Senin, 13 Oktober 2008
Sensasi Operasi Usus Buntu
Yah, inilah sensasi Ramadhan 2008 masehi. Diserang cacar dan usus buntu. Kata Mpok Nori, gue ketembak dua kali. Harus disesali atau disyukuri? Kalau disesali, kok sudah terjadi. Tapi, kalau disyukuri, apanya yang disyukuri? Untung saya orang Jawa. Jadi, masih bisa bilang "untung". Mungkin yang perlu disyukuri adalah saya masih hidup. Alhamdulillah.
Ketika terbaring di RS Panti Rapih Yogyakarta, saya bener-bener lemes. Roh ini rasanya berontak sama bangkai yang melekati tubuhku. Kenapa? Ibuku membisikkan kata-kata berbahasa Arab (mungkin mengutip Alquran atau hadits) ke telingaku. Tapi, hanya satu kata yang melekat di batok kepalaku, yakni "...wakil". Yah, selama masih sadar, kata itulah yang aku ucapkan, "wakil... wakil.... wakil....." Seakan-akan apa kata Ibuku adalah resep mujarab.
Suster di RS Panti Rapih kok ada juga yang usil kayak Chacha. Suka godain pasiennya! Bayangin, baru saja dioperasi kok saya dituduh sudah mondar-mandir ke kamar mandi, hingga menyebabkan infus di tangan kiriku berdarah. Alamaaaaaaak! Jangankan berjalan, bangun dari tempat tidur saja nggak bisa.
Tanggal 3 Oktober 2008, jam 07.00 WIB, aku dioperasi oleh dokter bedah Sabarno Pracoyo. Sebelum dioperasi, punggungku disuntik obat bius, yang menyebabkan setengah badan ke bawah mati rasa, tidak bisa digerakkan. Lalu melalui infus, aku disuntik obat tidur, yang membuatku tiba-tiba fly. Oh, begitu ya, rasanya fly... terbang, melayang, tanpa bisa berpikir lagi apakah nyawa kita akan kembali memasuki bangkai ini lagi.
Selama satu jam, kata Yuni, operasi itu berlangsung. Lalu, butuh dua jam untuk memulihkan kesadaranku kembali. Aku tidak banyak ingat, dan tak banyak tahu, apa yang dilakukan para dokter padaku. Yang aku ingat, pipiku ditepuk berkali-kali, dan sesekali kudengar dokter-dokter itu bertanya, "Siapa istri Pak Asep?" Lhadalah, dalam keadaan tidak sadar itu kok alhamdulillah saya menjawab, "Yuni..." dengan suara memelas banget.
Tiga jam di ruang operasi, aku kemudian digelandang ke kamar 201A. Di seberang kamar ada pasien korban kecelakaan yang mengalami geger otak. Sepanjang hari, sepanjang malam, dia terus-menerus menjerit kesakitan, "Bapaaaaakk, kenapa sakit Pak...." Terus saja dia menjerit seperti anjing melolong. Keadaan ini justru membuat aku dan istriku (yang menungguiku setiap saat) merasa ketakutan.
Untung, lagi-lagi untung, saudaranya Yuni, Mas Suhar, ternyata bekerja sebagai perawat di RS Panti Rapih. Kata Yuni, wajahnya seperti wajah Aulia Akbari. Cuma beda di rambut aja. Nah, Mas Suhar inilah perawat yang memaksa saya untuk segera meninggalkan tempat tidur. Dialah yang memaksa saya untuk bergerak, bangun, dan berjalan. Empat hari mondok di rumah sakit (hospital), akhirnya saya memaksakan diri saya untuk segera keluar. "Harus dipaksa. Kalau nggak, bisa lama di sini." Wah, kata-kata itu langsung aku garisbawahi dan cabut!!!
Alhamdulillah. Rasanya nggak akan cukup rasa syukur ini. Akhirnya saya merasakan juga infus (untuk pertama kali), dibius, dibuat tidur hingga tidak sadar, dan dipotong ususnya sepanjang 10 cm. Ini seperti sensasi. Tapi, terus-terang, saya sama sekali tidak suka sensasi.
Tanggal 10 Oktober, plester yang menempel di perut sebelah kanan dicabut oleh dokter Sabarno. "Lukanya sudah kemana-mana. Susah operasinya," kata dokter Sabarno, yang kumisnya lebih lebat dari kumisku.
Foto di atas diambil pada bulan Juli 2008, saat pertama kali saya mulai merasakan sakit perut, yang ternyata itu adalah usus buntu. "Operasinya kok nunggu lebaran sih Pak?" tanya Erlin, mantan mahasiswaku. "Niatnya sih mudik, tapi mudiknya kejauhan hingga memasuki ke alam lain. Tapi, alhamdulillah saya bisa balik."
Inilah hikmah Ramadhan 2008 masehi. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar