Kamis, 23 Oktober 2008

Menikmati Cairan Perempuan Riris K. Toha Sarumpaet



oleh Asep Sambodja

Naskah “Cairan Perempuan” karya Riris K. Toha Sarumpaet bukanlah naskah drama yang konvensional. Dengan demikian, apabila naskah ini diusung ke pentas, maka sang sutradara, berikut pemainnya, harus berani menafsirkan naskah tersebut secara merdeka, dengan menjadikannya sebagai satu bentuk seni tersendiri, yang bebas dari belenggu teks.
Apabila dipentaskan dengan mematuhi naskah yang ada, maka isi naskah tersebut harus ditampilkan secara utuh, tak bisa ditambah atau dikurangi, karena ia merupakan satu bagian yang tak terpisahkan, semacam puisi lirik. Dengan kata lain, naskah yang tidak konvensional itu harus pula ditampilkan secara inkonvensional pula. Jika dibawakan secara konvensional, maka yang tampak adalah kecanggungan, atau kikuk.
Naskah seperti inilah yang dibawa Teater Bejana yang disutradarai Daniel H. Jacob ke Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada Sabtu-Minggu (5-6 April 2003). Para pemain utama yang semuanya artis (selebritis), yakni Ria Irawan, Rieke Dyah Pitaloka, Ria Probo, dan Sophie Navita, di satu sisi mampu mengundang daya tarik penonton untuk hadir dan menyaksikan teater di gedung mewah.
Di sisi lain, dengan melihat kesibukan mereka sebagai artis, yang padat acara show di layar kaca atau layar lebar atau di belakang layar, menjadikan permainan mereka tampak kurang total. Sangat terasa bahwa dasar-dasar acting di panggung tidak dilakoni dengan serius, sebagaimana yang diharapkan dari seorang peraih piala citra. (Tapi, kerja teater memang berbeda dengan kerja di film, yang bisa di-cut dan diulang berkali-kali).
Membaca naskah drama monolog ini sebelum menyaksikannya di panggung, lebih menjadi suatu kecelakaan (meski tidak terlalu fatal) ketimbang bekal yang membantu -- ketika kita menonton drama monolog tersebut dipentaskan.
Menjadi suatu kecelakaan, karena benturan antara apa yang telah kita tangkap saat membaca naskah tersebut dengan apa yang kita saksikan di panggung sangat keras. Sedikit banyak, kita telah memiliki pemahaman tersendiri dengan membaca naskah tersebut, dan membayangkan yang muluk-muluk yang akan didapatinya di panggung.
Sementara bagi penonton yang menyaksikan drama monolog dengan kepala yang kosong, barangkali akan merasa lebih menikmatinya, karena siap menerima apa pun tanpa pretensi apa pun.

