan Perempuan” di GKJ dipenuhi penonton, yang sekilas terbaca bahwa mereka ingin menyaksikan “sri panggung” yang kenyataannya di Jakarta kini dikuasai oleh artis-artis ibukota, selain cerita yang menggoda itu sendiri. Bukan hanya dalam pementasan teater modern seperti ini, tapi juga dalam pementasan teater tradisional seperti Ketoprak Humor pun, tanpa kehadiran artis, akan terasa kurang lengkap. Bahkan, pementasan wayang kulit pun harus mengundang artis sebagai bintang tamu, untuk mengundang penonton baru (bukan penonton fanatik yang hanya membawa sarung saja).
Demikianlah seni teater Indonesia kini. Sebuah potret yang tampak semakin cantik, tapi terasa semakin kosong. Entahlah, barangkali saya yang terlalu berjarak dengan dunia selebritis, sehingga saya merasa asing di tempat itu. Setelah menikmati Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Ketjil, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Kubur, bahkan Teater Pagupon, Teater Gandrik, dan menyaksikan penampilan prima dari Salim Bungsu, Hengky Sulaiman, Tuti Indra Malaon, Rendra, Ratna Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Butet Kertarejasa, Ags. Arya Dipayana, Didi Petet, Sardono W. Kusumo, Deddy Luthan, dan Elly Luthan, serta sederet pemain dan penari lainnya, akhir-akhir ini saya sering menyaksikan artis-artis yang biasa tampil di acara infotainment atau entertainment di televisi Indonesia, kini bermunculan di panggung-panggung GKJ dan TIM (yang di TUK belum pernah).
Salah satu sutradara yang mengaku “kena batunya” dengan bergantung pada artis adalah sutradara Teater Tetas, Ags. Arya Dipayana, yang kelimpungan ketika salah satu pemainnya yang kebetulan artis, yakni Wulan Guritno, membatalkan bermain pada detik-detik terakhir menjelang pementasan, karena saat itu tiba-tiba sang artis terkena masalah atau musibah perceraian dan tengah dikejar-kejar wartawan hiburan. Sejak saat itu, Dipayana mengaku “kapok” memakai pemain dari kalangan selebritis, tanpa komitmen hitam di atas putih.
Kini pun Daniel dengan Teater Bejana memanfaatkan empat artis atau selebritis sekaligus. Tentu ada sisi positif dan negatifnya, tergantung kita mau melihatnya dari sisi mana. Positif, karena bisa menghidupkan salah satu bentuk kesenian ini dengan menggaruk penonton yang lebih banyak lagi, malah penonton kelas atas, bukan hanya kelas gembel saja (terlihat dari tempat pertunjukannya). Negatif, karena kualitas bisa menjadi nomor kesekian.
Dalam “Cairan Perempuan” yang terdiri dari empat babak, hanya satu yang bisa menghidupkan naskah monolog itu, yakni pada babak kedua, “Airmata dan Mainan”, yang dimainkan oleh Rieke Dyah Pitaloka. Dalam bagian ini, Rieke bermain secara wajar dan mampu mengangkat isi teks. Pemahamannya terhadap naskah sangat bagus, dan tepat, sehingga yang disampaikannya kepada penonton pun bisa sampai, bisa nyambung, dan sesuai dengan harapan penonton yang sudah dibekali teks tersebut.
Sekali lagi, membaca teks sebelum pertunjukan dimulai bisa menjadi suatu kecelakaan tersendiri. Ketika Sophie Navita membuka pementasan ini, pada bagian awal “Mata, Kaki, dan Air”, suasana tidak terangkat, bahkan cenderung kaku. Demikian pula saat Ria Probo membawakan bagian “Rumah dan Tetesan”, penonton seperti merasa tidak dilibatkan (padahal monolog itu sangat mengajak “dialog” penontonnya).
Jika dibandingkan dengan permainan Rieke, kedua artis (selebritis) itu kurang mampu “berdialog” dengan penonton. Dalam arti, apa yang hendak disampaikan menjadi mubazir, karena pemahaman teks tidak dikuasai dengan baik, sehingga apa yang hendak disampaikan kepada penonton pun tidak sampai.
Rieke bisa bermain dengan enak, rileks, dan “hidup”, karena apa yang dilakukan dan dikatakannya di panggung, seolah-olah keluar dari pikiran dan perasaannya sendiri. Dia berperan sebagai pemain teater, bukan sebagai penceramah atau penyampai pesan yang baru menghafalkan firman Tuhan.
Sementara permainan Ria Irawan, dengan vokal dan pembawaannya yang khas, cukup menghidupkan bagian akhir cerita ini, yakni bab “Kabar dan Darah”, terutama saat ia mengatakan, “Pulanglah. Katakan kepada semua ahli warismu, bahwa kita akan duduk bersama merancang masa depan. Bahwa dengan lempung amat berbeda yang kita bawa, akan terbentuk sebuah kapal bertenaga cinta, berkapasitas buana, dengan nakhoda kesetaraan mengarungi lautan kehidupan. Yakinkan mereka bahwa kau telah menemukan bejana kehidupan. Katakan, kau tertambat tenaga yang membangun kehidupan.”
Namun, sayangnya monolog yang disampaikan Ria Irawan diselingi oleh suara-suara bayangan, yang diisi oleh suara orang lain, sehingga seperti menjadi monolog berbingkai; ada monolog dalam monolog. Hal itu memang tidak diharamkan, tapi dalam pertunjukan tersebut pengisian suara “bayangan” justru mencederai kenikmatan penonton terhadap gumam Ria Irawan tentang adanya pertanyaan tentang kabar dari saudara dekat yang berada di tempat yang jauh. Suara “bayangan” itu pun terasa njomplang dengan vokal Ria Irawan yang serak-serak berat basah sedikit itu.

Obrolan di Luar Panggung
Riris K. Toha Sarumpaet, penulis naskah “Cairan Perempuan”, seusai pementasan tersebut mengatakan ada yang hilang dari yang ditulisnya. Namun, ia pun melanjutkan, ada pula tambahan-tambahan yang diberikan dalam naskah tersebut. Barangkali, menurut saya, itu adalah improvisasi yang dilakukan pemainnya (atas arahan sutradara) dalam menyikapi naskah yang ketat ini.
Ratna Sarumpaet, kakak kandung Riris, mempertanyakan atau mempersoalkan, kenapa sekarang yang bermain di panggung bukan pemain teater lagi, melainkan artis-artis. Dan ia pun menyayangkan permainan para artis itu, seperti Ria Irawan, yang kurang total bermain dibandingkan Rieke Dyah Pitaloka. Ratna pun tertarik mengajak Rieke untuk bermain bersama teater yang dipimpinnya. Dan dia sudah mendapat jawaban spontan dari Rieke, bahwa ia sangat senang sekali ikut bermain bersama Ratna, meskipun latihannya akan memakan waktu enam bulan.
Ratna Riantiarno yang hadir seorang diri dalam pertunjukan tersebut, mengatakan akan berbicara lebih banyak dengan Riris, yang malam itu menjadi malam miliknya (dan tentu saja suaminya, Toha, yang kalem, yang sedikit bicara).
Daniel H. Jacob, sutradara muda yang potensial, menjelaskan perihal Ria Irawan, yang menurutnya sejak awal sudah berbeda pandangan dengan sutradara. Sebab, menurut Ria, atau tepatnya menurut pemahaman Ria, monolog disampaikan dengan membaca teks, seperti yang dibawakannya dalam “Vagina Monolog”.
Sementara perihal Rieke, diakuinya, Rieke sudah cukup lama bermain teater bersamanya. Bahkan, pertama kali Rieke bermain teater adalah bersama Daniel. Dengan demikian, mudah bagi Daniel untuk membentuk atau menerjemahkan Rieke, sekaligus memberi peran kepadanya. Ada lagi pembicaraan lain dengan Daniel, namun biarlah itu menjadi bahan evaluasi bagi Teater Bejana.

Konteks
Seorang wartawan (Redaktur Koran Tempo) Tulus Widjanarko meledek saya, saat dunia melakukan aksi demo menentang aksi perang yang dilakukan Amerika dan sekutunya terhadap Irak, kenapa GKJ mementaskan “Cairan Perempuan”. Secara spontan saya katakan, Bush hanya bisa disumpal mulut dan batok kepalanya dengan cairan perempuan.
Tapi, setelah saya pikir-pikir, kesenian (genre apa pun) harus terus berjalan, tanpa harus mengabdi pada politik (karena politik sudah bukan panglima), penguasa (karena penguasa tak ada harganya), atau apa pun. Bahwa seni harus memberi “sesuatu” kepada penontonnya, itu sudah pasti.
Tapi, harus dipahami bahwa kerja teater bukanlah kerja yang sehari jadi, melainkan ada proses yang lama yang harus dipersiapkan. Berbeda, misalnya, dengan penyair seperti Taufiq Ismail yang menulis sajak bagus di Majalah Gatra, yang berjudul “Senarai Perang untuk Bahan Hafalan Pelajaran Sekolah”, yang bunyinya secara lengkap saya lampirkan di bawah ini. Karena, puisi seperti itu bisa dibuat dalam waktu satu-dua hari oleh penyair yang sudah jadi seperti Taufiq Ismail itu.
Dan saya yakin ada seniman teater lain yang sedikit banyak akan mengangkat tema kekerasan seperti itu – seperti Teater Koma yang mengangkat topik pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998, dua tahun sesudah peristiwa itu. Tentu dengan bobot seni yang lebih dominan.
Makanya aneh, kalau setiap karya seni harus dipaksakan untuk sesuai dengan fakta yang terjadi di dunia (di lapangan kehidupan), terkini. Karena seni bukan berita yang diperdagangkan secara cepat saji, instan. Kalau kita membaca “Cairan Perempuan” pun akan kita temukan arti penting yang hendak disampaikan, yakni bagaimana menjadi manusia. Dan itu persoalan universal yang bisa diterima semua kalangan, mulai dari ayunan ke ayunan, ayunan waktu lahir dan ayunan waktu mati.

Citayam, 5 April 2003



Lampiran Puisi Taufiq Ismail:

Senarai Perang untuk Bahan Hafalan Pelajaran Sejarah

1

Ada peta dunia berteriak kepada kita minta dibaca
''Telusurilah halaman-halamanku, renangilah waktu
Langkahi dua abad dan apa yang kau lihat?''

Kemudian kita bergegas meluncur di atas halaman peta
Rangkaian adegan orang kulit merah, bangsa kulit hitam,
Kawasan Mexico, Hawaii, Filipina dan Cuba
Kemudian Vietnam, Nicaragua, Israil dan sekitarnya
Setiba di sekitar Eufrat-Tigris badai debu mengotori peta
Di negeri Seribu Satu Malam ini
Terdengar gemuruh Seribu Satu Peluru Kendali


2

Kembali kita meluncur di atas halaman peta yang tua
Nampak bekas bercak darah berwarna sepia di atasnya
Gunung dan sungainya di benua Amerika belahan utara
Di sepanjang halamannya
Kawanan Indian menunggang kuda berlarian
Orang kulit putih menembaki dan mereka berjatuhan
Orang kulit hitam dianiaya massa bergelimpangan
Mereka ngilu menyanyikan lagu blues penuh kesedihan

Lihatlah separuh Mexico ditaklukkan
Hawaii dan Filipina jadi jajahan
Ratusan ribu penduduk Filipina sasaran pembunuhan
Jenderal Aguinaldo yang memproklamirkan kemerdekaan
Tak diberi pengakuan dan bangsanya tetap jadi jajahan
Spanyol dibayar 20 juta dollar sebagai imbalan
Inilah ironi sejarah yang mengherankan
Merdeka dari Inggeris dengan perjuangan tidak ringan
Tapi ternyata rasis dan imperialis juga belakangan

Adalah Cuba, pulau sebesar telapak tangan
Jarak dari ujung Florida sepelemparan bola tangan
Diengkuk-engkuk dan ditekuk-tekuk tidak mempan
Ditunjuk-ajari pelajaran demokrasi tidak sudi
Dicekik leher ekonominya masih bernafas saja
Dicoba bunuh presidennya tak mati-mati juga
Lihatlah Fidel Castro itu kini
Tetap saja tampan dan tegak, di senja umurnya ini

3

Kini kita menyeberang samudera tiba di Vietnam Utara
Ketika Presiden Lyndon Johnson marah-marah suatu hari
Di Teluk Tonkin kapal perusaknya diganggu patroli
Diperintahkannya pemboman pertama di Vietnam Utara
Agustus bulannya, 1964 tahunnya

''The Rolling Thunder'', ''Guruh Gemuruh''
Itulah nama serangan udara
Yang berlangsung 3 tahun lamanya
Bom bagai badai berhamburan hampir setiap hari
Bom yang dijatuhkan selama tiga tahun itu
Dua kali lipat lebih banyak ketimbang
Bom yang dijatuhkan
Di seluruh front Perang Dunia I dan II

Bom yang 7 juta ton itu
Menyebabkan kematian 3 juta manusia Vietnam
Bayangkanlah 3 juta manusia direnggutkan nyawanya
Tiga juta

Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika?

Bukan saja Vietnam Utara, tapi Vietnam Selatan
Juga dihujani badai bom itu
Di negeri itu kawah-kawah menganga
Bertebaran di mana-mana

Pada Vietnam, mengapa kita lupa
Padahal selama 11 tahun perang itu,
Berita pemboman dan pembunuhan
Setiap hari masuk di harian dan televisi kita

Vietnam jadi laboratorium uji coba macam-macam senjata
Bom napalm, bom Agent Orange, bom Agent Blue yang
Mengunyah daging manusia, mengunyah pepohonan,
Mengunyah dedaunan dan mengunyah hewan-hewan
Di tanah seluas pulau Jawa

Di negeri itu ratusan kawah-kawah menganga
Sawah-sawah musnah, pabrik-pabrik hancur
3 juta orang mati dalam masa 11 tahun itu

Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika?

Pada Vietnam mengapa kita lupa
Alangkah lemah ingatan kita

Sesudah Lyndon Johnson, Presiden Nixon marah
Baru 3 bulan jadi Presiden
Diperintahkannya menghujani Kamboja dengan bom
Kemudian 200 pesawat B-52 dikirimnya menghabisi Haiphong dan Hanoi,

Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika?

Presiden Amerika adalah presiden dunia
Yang paling sering memberi perintah
Menjatuhkan bom, dan semuanya di luar Amerika

Sesudah 11 tahun 179 milyar dollar dihabiskan
Atau 82 juta dollar sehari dibelanjakan
Sesudah 2 juta penduduk sipil Vietnam mati
1 juta tentara Vietnam mati,
60.000 serdadu Amerika mati,
Saigon dikepung ketat dan mereka terbirit-birit lari

Amerika, negara adikuasa dan kaya luarbiasa
Bertekuk lutut dikalahkan Vietnam Utara
Negara kecil, miskin dan compang-camping
Dan tidak sekali pun, tidak satu kilogram pun
Menjatuhkan bom di kota Amerika
Sehingga penduduk sipil, kehilangan nyawa

4

Tidak kapok-kapoknya Angkel Sam
Campur tangan orang punya urusan
Tahun 1980-an, yaitu di Nicaragua
Di peta, negara itu sebesar daun telinga
Di Amerika Tengah, 200.000 bermatian
Negeri kecil yang digiling dilumatkan
Mereka ke Mahkamah Dunia mengadukan
Angkel Sam didenda repatriasi dan Nicaragua dimenangkan
Tapi si Adidaya ini mengabaikan keputusan
Ke Nicaragua balik lagi melakukan penyerangan
Dan ketika si Daun Telinga mengadukan
Ke Dewan Keamanan
Angkel Sam menjatuhkan veto sendirian

5

Kemudian tengoklah Israil luar biasa dimanja Amerika

Menindas rakyat, membunuhi perempuan
Menyapu anak-anak intifadah
Tidak apa-apa

Mengusir rakyat Palestina ke kemah-kemah di gurun
Membuldozer permukiman
Tidak apa-apa

Melanggar puluhan resolusi Dewan Keamanan
Dicerca dikutuk masyarakat dunia
Tidak apa-apa

Membuat senjata nuklir
Mengancamkan hulu nuklir
Tidak apa-apa

Israil luar biasa dimanja Amerika
Rakyat pembayar pajak Angkel Sam
Tak berdaya mau saja dipaksa
Membiayai subsidi anak manja Israil ini

Kami yang jauh ini jadi bertanya-tanya
Israil ini negara bagian Amerika Serikat
Atau Amerika Serikat provinsi Israil
Perdana Menteri Israil ini gubernur negara bagian AS
Atau Presiden Amerika gubernur provinsi Israil?
Pertanyaan ini pisau bermata dua
Amat sulit menjawabnya
Dan sangat mudah menjawabnya.

6

Pengembaraan peta kita tiba di sekitar Eufrat-Tigris
Ketika badai debu mengotori peta
Di negeri Seribu Satu Malam ini
Terdengar gemuruh Seribu Satu Peluru Kendali

Inilah kisah yang sangat menjemukan
Karena pengulangan lagi peragaan otot kekuasaan
Bersambung dengan beribu peluru kendali berlayangan
Dan 3000 bom berjatuhan
Malam ini berselimut kegelapan dan kengerian
Berulang sejarah campur tangan, intervensi 1000 alasan
Sejak zaman kulit merah Indian, kulit hitam Afrika,
Hawaii, Filipina, Cuba, Vietnam,
Nicaragua, Amerika Tengah, Palestina
Memaksakan kehendak, mau menang sendiri
Rasis dan imperialis sejati
Sehingga cendekiawan Noam Chomsky
Tak dapat menahan hati
Inilah katanya tentang negerinya sendiri:
''United States, leading terrorist state.''

Aku terkesima membaca tulisannya itu
Padahal aku suka manusianya, Amerika itu
Keluarga Werrbach yang 47 tahun lalu
Mengangkatku jadi anak mereka
Di rumah 977 East Circle Drive
Di desa Whitefish Bay
Di bulan puasa Heino menyediakan sahur untukku
Aku terkenang Tim Hubbard teman sekolahku
Yang menghubungkan aku
Ke ladang mixed farming di tepi Danau Michigan
Sehingga aku ingin jadi pengusaha ladang campuran
Seraya menulis puisi
Sehingga aku belajar kedokteran hewan dan peternakan
Aku cinta manusianya, Amerika itu
Petani, penjaga pompa bensin, oma di rumah jompo,
pemusik jazz, penyair, sopir taksi Chicago, guruku,
Tapi aku tidak suka politik pemerintah pusatnya
Dengan enam helai puisiku ini aku menentang perangnya
Kini tengah aku menulis puisi ini di Utan Kayu
Tepat tengah malam di Basrah, Najaf dan Baghdad,
Terkenang aku pada makam Sayidina Ali,
sufi Abdul Qadir Jailani,
Terkenang aku pada Tardji yang memanjat patung Abu
Nawas di Baghdad, dan kupotret dia
Teringat aku pada Gus Mus yang menerjemah untuk kami
5 penyair Indonesia di festival puisi Iraq tahun itu
Mungkin hotel tempat kami menginap sudah hancur
Mungkin fail puisi kami sudah punah dan musnah
Mungkin rekan kami penyair Iraq ada yang mati sudah
Malam ini bom dan peluru kendali
Ganas dan cerdas, berdesing-desing
Berselimut kegelapan dan kengerian
Ratusan ribu anak-anak dan orangtua mereka
Orang kebanyakan pemegang kartu penduduk biasa
Menunggu diusung dengan tandu
Pada hari keesokan
Ke ruang gawat darurat atau ke kuburan.

Jum'at, 28 Maret 2003.

Senin, 20 Oktober 2008

Surat Terbuka buat Yunis Kartika



oleh Asep Sambodja

Terus terang, saya merasa tersiksa membaca novel Yunis Kartika, Let’s Rock the Cyber! Pertama, dari segi bentuknya saja, terlalu banyak tampilan dialog dalam chatting yang seolah-olah dipindahkan begitu saja oleh Yunis ke dalam novelnya. Ini mengingatkan saya pada cerpen Danarto yang berjudul “Ngung Ngung Ngung Cak Cak Cak” dalam Adam Ma’rifat yang seperti memindahkan begitu saja suasana pertunjukan tari kecak di Bali—yang merekam semua yang terdengar dan terlihat di arena pertunjukan itu ke dalam teks—sehingga suara bisik-bisik penonton dan suara babi terekam bersama tarian kecak tersebut. Lebih jelasnya, saya kutip cerpen Danarto di bawah ini:
“He, Mas Totok sudah lama di sini?”
“Awas kabel.”
Guk guk guk guk guk guk guk
Ngrrrrrrrooookk
“Sampai berapa lama?”
k cak cak cak sak cak c
Makin lama makin banyak yang mengerumuni layar mini ini, meskipun yang nampak garis-garis saja.
“Bagaimana kalau tombol gambar kita tekan?”
“Kemarin aku tidak makan sama sekali.”
k cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak
cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak c
“Kok charming amat sih Mbok Semi.”
“Jangan berdesak-desak.”
“Kapan ke sana lagi.”
“Gambarnya nggak ada.”
“Rina ada?”
“Baru sekali ini aku melihat tarian suci.”
“Ia tahu artinya.”
“Mereka menikmati upacara ini seperti menikmati warung Mbok Semi.”
“Ruang dan waktu terkuasai di Bali sini.”
“Apa rencana besok?”
“Ini alat apa sih.”
“Kelian tadi di sini, entah sekarang di mana ia.”
“Apa-apa yang masih impian, sebentar lagi menjadi kenyataan.”
“Mau lemper?”
“Saya mencari Made.”
“Apa masih ada rahasia?”
“Ia nonton bioskop ke Den Pasar.”
“Besok harus bangun pagi-pagi, kita akan mengairi sawah.”
“Kabarnya topeng Gelodog akan disimpan di museum Paris.”
“Tombol gambar?”
“Tak mungkin kita memperoleh hal-hal yang nyata.”
(Danarto, 1992: 48-49)

Bedanya, eksperimentasi yang dilakukan Yunis Kartika tidak dieksplorasi secara maksimal. Padahal, dapat dikatakan, bangunan cerita novel ini terdapat pada isi dalam dialog di chatting itu. Hanya saja, konflik atau tikaian yang biasanya menjadi jiwa sebuah cerita tidak dibangun dalam dialog-dialog di chatting yang bertebaran dalam novel ini; sebagian besar seperti ini:
Broke Up!
aca_79id : apa’an sih artinya nih..
quenny_balqis : kita ga bisa lanjut
aca_79id : Aca ga tau lagi mesti gimana.
aca_79id : QQ mau putus...??
quenny_balqis : ya
aca_79id : plssssss.........ma’afin Aca Q....
quenny_balqis : pemikiran kita beda Ca
aca_79id : Aca sayang ama QQ......
aca_79id : karena QQ ga tau...........
aca_79id : ok deh.....
aca_79id : baek-baek yah Q......
aca_79id : Aca selalu sayang ama QQ......
aca_79id : jangan lupain Aca yah.....
quenny_balqis : sama-sama
quenny_balqis : bae-bae juga ya Ca
aca_79id : kalo ada apa-apa cerita ama Aca
aca_79id : Qqiiiiiiiii
quenny_balqis : ya
aca_79id : plsssssssss
quenny_balqis : apa?
aca_79id : Aca ga bisaaaa......
quenny_balqis : ye......katanya ok
aca_79id : Aca masih sayang ama QQ
aca_79id : ga bisa Q.......
aca_79id : aca ga tau Q.........
quenny_balqis : jadi?
aca_79id : salah ga Aca mempertahankan ini....
aca_79id : Aca ga bisa.......
aca_79id : sorry kalo Aca egois......
quenny_balqis : jadi mau Aca gimana?
aca_79id : apa itu udah keputusan QQ...???!!!
aca_79id : Aca masih mau pacaran dan jalaninya....
aca_79id : kalo QQ masih sayang ama Aca....
aca_79id : tapi kalo memang QQ ga bisa lagi......
aca_79id : Aca harus bisa nerima....
quenny_balqis : kitakan masih bisa temenan
aca_79id : itu jawaban QQ buat Aca...??
quenny_balqis : ya, toh kamu juga bisa terima
aca_79id : Aca bisa terima kalo QQ emang ga ada rasa cinta dan
sayang lagi ma Aca...
aca_79id : QQ ga ada rasa itu...ke Aca...?
quenny_balqis : rasa itu masih ada Ca, tapi QQ sakit hati ma kamu
aca_79id : sakitnya kenapa...?
aca_79id : QQ kan bisa ceritaiin ke anca...
aca_79id : Aca kan pernah bilang...kalo ada apa-apa kita pecahin
bersama...
aca_79id : Aca pengen kita saling jujur....jawab Q....
quenny_balqis : cape Ca, QQ punya harapan ketika membuka hati ke
cowok...kamu
aca_79id : ma’afin Aca, Q.........
aca_79id : kasih Aca satu peluang....
aca_79id : masi bisa...?
aca_79id : Aca sayang ma QQ.........
aca_79id : Aca ga mau QQ kaya dulu......
aca_79id : itu yg Aca takut dari QQ......
aca_79id : Aca ga mau QQ gitu......
aca_79id : karena Aca sayang ama QQ......
quenny_balqis : gitu gimana?
aca_79id : QQ dingin ama cowok......
aca_79id : karena Q pernah cerita ma Aca...kalo dulu tertutup ama
cowok (ga mau pacaran,nikah)..
aca_79id : Aca masih mau pacaran ama QQ......
aca_79id : Aca masih mau......?? plsss jawab...
quenny_balqis : hanya itu Ca?
quenny_balqis : sudahlah Ca, lebih baik bertemen aja. Mudah-mudahan
kita jadi lebih saling terbuka, ya?
aca_79id : Aca coba untuk pahamin, maafin kesalahan aca ya Q.
Janji jangan berubah, jangan ngehindar kalo ketemu di
room. Jawab PM-an Aca ya...
quenny_balqis : Maafin QQ juga ya Ca, karena ga bisa nerusin hubungan
ini lagi. Iya, Insyaallah QQ ga akan berubah. FRIEND?
aca_79id : FRIEND!

