Rabu, 15 Oktober 2008

Yanusa Nugroho di Batas Angin





oleh Asep Sambodja



Novel pertama Yanusa Nugroho, Di Batas Angin (Jakarta: Kompas, 2003) merupakan pengembangan dari cerpennya yang berjudul “Kemerlip Kunang-Kunang Kuning”. Cerpen yang
dibuat pada tahun 1987 itu dihimpun dalam kumpulan cerpen keempatnya, Segulung Cerita Tua (Jakarta: Kompas, 2002).
Baik cerpen “Kemerlip Kunang-Kunang Kuning” maupun novel Di Batas Angin sama-sama bercerita tentang kakak beradik yang saling menyayangi, Raden Sumantri dan Raden Sokrasana, putra Begawan Suwandageni. Namun, karena Raden Sumantri dihadapkan pada dua pilihan, ia akhirnya membunuh adik kesayangannya yang buruk rupa itu.
Dalam berbagai versi cerita, seperti yang diuraikan Suwandono dan kawan-kawan dalam Ensiklopedi Wayang Purwa (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) dan yang diceritakan Ulkiah S. dalam Raden Sumantri (Jakarta: Djambatan, 1974) maupun “cerita” dalam bentuk puisi berjudul “Pesan” karya Sapardi Djoko Damono, yang dihimpun dalam Perahu Kertas (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), terbunuhnya Sokrasana oleh senjata panah pusaka Cakrabaswara pemberian dewa pada Sumantri tidak jelas apakah disengaja atau tidak. Selain itu, tidak jelas pula apakah dengan “pembunuhan” itu Sokrasana menaruh dendam pada kakak yang dicintainya itu.
Sapardi Djoko Damono menuliskan peristiwa “pembunuhan” itu secara tersirat, “Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya,//Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan….” (Damono, 1983: 45).
“Pembunuhan” itu, menurut Sapardi, memang di antara “sengaja dan tidak sengaja”, dan Sokrasana tidak menaruh dendam, melainkan hanya melakukan “sesuatu”, di mana dalam sajak tersebut Sapardi sengaja tidak menuntaskan kalimat yang benar-benar merupakan inti dari pesan yang akan disampaikan Sokrasana. Dan itulah yang menjadi keunggulan dari sajak Sapardi tersebut.
Namun, jika kita bercermin pada mitos wayang yang berkisah tentang Raden Sumantri dan Raden Sokrasana (Sukrasana), terbaca bahwa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, Sokrasana sudah “meramalkan” bahwa ia akan “menjemput” kakaknya dalam sebuah pertempuran antara Raden Sumantri dengan Rahwana (Dasamuka), yang ditulis Sapardi dengan “apabila perang itu tiba”.
“Ramalan Sokrasana itu juga tampak dalam cerpen Yanusa Nugroho “Kemerlip Kunang-Kunang Kuning”, yang melukiskan Sokrasana dalam keadaan sekarat, dengan menggambarkan suasana di luar Taman Sriwedari, Maespati (tempat Sumantri dan Sokrasana “berseteru”). Yakni dengan pelukisan: Di Alengka, Rahwana bagai mendapat kekuatan baru, sepasang taringnya mendenyut keras, bagai kerasukan nyawa….
Peristiwa bertemunya kembali Sokrasana dengan Sumantri itu terbaca dalam cerpen Yanusa lainnya, “Bargawa”, yang juga terhimpun dalam Segulung Cerita Tua. Dalam cerpen tersebut, Yanusa menulis, “Sang Maha Menteri Sumantri tewas ditikam taring Rahwana, dan Prabu Arjunasasra seperti kehilangan ruhnya. Maespati, Maespati yang pernah bercahaya ke seluruh jagat raya karena memiliki taman indah bagaikan dalam mimpi, kini mati.” (Nugroho, 2002: 99).
Yanusa memang tidak akan kehabisan napas dalam bercerita, karena mitologi wayang yang menjadi acuannya bagaikan lahan luas yang tak bertepi. Dan, menurut Sapardi Djoko Damono, yang menulis “Yanusa Dalang Edan” dalam pengantar untuk kumpulan cerpen Yanusa yang pertama, Bulan Bugil Bulat (Jakarta: Grafiti, 1990), sastra memang berkembang berdasarkan mitologi. “Tanpa mitologi, ia akan kehilangan tempat berpijak dan sulit berkembang ke arah mana pun. Tidak bisa dibayangkan sastra yang hidup tanpa bersandar padanya,” tulis Sapardi.
Yang membuat novel Di Batas Angin lebih hidup adalah penafsiran baru yang ditawarkan Yanusa Nugroho kepada pembaca. Persoalannya tidak sesederhana perasaan malu Raden Sumantri yang memiliki adik yang berwujud raksasa kecil (bajang) yang menakuti Citrawati (istri Arjunasasra/Arjunawiwaha) di Taman Sriwedari di kerajaan Maespati. Namun, Yanusa mengajak pembacanya menafsir kembali karakter tokoh Sumantri yang ambisius menjadi “orang penting” di kerajaan Maespati dan karakter Sokrasana yang santun, penyayang, dan berhati nurani. Dengan demikian, matinya Sokrasana adalah matinya nurani seorang manusia.
Dalam novel tersebut, Yanusa tidak hendak mengajarkan pembacanya mengenai kehidupan manusia tanpa nurani. Yanusa sengaja menuntaskan penceritaannya pada kematian Sokrasana, dan membiarkan pembacanya merenungi kisah klasik tersebut dengan konteks kekinian. Kedua tokoh tersebut, Sumantri dan Sokrasana, sama-sama “mengutuki” dirinya masing-masing, bahwa mereka bukan manusia. Berikut puncak dialog antara Sumantri dan Sokrasana sebelum salah satu “dimatikan”.

“Di antara kita, akulah yang bukan manusia, Kakang Mantri,” kata Sokrasana seakan membaca pikiran kakaknya.
“Tidak. Akulah yang bukan manusia! Kau tahu artinya ini bagiku, bukan? Oh, Sokrasana, kumohon…pergilah dari sini,” Sumantri menangis memeluk adiknya.
“Kakang, kau tak bisa memungkiri suratan tanganmu sendiri. Kau manusia dan aku bukan. Kalau kini kau mengaku bahwa dirimu bukan manusia, artinya kau menipu dirimu sendiri. Sekali lagi aku ingatkan, akulah yang bukan manusia.”
“Tidak! Aku!” Sumantri undur beberapa langkah.
“Untuk apa semua kemegahan ini? Bahkan dengan pertanyaan sekecil itu pun kau sudah menghancurkan seluruh hidup yang telah kau bangun selama ini.”
“Sokrasana! Lihatlah apa yang ada di tanganku.”
Sokrasana menahan napas. Dia tahu, Sumantri tengah merentang gendewa dan anak panah sudah siap melesat. Perlahan dia memutar tubuhnya, menatap sepasang mata kakaknya. Ada kepedihan yang luar biasa di sorot mata sumantri.
“Lakukanlah. Aku bisa menerima kematian yang mungkin selalu disangkal manusia. Lakukanlah Kakang….” (Nugroho, 2003: 85-87)

Bagi pembaca yang sudah paham dengan cerita tersebut, perjalanan hidup Sumantri tanpa Sokrasana (yang ditafsirkan Yanusa sebagai “nurani”) adalah kehidupan yang kosong, atau bagaikan hidup tanpa ruh, dan hanya menjalani hidup bak mesin waktu, hingga terhenti begitu maut datang menjemput. Yakni, saat kekalahan yang ia alami ketika berhadapan dengan Raja Alengka, Rahwana, meskipun Sumantri menggunakan senjata sakti mandraguna Cakrabaswara. Sumantri mati akibat gigitan Rahwana, di mana taring Rahwana “bersemayam” ruh Sokrasana yang terbunuh oleh panah kakaknya sendiri. Matinya Sumantri, dengan demikian, merupakan “penjemputan” ruh Sokrasana terhadap ruh Sumantri untuk dibawanya ke surga.
Judul novel Di Batas Angin mengingatkan kita pada esei Tutty Tellez yang berjudul “Words Floating in The Twin Lakes” (dalam Sumanto, 1999: XVII), bahwa poetry is dancing words, bahwa puisi atau bahasa yang digunakan sastrawan adalah bahasa yang menari. Di tangan para sastrawan, sebuah karya sastra bisa menari, bisa berada “di batas angin”, yang berimplikasi macam-macam. Yanusa bisa dipahami tengah berbicara tentang nafsu dan hati nurani manusia yang tengah bergejolak lewat potret kedua kakak beradik itu. Tapi, hal itu juga bisa diartikan bahwa Yanusa tengah membawa anasir budaya Jawa (yang diambil dari mitos pewayangan) untuk dijadikan anasir budaya Indonesia. Wayang yang semula menggunakan bahasa Jawa diindonesiakan oleh Yanusa, sehingga menjadi bagian yang tak terelakkan sebagai kekayaan sastra Indonesia.
Hal serupa juga tampak pada Pengakuan Pariyem yang ditelaah Bakdi Soemanto dalam “Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem”, yang kemudian dibukukan menjadi Angan-Angan Budaya Jawa (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, April 1999). Bakdi menilai penggunaan kosa kata bahasa Jawa yang terdapat dalam Pengakuan Pariyem menempatkan Linus Suryadi Ag., pengarang prosa lirik itu, berada di antara dua dunia (twin lakes), yakni dunia sastra Indonesia dan sastra Jawa.
Bahasa, yang menurut Ibnu Wahyudi merupakan salah satu kriteria penetapan awal mula sejarah sastra Indonesia selain aksara, identitas pengarang, karakteristik karya, dan keindonesiaan (lihat artikelnya, “Mempertimbangkan Kembali Awal Keberadaan Sastra Indonesia Modern”, dalam jurnal Malay World, Volume 1 No. 2, Maret 1999, yang diterbitkan oleh Korea Association of Malay-Indonesian Studies), menjadi unsur penting apakah sebuah karya sastra bisa dimasukkan ke dalam khazanah sastra Indonesia atau tidak. Yanusa Nugroho berada di “Batas Angin” itu. Ia banyak bercerita tentang dunia pewayangan, yang sebagian besar dapat dikatakan sebagai carangan modern, dan menggunakan bahasa Indonesia. Karenanya, ia dianggap sebagai warga yang sah dalam sastra Indonesia. Sementara banyak karya sastra yang bercerita tentang persoalan serupa, yang menggunakan beraneka bahasa daerah di Indonesia, belum diakui sebagai warga sastra Indonesia.
Novel Di Batas Angin setebal 93 halaman ini menarik untuk dibaca. Bukan saja karena ceritanya yang menarik untuk dicermati, melainkan juga gaya bertutur Yanusa Nugroho yang mengalir. Tidak salah kalau Sapardi Djoko Damono menyebutnya sebagai “dalang edan” dan Budiardjo menyebutnya sebagai “dalang tulis”. Jika dibandingkan dengan novel karya “dalang edan” lainnya, Hadi Sujiwo Tejo, The Sax, jelas bahasa yang digunakan Yanusa lebih mengalir, sementara Tejo mengajak pembacanya merenung hampir di setiap kata.***

1 komentar:

Comical Ali mengatakan...

Sepertinya Anda ditipu Soemanto, yang hebat temukan Tutty Tellez padahal google tidak mengenalnya.
"Trust, but verify."