Teks
Naskah “Cairan Perempuan” itu sangat sarat dengan perenungan, pemikiran, dan juga terkadang terselip perasaan seorang perempuan. “Cairan Perempuan” yang dimaksud, menurut saya, lebih bermuatan pemikiran seorang perempuan, yang tertindih konsep ‘perempuan di titik nol’ seperti yang digambarkan Nawal el-Saadawi, dan tentu saja ingin merdeka dari kondisi seperti itu.
Namun, kemerdekaan seperti apa? Dalam naskah drama monolog dan lebih mirip solilokui itu terkesan bahwa sang aku-lirik ingin kehidupan yang bersahaja, tidak bertopeng, dalam arti, ia ingin menjalani kehidupan sesuai dengan isi hatinya dan bukan untuk memuaskan pandangan umum atau masyarakat umum terhadap individu atau pribadi, serta melakukan sesuatu (pekerjaan) sesuai dengan kemampuannya (apa yang ia bisa) – bukan apa yang dimaui orang lain. Dalam hal ini, saya teringat dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa ia ingin menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dan seniman memang selayaknya seperti itu.
Dalam “Cairan Perempuan”, Riris pun menyinggung orang-orang kecil yang hidup susah, tapi harus (dengan terpaksa) menerima perintah tuan (boss) secara terus-menerus.
Dan perempuan, di mata Riris, adalah manusia yang ditindas berkali-kali, baik di dalam maupun di luar rumah, terutama oleh mereka yang tidak memahami perempuan. Kalau saja laki-laki (yang memakai topeng apa saja untuk merebut hati perempuan, dan menyarangkan dan mengandangkannya kemudian) bisa memahami dan mengerti perempuan dengan baik, tentu tak ada yang perlu dirisaukan. Hanya saja, kebanyakan laki-laki memang ingin enaknya sendiri, ingin menangnya sendiri, apalagi kalau laki-laki yang dimaksud itu lebih mendewakan uang atau benda daripada perempuan (istri-ibu-saudari).
Dalam naskah tersebut, Riris juga menyinggung “kata majemuk” rumah tangga; yang dipertanyakannya dengan -- apakah ada hubungan antara rumah dengan tangga? Setiap kata, dengan demikian, harus memiliki arti. Rumah tangga, setelah diutak-atik Riris, menjadi sebuah tempat yang terpuji, terhormat, karena berada di tempat yang tinggi, yang memerlukan “tangga” untuk memasukinya.
Segala kerisauan hati, perenungan, dan pemikiran seorang perempuan ini, bagi saya sangat menarik. Yang terbayang dalam benak saya ketika membaca naskah itu adalah film Life is Beautiful, tapi bukan muatan isinya yang menggambarkan kekejaman Nazi, melainkan bagaimana cara seorang ayah yang menciptakan “fakta” baru dalam pikiran anaknya yang masih bocah, meskipun masyarakat umum akan menilainya sebagai kebohongan, namun mereka pun bisa memaklumi hal itu, karena maksud sang ayah adalah demi kebaikan anak itu sendiri.
Apa yang dikatakan orangtua, dan apa yang diperbuat orangtua, itulah “pelajaran” yang paling mudah ditangkap sang anak. Bukan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orangtua. Dengan demikian, apa yang dirasakan dan dipikirkan orangtua, adakalanya perlu dikatakan atau disampaikan kepada sang anak, betapa pun pahit perasaan itu. Sebab, anak tidak sanggup menerima seluruh pesan orangtua hanya melalui gerutu, apalagi omelan yang berkepanjangan.
Begitu juga guru terhadap muridnya. Seorang guru harus cerewet, bisa secara lisan maupun tulisan. Kalau hanya diam, maka yang dikenang hanyalah senyumnya, persis seperti Megawati yang presiden itu, dan (sialnya) saya termasuk orang yang alergi dengan senyum tanpa arti seperti itu.

