Jumat, 17 Oktober 2008

Munir Tak Pernah Mati



oleh Silvi Fitri Ayu

Judul buku: Untukmu Munir...
Editor: Asep Sambodja
Penerbit: bukupop
Tahun terbit: 2008
Tebal: xii + 76 halaman



Untukmu Munir adalah sebuah buku kumpulan cerita pendek karya dua belas mahasiswa Universitas Indonesia yang disunting oleh Asep Sambodja (dosen Program Studi Indonesia FIB UI). Buku yang diterbitkan pada Maret 2008 ini merupakan bentuk kepedulian para mahasiswa terhadap kasus pembunuhan Munir yang merupakan tokoh penegak HAM di Indonesia. Seperti disebutkan pada bagian pembuka buku ini, Untukmu Munir juga merupakan buku pelengkap atas terbitnya buku-buku lain yang berisi tentang peristiwa bersejarah dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi di Indonesia.
Ketika pembaca mulai membaca bagian pembuka buku ini, pembaca akan mendapatkan sebuah pemikiran baru tentang arti pentingnya sebuah karya sastra dibuat oleh para penyair. Karya sastra diartikan sebagai sebuah upaya untuk menyuarakan kebenaran dan bentuk “pengabadian” peristiwa sejarah yang mungkin nantinya akan terlupakan. Pada bagian pembuka ini juga terdapat dua buah puisi, yaitu karya Goenawan Mohamad yang berjudul “Kwatrin tentang Sebuah Poci” dan karya Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Mata Penyair”. Kedua puisi ini semakin menekankan arti penting sebuah karya sastra. Selain itu juga ada puisi karya Asep Sambodja yang berjudul “Cak Munir di Awan” sebagai pembuka buku ini, yang menyiratkan makna bahwa “sosok Munir” akan selalu hidup di hati para penegak hak asasi manusia di negeri ini.
Buku yang terdiri dari 76 halaman ini mengangkat satu tema penting, yaitu “kematian Munir”. Para penulis dalam buku ini secara garis besar menempatkan diri mereka ke dalam empat karakter, yaitu sebagai Munir, Suciwati (istri Munir), Malaikat Pencabut Nyawa, dan teman Munir. Pada umumnya, para penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, tetapi ada satu cerpen berjudul “Keputusan Malaikat” karya Zul Abrar H. yang menggunakan sudut pandang orang ketiga. Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen ini pun cukup lugas dan mudah dipahami oleh para pembaca serta cocok dibaca oleh semua umur.
“Bayang-Bayang Kematian”, “Harta Berharga”, “40 G”, “Kematianku”, “Gugur di Musim Gugur”, dan “Tanya Yang Belum Terjawab” merupakan cerpen-cerpen yang bercerita tentang skenario kematian Munir pada tanggal 7 September 2004 di pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974. Keenam penulis ini memposisikan diri mereka sebagai seorang “Munir” yang mencoba menjelaskan situasi ketika maut akan menjemputnya. Dari keenam cerpen ini tidak terlalu tampak perbedaan yang sangat besar tentang skenario kematian Munir.
Hampir di keenam cerpen ini selalu muncul tokoh dr. Tarmizi dan Pollycarpus yang menjadi teman seperjalanan Munir menuju Belanda. Akan tetapi, tokoh dr. Tarmizi diceritakan sedikit berbeda pada cerpen berjudul “Bayang-bayang Kematian”. Dalam cerpen ini dr. Tarmizi diceritakan sepertinya ikut terlibat dalam pelaksanaan pembunuhan Munir. Hal ini terlihat dari beberapa kalimat, yaitu ”Aku hanya mampu mendengar penggalan-penggalan pembicaraan mereka. Satu yang kudengar jelas. Berhasil”. Sedangkan pada kelima cerpen lainnya, dr. Tarmizi hanya digambarkan sebagai tokoh yang berusaha menolong Munir dari keracunan arsenik. Tokoh Pollycarpus hanya diceritakan sebagai orang yang menawarkan kebaikan kepada Munir, yaitu untuk pindah duduk dari kelas ekonomi ke kelas bisnis. Sikap Pollycarpus yang begitu kukuh untuk membujuk Munir pindah ke kelas bisnis terasa sangat mencurigakan. Pembaca buku ini pasti akan sangat bertanya-tanya tentang kebaikan tokoh Pollycarpus. Hal ini dikarenakan tokoh Pollycarpus dalam cerpen-cerpen ini memberikan kebaikan kepada Munir dengan cara yang sangat mencurigakan dan dia memperkenalkan diri dengan profesi yang agak berbeda-beda. Namun, pada intinya setiap cerita menunjukkan bahwa Munir sendiri bertanya-tanya tentang penyebab kematiannya.
Para penulis ini melalui cerita-cerita mereka telah berhasil menjadi sosok Munir yang sangat menderita ketika racun arsenik mulai bekerja dan merenggut nyawanya. Mereka seolah-olah telah benar-benar melihat, bahkan mengalami situasi saat itu. Sosok Munir sepertinya telah melekat dalam diri penulis-penulis ini, karena mereka begitu mudah mendeskripsikan sosok Munir ke dalam karya-karya mereka.
Berbeda dengan keenam cerpen yang telah disebutkan di atas, para penulis dari cerita “Catatan Kematian Suamiku”, “Kerinduan”, “Sebuah Perjalanan Panjang”, dan “Surat Untuk Suamiku” menempatkan diri sebagai Suciawati, yaitu istri Munir. Secara keseluruhan keempat cerpen ini merupakan gambaran tentang perasaan seorang istri yang sangat merindukan suaminya yang telah meninggal dan semangat untuk memperjuangkan keadilan demi suaminya. Rasa rindu dan kesedihan yang mendalam, terhadap suami yang telah meninggal terlihat jelas dalam cerpen “Kerinduan” dan “Surat Untuk Suamiku”. Cerpen “Kerinduan” memperlihatkan perasaan seorang istri yang begitu berat untuk melepas kepergian suaminya hingga dia pun melihat kedatangan suaminya dalam mimpi. “Surat Untuk Suamiku” ini sangat tepat diletakkan di bagian akhir buku ini karena rasa rindu dan kehilangan itu membuat bangkit sosok Suci untuk melanjutkan kehidupannya serta meneruskan perjuangan sang suami, Munir.
“Catatan Kematian Suamiku” dan “Sebuah Perjalanan Panjang” lebih menggambarkan rasa marah seorang istri dan perjuangan untuk menegakkan keadilan. Ketika pembaca membaca kedua cerpen ini, sangat terasa bahwa untuk menegakkan keadilan di Indonesia sangatlah sulit dan setiap rakyat belum dapat memperoleh haknya secara utuh dalam bidang hukum. Suciwati akan terus berjuang sekuat tenaga untuk mencari keadilan dalam kasus kematian suaminya, karena di negeri ini ”keadilan” sudah tidak memiliki tempat lagi. Instansi-instansi hukum yang seharusnya menegakkan keadilan sudah semakin kehilangan wibawanya. Pemerintah sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk dapat menegakkan hukum.
Pembaca akan semakin tahu bahwa sesungguhnya kasus Munir belumlah terselesaikan sepenuhnya, walaupun Pollycarpus telah dijatuhi hukuman atas kasus kematian Munir. Siapa sesungguhnya dalang dari kasus Munir ini belum diketahui dengan jelas. Hal ini dikarenakan kasus Munir bukan sebuah kasus kematian biasa, tetapi terkandung unsur-unsur politik di dalamnya. Kasus kematian ini merupakan kasus kematian yang telah direncanakan secara matang dan melibatkan beberapa “petinggi-petinggi” negeri ini yang takut kejahatannya dibongkar oleh Munir. Hal tersebut tergambar dari cerpen “Keputusan Malaikat”. Kalimat-kalimat terakhir cerpen ini sangat menggambarkan perkembangan kasus kematian Munir pada saat ini. Berikut paragraf terakhir cerpen “Keputusan Malaikat”:

Berbagai sidang kemudian digelar untuk mencari tahu siapa tersangka kasus pembunuhan itu dan sampai saat ini tersangka kasus kematian itu tidak pernah terungkap. Hanya Tuhan, Malaikat Pencabut Nyawa, dan Malaikat Pencatat Takdir yang mengetahui siapakah orang yang menjadi kepanjangan tangan Malaikat Pencabut Nyawa untuk melaksanakan tugasnya.

Selain itu cerpen ini juga memperlihatkan situasi Indonesia yang sangat buruk. Negeri tercinta ini telah terkenal dengan kekacauannya dan banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Indonesia telah menjadi sebuah negeri yang mengagungkan penindasan dan telah mengubur semangat keadilan.
Cerpen “Terbungkam” semakin memperlihatkan bahwa sesungguhnya bangsa ini belum merdeka. Penggalan bait lagu “Indonesia Raya” diawal cerpen ini menambah kepiluan akan situasi negeri ini. Semangat kebangsaan dalam lagu itu seamakin membuat kita pilu karena sesungguhnya kita bukanlah bangsa yang merdeka. Sekarang negeri ini kembali dijajah oleh kemunafikan dan penindasan.
Diceritakan lewat cerpen “Terbungkam” tentang salah seorang sosok teman Munir yang sangat mengagumi sosok Munir yang sangat berani dalam membela kebenaran. Teman Munir ini sangat menyadari bahwa bangsa ini sedang dalam masa kebobrokan. Akan tetapi, berbeda dengan Munir, dia tidak berani menyuarakan kebenaran itu. Rasa takut lebih menguasainya dari pada semangat untuk menyuarakan kebenaran, bahkan dia sampai melarikan diri ke luar negeri karena rasa takutnya ini. Namun, kematian Munir menyadarkan dia bahwa manusia tidak boleh takut dengan kematian, karena setiap manusia pasti akan mati. Selain itu kematian Munir juga memberikan semangat dalam dirinya untuk berani menyuarakan kebenaran dan terus melanjutkan perjuangan Munir yang tak akan pernah mati.
Sosok Munir yang berani dan bersahaja tergambar dengan sangat jelas dalam kedua belas cerpen ini. Dalam setiap hembusan napas Munir begitu terasa semangat keberanian dan keadilan. Munir bukan hanya memberikan inspirasi kepada keluarga dan teman-teman saja, tetapi setiap orang yang membaca cerita tentang Munir pasti akan sangat mengaguminya. Selain itu, kepergian Munir tidak hanya membuat sedih orang-orang terdekatnya, tetapi banyak orang di negeri ini yang menangisi kepergiannya.
Cerpen-cerpen dalam buku ini sebenarnya hanyalah salah satu media untuk menyampaikan kebenaran. Lewat sosok Munir, para punulis dalam buku ini ingin menyadarkan dan mengajak pembaca tentang semangat keadilan yang sudah hampir tak tersisa di negeri ini. Buku ini juga ingin membuka mata kita bahwa negeri ini sedang “sakit keras”. Kita yang masih hidup sampai saat ini hendaklah mulai sadar untuk membenahi bangsa ini. Hal itu karena nasib bangsa ini sesungguhnya ada di tangan kita semua.
Munir adalah sosok teladan yang harus selalu kita contoh. Tubuh Munir boleh pergi meninggalkan kita semua tetapi semangat Munir harus dan akan selalu ada di hati orang-orang yang mencintai keadilan. Yakinlah pasti akan lahir sosok-sosok yang akan meneruskan semangat perjuangan seorang Munir. Dan kita harus menjadi sosok pengganti Munir yang tidak pernah takut untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan.***

1 komentar:

ilyas mengatakan...

salam kenal...