Kedua, dari segi isi, terutama kalau dilihat dari sisi pragmatisnya, persoalan yang diangkat Yunis adalah persoalan periferal, persoalan di lapis luar kulit bawang. Padahal, pada saat yang bersamaan, kita juga dihadapkan dengan novel-novel Pramoedya Ananta Toer, Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, Oka Rusmini, atau cerpen-cerpen Linda Christanty, A. Mustofa Bisri, Yanusa Nugroho, dan A.S. Laksana, yang mengangkat tema atau persoalan-persoalan besar seperti kebenaran, keadilan, kebangsaan, kehidupan, kematian, eksistensi, dan cinta. Dalam novel Yunis memang disinggung masalah cinta. Namun, persoalan cinta yang diangkat Yunis terasa artifisial, karena hanya berhenti pada kata-kata. Padahal, untuk menggambarkan cinta tidak harus dengan kata-kata. Remy Sylado, misalnya, menggambarkan kisah cinta antara Keke dan Cak Broto dalam Kembang Jepun dengan mendeskripsikan pasangan itu yang tengah naik cikar atau gerobak sapi yang melewati jalan berlumpur dan berlubang, sehingga cikar itu bergoyang-goyang, di sebuah desa di zaman Jepang. Mengarungi perjalanan seperti itu di zaman Jepang merupakan suatu katarsis tersendiri. Dan, pembaca ikut menikmatinya.
Mengantar hasil bumi turahan yang jelek-jelek itu merupakan kenangan paling indah dalam hidup saya dengan Tjak Broto. Tjak Broto duduk memegang tali sais mengendalikan sapi yang menarik pedati. Lalu saya berjongkok di belakang pantatnya agar dikira orang, pedati ini hanya dikendarai oleh satu orang. Sekali-dua dipecutnya sapi, supaya binatang itu mau empercepat langkah. Jalanan yang kami lalui dari rumah ke pasar, pulang-pergi, bukan seluruhnya beraspal. Sebagian masih tanah. Dan jika hujan, seperti pada bulan-bulan Desember sampai Februari, sapi yang menarik pedati acap kali terseok dan sulit maju. Sering Tjak Broto harus turun, memperbaiki letak roda yang terperosok ke dalam kubangan, dan pada saat itu terpaksa saya harus keluar sebentar untuk memegang tali sais. Apabila ia naik ke atas, kaki sampai batas pantatnya penuh lumpur, dan tak jarang lumpur itu mengotori muka saya yang pas berada di belakang pantatnya, setiap kali pedati bergoyang karena jalanan tak rata.
Pernah malah Tjak Broto terjerembab ke kubangan lumpur ketika ia berusaha mengangkat roda pedati yang terjepit di antara dua batu. Roda yang diangkatnya berhasil berputar maju, tapi setelah itu ia tergelincir dan jatuh dengan kepala terbenam dalam kubangan lumpur. Ia memaki sambil meludah-ludahkan lumpur yang menotori mulutnya.
“Jancuk!”
Lantas ia mengusap mukanya itu dengan tangan yang kotor pula. Akibatnya, mukanya kelihatan lucu. Tidak tahan saya menahan geli. Maka saya tertawa terkekeh-kekeh. Dan itu pula saya catat dalam ingatan saya, bahwa dalam keadaan susah pun, kami tidak kehilangan rasa senang oleh peristiwa-peristiwa yang lucu.
“Jangan ketawa,” kata Tjak Broto di bawah.
“Kau seperti badut.” Saya bertambah geli karena ia tak suka saya ketawa.
“Apa?”
“Badut.”
“Awas.” Ia meloncat ke atas, dan tergelincir lagi karena badannya licin oleh lumpur, membuat saya makin geli. “Kau akan jadi badut juga.” Setelah ia berhasil naik, tangannya yang kotor itu dilapkan ke muka dan rambut saya.
Saya menjerit-jerit. Dan kini giliran Tjak Broto yang menertawai saya. Saya memukul-mukul badannya, bermanja-manja. Tapi Tjak Broto terus melelet dan menguyek-uyek rambut saya dengan lumpur yang dicoleknya dari seluruh badannya. Akhirnya kami sama-sama kotor. Dan kami senang. Kami ketawa bersama. Memang, saat-saat seperti inilah yang tidak dapat ditukar dengan kenangan yang lain. Inilah saat-saat termesra dalam rumah tangga kami yang tetap berdua, sementara sang waktu terus berjalan. Kalau merenungkan itu, memang saya tidak berdaya. Ya sudah. Terserah nasib.
(Sylado, 2003: 181-182)

Ketiga, gaya penuturan Yunis di awal hingga pertengahan cerita membuat saya bernasib sama seperti Sisyphus yang mendorong batu besar ke puncak bukit Tartar secara terus-menerus dan berulang-ulang. Saya juga seperti kena kutuk untuk menuntaskan membacanya—karena kewajiban, bukan karena untuk mendapatkan ekstase ataupun katarsis.
Memang, membaca karya sastra sama seperti kita menyaksikan patung Pangeran Diponegoro yang berada di samping tugu Monas. Kita bisa melihat patung itu dari berbagai perspektif, dari berbagai sudut pandang. Patung itu bisa dilihat dan dinikmati dari samping kanan, samping kiri, depan, belakang, atas, atau bahkan dari bawah patung kuda itu. Begitu pula ketika kita hendak membaca karya sastra yang multiinterpretasi. Karenanya, penilaian terhadap karya sastra perlu argumentasi yang bisa menjelaskan sudut pandang si pembaca—sama halnya dengan kita menguraikan sudut pandang penulis ketika ia merekam kenyataan dan diaktualisasikan ke dalam karya sastra.
Terus terang, saya menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mengatakan novel ini jelek. Karena, bagi saya, tidak ada buku—termasuk novel—yang jelek. Semua buku pasti ada manfaatnya, biarpun manfaatnya hanya sebesar biji sawi. Karena itu pula saya tidak pernah menyetujui adanya pelarangan buku. Barangkali ini menyangkut persoalan selera dalam membaca karya sastra. Apa yang ditulis Remy Sylado dan Seno Gumira Ajidarma, misalnya, sedikit banyak mempengaruhi selera sastra pembacanya. Dalam hal ini, selera saya bukan novel seperti yang ditulis Yunis. Mungkin karena saya terlalu tinggi berharap pada karya Yunis, sama halnya dengan harapan saya untuk selalu menonton pementasan Teater Payung Hitam.
Sastrawan sebagai representasi masyarakat seyogyanya mengekspresikan apa yang terjadi di dalam kehidupannya. Novel Yunis ini saya coba pahami demikian: jangan-jangan apa yang ditulis Yunis ini merupakan representasi dari masyarakat sekarang. Masyarakat atau orang-orang yang tergambar dalam novel Let’s Rock the Cyber! adalah orang-orang yang memikirkan dan membicarakan persoalan-persoalan sepele, remeh-temeh, dan tidak penting. Seorang yang sedang chatting bisa dan bebas memakai nama apa saja. Kata-kata yang terlontar saat chatting sangat bebas, bahkan terkadang sangat vulgar, bebas nilai, sehingga kalau ada yang menyakiti lawan bicaranya, dengan mudahnya minta maaf. Namun, pada kesempatan yang sama, karena dia bisa chatting dengan banyak orang pada saat yang sama, dia berpotensi melakukan “kesalahan” yang sama pula. Dengan demikian, masuk ke dunia maya seperti masuk ke angkasa luar yang bisa jadi tidak mengenal agama, tidak ada hukum, tidak ada aturan, tidak ada undang-undang, tidak ada FPI, tidak ada George W. Bush, tidak ada penjara, tidak ada etika, tidak ada moral, nilai, nurani, dan yang pasti tidak ada kepastian. Tidak adanya kepastian itu dapat dilihat, misalnya, dari mudahnya seseorang bergonta-ganti pasangan atau pacar—meskipun maya.
Sebagai perempuan penulis, mau tidak mau kita harus membaca Yunis Kartika di antara perempuan penulis yang telah hadir sebelumnya. Kalau dilihat dari sisi kevulgaran menyuarakan seksualitas, Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, misalnya, adalah masternya. Yunis tidak menggambarkan seksualitas secara vulgar, bahkan cenderung ditutup-tutupi. Kalau dilihat dari ketangkasan bercerita dan penggunaan diksi yang bernas, Ayu Utami (terutama dalam Saman, bukan Larung) jauh berada di depannya. Kalau dilihat dari segi pemberontakan seorang perempuan, Oka Rusmini demikian lantang menyuarakan nasib perempuan—terutama perempuan Bali. Dari sini pula kita bisa merasakan, ketika ada sesuatu yang diperjuangkan oleh penulis, maka suatu karya sastra akan terasa gregetnya. Apa yang diperjuangkan Oka Rusmini sungguh luar biasa, terlepas apakah ia berhasil atau tidak mendobrak diskriminasi terhadap perempuan di Bali. Karyanya, Tarian Bumi, demikian kuat menggambarkan perjuangan seorang perempuan. Dilihat dengan pendekatan feminisme ataupun pascakolonialisme, apa yang dihasilkan Oka Rusmini tersebut sangat penting dan patut dihargai. Novel itu menjadi salah satu bacaan wajib di Program Studi Indonesia FIB UI.
“Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.”

Kalau yang mau ditonjolkan dari novel Let’s Rock the Cyber! adalah kegelisahan batin tokohnya, QQ/Kiki, maka saya teringat novel Pulang karya Toha Mohtar—yang menjadi bacaan wajib mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti, karena penggambaran latar desa yang demikian detailnya. Dalam novel Pulang, tokoh Tamin mengalami guncangan jiwa yang luar biasa setelah dia menjadi heiho dan pasukan NICA. Ia merasa apa yang dilakukannya selama tujuh tahun (1942-1949) pengembaraannya sudah benar. Tapi, kenyataannya, masyarakat di desanya, Ngadiluwih, Kediri (yang terletak di antara Gunung Wilis dan Gunung Kelud di Jawa Timur), termasuk keluarganya sendiri, lebih menghormati teman-teman Tamin yang mati sebagai gerilyawan di kampung—bukan mantan heiho yang pernah dikirim ke Burma oleh Jepang. Meskipun masyarakat tidak menyakiti hati Tamin, tapi perasaan Tamin yang berlebihan membuatnya pergi meninggalkan desanya.
Kegelisahan batin yang dialami Kiki dalam novel Yunis pun sangat artifisial. Yakni, tentang seseorang yang kesepian. Dan, ia berusaha membunuh kesepian itu dengan mencari teman di dunia maya. Selama chatting dan menjadi anggota JKT111 dan Nusa001, Kiki sering berganti-ganti pasangan. Berganti-gantinya pasangan ini tidak digambarkan secara detail dalam novel ini. Yang tersaji hanya cuplikan dialog dalam chatting sesaat sebelum Kiki putus dengan pasangan-pasangan mayanya.
Kiki menganggap dunia maya sama dengan panggung teater. Sama-sama sedang berperan menjadi entah siapa. Hanya saja, perlu ditambahkan, bahwa bedanya, dunia teater yang di atas panggung itu telah melalui sebuah proses yang panjang, latihan yang intens, sementara dunia maya berproses secara terus-menerus. Hal-hal yang spontan, lugu, naif, kadang pasion yang berlebihan, keluar begitu saja tanpa kontrol. Di teater juga dikenal adanya improvisasi, tapi selalu saja tetap terkontrol. Hal-hal yang lugu—plus jujur—seperti itulah yang banyak mewarnai novel Yunis ini.
Kejujuran. Barangkali inilah yang bisa dikatakan sebagai nilai lebih novel ini. Kalau di atas tadi saya mengatakan, persoalan yang diangkat Yunis tidak penting, itu artinya tidak penting bagi saya sebagai pembaca. Tapi, bagi Yunis sebagai penulis, persoalan tentang kegelisahan batin, cinta, memakai topeng di dunia maya, berteman, berganti-ganti pasangan ngobrol, kopi darat, dan segala tetek-bengek itu, penting adanya. Dengan menuliskan hal itu, Yunis pun sudah melakukan proses katarsis. ***

Calon Arang dan Gadis Arivia


: Membaca Kritik Sastra dengan Pendekatan Feminisme

oleh Asep Sambodja


Sungguh menarik membaca artikel Gadis Arivia, “Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty” yang dimuat di Jurnal Perempuan edisi 30 (2003). Dalam artikel itu, Gadis menyebut Pramoedya dan Toeti adalah feminis sejati. Hanya saja, ketika keduanya menulis tentang dongeng Calon Arang, timbul masalah, “adakah di antara mereka dalam karya Calon Arang yang telah membelot dari feminisme?”
Jawaban yang ditemukan Gadis dalam analisisnya adalah: Pram masih terkungkung pada misi manusia modern. Sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat universalisme dan kebenaran tunggal, perjuangan kemanusiaan yang baik melawan kekuasaan yang jahat. Ide-ide besar ini, kata Gadis, sudah tentu mementingkan peranan rasio, lalu, mau tidak mau Pram akan mengenyampingkan dahulu tetek bengek perempuan, tidak ada waktu baginya memikirkan problematik seorang janda. Itu sebabnya Calon Arang bagi Pram menjadi gender neutral, tidak ada sexual difference, sangat klop dengan pemikir-pemikir zaman modern—yang di mata Gadis para patriarch itu telah meminggirkan suara-suara marjinal seperti perempuan.
Sementara Toeti Heraty, menurut Gadis, ketika menulis Calon Arang telah sampai pada tahap feminine writing sebagaimana dikatakan Helena Cixous—seorang novelis dan feminis yang berkiblat pada filsuf postmodernisme Jaques Derrida. Gadis menambahkan, feminine writing yang dilakukan Toeti Heraty terlihat bebas, liar dengan imajinasi, tanpa kekangan, kata-kata yang terus mengalir tidak bisa dibendung, ia melepaskan ikat tali segala norma-norma yang melilit. Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan mampu memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasanya berlari bebas ke segala arah.
Gadis Arivia tidak sependapat dengan pernyataan Keith Foulcher dalam epilog buku Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) karya Toeti Heraty, yang menyebutkan bahwa karya Toeti mengajak pembaca untuk berpikir. Menurut Gadis, karya Toeti itu mengajak pembaca untuk bergairah, karena dengan gairah atau keinginan, dan bukan rasio, perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran yang sudah dipatok oleh laki-laki. Karena pada akhirnya toh perempuan hanya dapat bebas dari penindasan bila ada gairah/keinginan dan bukan rasio.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang netral. Baik Calon Arang (1999) karya Pramoedya Ananta Toer—buku ini diterbitkan kembali dengan judul Cerita Calon Arang (2003) oleh penerbit Lentera Dipantara—maupun Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) karya Toeti Heraty memperlihatkan perspektif yang berbeda. Pram menuliskan dongeng yang lahir di zaman Kerajaan Kadiri itu dengan sudut pandang laki-laki, sementara Toeti menuliskannya dengan sudut pandang perempuan. Perbedaan sudut pandang itu mengakibatkan Pram menempatkan Calon Arang, seorang janda dari desa Jirah (ada yang menulis Girah atau Dirah), sebagai tokoh jahat (antagonis), sementara Toeti menempatkan Calon Arang sebagai korban budaya patriarki.
Yang lebih menarik lagi, ketika artikel Gadis itu dibukukan dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati (2006), judulnya mengalami perubahan yang signifikan. Kalau dalam Jurnal Perempuan artikel itu masih berjudul “Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty”, maka dalam buku Feminisme itu artikelnya sudah berubah menjadi “Calon Arang, Sudah Feminis!”. Padahal, isi artikelnya tidak mengalami perubahan yang prinsipil.
Sebenarnya artikel itu berasal dari makalah yang disampaikan dalam diskusi karya sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 17 April 2003. Judul artikelnya masih netral: “Calon Arang: Korban Patriarki atau Teror?”. Jadi, dengan isi tulisan yang sama, artikel itu sudah mengalami tiga kali perubahan judul. Dari sini pun kita dapat melihat bahwa pembaca pun tidak netral dalam menilai karya sastra. Artinya, suatu karya sastra bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda, yang dilakukan oleh pembaca yang menggunakan perspektif yang berbeda.
Apa yang bisa dipelajari dari artikel Gadis Arivia yang menyebutkan “Calon Arang, Sudah Feminis!” ini?
Pertama, seperti yang telah disebut di atas, tidak ada karya sastra dan kritik sastra yang netral. Kedua, baik karya sastra maupun kritik sastra sangat dipengaruhi ideologi pengarang/kritikus. Ketiga, jangan berharap ada kebenaran tunggal dalam karya sastra maupun kritik sastra, yang ada hanyalah kebenaran relatif. Keempat, unsur subjektivitas dalam menulis karya sastra maupun kritik sastra sangat tinggi, karenanya karya sastra maupun kritik sastra harus dibaca secara kritis pula, tapi jangan anarkis. Kalau ada perbedaan pandangan, jangan lantas pengarangnya dihukum mati atau karyanya dilarang terbit, melainkan perlu dilahirkan wacana alternatif yang dapat mengimbanginya.
Kelima, dongeng, cerita lisan yang sekarang banyak ditransformasi ke dalam karya sastra, ternyata masih memiliki daya pikat hingga kini. Bagaimanapun, dongeng yang disampaikan secara lisan maupun tulisan bisa mempengaruhi pola pikir pembacanya. Karena itulah pola pikir pembaca yang dinilai merugikan kaum marjinal dicoba untuk didekonstruksi. Apa yang dilakukan Toeti Heraty itu merupakan upaya mendekonstruksi pola pikir masyarakat yang telah menempatkan Calon Arang, seorang perempuan, seorang janda dari desa Jirah, sebagai penjahat.
Keenam, yang merupakan gagasan penting yang hendak saya kemukakan dalam tulisan ini, bahwa dongeng atau karya sastra itu tidak lepas dari konteks zamannya. Dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh-tokoh yang sering disebut adalah Raja Sri Baginda Erlangga, Empu Baradah dari Lemah Tulis, Empu Bahula, selain Calon Arang dan anaknya yang cantik jelita, Ratna Manggali.
Dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (1973) karya R. Soekmono, Airlangga dan mpu Bharada itu tokoh yang benar-benar ada. Ketika Airlangga mengalami kesulitan untuk membagi kekuasaan kepada kedua anak laki-lakinya, maka mpu Bharadalah yang mengusulkan pembagian kerajaan Daha menjadi dua: Kadiri dan Jenggala (Soekmono, 1973: 57). Lalu, siapa Calon Arang itu? Atau, Calon Arang merepresentasikan siapa?
Sayang, dalam buku sejarah itu kurang detail informasinya. Yang ada hanyalah, ketika Airlangga menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekelilingnya, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Soekmono menuliskan, Airlangga menaklukkan “seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa dalam tahun 1032”.
Dan dongeng Calon Arang pun lahir pada zaman kerajaan Airlangga, sehingga bisa jadi dongeng itu diciptakan untuk mendeskreditkan “seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa” itu. Dongeng tersebut mengalami perkembangan dan perbantahan hingga sekarang, seperti yang ditulis Toeti Heraty, “Riwayat Calon Arang dikisahkan kini sebagai perempuan korban patriarki, mungkin memang ada peristiwa nyata di Kerajaan Erlangga abad kesebelasan, lalu mengalami berbagai distorsi, kemudian mengalami Balinisasi. Sementara persepsi masa kini mendudukkannya tanpa pretensi kebenaran sejarah, hanya demi rehabilitasi dan empati dalam rentang waktu dan keabadian: secuil kebenaran dan keadilan” (2000: 73).
Sebuah dongeng ternyata menyimpan konflik tersendiri. Dan, benarkah dongeng senantiasa mendeskreditkan perempuan? ***

Bibliografi

Arivia, Gadis. 2003. “Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti
Heraty,” dalam Jurnal Perempuan edisi 30.
_____. 2006. “Calon Arang, Sudah Feminis!” dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati.
Jakarta: Kompas.
Asa. 2002. “Calon Arang adalah Ibu yang Diburu…,” dalam Kompas, 12 Oktober.
Banua, Raudal Tanjung. 2005. Gugusan Mata Ibu. Yogyakarta: Bentang.
Heraty, Toeti. 2000. Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Setia, Putu. 1987. Menggugat Bali. Jakarta: Grafitipers.
Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Cerita Calon Arang. Jakarta: Lentera Dipantara.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:
Djambatan.

Jumat, 17 Oktober 2008

Munir Tak Pernah Mati



oleh Silvi Fitri Ayu

Judul buku: Untukmu Munir...
Editor: Asep Sambodja
Penerbit: bukupop
Tahun terbit: 2008
Tebal: xii + 76 halaman



Untukmu Munir adalah sebuah buku kumpulan cerita pendek karya dua belas mahasiswa Universitas Indonesia yang disunting oleh Asep Sambodja (dosen Program Studi Indonesia FIB UI). Buku yang diterbitkan pada Maret 2008 ini merupakan bentuk kepedulian para mahasiswa terhadap kasus pembunuhan Munir yang merupakan tokoh penegak HAM di Indonesia. Seperti disebutkan pada bagian pembuka buku ini, Untukmu Munir juga merupakan buku pelengkap atas terbitnya buku-buku lain yang berisi tentang peristiwa bersejarah dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi di Indonesia.
Ketika pembaca mulai membaca bagian pembuka buku ini, pembaca akan mendapatkan sebuah pemikiran baru tentang arti pentingnya sebuah karya sastra dibuat oleh para penyair. Karya sastra diartikan sebagai sebuah upaya untuk menyuarakan kebenaran dan bentuk “pengabadian” peristiwa sejarah yang mungkin nantinya akan terlupakan. Pada bagian pembuka ini juga terdapat dua buah puisi, yaitu karya Goenawan Mohamad yang berjudul “Kwatrin tentang Sebuah Poci” dan karya Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Mata Penyair”. Kedua puisi ini semakin menekankan arti penting sebuah karya sastra. Selain itu juga ada puisi karya Asep Sambodja yang berjudul “Cak Munir di Awan” sebagai pembuka buku ini, yang menyiratkan makna bahwa “sosok Munir” akan selalu hidup di hati para penegak hak asasi manusia di negeri ini.
Buku yang terdiri dari 76 halaman ini mengangkat satu tema penting, yaitu “kematian Munir”. Para penulis dalam buku ini secara garis besar menempatkan diri mereka ke dalam empat karakter, yaitu sebagai Munir, Suciwati (istri Munir), Malaikat Pencabut Nyawa, dan teman Munir. Pada umumnya, para penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, tetapi ada satu cerpen berjudul “Keputusan Malaikat” karya Zul Abrar H. yang menggunakan sudut pandang orang ketiga. Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen ini pun cukup lugas dan mudah dipahami oleh para pembaca serta cocok dibaca oleh semua umur.
“Bayang-Bayang Kematian”, “Harta Berharga”, “40 G”, “Kematianku”, “Gugur di Musim Gugur”, dan “Tanya Yang Belum Terjawab” merupakan cerpen-cerpen yang bercerita tentang skenario kematian Munir pada tanggal 7 September 2004 di pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974. Keenam penulis ini memposisikan diri mereka sebagai seorang “Munir” yang mencoba menjelaskan situasi ketika maut akan menjemputnya. Dari keenam cerpen ini tidak terlalu tampak perbedaan yang sangat besar tentang skenario kematian Munir.
Hampir di keenam cerpen ini selalu muncul tokoh dr. Tarmizi dan Pollycarpus yang menjadi teman seperjalanan Munir menuju Belanda. Akan tetapi, tokoh dr. Tarmizi diceritakan sedikit berbeda pada cerpen berjudul “Bayang-bayang Kematian”. Dalam cerpen ini dr. Tarmizi diceritakan sepertinya ikut terlibat dalam pelaksanaan pembunuhan Munir. Hal ini terlihat dari beberapa kalimat, yaitu ”Aku hanya mampu mendengar penggalan-penggalan pembicaraan mereka. Satu yang kudengar jelas. Berhasil”. Sedangkan pada kelima cerpen lainnya, dr. Tarmizi hanya digambarkan sebagai tokoh yang berusaha menolong Munir dari keracunan arsenik. Tokoh Pollycarpus hanya diceritakan sebagai orang yang menawarkan kebaikan kepada Munir, yaitu untuk pindah duduk dari kelas ekonomi ke kelas bisnis. Sikap Pollycarpus yang begitu kukuh untuk membujuk Munir pindah ke kelas bisnis terasa sangat mencurigakan. Pembaca buku ini pasti akan sangat bertanya-tanya tentang kebaikan tokoh Pollycarpus. Hal ini dikarenakan tokoh Pollycarpus dalam cerpen-cerpen ini memberikan kebaikan kepada Munir dengan cara yang sangat mencurigakan dan dia memperkenalkan diri dengan profesi yang agak berbeda-beda. Namun, pada intinya setiap cerita menunjukkan bahwa Munir sendiri bertanya-tanya tentang penyebab kematiannya.
Para penulis ini melalui cerita-cerita mereka telah berhasil menjadi sosok Munir yang sangat menderita ketika racun arsenik mulai bekerja dan merenggut nyawanya. Mereka seolah-olah telah benar-benar melihat, bahkan mengalami situasi saat itu. Sosok Munir sepertinya telah melekat dalam diri penulis-penulis ini, karena mereka begitu mudah mendeskripsikan sosok Munir ke dalam karya-karya mereka.
Berbeda dengan keenam cerpen yang telah disebutkan di atas, para penulis dari cerita “Catatan Kematian Suamiku”, “Kerinduan”, “Sebuah Perjalanan Panjang”, dan “Surat Untuk Suamiku” menempatkan diri sebagai Suciawati, yaitu istri Munir. Secara keseluruhan keempat cerpen ini merupakan gambaran tentang perasaan seorang istri yang sangat merindukan suaminya yang telah meninggal dan semangat untuk memperjuangkan keadilan demi suaminya. Rasa rindu dan kesedihan yang mendalam, terhadap suami yang telah meninggal terlihat jelas dalam cerpen “Kerinduan” dan “Surat Untuk Suamiku”. Cerpen “Kerinduan” memperlihatkan perasaan seorang istri yang begitu berat untuk melepas kepergian suaminya hingga dia pun melihat kedatangan suaminya dalam mimpi. “Surat Untuk Suamiku” ini sangat tepat diletakkan di bagian akhir buku ini karena rasa rindu dan kehilangan itu membuat bangkit sosok Suci untuk melanjutkan kehidupannya serta meneruskan perjuangan sang suami, Munir.
“Catatan Kematian Suamiku” dan “Sebuah Perjalanan Panjang” lebih menggambarkan rasa marah seorang istri dan perjuangan untuk menegakkan keadilan. Ketika pembaca membaca kedua cerpen ini, sangat terasa bahwa untuk menegakkan keadilan di Indonesia sangatlah sulit dan setiap rakyat belum dapat memperoleh haknya secara utuh dalam bidang hukum. Suciwati akan terus berjuang sekuat tenaga untuk mencari keadilan dalam kasus kematian suaminya, karena di negeri ini ”keadilan” sudah tidak memiliki tempat lagi. Instansi-instansi hukum yang seharusnya menegakkan keadilan sudah semakin kehilangan wibawanya. Pemerintah sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk dapat menegakkan hukum.
Pembaca akan semakin tahu bahwa sesungguhnya kasus Munir belumlah terselesaikan sepenuhnya, walaupun Pollycarpus telah dijatuhi hukuman atas kasus kematian Munir. Siapa sesungguhnya dalang dari kasus Munir ini belum diketahui dengan jelas. Hal ini dikarenakan kasus Munir bukan sebuah kasus kematian biasa, tetapi terkandung unsur-unsur politik di dalamnya. Kasus kematian ini merupakan kasus kematian yang telah direncanakan secara matang dan melibatkan beberapa “petinggi-petinggi” negeri ini yang takut kejahatannya dibongkar oleh Munir. Hal tersebut tergambar dari cerpen “Keputusan Malaikat”. Kalimat-kalimat terakhir cerpen ini sangat menggambarkan perkembangan kasus kematian Munir pada saat ini. Berikut paragraf terakhir cerpen “Keputusan Malaikat”:

Berbagai sidang kemudian digelar untuk mencari tahu siapa tersangka kasus pembunuhan itu dan sampai saat ini tersangka kasus kematian itu tidak pernah terungkap. Hanya Tuhan, Malaikat Pencabut Nyawa, dan Malaikat Pencatat Takdir yang mengetahui siapakah orang yang menjadi kepanjangan tangan Malaikat Pencabut Nyawa untuk melaksanakan tugasnya.

Selain itu cerpen ini juga memperlihatkan situasi Indonesia yang sangat buruk. Negeri tercinta ini telah terkenal dengan kekacauannya dan banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia telah menjadi sebuah negeri yang mengagungkan penindasan dan telah mengubur semangat keadilan.
Cerpen “Terbungkam” semakin memperlihatkan bahwa sesungguhnya bangsa ini belum merdeka. Penggalan bait lagu “Indonesia Raya” diawal cerpen ini menambah kepiluan akan situasi negeri ini. Semangat kebangsaan dalam lagu itu seamakin membuat kita pilu karena sesungguhnya kita bukanlah bangsa yang merdeka. Sekarang negeri ini kembali dijajah oleh kemunafikan dan penindasan.
Diceritakan lewat cerpen “Terbungkam” tentang salah seorang sosok teman Munir yang sangat mengagumi sosok Munir yang sangat berani dalam membela kebenaran. Teman Munir ini sangat menyadari bahwa bangsa ini sedang dalam masa kebobrokan. Akan tetapi, berbeda dengan Munir, dia tidak berani menyuarakan kebenaran itu. Rasa takut lebih menguasainya dari pada semangat untuk menyuarakan kebenaran, bahkan dia sampai melarikan diri ke luar negeri karena rasa takutnya ini. Namun, kematian Munir menyadarkan dia bahwa manusia tidak boleh takut dengan kematian, karena setiap manusia pasti akan mati. Selain itu kematian Munir juga memberikan semangat dalam dirinya untuk berani menyuarakan kebenaran dan terus melanjutkan perjuangan Munir yang tak akan pernah mati.
Sosok Munir yang berani dan bersahaja tergambar dengan sangat jelas dalam kedua belas cerpen ini. Dalam setiap hembusan napas Munir begitu terasa semangat keberanian dan keadilan. Munir bukan hanya memberikan inspirasi kepada keluarga dan teman-teman saja, tetapi setiap orang yang membaca cerita tentang Munir pasti akan sangat mengaguminya. Selain itu, kepergian Munir tidak hanya membuat sedih orang-orang terdekatnya, tetapi banyak orang di negeri ini yang menangisi kepergiannya.
Cerpen-cerpen dalam buku ini sebenarnya hanyalah salah satu media untuk menyampaikan kebenaran. Lewat sosok Munir, para punulis dalam buku ini ingin menyadarkan dan mengajak pembaca tentang semangat keadilan yang sudah hampir tak tersisa di negeri ini. Buku ini juga ingin membuka mata kita bahwa negeri ini sedang “sakit keras”. Kita yang masih hidup sampai saat ini hendaklah mulai sadar untuk membenahi bangsa ini. Hal itu karena nasib bangsa ini sesungguhnya ada di tangan kita semua.
Munir adalah sosok teladan yang harus selalu kita contoh. Tubuh Munir boleh pergi meninggalkan kita semua tetapi semangat Munir harus dan akan selalu ada di hati orang-orang yang mencintai keadilan. Yakinlah pasti akan lahir sosok-sosok yang akan meneruskan semangat perjuangan seorang Munir. Dan kita harus menjadi sosok pengganti Munir yang tidak pernah takut untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan.***

Cinta dan Citra Manusia dalam Puisi




: Membaca Kumpulan Puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran karya Asep Sambodja

oleh Anas Prambudi

Puisi adalah karya seni yang puitis. Puitis dikonotasikan mengandung nilai yang khusus dan punya arti yang dalam. Dalam karya sastra, aspek puitis dapat disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan. Dalam menghadapi sebuah puisi, bukan hanya pada unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata indah. Akan tetapi, merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang meliputi ungkapan pikiran dan perasaan penyair serta bahasa yang digunakan. Penyair mempunyai maksud tertentu dibalik baris-baris dan bait-bait yang disusun sedemikian rupa. Begitu juga dengan maksud digunakannya kata-kata, lambang, kiasan, dan sebagainya (Pradopo, 1990: 13).
Usaha memahami puisi tidak dapat terikat pada salah satu pendekatan saja karena setiap puisi memiliki karakter tersendiri, baik karakter yang ditentukan oleh penyairnya, temanya, nadanya, maupun karakter yang diwarnai oleh kenyataan sejarah pada saat puisi itu diciptakan. Karakter puisi juga tidak lepas dari citra manusia. Citra manusia dan puisi adalah dua hal yang saling berkaitan. Citra manusia, dalam hal ini, memiliki pengertian kesan, bayangan, atau gambaran manusia. Sebagai suatu produk budaya, puisi tentu tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan. Analoginya, sebuah karya sastra, seperti puisi, selalu menghadirkan kehidupan manusia, karena pada dasarnya tiap karya sastra itu berisi obsesi sastrawan tentang kehidupan dan dalam kehidupan selalu hadir manusia (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994: 13-14).
Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 1990: 7). Wujud pengalaman manusia yang paling berkesan adalah hubungan antarpersonal. Hubungan antarpersonal memperlihatkan jalinan perasaan satu sama lain. Jalinan perasaan itulah yang kita kenal dengan sebutan cinta. Cinta senantiasa membuat manusia menjadi puitis. Oleh karena itu, puisi merefleksikan cinta, dan berarti pula menampilan citra manusia tertentu. Citra manusia itulah yang coba diungkapkan dalam telaah puisi bertemakan cinta.
Dalam telaah buku kumpulan puisi yang berjudul Kusampirkan Cintaku di Jemuran karya Asep Sambodja, Sang penyair merefleksikan tema cinta secara universal dalam setiap puisinya. Cinta kepada Tuhan, cinta kepada keluarga, cinta kepada kekasih, cinta kepada sahabat, dan cinta kepada bangsa dan negara adalah tema dalam puisi-puisinya. Sebagai penulis, saya memfokuskan telaah buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran berdasarkan hubungan antara cinta dan citra manusia yang dilanda asmara saja. Fokus tema tersebut saya pilih karena bagi saya tema cinta adalah tema yang universal untuk dibahas. Setiap manusia pernah jatuh cinta, dan cinta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pencitraan manusia. Jatuh cinta selalu membuat orang dapat mengekspresikan perasaannya dengan lebih jujur. Sehingga, citra manusia yang menjadi topik bahasan dalam telaah ini dapat dengan mudah dianalisa.

Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis
Salah satu puisi yang bertema cinta yang dilanda asmara dalam buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran ialah puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis”. Puisi “Kukirimkan Rinduku Lewat Gerimis” bercerita tentang seorang laki-laki yang rindu dengan kekasihnya. Si laki-laki, aku lirik, menggunakan ungkapan ‘gerimis’ sebagai media dalam mengirimkan rindunya. ‘Gerimis’ dalam hal ini bisa berarti cinta karena pilihan kata ‘gerimis’ menyiratkan tentang keadaan pilu.

kukirimkan rinduku lewat gerimis
yang menyirami pohon kelapa
di depan rumahmu –

Cinta tidak harus selalu merasa bahagia. Kadang-kadang cinta juga bisa membuat manusia sedih. Sedih karena perasaan aku lirik kacau balau, kemungkinan karena sebuah konflik yang belum terselesaikan. Keadaan pilu yang dirasakan oleh aku lirik, diperkuat dengan larik yang menyatakan ‘kalah dan menang’. ‘Kalah dan menang’ berarti memang terjadi konflik antara aku lirik dengan kekasihnya.

sesungguhnya siapa yang menang?
mestikah aku senang, jika kau datang
merindu?
mestikah kau senang, jika kuterduduk
merindu?

Aku lirik adalah sosok seorang manusia yang besar hati karena mencintai seseorang butuh kedewasaan dan rasa pengertian. Aku lirik menggambarkan citra manusia yang menghargai cinta berdasarkan rasa pengertian. Citra manusia yang mencintai pasangannya dengan tulus, yang rela berbesar hati demi tercipta langgengnya hubungan.

tak perlulah kita timpang
biarlah kau dan aku yang menang
biarlah kau dan aku meradang
biarlah cinta memenjarakan kita
kerna baru kutahu,
jika cinta memenjarakan kita,
kok rasanya bagaimana, gitu.

Cinta Itu
Puisi kedua dalam buku kumpulan puisi Kusampirkan Cintaku di Jemuran adalah puisi berjudul “Cinta Itu”. Puisi ini bercerita tentang seorang laki-laki yang sangat mencintai seorang perempuan. Akan tetapi, cinta laki-laki ini, tokoh aku lirik, tertahan oleh ketidakmungkinan kondisi yang terjadi antara aku lirik dengan perempuan yang ia cintai. Ketidakmungkinan kondisi itu karena mereka berdua telah mempunyai kekasih. Cinta yang begitu besar, namun tidak bisa dipaksakan karena masing-masing ‘terkepung labirin’. Meskipun begitu, mereka berdua menikmati kenyataan itu.

langkahku tertunda padamu
aku terkepung bisu
angin dan angin senantiasa
yang mendekap
begitu dekat jarak
antara kau dan aku
tapi selalu saja lepas
setiap pandang
kita sama terkepung labirin
indah, memang indah, biarpun semu
bukankah kita nikmati keindahan itu
tanpa kata –
meski semu?

Hubungan antara aku lirik dengan perempuan yang ia cintai, tokoh kamu lirik, masih hanya sebatas teman karena dalam larik berikutnya terdapat kata ‘kesetiaan’. Hal ini mengartikan bahwa mereka berdua tidak selingkuh. Mereka masih setia dengan pasangan masing-masing.

kesetiaanku dan kesetiaanmu
sama-sama dipertaruhkan
dalam hidup yang gombal ini
meski begitu:
cintaku selangit padamu

Aku lirik sepertinya tidak berniat memperjuangkan rasa cintanya terhadap kamu lirik karena larik puisinya berhenti pada kalimat ‘cintaku selangit padamu’. Aku lirik lebih memilih memendam rasa cintanya di dalam hati. Citra manusia yang digambarkan aku lirik adalah manusia yang mengedepankan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri. Aku lirik memikirkan perasaan kekasihnya sehingga ia tidak mengedepankan egonya untuk meninggalkan kekasihnya demi kamu lirik. Meskipun begitu, perasaan cinta aku lirik kepada kamu lirik begitu besar.

Rayuan Seorang Laki-laki pada Seorang Perempuan dengan Kata-kata yang Mendayu-dayu
Puisi ketiga berjudul “Rayuan Seorang Laki-laki pada Seorang Perempuan dengan Kata-kata yang Mendayu-dayu”. Puisi ini berisi kata-kata rayuan untuk memikat hati seorang gadis. Rayuan ini diucapkan oleh aku lirik kepada seorang gadis dengan maksud ingin melamarnya. Dalam lariknya, puisi ini menjelaskan karakter aku lirik yang idealis. Aku lirik menggambarkan dirinya sebagai seorang manusia yang apa adanya. Ia tidak terlalu mementingkan kekayaan, pangkat, apalagi istri yang banyak. Ia cuma ingin mencintai gadisnya dan bisa menjalani kehidupan bersama dengan gadisnya.

oh, kasih
apalah aku ini
yang tak punya apa-apa
apalah kerjaku ini –
bagiku,
kerja bukanlah untuk mencari kebahagiaan
kerja adalah kebahagiaan itu sendiri
maka aku tak tergiur uang
tak tergiur jabatan
maka apakah aku ini
yang tak mau mengagungkan uang
tak mengagungkan perempuan
karena, bagiku,
cukuplah satu istri
yang kukasih
dan kumau kau
yang kukasih
sampai-sampai
padaNya

Sosok aku lirik menggambarkan citra manusia yang idealis dan tidak ambisius. Ia mencintai pekerjaannya, kehidupannya, dan gadis yang dicintainya dengan tulus. Ia tidak berharap sesuatu yang lebih. Ia adalah sosok manusia yang jarang sekali ditemui. Kebanyakan manusia gila jabatan, harta, dan wanita. Akan tetapi, pencitraan manusia yang digambarkan aku lirik berbeda. Aku lirik adalah citra manusia yang cinta idealisme.

Kusampirkan Cintaku di Jemuran
Puisi keempat berjudul “Kusampirkan Cintaku di Jemuran”. Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang putus asa. Putus asa untuk mencintai dan dicintai. Manusia ini, tokoh aku lirik, merasa tidak berguna dalam menjalin percintaan karena hubungan cintanya selalu kandas.

kusampirkan cintaku di jemuran
karena luka dan airmata
dan bila ada angin
kubiarkan terbang entah ke mana
karena cintaku usang dan berlubang

Aku lirik sepertinya mencintai seseorang, kamu lirik. Akan tetapi, cintanya tidak terbalas. Ia hanya bisa mencintai dari jauh. Ia merasa seperti seorang pecundang karena terdapat larik yang menyatakan ‘bila ada mentari/ makin jelas koyak cintaku/’. Hal ini menunjukkan aku lirik benar-benar merasa jatuh. Dari larik-larik yang terdapat dalam puisi, ia tidak menunjukkan semangat atau harapan.

bila ada mentari
makin jelas koyak cintaku
dan kubiarkan begitu
bila hujan tak pergi
berarti damai dan air mataku basah

bila kau kedinginan di malam gelap
kubiarkan cintaku kaudekap
hanya kehangatan yang kuberi
karena cintaku robek dan tak mengkilat

Dari puisi di atas, citra manusia yang digambarkan aku lirik ialah manusia yang putus asa terhadap cinta. Manusia yang gagal menjalani hubungan percintaan. Manusia yang menyerah dan tidak mau berusaha mengubah nasib cintanya. Citra manusia yang memilih untuk tidak mencintai ketimbang mencintai tetapi sakit hati.

Cinta yang terkandung dalam setiap puisi di dalam buku Kumpulan Puisi “Kusampirkan Cintaku di Jemuran” karya Asep Sambodja memiliki keterkaitan dengan perasaan seorang manusia. Seorang manusia yang mengungkapkan cinta secara tidak langsung manusia tersebut mengekspresikan aspek puitis dalam dirinya. Puisi sebagai unsur puitis sastra, mengekspresikan maksud yang sama dengan seseorang yang tengah dilanda cinta. Keharuan, kegembiraan, dan kebencian adalah hal yang dirasakan oleh seseorang yang tengah dilanda cinta. Puisi cinta yang berasal dari buku kumpulan puisi ini memiliki keterkaitan dengan hal itu. Dengan demikian, aspek puitis cinta dan citra manusia merupakan satu corak puisi yang sama.***