Pentas
Pementasan “Cairan Perempuan” di GKJ dipenuhi penonton, yang sekilas terbaca bahwa mereka ingin menyaksikan “sri panggung” yang kenyataannya di Jakarta kini dikuasai oleh artis-artis ibukota, selain cerita yang menggoda itu sendiri. Bukan hanya dalam pementasan teater modern seperti ini, tapi juga dalam pementasan teater tradisional seperti Ketoprak Humor pun, tanpa kehadiran artis, akan terasa kurang lengkap. Bahkan, pementasan wayang kulit pun harus mengundang artis sebagai bintang tamu, untuk mengundang penonton baru (bukan penonton fanatik yang hanya membawa sarung saja).
Demikianlah seni teater Indonesia kini. Sebuah potret yang tampak semakin cantik, tapi terasa semakin kosong. Entahlah, barangkali saya yang terlalu berjarak dengan dunia selebritis, sehingga saya merasa asing di tempat itu. Setelah menikmati Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Ketjil, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater Kubur, bahkan Teater Pagupon, Teater Gandrik, dan menyaksikan penampilan prima dari Salim Bungsu, Hengky Sulaiman, Tuti Indra Malaon, Rendra, Ratna Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Butet Kertarejasa, Ags. Arya Dipayana, Didi Petet, Sardono W. Kusumo, Deddy Luthan, dan Elly Luthan, serta sederet pemain dan penari lainnya, akhir-akhir ini saya sering menyaksikan artis-artis yang biasa tampil di acara infotainment atau entertainment di televisi Indonesia, kini bermunculan di panggung-panggung GKJ dan TIM (yang di TUK belum pernah).
Salah satu sutradara yang mengaku “kena batunya” dengan bergantung pada artis adalah sutradara Teater Tetas, Ags. Arya Dipayana, yang kelimpungan ketika salah satu pemainnya yang kebetulan artis, yakni Wulan Guritno, membatalkan bermain pada detik-detik terakhir menjelang pementasan, karena saat itu tiba-tiba sang artis terkena masalah atau musibah perceraian dan tengah dikejar-kejar wartawan hiburan. Sejak saat itu, Dipayana mengaku “kapok” memakai pemain dari kalangan selebritis, tanpa komitmen hitam di atas putih.
Kini pun Daniel dengan Teater Bejana memanfaatkan empat artis atau selebritis sekaligus. Tentu ada sisi positif dan negatifnya, tergantung kita mau melihatnya dari sisi mana. Positif, karena bisa menghidupkan salah satu bentuk kesenian ini dengan menggaruk penonton yang lebih banyak lagi, malah penonton kelas atas, bukan hanya kelas gembel saja (terlihat dari tempat pertunjukannya). Negatif, karena kualitas bisa menjadi nomor kesekian.
Dalam “Cairan Perempuan” yang terdiri dari empat babak, hanya satu yang bisa menghidupkan naskah monolog itu, yakni pada babak kedua, “Airmata dan Mainan”, yang dimainkan oleh Rieke Dyah Pitaloka. Dalam bagian ini, Rieke bermain secara wajar dan mampu mengangkat isi teks. Pemahamannya terhadap naskah sangat bagus, dan tepat, sehingga yang disampaikannya kepada penonton pun bisa sampai, bisa nyambung, dan sesuai dengan harapan penonton yang sudah dibekali teks tersebut.
Sekali lagi, membaca teks sebelum pertunjukan dimulai bisa menjadi suatu kecelakaan tersendiri. Ketika Sophie Navita membuka pementasan ini, pada bagian awal “Mata, Kaki, dan Air”, suasana tidak terangkat, bahkan cenderung kaku. Demikian pula saat Ria Probo membawakan bagian “Rumah dan Tetesan”, penonton seperti merasa tidak dilibatkan (padahal monolog itu sangat mengajak “dialog” penontonnya).
Jika dibandingkan dengan permainan Rieke, kedua artis (selebritis) itu kurang mampu “berdialog” dengan penonton. Dalam arti, apa yang hendak disampaikan menjadi mubazir, karena pemahaman teks tidak dikuasai dengan baik, sehingga apa yang hendak disampaikan kepada penonton pun tidak sampai.
Rieke bisa bermain dengan enak, rileks, dan “hidup”, karena apa yang dilakukan dan dikatakannya di panggung, seolah-olah keluar dari pikiran dan perasaannya sendiri. Dia berperan sebagai pemain teater, bukan sebagai penceramah atau penyampai pesan yang baru menghafalkan firman Tuhan.
Sementara permainan Ria Irawan, dengan vokal dan pembawaannya yang khas, cukup menghidupkan bagian akhir cerita ini, yakni bab “Kabar dan Darah”, terutama saat ia mengatakan, “Pulanglah. Katakan kepada semua ahli warismu, bahwa kita akan duduk bersama merancang masa depan. Bahwa dengan lempung amat berbeda yang kita bawa, akan terbentuk sebuah kapal bertenaga cinta, berkapasitas buana, dengan nakhoda kesetaraan mengarungi lautan kehidupan. Yakinkan mereka bahwa kau telah menemukan bejana kehidupan. Katakan, kau tertambat tenaga yang membangun kehidupan.”
Namun, sayangnya monolog yang disampaikan Ria Irawan diselingi oleh suara-suara bayangan, yang diisi oleh suara orang lain, sehingga seperti menjadi monolog berbingkai; ada monolog dalam monolog. Hal itu memang tidak diharamkan, tapi dalam pertunjukan tersebut pengisian suara “bayangan” justru mencederai kenikmatan penonton terhadap gumam Ria Irawan tentang adanya pertanyaan tentang kabar dari saudara dekat yang berada di tempat yang jauh. Suara “bayangan” itu pun terasa njomplang dengan vokal Ria Irawan yang serak-serak berat basah sedikit itu.

Obrolan di Luar Panggung
Riris K. Toha Sarumpaet, penulis naskah “Cairan Perempuan”, seusai pementasan tersebut mengatakan ada yang hilang dari yang ditulisnya. Namun, ia pun melanjutkan, ada pula tambahan-tambahan yang diberikan dalam naskah tersebut. Barangkali, menurut saya, itu adalah improvisasi yang dilakukan pemainnya (atas arahan sutradara) dalam menyikapi naskah yang ketat ini.
Ratna Sarumpaet, kakak kandung Riris, mempertanyakan atau mempersoalkan, kenapa sekarang yang bermain di panggung bukan pemain teater lagi, melainkan artis-artis. Dan ia pun menyayangkan permainan para artis itu, seperti Ria Irawan, yang kurang total bermain dibandingkan Rieke Dyah Pitaloka. Ratna pun tertarik mengajak Rieke untuk bermain bersama teater yang dipimpinnya. Dan dia sudah mendapat jawaban spontan dari Rieke, bahwa ia sangat senang sekali ikut bermain bersama Ratna, meskipun latihannya akan memakan waktu enam bulan.
Ratna Riantiarno yang hadir seorang diri dalam pertunjukan tersebut, mengatakan akan berbicara lebih banyak dengan Riris, yang malam itu menjadi malam miliknya (dan tentu saja suaminya, Toha, yang kalem, yang sedikit bicara).
Daniel H. Jacob, sutradara muda yang potensial, menjelaskan perihal Ria Irawan, yang menurutnya sejak awal sudah berbeda pandangan dengan sutradara. Sebab, menurut Ria, atau tepatnya menurut pemahaman Ria, monolog disampaikan dengan membaca teks, seperti yang dibawakannya dalam “Vagina Monolog”.
Sementara perihal Rieke, diakuinya, Rieke sudah cukup lama bermain teater bersamanya. Bahkan, pertama kali Rieke bermain teater adalah bersama Daniel. Dengan demikian, mudah bagi Daniel untuk membentuk atau menerjemahkan Rieke, sekaligus memberi peran kepadanya. Ada lagi pembicaraan lain dengan Daniel, namun biarlah itu menjadi bahan evaluasi bagi Teater Bejana.

Konteks
Seorang wartawan (Redaktur Koran Tempo) Tulus Widjanarko meledek saya, saat dunia melakukan aksi demo menentang aksi perang yang dilakukan Amerika dan sekutunya terhadap Irak, kenapa GKJ mementaskan “Cairan Perempuan”. Secara spontan saya katakan, Bush hanya bisa disumpal mulut dan batok kepalanya dengan cairan perempuan.
Tapi, setelah saya pikir-pikir, kesenian (genre apa pun) harus terus berjalan, tanpa harus mengabdi pada politik (karena politik sudah bukan panglima), penguasa (karena penguasa tak ada harganya), atau apa pun. Bahwa seni harus memberi “sesuatu” kepada penontonnya, itu sudah pasti.
Tapi, harus dipahami bahwa kerja teater bukanlah kerja yang sehari jadi, melainkan ada proses yang lama yang harus dipersiapkan. Berbeda, misalnya, dengan penyair seperti Taufiq Ismail yang menulis sajak bagus di Majalah Gatra, yang berjudul “Senarai Perang untuk Bahan Hafalan Pelajaran Sekolah”, yang bunyinya secara lengkap saya lampirkan di bawah ini. Karena, puisi seperti itu bisa dibuat dalam waktu satu-dua hari oleh penyair yang sudah jadi seperti Taufiq Ismail itu.
Dan saya yakin ada seniman teater lain yang sedikit banyak akan mengangkat tema kekerasan seperti itu – seperti Teater Koma yang mengangkat topik pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998, dua tahun sesudah peristiwa itu. Tentu dengan bobot seni yang lebih dominan.
Makanya aneh, kalau setiap karya seni harus dipaksakan untuk sesuai dengan fakta yang terjadi di dunia (di lapangan kehidupan), terkini. Karena seni bukan berita yang diperdagangkan secara cepat saji, instan. Kalau kita membaca “Cairan Perempuan” pun akan kita temukan arti penting yang hendak disampaikan, yakni bagaimana menjadi manusia. Dan itu persoalan universal yang bisa diterima semua kalangan, mulai dari ayunan ke ayunan, ayunan waktu lahir dan ayunan waktu mati.

Citayam, 5 April 2003



Lampiran Puisi Taufiq Ismail:

Senarai Perang untuk Bahan Hafalan Pelajaran Sejarah

1

Ada peta dunia berteriak kepada kita minta dibaca
''Telusurilah halaman-halamanku, renangilah waktu
Langkahi dua abad dan apa yang kau lihat?''

Kemudian kita bergegas meluncur di atas halaman peta
Rangkaian adegan orang kulit merah, bangsa kulit hitam,
Kawasan Mexico, Hawaii, Filipina dan Cuba
Kemudian Vietnam, Nicaragua, Israil dan sekitarnya
Setiba di sekitar Eufrat-Tigris badai debu mengotori peta
Di negeri Seribu Satu Malam ini
Terdengar gemuruh Seribu Satu Peluru Kendali


2

Kembali kita meluncur di atas halaman peta yang tua
Nampak bekas bercak darah berwarna sepia di atasnya
Gunung dan sungainya di benua Amerika belahan utara
Di sepanjang halamannya
Kawanan Indian menunggang kuda berlarian
Orang kulit putih menembaki dan mereka berjatuhan
Orang kulit hitam dianiaya massa bergelimpangan
Mereka ngilu menyanyikan lagu blues penuh kesedihan

