Senin, 20 Oktober 2008

Surat Terbuka buat Yunis Kartika



oleh Asep Sambodja

Terus terang, saya merasa tersiksa membaca novel Yunis Kartika, Let’s Rock the Cyber! Pertama, dari segi bentuknya saja, terlalu banyak tampilan dialog dalam chatting yang seolah-olah dipindahkan begitu saja oleh Yunis ke dalam novelnya. Ini mengingatkan saya pada cerpen Danarto yang berjudul “Ngung Ngung Ngung Cak Cak Cak” dalam Adam Ma’rifat yang seperti memindahkan begitu saja suasana pertunjukan tari kecak di Bali—yang merekam semua yang terdengar dan terlihat di arena pertunjukan itu ke dalam teks—sehingga suara bisik-bisik penonton dan suara babi terekam bersama tarian kecak tersebut. Lebih jelasnya, saya kutip cerpen Danarto di bawah ini:
“He, Mas Totok sudah lama di sini?”
“Awas kabel.”
Guk guk guk guk guk guk guk
Ngrrrrrrrooookk
“Sampai berapa lama?”
k cak cak cak sak cak c
Makin lama makin banyak yang mengerumuni layar mini ini, meskipun yang nampak garis-garis saja.
“Bagaimana kalau tombol gambar kita tekan?”
“Kemarin aku tidak makan sama sekali.”
k cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak
cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak c
“Kok charming amat sih Mbok Semi.”
“Jangan berdesak-desak.”
“Kapan ke sana lagi.”
“Gambarnya nggak ada.”
“Rina ada?”
“Baru sekali ini aku melihat tarian suci.”
“Ia tahu artinya.”
“Mereka menikmati upacara ini seperti menikmati warung Mbok Semi.”
“Ruang dan waktu terkuasai di Bali sini.”
“Apa rencana besok?”
“Ini alat apa sih.”
“Kelian tadi di sini, entah sekarang di mana ia.”
“Apa-apa yang masih impian, sebentar lagi menjadi kenyataan.”
“Mau lemper?”
“Saya mencari Made.”
“Apa masih ada rahasia?”
“Ia nonton bioskop ke Den Pasar.”
“Besok harus bangun pagi-pagi, kita akan mengairi sawah.”
“Kabarnya topeng Gelodog akan disimpan di museum Paris.”
“Tombol gambar?”
“Tak mungkin kita memperoleh hal-hal yang nyata.”
(Danarto, 1992: 48-49)

Bedanya, eksperimentasi yang dilakukan Yunis Kartika tidak dieksplorasi secara maksimal. Padahal, dapat dikatakan, bangunan cerita novel ini terdapat pada isi dalam dialog di chatting itu. Hanya saja, konflik atau tikaian yang biasanya menjadi jiwa sebuah cerita tidak dibangun dalam dialog-dialog di chatting yang bertebaran dalam novel ini; sebagian besar seperti ini:
Broke Up!
aca_79id : apa’an sih artinya nih..
quenny_balqis : kita ga bisa lanjut
aca_79id : Aca ga tau lagi mesti gimana.
aca_79id : QQ mau putus...??
quenny_balqis : ya
aca_79id : plssssss.........ma’afin Aca Q....
quenny_balqis : pemikiran kita beda Ca
aca_79id : Aca sayang ama QQ......
aca_79id : karena QQ ga tau...........
aca_79id : ok deh.....
aca_79id : baek-baek yah Q......
aca_79id : Aca selalu sayang ama QQ......
aca_79id : jangan lupain Aca yah.....
quenny_balqis : sama-sama
quenny_balqis : bae-bae juga ya Ca
aca_79id : kalo ada apa-apa cerita ama Aca
aca_79id : Qqiiiiiiiii
quenny_balqis : ya
aca_79id : plsssssssss
quenny_balqis : apa?
aca_79id : Aca ga bisaaaa......
quenny_balqis : ye......katanya ok
aca_79id : Aca masih sayang ama QQ
aca_79id : ga bisa Q.......
aca_79id : aca ga tau Q.........
quenny_balqis : jadi?
aca_79id : salah ga Aca mempertahankan ini....
aca_79id : Aca ga bisa.......
aca_79id : sorry kalo Aca egois......
quenny_balqis : jadi mau Aca gimana?
aca_79id : apa itu udah keputusan QQ...???!!!
aca_79id : Aca masih mau pacaran dan jalaninya....
aca_79id : kalo QQ masih sayang ama Aca....
aca_79id : tapi kalo memang QQ ga bisa lagi......
aca_79id : Aca harus bisa nerima....
quenny_balqis : kitakan masih bisa temenan
aca_79id : itu jawaban QQ buat Aca...??
quenny_balqis : ya, toh kamu juga bisa terima
aca_79id : Aca bisa terima kalo QQ emang ga ada rasa cinta dan
sayang lagi ma Aca...
aca_79id : QQ ga ada rasa itu...ke Aca...?
quenny_balqis : rasa itu masih ada Ca, tapi QQ sakit hati ma kamu
aca_79id : sakitnya kenapa...?
aca_79id : QQ kan bisa ceritaiin ke anca...
aca_79id : Aca kan pernah bilang...kalo ada apa-apa kita pecahin
bersama...
aca_79id : Aca pengen kita saling jujur....jawab Q....
quenny_balqis : cape Ca, QQ punya harapan ketika membuka hati ke
cowok...kamu
aca_79id : ma’afin Aca, Q.........
aca_79id : kasih Aca satu peluang....
aca_79id : masi bisa...?
aca_79id : Aca sayang ma QQ.........
aca_79id : Aca ga mau QQ kaya dulu......
aca_79id : itu yg Aca takut dari QQ......
aca_79id : Aca ga mau QQ gitu......
aca_79id : karena Aca sayang ama QQ......
quenny_balqis : gitu gimana?
aca_79id : QQ dingin ama cowok......
aca_79id : karena Q pernah cerita ma Aca...kalo dulu tertutup ama
cowok (ga mau pacaran,nikah)..
aca_79id : Aca masih mau pacaran ama QQ......
aca_79id : Aca masih mau......?? plsss jawab...
quenny_balqis : hanya itu Ca?
quenny_balqis : sudahlah Ca, lebih baik bertemen aja. Mudah-mudahan
kita jadi lebih saling terbuka, ya?
aca_79id : Aca coba untuk pahamin, maafin kesalahan aca ya Q.
Janji jangan berubah, jangan ngehindar kalo ketemu di
room. Jawab PM-an Aca ya...
quenny_balqis : Maafin QQ juga ya Ca, karena ga bisa nerusin hubungan
ini lagi. Iya, Insyaallah QQ ga akan berubah. FRIEND?
aca_79id : FRIEND!

Kedua, dari segi isi, terutama kalau dilihat dari sisi pragmatisnya, persoalan yang diangkat Yunis adalah persoalan periferal, persoalan di lapis luar kulit bawang. Padahal, pada saat yang bersamaan, kita juga dihadapkan dengan novel-novel Pramoedya Ananta Toer, Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, Oka Rusmini, atau cerpen-cerpen Linda Christanty, A. Mustofa Bisri, Yanusa Nugroho, dan A.S. Laksana, yang mengangkat tema atau persoalan-persoalan besar seperti kebenaran, keadilan, kebangsaan, kehidupan, kematian, eksistensi, dan cinta. Dalam novel Yunis memang disinggung masalah cinta. Namun, persoalan cinta yang diangkat Yunis terasa artifisial, karena hanya berhenti pada kata-kata. Padahal, untuk menggambarkan cinta tidak harus dengan kata-kata. Remy Sylado, misalnya, menggambarkan kisah cinta antara Keke dan Cak Broto dalam Kembang Jepun dengan mendeskripsikan pasangan itu yang tengah naik cikar atau gerobak sapi yang melewati jalan berlumpur dan berlubang, sehingga cikar itu bergoyang-goyang, di sebuah desa di zaman Jepang. Mengarungi perjalanan seperti itu di zaman Jepang merupakan suatu katarsis tersendiri. Dan, pembaca ikut menikmatinya.
Mengantar hasil bumi turahan yang jelek-jelek itu merupakan kenangan paling indah dalam hidup saya dengan Tjak Broto. Tjak Broto duduk memegang tali sais mengendalikan sapi yang menarik pedati. Lalu saya berjongkok di belakang pantatnya agar dikira orang, pedati ini hanya dikendarai oleh satu orang. Sekali-dua dipecutnya sapi, supaya binatang itu mau empercepat langkah. Jalanan yang kami lalui dari rumah ke pasar, pulang-pergi, bukan seluruhnya beraspal. Sebagian masih tanah. Dan jika hujan, seperti pada bulan-bulan Desember sampai Februari, sapi yang menarik pedati acap kali terseok dan sulit maju. Sering Tjak Broto harus turun, memperbaiki letak roda yang terperosok ke dalam kubangan, dan pada saat itu terpaksa saya harus keluar sebentar untuk memegang tali sais. Apabila ia naik ke atas, kaki sampai batas pantatnya penuh lumpur, dan tak jarang lumpur itu mengotori muka saya yang pas berada di belakang pantatnya, setiap kali pedati bergoyang karena jalanan tak rata.
Pernah malah Tjak Broto terjerembab ke kubangan lumpur ketika ia berusaha mengangkat roda pedati yang terjepit di antara dua batu. Roda yang diangkatnya berhasil berputar maju, tapi setelah itu ia tergelincir dan jatuh dengan kepala terbenam dalam kubangan lumpur. Ia memaki sambil meludah-ludahkan lumpur yang menotori mulutnya.
“Jancuk!”
Lantas ia mengusap mukanya itu dengan tangan yang kotor pula. Akibatnya, mukanya kelihatan lucu. Tidak tahan saya menahan geli. Maka saya tertawa terkekeh-kekeh. Dan itu pula saya catat dalam ingatan saya, bahwa dalam keadaan susah pun, kami tidak kehilangan rasa senang oleh peristiwa-peristiwa yang lucu.
“Jangan ketawa,” kata Tjak Broto di bawah.
“Kau seperti badut.” Saya bertambah geli karena ia tak suka saya ketawa.
“Apa?”
“Badut.”
“Awas.” Ia meloncat ke atas, dan tergelincir lagi karena badannya licin oleh lumpur, membuat saya makin geli. “Kau akan jadi badut juga.” Setelah ia berhasil naik, tangannya yang kotor itu dilapkan ke muka dan rambut saya.
Saya menjerit-jerit. Dan kini giliran Tjak Broto yang menertawai saya. Saya memukul-mukul badannya, bermanja-manja. Tapi Tjak Broto terus melelet dan menguyek-uyek rambut saya dengan lumpur yang dicoleknya dari seluruh badannya. Akhirnya kami sama-sama kotor. Dan kami senang. Kami ketawa bersama. Memang, saat-saat seperti inilah yang tidak dapat ditukar dengan kenangan yang lain. Inilah saat-saat termesra dalam rumah tangga kami yang tetap berdua, sementara sang waktu terus berjalan. Kalau merenungkan itu, memang saya tidak berdaya. Ya sudah. Terserah nasib.
(Sylado, 2003: 181-182)

Ketiga, gaya penuturan Yunis di awal hingga pertengahan cerita membuat saya bernasib sama seperti Sisyphus yang mendorong batu besar ke puncak bukit Tartar secara terus-menerus dan berulang-ulang. Saya juga seperti kena kutuk untuk menuntaskan membacanya—karena kewajiban, bukan karena untuk mendapatkan ekstase ataupun katarsis.
Memang, membaca karya sastra sama seperti kita menyaksikan patung Pangeran Diponegoro yang berada di samping tugu Monas. Kita bisa melihat patung itu dari berbagai perspektif, dari berbagai sudut pandang. Patung itu bisa dilihat dan dinikmati dari samping kanan, samping kiri, depan, belakang, atas, atau bahkan dari bawah patung kuda itu. Begitu pula ketika kita hendak membaca karya sastra yang multiinterpretasi. Karenanya, penilaian terhadap karya sastra perlu argumentasi yang bisa menjelaskan sudut pandang si pembaca—sama halnya dengan kita menguraikan sudut pandang penulis ketika ia merekam kenyataan dan diaktualisasikan ke dalam karya sastra.
Terus terang, saya menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mengatakan novel ini jelek. Karena, bagi saya, tidak ada buku—termasuk novel—yang jelek. Semua buku pasti ada manfaatnya, biarpun manfaatnya hanya sebesar biji sawi. Karena itu pula saya tidak pernah menyetujui adanya pelarangan buku. Barangkali ini menyangkut persoalan selera dalam membaca karya sastra. Apa yang ditulis Remy Sylado dan Seno Gumira Ajidarma, misalnya, sedikit banyak mempengaruhi selera sastra pembacanya. Dalam hal ini, selera saya bukan novel seperti yang ditulis Yunis. Mungkin karena saya terlalu tinggi berharap pada karya Yunis, sama halnya dengan harapan saya untuk selalu menonton pementasan Teater Payung Hitam.
Sastrawan sebagai representasi masyarakat seyogyanya mengekspresikan apa yang terjadi di dalam kehidupannya. Novel Yunis ini saya coba pahami demikian: jangan-jangan apa yang ditulis Yunis ini merupakan representasi dari masyarakat sekarang. Masyarakat atau orang-orang yang tergambar dalam novel Let’s Rock the Cyber! adalah orang-orang yang memikirkan dan membicarakan persoalan-persoalan sepele, remeh-temeh, dan tidak penting. Seorang yang sedang chatting bisa dan bebas memakai nama apa saja. Kata-kata yang terlontar saat chatting sangat bebas, bahkan terkadang sangat vulgar, bebas nilai, sehingga kalau ada yang menyakiti lawan bicaranya, dengan mudahnya minta maaf. Namun, pada kesempatan yang sama, karena dia bisa chatting dengan banyak orang pada saat yang sama, dia berpotensi melakukan “kesalahan” yang sama pula. Dengan demikian, masuk ke dunia maya seperti masuk ke angkasa luar yang bisa jadi tidak mengenal agama, tidak ada hukum, tidak ada aturan, tidak ada undang-undang, tidak ada FPI, tidak ada George W. Bush, tidak ada penjara, tidak ada etika, tidak ada moral, nilai, nurani, dan yang pasti tidak ada kepastian. Tidak adanya kepastian itu dapat dilihat, misalnya, dari mudahnya seseorang bergonta-ganti pasangan atau pacar—meskipun maya.
Sebagai perempuan penulis, mau tidak mau kita harus membaca Yunis Kartika di antara perempuan penulis yang telah hadir sebelumnya. Kalau dilihat dari sisi kevulgaran menyuarakan seksualitas, Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, misalnya, adalah masternya. Yunis tidak menggambarkan seksualitas secara vulgar, bahkan cenderung ditutup-tutupi. Kalau dilihat dari ketangkasan bercerita dan penggunaan diksi yang bernas, Ayu Utami (terutama dalam Saman, bukan Larung) jauh berada di depannya. Kalau dilihat dari segi pemberontakan seorang perempuan, Oka Rusmini demikian lantang menyuarakan nasib perempuan—terutama perempuan Bali. Dari sini pula kita bisa merasakan, ketika ada sesuatu yang diperjuangkan oleh penulis, maka suatu karya sastra akan terasa gregetnya. Apa yang diperjuangkan Oka Rusmini sungguh luar biasa, terlepas apakah ia berhasil atau tidak mendobrak diskriminasi terhadap perempuan di Bali. Karyanya, Tarian Bumi, demikian kuat menggambarkan perjuangan seorang perempuan. Dilihat dengan pendekatan feminisme ataupun pascakolonialisme, apa yang dihasilkan Oka Rusmini tersebut sangat penting dan patut dihargai. Novel itu menjadi salah satu bacaan wajib di Program Studi Indonesia FIB UI.
“Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.”

Kalau yang mau ditonjolkan dari novel Let’s Rock the Cyber! adalah kegelisahan batin tokohnya, QQ/Kiki, maka saya teringat novel Pulang karya Toha Mohtar—yang menjadi bacaan wajib mahasiswa Arsitektur Universitas Trisakti, karena penggambaran latar desa yang demikian detailnya. Dalam novel Pulang, tokoh Tamin mengalami guncangan jiwa yang luar biasa setelah dia menjadi heiho dan pasukan NICA. Ia merasa apa yang dilakukannya selama tujuh tahun (1942-1949) pengembaraannya sudah benar. Tapi, kenyataannya, masyarakat di desanya, Ngadiluwih, Kediri (yang terletak di antara Gunung Wilis dan Gunung Kelud di Jawa Timur), termasuk keluarganya sendiri, lebih menghormati teman-teman Tamin yang mati sebagai gerilyawan di kampung—bukan mantan heiho yang pernah dikirim ke Burma oleh Jepang. Meskipun masyarakat tidak menyakiti hati Tamin, tapi perasaan Tamin yang berlebihan membuatnya pergi meninggalkan desanya.
Kegelisahan batin yang dialami Kiki dalam novel Yunis pun sangat artifisial. Yakni, tentang seseorang yang kesepian. Dan, ia berusaha membunuh kesepian itu dengan mencari teman di dunia maya. Selama chatting dan menjadi anggota JKT111 dan Nusa001, Kiki sering berganti-ganti pasangan. Berganti-gantinya pasangan ini tidak digambarkan secara detail dalam novel ini. Yang tersaji hanya cuplikan dialog dalam chatting sesaat sebelum Kiki putus dengan pasangan-pasangan mayanya.
Kiki menganggap dunia maya sama dengan panggung teater. Sama-sama sedang berperan menjadi entah siapa. Hanya saja, perlu ditambahkan, bahwa bedanya, dunia teater yang di atas panggung itu telah melalui sebuah proses yang panjang, latihan yang intens, sementara dunia maya berproses secara terus-menerus. Hal-hal yang spontan, lugu, naif, kadang pasion yang berlebihan, keluar begitu saja tanpa kontrol. Di teater juga dikenal adanya improvisasi, tapi selalu saja tetap terkontrol. Hal-hal yang lugu—plus jujur—seperti itulah yang banyak mewarnai novel Yunis ini.
Kejujuran. Barangkali inilah yang bisa dikatakan sebagai nilai lebih novel ini. Kalau di atas tadi saya mengatakan, persoalan yang diangkat Yunis tidak penting, itu artinya tidak penting bagi saya sebagai pembaca. Tapi, bagi Yunis sebagai penulis, persoalan tentang kegelisahan batin, cinta, memakai topeng di dunia maya, berteman, berganti-ganti pasangan ngobrol, kopi darat, dan segala tetek-bengek itu, penting adanya. Dengan menuliskan hal itu, Yunis pun sudah melakukan proses katarsis. ***

1 komentar:

perfectwater75 mengatakan...

Salam Kenal,

tulus dari saya di Malaysia, moga pertautan silaturahmi ini akan berkekalan dan saya mohon tunjuk ajar dalam penulisan sastera..

thx!
adikastara
add:adikastara@gmail.com