Lihatlah separuh Mexico ditaklukkan
Hawaii dan Filipina jadi jajahan
Ratusan ribu penduduk Filipina sasaran pembunuhan
Jenderal Aguinaldo yang memproklamirkan kemerdekaan
Tak diberi pengakuan dan bangsanya tetap jadi jajahan
Spanyol dibayar 20 juta dollar sebagai imbalan
Inilah ironi sejarah yang mengherankan
Merdeka dari Inggeris dengan perjuangan tidak ringan
Tapi ternyata rasis dan imperialis juga belakangan

Adalah Cuba, pulau sebesar telapak tangan
Jarak dari ujung Florida sepelemparan bola tangan
Diengkuk-engkuk dan ditekuk-tekuk tidak mempan
Ditunjuk-ajari pelajaran demokrasi tidak sudi
Dicekik leher ekonominya masih bernafas saja
Dicoba bunuh presidennya tak mati-mati juga
Lihatlah Fidel Castro itu kini
Tetap saja tampan dan tegak, di senja umurnya ini

3

Kini kita menyeberang samudera tiba di Vietnam Utara
Ketika Presiden Lyndon Johnson marah-marah suatu hari
Di Teluk Tonkin kapal perusaknya diganggu patroli
Diperintahkannya pemboman pertama di Vietnam Utara
Agustus bulannya, 1964 tahunnya

''The Rolling Thunder'', ''Guruh Gemuruh''
Itulah nama serangan udara
Yang berlangsung 3 tahun lamanya
Bom bagai badai berhamburan hampir setiap hari
Bom yang dijatuhkan selama tiga tahun itu
Dua kali lipat lebih banyak ketimbang
Bom yang dijatuhkan
Di seluruh front Perang Dunia I dan II

Bom yang 7 juta ton itu
Menyebabkan kematian 3 juta manusia Vietnam
Bayangkanlah 3 juta manusia direnggutkan nyawanya
Tiga juta

Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika?

Bukan saja Vietnam Utara, tapi Vietnam Selatan
Juga dihujani badai bom itu
Di negeri itu kawah-kawah menganga
Bertebaran di mana-mana

Pada Vietnam, mengapa kita lupa
Padahal selama 11 tahun perang itu,
Berita pemboman dan pembunuhan
Setiap hari masuk di harian dan televisi kita

Vietnam jadi laboratorium uji coba macam-macam senjata
Bom napalm, bom Agent Orange, bom Agent Blue yang
Mengunyah daging manusia, mengunyah pepohonan,
Mengunyah dedaunan dan mengunyah hewan-hewan
Di tanah seluas pulau Jawa

Di negeri itu ratusan kawah-kawah menganga
Sawah-sawah musnah, pabrik-pabrik hancur
3 juta orang mati dalam masa 11 tahun itu

Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika?

Pada Vietnam mengapa kita lupa
Alangkah lemah ingatan kita

Sesudah Lyndon Johnson, Presiden Nixon marah
Baru 3 bulan jadi Presiden
Diperintahkannya menghujani Kamboja dengan bom
Kemudian 200 pesawat B-52 dikirimnya menghabisi Haiphong dan Hanoi,

Bisakah orang Vietnam menjatuhkan bom
Sebutir saja di Amerika?

Presiden Amerika adalah presiden dunia
Yang paling sering memberi perintah
Menjatuhkan bom, dan semuanya di luar Amerika

Sesudah 11 tahun 179 milyar dollar dihabiskan
Atau 82 juta dollar sehari dibelanjakan
Sesudah 2 juta penduduk sipil Vietnam mati
1 juta tentara Vietnam mati,
60.000 serdadu Amerika mati,
Saigon dikepung ketat dan mereka terbirit-birit lari

Amerika, negara adikuasa dan kaya luarbiasa
Bertekuk lutut dikalahkan Vietnam Utara
Negara kecil, miskin dan compang-camping
Dan tidak sekali pun, tidak satu kilogram pun
Menjatuhkan bom di kota Amerika
Sehingga penduduk sipil, kehilangan nyawa

4

Tidak kapok-kapoknya Angkel Sam
Campur tangan orang punya urusan
Tahun 1980-an, yaitu di Nicaragua
Di peta, negara itu sebesar daun telinga
Di Amerika Tengah, 200.000 bermatian
Negeri kecil yang digiling dilumatkan
Mereka ke Mahkamah Dunia mengadukan
Angkel Sam didenda repatriasi dan Nicaragua dimenangkan
Tapi si Adidaya ini mengabaikan keputusan
Ke Nicaragua balik lagi melakukan penyerangan
Dan ketika si Daun Telinga mengadukan
Ke Dewan Keamanan
Angkel Sam menjatuhkan veto sendirian

5

Kemudian tengoklah Israil luar biasa dimanja Amerika

Menindas rakyat, membunuhi perempuan
Menyapu anak-anak intifadah
Tidak apa-apa

Mengusir rakyat Palestina ke kemah-kemah di gurun
Membuldozer permukiman
Tidak apa-apa

Melanggar puluhan resolusi Dewan Keamanan
Dicerca dikutuk masyarakat dunia
Tidak apa-apa

Membuat senjata nuklir
Mengancamkan hulu nuklir
Tidak apa-apa

Israil luar biasa dimanja Amerika
Rakyat pembayar pajak Angkel Sam
Tak berdaya mau saja dipaksa
Membiayai subsidi anak manja Israil ini

Kami yang jauh ini jadi bertanya-tanya
Israil ini negara bagian Amerika Serikat
Atau Amerika Serikat provinsi Israil
Perdana Menteri Israil ini gubernur negara bagian AS
Atau Presiden Amerika gubernur provinsi Israil?
Pertanyaan ini pisau bermata dua
Amat sulit menjawabnya
Dan sangat mudah menjawabnya.

6

Pengembaraan peta kita tiba di sekitar Eufrat-Tigris
Ketika badai debu mengotori peta
Di negeri Seribu Satu Malam ini
Terdengar gemuruh Seribu Satu Peluru Kendali

Inilah kisah yang sangat menjemukan
Karena pengulangan lagi peragaan otot kekuasaan
Bersambung dengan beribu peluru kendali berlayangan
Dan 3000 bom berjatuhan
Malam ini berselimut kegelapan dan kengerian
Berulang sejarah campur tangan, intervensi 1000 alasan
Sejak zaman kulit merah Indian, kulit hitam Afrika,
Hawaii, Filipina, Cuba, Vietnam,
Nicaragua, Amerika Tengah, Palestina
Memaksakan kehendak, mau menang sendiri
Rasis dan imperialis sejati
Sehingga cendekiawan Noam Chomsky
Tak dapat menahan hati
Inilah katanya tentang negerinya sendiri:
''United States, leading terrorist state.''

Aku terkesima membaca tulisannya itu
Padahal aku suka manusianya, Amerika itu
Keluarga Werrbach yang 47 tahun lalu
Mengangkatku jadi anak mereka
Di rumah 977 East Circle Drive
Di desa Whitefish Bay
Di bulan puasa Heino menyediakan sahur untukku
Aku terkenang Tim Hubbard teman sekolahku
Yang menghubungkan aku
Ke ladang mixed farming di tepi Danau Michigan
Sehingga aku ingin jadi pengusaha ladang campuran
Seraya menulis puisi
Sehingga aku belajar kedokteran hewan dan peternakan
Aku cinta manusianya, Amerika itu
Petani, penjaga pompa bensin, oma di rumah jompo,
pemusik jazz, penyair, sopir taksi Chicago, guruku,
Tapi aku tidak suka politik pemerintah pusatnya
Dengan enam helai puisiku ini aku menentang perangnya
Kini tengah aku menulis puisi ini di Utan Kayu
Tepat tengah malam di Basrah, Najaf dan Baghdad,
Terkenang aku pada makam Sayidina Ali,
sufi Abdul Qadir Jailani,
Terkenang aku pada Tardji yang memanjat patung Abu
Nawas di Baghdad, dan kupotret dia
Teringat aku pada Gus Mus yang menerjemah untuk kami
5 penyair Indonesia di festival puisi Iraq tahun itu
Mungkin hotel tempat kami menginap sudah hancur
Mungkin fail puisi kami sudah punah dan musnah
Mungkin rekan kami penyair Iraq ada yang mati sudah
Malam ini bom dan peluru kendali
Ganas dan cerdas, berdesing-desing
Berselimut kegelapan dan kengerian
Ratusan ribu anak-anak dan orangtua mereka
Orang kebanyakan pemegang kartu penduduk biasa
Menunggu diusung dengan tandu
Pada hari keesokan
Ke ruang gawat darurat atau ke kuburan.

Jum'at, 28 Maret 2003.

Tidak ada komentar: