Kamis, 01 April 2010

The Reader: Kenapa Hanna Schmitz Bunuh Diri?



oleh Asep Sambodja


Next morning, Hanna was dead. She had hanged herself at daybreak.
(Schlink, 1997: 203)

Hanna Schmitz melakukan bunuh diri justru setelah ia dibezuk oleh Michael Berg, teman kencannya sebelum ia dipenjara. Kenapa Hanna Schmitz melakukan bunuh diri? Bukankah hal ini merupakan ironi jika melihat keseriusan Hanna belajar membaca dan menulis dalam penjara dari kaset-kaset yang dikirimkan Michael? Apa yang salah pada Michael sehingga Hanna sama sekali tidak meninggalkan pesan kepadanya? So she had not left any message for me. Did she intend to hurt me? Or punish me? Or was her soul so tired that she could only do and write what was absolutely necessary? (Schlink, 1997: 207).

Hanna Schmitz merupakan representasi dari perempuan Jerman yang bekerja sebagai penjaga penjara di era kepemimpinan Adolf Hitler (1933-1945). Dalam novel The Reader karya Bernhard Schlink, Hanna mulai bergabung dengan Schutzstaffel (SS) atau pasukan pribadi Hitler pada 1943 (Schlink, 1997: 96). Setelah pasukan sekutu menduduki Jerman pada April 1945, Hitler bunuh diri dan pasukannya diadili sebagai penjahat perang. Bernhard Schlink ingin menggambarkan sosok Hanna Schmitz dari sisi yang lebih manusiawi. Bisa jadi selama ini persepsi masyarakat dunia menilai bahwa seluruh warga negara Jerman bersalah dan bertanggung jawab atas meninggalnya jutaan orang Yahudi—yang di mata Hitler dianggap sebagai ras rendah yang harus dimusnahkan. Padahal, sejatinya tidaklah demikian. Hanna Schmitz, misalnya, ia hanyalah seorang perempuan mandiri—dalam arti dapat hidup secara mandiri tanpa bergantung kepada siapa pun—yang terpaksa masuk dalam lingkaran SS karena illiterate.

Bernhard Schlink tidak ingin menggeneralisasikan bahwa semua anggota SS di masa Hitler bersalah. Schlink juga ingin menjelaskan bahwa di antara warga Jerman yang diposisikan Hitler sebagai bangsa Aria, bangsa yang unggul, ternyata ada seorang perempuan Jerman yang seperti Hanna: tidak bisa menulis dan membaca. Tapi, Hanna memiliki disiplin kerja yang sangat baik. Oleh karenanya, ia dipromosikan dengan jabatan yang lebih tinggi. Namun, karena posisi itu menuntutnya untuk menulis dan membaca, ia pun keluar dan mencari pekerjaan lain, sehingga sampailah ia menjadi sipir.

Pergantian rezim pascajatuhnya Hitler mengakibatkan perubahan-perubahan yang signifikan. Hanya saja, orang kecil semacam Hanna seringkali menjadi korban perubahan politik semacam itu. Dalam pengadilan yang sudah menerapkan hukum dan Undang-Undang yang berbeda, Hanna divonis penjara seumur hidup. Kenapa Michael Berg, mahasiswa Fakultas Hukum yang pernah kencan dengan Hanna Schmitz, diam saja melihat ketidakadilan terjadi di depan matanya? Kenapa Michael yang mengetahui bahwa Hanna could neither read nor write (Schlink, 1997: 132) tidak berkutik saat mendengar pengakuan Hanna bahwa ialah yang membuat laporan tertulis yang ditunjukkan Hakim Ketua? Bukankah itu memperlihatkan kepengecutan seorang Michael? Kalaupun tidak dikatakan sebagai pengecut, bukankah Michael hanya mencari selamat? So I was still guilty. And if I was not guilty because one can not be guilty of betraying a criminal, then I was guilty of having loved a criminal (Schlink, 1997: 134).

Dalam masa transisi, wajar bila banyak orang mencari selamat seperti Michael. Dalam persidangan kasus Hanna, banyak pengunjung sidang yang menghujatnya, bahkan sesama rekan sipir penjara pun menyudutkannya. Michael yang tahu persis kemampuan Hanna dalam hal menulis dan membaca tidak berkutik karena risiko yang akan didapatkannya adalah disudutkan seperti Hanna, apalagi kalau terlontar pengakuan bahwa ia pernah tidur bersama Hanna, yang kini dicap sebagai seorang kriminal. Hanna benar-benar berada dalam posisi yang tak berdaya, dan Michael berada di posisi serba salah.

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Michael mengambil inisiatif untuk mentransformasi karya-karya sastra ke dalam bentuk audio (rekaman). Ia merekam Odyssey karya Homerus, Intrigues and Love karya Schiller, War and Peace karya Leo Tolstoy, buku-buku Dostoyevsky, Charles Dickens, Balzac, dan lain-lain. Hingga beberapa tahun kemudian sejak Michael dan Hanna “berpisah” di ruang pengadilan, ia sangat terkejut dengan datangnya sebuah surat singkat. In the fourth year of our word-driven, wordless contact, a note arrived. “Kid, the last story was especially nice. Thank you, Hanna.” (Schlink, 1997: 187).

Setelah bertahun-tahun berpisah, pandangan Hanna terhadap Michael tetaplah sama. Ia masih memanggil Michael dengan sebutan “kid”, seperti ketika mereka masih menjalin hubungan asmara dulu. “Read me something from them. Please, kid?” (Schlink, 1997: 63) atau “Let me bathe you, kid.” (Schlink, 1997: 79). Hanna memperlakukan Michael seperti anak kecil yang harus dibimbing dalam menjalani kehidupan yang ganas. Bahkan, dalam hal cinta pun Michael tampak masih seperti anak bawang. Masih kekanak-kanakan.

“Do you forgive me?”
She nodded.
“Do you love me?”
She nodded again. “The tub is still full. Come, I’ll bathe you.”
(Schlink, 1997: 49).

Sementara fantasi Michael tentang Hanna yang dulu pernah membimbingnya dalam hal percintaan seperti buyar ketika ia melihat Hanna setelah dikurung 18 tahun penjara. Apa yang dibayangkan Michael terhadap Hanna selama ini adalah bayangan ketika masih remaja. I sat next to Hanna and smelled an old woman. I don’t know what makes up this smell, which I recognize from grandmothers and elderly aunts, and which hangs in the rooms and halls of old age homes like a curse. Hanna was too young for it. (Schlink, 1997: 197).

Dalam pertemuan di penjara itu, yakni pertemuan menjelang dibebaskannya Hanna untuk bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat sekitar. Setelah terkurung selama 18 tahun dalam penjara untuk sesuatu yang bukan murni kesalahannya membuat Hanna demikian berharap kepada Michael ketika disadarinya ada yang akan menyambutnya di luar kelak ketika dia dibebaskan dari penjara. Namun, tampaknya posisi Hanna yang terpenjara dan Michael yang bebas membuat komunikasi di antara keduanya tidak pernah berjalan mulus. Artinya, apa yang dibayangkan Michael tidak seperti yang diharapkannya ketika ia melihat kenyataan. Apa yang diharapkan Hanna ternyata juga demikian. Ia berharap Michael bisa menerimanya kembali sebagaimana belasan tahun lalu ketika Hanna menerima Michael di apartemennya. Rupanya, harapan Hanna itu memang sulit diwujudkan mengingat Michael sendiri sudah berkeluarga, meskipun ia sudah bercerai dengan Gertrud.

“I’m glad you’re getting out.”
“You are?”
“Yes, and I’m glad you’ll be nearby.” I told her about the apartment and the job I had found for her, about the cultural and social programs available in that part of the city, about: the public library. “Do you read a lot?”
“A little. Being read to is nicer.” She looked at me. “That’s over now, isn’t it?”
“Why should it be over?” But I couldn’t see myself talking into cassettes for her or meeting her to read aloud. “I was so glad and so proud of you when you learned to read. And what nice letters you wrote me!”
(Schlink, 1997: 197-198).

Dialog antara Hanna dan Michael di dalam penjara itu merupakan pertanda bahwa hubungan mereka akan berakhir. Saya menilai bahwa keputusan Hanna untuk melakukan bunuh diri setelah ia mengetahui bahwa satu-satunya orang yang bisa memahami dan mengerti dirinya di dunia ini sudah berubah. Michael yang sekarang tetap dipanggilnya “kid” bukanlah Michael yang dulu. Jika Hanna Schmitz merepresentasikan perempuan Jerman yang menjadi korban generalisasi pandangan orang-orang terhadap SS dan Nazi, maka Michael Berg merepresentasikan orang-orang yang tinggal di Jerman yang tidak mengikuti kebijakan Hitler, namun belum bisa menerima secara tulus terhadap orang-orang yang telanjur dihakimi sebagai penjahat perang.

Pilihan Hanna untuk bunuh diri memperlihatkan sikapnya yang tegas. Saya sangat yakin bahwa tindakan kontraproduktif ini diambil Hanna setelah Michael tidak memberikan jawaban yang memenuhi harapannya. Hanna berharap agar ia bisa diterima kembali oleh Michael. Tapi, ternyata Michael hanya membantu memfasilitasi Hanna untuk bekerja sebagai penjaga perpustakaan umum. Jadi, Michael-lah yang menyebabkan Hanna bunuh diri. Jika bukan karena faktor Michael atau karena motif lain, saya pikir sudah sejak awal Hanna bisa melakukan bunuh diri itu. Sebab, sebagai terpidana seumur hidup, Hanna tidak memiliki banyak pilihan untuk menunda kematian. Terlebih lagi, semangat Hanna untuk belajar membaca di dalam penjara juga dikarenakan adanya setitik cahaya kehidupan yang diberikan oleh Michael melalui kaset-kaset yang berisi cerita yang dikirimnya secara rutin.

Sekali lagi, Bernhard Schlink menampilkan sosok Hanna Schmitz secara manusiawi. Mungkin terkesan lugu atau naif. Tapi, kehadiran sosok Hanna dalam The Reader, yang merupakan cermin masyarakatnya, memperlihatkan bahwa sejatinya dalam melihat segala persoalan, kita jangan mudah menggeneralisasikan, jangan terlalu mudah menyederhanakan persoalan. Dari The Reader ini pula kita bisa memetik pelajaran bahwa apa yang diputuskan pengadilan sebagai suatu kesalahan, belum tentu itu merupakan keputusan yang benar. Dalam memutuskan suatu perkara, pengadilan hanya berdasarkan UU yang berlaku dan bukti-bukti yang ditemukan dalam persidangan. Sementara dalam kasus Hanna, ia mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya karena ia malu kalau publik mengetahui bahwa ia tidak bisa menulis dan membaca. Saya juga bertanya-tanya, kenapa Bernhard Schlink mematikan tokoh Hanna Schmitz dengan bunuh diri? Apakah dalam bawah sadar Schlink juga terlintas bahwa mereka yang terlibat dalam pembantaian orang Yahudi harus dimatikan?
“Take care, kid.”
Citayam, 1 April 2010
Asep Sambodja

Selasa, 23 Maret 2010

Dari Diskusi Lekra dan Politik Sastra di Bandung


oleh Asep Sambodja

Dalam diskusi “Lekra dan Politik Sastra” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Sabtu, 20 Maret 2010, Jakob Sumardjo mengatakan, “berbeda dengan tahun 1950-1960-an, ketika Lekra selalu dikaitkan dengan partai politik, Lekra yang sekarang adalah Neo Lekra.” Hal itu dikatakan Jakob Sumardjo menanggapi pernyataan penyair Lekra Sutikno W.S. yang hadir dalam diskusi tersebut. Pujangga Boemipoetra Saut Situmorang yang juga menjadi pembicara menambahkan, “Sudah waktunya membentuk Lekra Baru, karena sudah terlalu lama Lekra ditenggelamkan.”
Dalam diskusi yang dipadati seniman-seniman muda Bandung itu, Sutikno W.S. mengatakan perlunya sastrawan menghasilkan karya yang tinggi mutu ideologinya dan tinggi mutu artistiknya. “Yang dimaksud tinggi mutu ideologi adalah bagaimana sastra kita bersikap memuliakan kehidupan, menghormati kemanusiaan, mensyukuri kehidupan. Kuncinya: memuliakan kemanusiaan,” kata Sutikno.
Dia menambakan, orang-orang Lekra menulis karya sastra dengan menggambarkan kehidupan dan tercermin dalam karya sastra kita. “Kalau kita melihat kehidupan kita sehari-hari, manusia masih direndahkan. Karena itu kita menulis untuk memuliakan manusia dan mengangkat derajat manusia. Dalam karya, kita tampilkan segi-segi yang baik yang diperjuangkan. Yang dipahlawankan bukan para jenderal, melainkan para prajurit yang berada di medan pertempuran, karena merekalah yang berjuang. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, para petani dan buruhlah yang perlu diperhatikan, karena merekalah yang bekerja dan berkeringat untuk kehidupan orang banyak,” ujarnya.
Sutikno juga menjelaskan bahwa buku Nyanyian dalam Kelam itu ia tulis di dalam penjara sebagai bentuk penolakan terhadap segala bentuk penistaan terhadap manusia. Jakob Sumardjo menaymbut baik pernyataan Sutikno itu. “Kalau tujuannya seperti itu, maka itu semacam Neo Lekra. Tinggal buktikan saja, berkarya dengan dasar-dasar seperti itu dan berlomba dengan yang lain.”
Putu Oka Sukanta yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengingatkan bahwa sastra Lekra dihilangkan atau dieliminasi oleh penguasa secara terstruktur dan sistematis, sehingga menimbulkan refraksi dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia. “Kalau mau lihat Lekra jangan sepotong-sepotong. Jangan bicara Lekra tanpa orang Lekra. Di zaman Soeharto telah terjadi pemblejetan terhadap orang Lekra, namun orang Lekra tidak boleh masuk,” kata sastrawan Lekra ini.
Putu Oka menjelaskan, saat ini sudah ada lima buku yang berbicara mengenai Lekra. “Pertama, buku Asep Sambodja yang berbicara mengenai Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Kedua, buku Keith Foulcher mengenai Social Commitment in Literature and the Arts. Ketiga, tulisan Goenawan Mohamad dalam buku Sastra dan Kekuasaan. Keempat, buku Yahaya Ismail yang berasal dari skripsi di UI. Kelima, Prahara Budaya Taufiq Ismail.”
Perlu saya tambahkan di sini bahwa ada satu buku penting mengenai Lekra yang justru dilarang rezim SBY-Boediono, yakni buku Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Fakta-fakta dari perspektif orang-orang Lekra yang berkaitan dengan peristiwa 1960-an justru dilarang oleh penguasa.
Dalam diskusi di tempat Soekarno muda (24 tahun) dan kawan-kawan Partai Nasional Indonesia (PNI) pernah diadili ini memang sangat menarik. Jakob Sumardjo berangkat dari semboyan yang menjadi pendirian sastrawan Lekra: “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”. Menurut Jakob, sastrawan-sastrawan dunia juga menerapkan idealisme sastra seperti itu. “Semua karya sastra harusnya seperti itu,” tegas Jakob Sumardjo.
Ia mencontohkan sastrawan Jepang yang ideologinya terpengaruh oleh Budha bisa digemari oleh berbagai kalangan dari berbagai ideologi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menciptakan karya sastra, apapun ideologinya, yang bisa diterima oleh orang lain yang memiliki ideologi yang bermacam-macam. “Jadi tidak hanya dipuji di kalangannya sendiri saja, tapi dipuji juga di luar kalangan itu.”
Jakob mengangkat kearifan lokal dalam budaya Indonesia. Di Sunda dikenal adagium tekad-ucap-lampah, sementara di Jawa dikenal dengan niat-ilmu-laku. Ketiga hal itu merupakan satu kesatuan. Pikiran (ilmu/ucap) itu menghasilkan perbuatannya (tindakan/karya/lampah/laku/empirik). “Jadi, tidak perlu dibuat oleh siapa, tapi perbuatannya bisa diterima oleh semua orang,” jelasnya.
Jakob menambahkan bahwa puncak ideologi adalah jika karya itu bisa diterima oleh orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Karena, lanjutnya, keinginan manusia itu sama, yakni hidup yang lebih baik, menginginkan keadilan, tidak ingin ditindas, tidak ingin diperlakukan tidak adil. “Keinginan manusia sama semuanya: ingin masuk surga dan tidak ingin masuk neraka. Hanya, caranya untuk menempuh tujuan itu yang berbeda-beda.”
Jakob mencontohkan, puisi “Gadis di Hutan” karya S. Anantaguna dalam buku Puisi-puisi dari Penjara justru memperlihatkan seorang gadis yang meratapi kebebasan. “Bebas di sini bias berarti bebas-dari dan bebas-untuk. Puisi ini bisa ditafsirkan jika kita sudah bisa diterima di dalam sebuah kelompok, berarti kita sudah bebas. Makanya kalau Boemipoetra mengejek kan enak saja. Telanjang bersama sudah tidak malu lagi, sudah merasa bebas, kebebasan sebagai orang dalam.”
Jakob juga mengutip sebuah puisi Hr. Bandaharo yang memperlihatkan konsep niat-ilmu-laku tadi. Puisi tersebut berjudul “Aku Hadir di Hari Ini” yang ditulis di Pulau Buru pada 1975. Khususnya bagian 4.

manusia menurut fitrahnya mencintai keadilan
tapi senantiasa terdorong berbuat kezaliman
sejak adam, sejak kaen, sejak dulu-dulu
kezaliman pun dilawan dengan kezaliman
dan manusia berkata:
kamilah pembela keadilan!

wahai, manusia
mengapatah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan?

Menurut Jakob Sumardjo, yang penting adalah realitas karya. “Apapun di balik itu, entah dia dari mana, musuh kita, pikiran, dan ideologinya, buat karya yang bisa diterima banyak orang. Inilah yang dikatakan tinggi mutu ideologi dan artistik. Tindakan lebih penting dari pikirannya. Ilmu itu terjadinya lewat laku/perbuatan”
Sementara Saut Situmorang lebih menyoroti persoalan politik sastra dari zaman Balai Pustaka hingga kini. Menurutnya, Balai Pustaka, Manikebu, dan Horison melakukan politik kanonisasi sastra; mana yang diselamatkan dan mana yang dibuang atau disingkirkan.
Balai Pustaka melakukan kanonisasi sastra dengan dua faktor, yakni faktor bahasa dan isi. Dari segi bahasa, karya sastra yang menggunakan bahasa melayu pasar, bahasa yang dipergunakan rakyat sehari-hari, bukan dianggap sebagai high culture, dianggap sebagai bacaan liar. Sementara dari segi isi, karya-karya fiksi yang mengangkat pernyaian dianggap melukai tuan besar Belanda, karena isinya memperlihatkan kelakuan tuan besar Belanda yang ngeseks karena kekuasaan. Jadi, kata Saut, karya-karya seperti itu dianggap sangat menghina kelaki-lakian laki-laki kulit putih.
Manikebu juga begitu. Paus sastra H.B. Jassin dalam esainya mengenai “Angkatan 66” menggunakan bahasa jurnalistik politik yang berkaitan dengan politik praktis, bukan dengan bahasa sastra. Semboyan “Politik sebagai panglima” yang dituduhkan ke Lekra justru dilakukan secara sistematis oleh orang-orang Manikebu dengan menghilangkan Lekra dari sejarah sastra Indonesia. Akibatnya tidak ada informasi tandingan mengenai Lekra. “Ada informasi yang sengaja dihilangkan; Mukadimah Lekra tidak dibaca secara mendalam. Yang diagung-agungkan justru Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang formalistik itu,” kata penyair Yogya asal Medan ini.
Apa yang dilakukan Teater Utan Kayu (TUK) dengan Tukulismenya makin canggih politik sastranya. “Kalau TUK bilang di luar teks tidak ada apa-apa, maka saya katakan, di luar politik sastra, tidak ada apa-apa,” tegas Saut Situmorang, penulis buku Politik Sastra ini.
Politik sastra yang dilakukan Goenawan Mohamad dan TUK-Salihara itu dijelaskan Saut seperti ini: kepada dunia luar, selalu dikatakan bahwa TUK adalah representasi sastra Indonesia. Sementara ke dalam dikatakan: kalau mau go international harus melalui TUK.
Lebih jauh Saut mengatakan bahwa ada sebuah ketakutan atau fobia terhadap realisme sejak Orba berkuasa. Realisme sangat direndahkan. Justru yang dikembangkan adalah formalisme Tardji yang bergulat pada abjad saja. “Sejak berkuasanya Orba dan Manikebu, di majalah Horison hampir tidak ada karya realisme. Kalaupun ada realisme, dikatakan sebagai realisme magis. Sutardji dan Danarto dikatakan sebagai formalisme sufi. Hanya orang TUK yang bisa menuliskan itu.”
Mungkinkan karya sastra menyebabkan perubahan sosial? Di Amerika ada Uncle’s Tom Cabin. Di Indonesia ada Pramoedya Ananta Toer. “Bahwa pengarang menulis fiksi itu sama dengan menulis sejarah baru yang beda dengan sejarahnya Nugroho Notosusanto dan Taufiq Ismail.
Dalam polemik kebudayaan yang dibukukan Achdiat Kartamihardja itu ada satu hal penting yang dilupakan Achdiat dan mereka yang berpolemik, bahwa pada saat itu mereka sedang dijajah Belanda. Ada realitas bahwa mereka sedang dijajah sama sekali tidak diucapkan. Orang-orang seperti inilah yang membayangkan nasionalisme Indonesia. Dan kita harus mempertanyakan hal itu. “Bisa nggak, kita menolak sesuatu yang sudah dibayangkan oleh founding fathers kita?” tanyanya. “Menulis sejarah, realisme, itu adalah persoalan besar.”
Jakob Sumardjo mengingatkan kita pada kearifan lokal orang Baduy. “Yang panjang, jangan dipotong, yang pendek jangan disambung.” Artinya, kalau yang penjang itu dipotong, maka ia akan sama dengan yang pendek. Kalau yang pendek itu disambung, maka ia akan sama dengan yang panjang. Jadi, orang Baduy itu mengakui adanya perbedaan, dan karenanya tidak perlu diseragamkan. “Sayang saya terlambat membaca buku Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, dan lain-lain. Kalau kita bandingkan dengan novel-novel sezamannya, maka novel Mas Marco itu lebih modern, karena to the point, bahasanya sederhana, natural.”
Jakob mengatakan, bahwa sebenarnya semua orang merupakan anak-anak yang hilang.

Bandung-Citayam, 20-21 Maret 2010
Asep Sambodja

Catatan: Hadir dalam diskusi ini di antaranya Yopi Setia Umbara (moderator), Matdon (MC), Putu Oka Sukanta, S. Anantaguna, Sutikno W.S., Muhidin M. Dahlan, Astuti Ananta Toer, Irina Dayasih, Svetlana Dayani, Ilham Aidit, Imam Abda, Tuty Martoyo, Nuraini Hendra Gunawan, Salim, Rama Prabu, Wong Agung Utomo, Iman Budi Santoso, Dian Hartati, Bilven Sandalista, Dadan M. Ramdan, dan masih banyak lagi.

Minggu, 14 Maret 2010

Surat Buat Narita



Narita yang baik,
Saya sudah membaca tujuh puisimu. Temanya beragam, itu sangat bagus, terlebih lagi ada tema sosial. Bahkan kritik sosial. Yang seperti ini yang harus sering diasah. Diksi atau pilihan katamu untuk beberapa puisi, seperti “Asa”, “Tuhan”, dan “Sajak yang Terisak” sudah bagus. Artinya, sudah ada kata-kata puitis yang kau ciptakan. Hanya saja, kurang greget. Ini bisa dibuat lebih greget lagi jika Narita sebagai penyair lebih merapatkan jarak antara penulis dan objek yang hendak ditulis. Caranya dengan menggunakan perspektif atau sudut pandang aku.


Barangkali akan lebih jelas jika saya memberikan contoh konkret. Kalau kita ingin menulis tentang penderitaan seorang korban bencana alam, misalnya, maka kita harus benar-benar menghayati penderitaan si korban itu. Kita masuk dan merasuk ke dalam dirinya. Kita serap deritanya. Maka, yang akan terekspresikan dalam puisi kita nantinya bukan kata-kata “jari itu” atau “jemari itu”, melainkan “jariku” atau “jari-jari ini” atau “jemari ini” dan seterusnya. Kamu tidak lagi menulis penderitaan itu dengan kata “mereka”, melainkan “aku”, karena aku-penyair-Narita telah merasuk menjadi si korban bencana alam itu.


Perspektif aku-an memang akan menghapus jarak yang ada, sehingga terasa lebih greget. Bayangkan, lebih greget mana: pengakuan seorang perempuan perkosaan dengan keterangan dari polisi yang menangani kasus perkosaan itu. Sebagai penyair, kau harus menempatkan diri pada diri si perempuan korban perkosaan itu, kau rasakan bagaimana sakitnya, kau hayati penderitaannya, dan kemudian yang keluar dari puisi-puisimu adalah “aku” yang menjadi perempuan itu. Bukan “aku” yang menjadi polisi atau wartawan yang melaporkan peristiwa itu.
Begitu juga kalau bicara tentang Tuhan. Tidak akan lagi kau katakan “sorot mata itu”, melainkan “sorot matamu” atau “sorot mataMu”. Ini untuk menggambarkan hubungan yang demikian dekat, tak berjarak, antara kau dengan Tuhanmu.


Puisi “Pengaduan Bocah Sakurata” dan “Jika Korupsi Jadi Tradisi” memperlihatkan kepekaan sosialmu. Ini bagus. Cuma, tantangannya memang sangat berat. Tidak masalah membuat puisi-puisi pamflet, puisi-puisi protes, hanya saja, apakah puisi protes itu masih bisa dinikmati sebagai karya seni? Ini sebuah tantangan yang maha berat yang hanya bisa ditaklukkan jika kita terus menulis. Dalam dua puisi itu sikapmu sebagai penyair sudah memperlihatkan posisimu yang membela orang-orang tertindas, teraniaya, tersisihkan, terpinggirkan, kaum lemah, wong cilik, orang-orang yang tak berdaya. Bagi saya, ini sudah merupakan modal utama untuk menulis puisi-puisi yang bertema sosial-politik seperti itu. Sekali lagi, teruslah menulis agar tajam terasah.


Kamu bertanya, bagaimana menuliskan tanggal? Meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer—sastrawan hebat Indonesia yang patut diteladani—puisi-puisimu itu adalah anak-anak rohanimu. Sama seperti proses kelahiran seorang anak manusia, penulisan tanggal kelahiran adalah ketika anak itu keluar dari rahim ibu, bukan saat sel telur dibuahi oleh sperma. Jadi, begitulah Narita.


Semoga cukup memuaskanmu.

Citayam, 18 Januari 2010
Asep Sambodja

Narita yang baik,
Surat pertamaku sejatinya mencerminkan keinginan seorang pembaca akan sebuah puisi. Mungkin ini pun begitu pula. Hanya saja, kali ini saya ingin mengetahui kau ingin bicara apa melalui puisi-puisimu itu. Terus-terang, saya sangat menyukai puisi “Mata Tua” yang kau tulis dengan sangat intens. Kau menggunakan kata-kata yang terjaga dengan baik. Kata-kata itu yang akan memancarkan makna; makna puisi itu, makna kata-kata itu, makna kehidupan yang kau serap dan kau ekspresikan melalui “Mata Tua”. Agar tidak membuat penasaran pembaca lainnya, kali ini izinkan saya memuat puisimu itu dalam catatanku kali ini.

Mata Tua

surya rebah

langit memar memerah

di kelopak mata

yang menutup baru saja

Putri Narita Pangestuti

Kendal, 27 Januari 2008

Bagai seorang fotografer, kau menangkap saat-saat senja yang memang senantiasa memberi inspirasi kepada manusia untuk menafsirkannya. Puisi itu bisa ditafsirkan secara harfiah maupun simbolis. Keduanya sama-sama bermutu. Secara harfiah, misalnya, situasi matahari terbenam itu sendiri menimbulkan keindahan. Pengalaman menyaksikan sunset di Kuta dan Tanah Lot, Bali, misalnya, selalu saja menyimpan memori yang tak terlupakan. Ada cerita di balik pemandangan itu; di balik keindahan itu. Secara simbolis, senja bisa ditafsirkan sebagai perlambang kematian. Kehidupan manusia memang fana. Dan Tuhan, kalau kita percaya adanya Tuhan, selalu memberi tanda-tanda. Bahwa ada saatnya manusia akan menemui ajalnya.


Dalam Alquran juga disuratkan bahwa ternyata kehidupan di dunia itu sangat sementara, sangat sekejap, hanya seperti sebuah sore. Bayangkan, dalam firman Tuhan itu “sore” yang sebentar itu menjadi lambang kesementaraan hidup. Begitu pula dengan puisi “Mata Tua”-mu yang menurut saya sangat bagus. Biarlah pembaca memberi penafsiran yang berbeda-beda. Goenawan Mohamad pernah mengatakan, seribu kepala seribu penafsiran. Tapi, kau tak perlu gusar ataupun risau. Semakin banyak interpretasi yang diberikan kepada puisimu, maka semakin kayalah karyamu itu. Bahkan penafsiran yang saling bertentangan sekalipun!


Dalam puisi “Dikejar Bayang-bayang Kelam”, kau menggambarkan orang-orang yang kalah. Sebenarnya itu tidak masalah, tapi saya ingin memberi nilai lebih buatmu sebagai penyair. Saya contohkan penyair perempuan lain, Dorothea Rosa Herliany, yang dalam puisi-puisi terbarunya sudah semakin kuat, semakin matang, dan semakin “menjadi”, kata Chairil Anwar. Kenapa bisa demikian? Karena, menurut saya, Dorothea sudah menemukan visinya; dia sudah memiliki kesadaran sebagai seorang feminis. Dengan demikian, puisi-puisi yang dihasilkannya pun mencerminkan visinya itu. Puisi-puisi yang diciptakannya sudah menyuarakan kepentingan perempuan; segala persoalan dilihat dari perspektif atau kacamata perempuan. Oleh karena itu, sangat wajar Dorothea menghasilkan puisi-puisi yang mendobrak budaya patriarki (dominasi laki-laki atas perempuan) dan mengangkat harkat dan martabat perempuan.


Sebagai contoh, ketika dia menggambarkan tokoh Sita (atau Sinta) dalam epos Ramayana, maka yang tergambar bukan lagi Sinta yang pasrah, yang menurut begitu saja dengan Rama, yang mau begitu saja membakar dirinya sendiri untuk membuktikan kesucian. Tidak. Sinta yang digambarkan Dorothea adalah seorang perempuan yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Dia tidak mau dibodohi untuk mempertanggung jawabkan kesuciannya. Karena, keberadaan Sinta di istana Rahwana bukanlah atas kehendaknya, melainkan ia diculik. Karena itu, bisa keluar dari sarang penculik saja sebetulnya sudah syukur alhamdulillah. Lha, kok, Rama masih meragukan kesuciannya? Dorothea mempertanyakan, kenapa laki-laki masih suka curiga dan tidak percaya pada keperawanan seorang perempuan? Apakah laki-laki juga menjaga kesuciannya sendiri?


Nah, Narita, contoh di atas saya pikir pas untuk diterapkan pada puisi “Punta Dewa”. Saya tidak membatasi kau mau mengangkat tokoh apa saja, tokoh siapa saja, dengan catatan, jangan lupakan visimu, pemikiranmu. Tidak selalu harus tunduk pada konvensi yang telah ada. Artinya, kalau selama ini orang menganggap pandawa itu bagus semua, kau harus hati-hati, kau harus curiga; harus kritis: benarkah semua tokoh pandawa bagus semua? Kalau kau teliti tokoh Arjuna yang banyak dipuja-puja itu, ternyata dia suka berselingkuh dan berpoligami. Sebagai perempuan, bagaimana pendapatmu? Mau mengukuhkan budaya patriarki seperti itu atau mau meruntuhkannya? Kalau kau mengukuhkannya, maka wajarlah kalau pemilik warung Wong Solo berpoligami. Boleh-boleh saja berpoligami; agama tidak melarangnya, tapi perempuan sangat membencinya.


Dalam puisi “Kucumbu Dirimu”—puisi ini juga nyaris bagus—ada paradoks yang agak mengganggu kenikmatan pembaca. Judulnya mencerminkan tindakan aktif, namun di dalamnya ternyata sangat pasif: “sedang aku dicumbu bayang rembulan”. Coba kau poles puisi ini; apakah judulnya yang diganti atau isinya yang diperbaiki. Mungkin judulnya bisa diganti menjadi “Kaucumbu Diriku”. Tapi, hak prerogatif tetap pada Narita sebagai penyair.
Untuk sementara, saya cukupkan catatanku ini.

Citayam, 21 Januari 2010
Asep Sambodja


Narita yang baik,
Ketika manusia merasa jenuh dengan kata-kata kosong para politikus, mereka akan mencari oase pada sebuah puisi. Ketika manusia merasa tertekan dengan peraturan-peraturan, undang-undang, hukum yang tegas buat orang kecil tapi tumpul buat pejabat, penguasa, dan pengusaha, mereka merindukan suara lembut yang bernama puisi. Ketika amarah tak terkendali tumpah di jalan-jalan, mereka pun akan kangen pada puisi.


Begitu juga ketika berita disampaikan dengan penuh pretensi, maka terkadang kita menginginkan berita itu disampaikan secara puitis. Memang tidak semuanya seperti itu, pasti ada berita yang disampaikan secara proporsional dan tak emosional. Tapi, di masa neo liberalisme bersimaharajalela seperti sekarang ini, maka berita yang objektif dan elegan seperti itu semakin sulit ditemui. Puisimu yang berjudul “Tasik dan Cianjur” (Catatan Gempa) pada hakikatnya adalah sebuah berita tentang bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di Tasikmalaya dan Cianjur. Kau, sebagai penyair, tergerak untuk mewartakan, merekam, mengabadikannya dalam puisi.


Sebagaimana wartawan yang memiliki perspektif tersendiri, dan juga memiliki pandangan yang cenderung sama dengan media tempatnya bekerja—yang tentu saja memiliki visi ataupun kepentingan tertentu—kau pun memiliki perspektif tersendiri dalam melihat bencana itu. Kaum postmodernisme berpendapat bahwa manusia itu makhluk yang unik, karena itu apa pun pendapatnya, apa pun karyanya, akan memperlihatkan keunikan itu. Puisimu pun begitu. Ada kedalaman makna yang terasa dari puisimu berikut ini.

Tasik dan Cianjur
(: catatan gempa)

kamboja tersenyum
kerandakeranda dipikul
di Tasik dan Cianjur
helai-helai mawar tertidur

Putri Narita Pangestuti
Pekalongan, 7 September 2009


Sedikit sekali penyair yang peduli dengan nasib manusia; terlebih lagi peduli pada nasib orang-orang teraniaya. Yang paling banyak ditulis oleh para penyair salon—istilah ini pertama kali dipakai oleh Rendra—adalah kegelisahan dirinya sendiri; kegelisahan eksistensialisme.


Dari yang sedikit itu, kita bisa temukan nama K.H. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus. Dia tidak peduli apakah yang ditulisnya itu disebut sebagai puisi atau tidak, yang penting pesan yang ingin disampaikannya kepada pembaca bisa dipahami dan dimengerti, serta dipetik manfaatnya. Puisinya yang berjudul “Rasanya Baru Kemarin” yang ditulis setiap 17 Agustus berisi kritik terhadap penguasa negeri ini. Bagi saya, puisi-puisi seperti inilah yang perlu dieksplorasi terus-menerus. Karena, penguasa memang harus dikritik terus-menerus agar tetap sadar bahwa kekuasaan itu amanah rakyat dan amanah Tuhan juga. Arahkan “mata pedang” itu ke penguasa, bukan ke rakyat jelata. Pernyataan ini bukan hanya untuk para penyair saja, tapi terutama untuk aparat penegak hukum di negeri sarang koruptor ini. Kenapa koruptor masih merajalela di Indonesiamu? Karena “mata pedang” aparat penegak hukum tidak diarahkan ke penguasa, melainkan ke rakyat jelata. Jadinya, seperti yang kau tahu, nenek yang mencuri tiga biji kakao dijatuhi hukuman penjara; Prita yang mengeluhkan adanya malpraktik di RS Omni Internasional dikenai denda Rp204 juta—saat ini kasusnya masih berproses di tingkat kasasi, sementara Artalyta yang sekarang kita kenal sebagai mafioso peradilan dekat dengan keluarga Cikeas dan ruang tahanannya melebihi hotel bintang tujuh.


Puisimu yang berjudul “Peperangan” (di Gaza) juga menarik dari segi tematik. Bahkan setiap kata yang kau torehkan dalam puisi ini memberi metafora yang kuat dalam menggambarkan betapa dahsyatnya perang Gaza itu. Kepahitan akibat perang begitu terasa dalam puisimu ini.

Peperangan
(: catatan untuk Gaza)

langit biru terkubur
kupu-kupu menghitam
di dalam mesiu
sayap
patah
terpendam
merpati putih
terjegal, tersumpal
gado-gado bersaus merah kental
terhidang
rudal menyusui bayi
air mata mati
mendung
terlalu menggumpal

Putri Narita Pangestuti
Kendal, 13 Januari2009

Dua puisimu yang lain yang menurut saya bagus adalah “Kaki Senja” dan “Ketegaran”. Yang mennonjol dari dua puisimu di bawah ini adalah kepaduan atau keutuhan sebuah puisi. Sesuatu yang ingin kau gambarkan dalam puisi ini terasa meaningful, bahkan cenderung religius. Ada hubungan aku-alam-sang pencipta dalam puisi yang padat ini. Tampak bahwa kau serius memilih kata dalam menulis puisi. Tapi harus cepat-cepat saya katakan bahwa kita jangan berhenti pada kata-kata yang indah tapi hampa makna, karena itu berilah makna pada setiap kata yang kau gunakan dalam menulis puisi.

Kaki Senja

sujud kaki senja
mengeja bait-bait mantra
ayat-ayat dikemas jiwa
: langkah mengurai makna
pada senja diikat sebuah lentera

Putri Narita Pangestuti
Semarang, 18/04/2009

Ketegaran

dalam badai yang terus menggerus
hati dan pikir tak izinkan berubah tirus
rasaku menghunus gelombang zaman yang tak kurus
seperti puisimu yang mengalir tak putus
menatap ketegaran
pada jiwa-jiwa yang kudus

Putri Narita Pangestuti
12 Nopember 2009 at 1:44 pm


Jika pelukis menggunakan kekuatan warna, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penari menggunakan kekuatan gerak, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika aktor menggunakan kekuatan acting, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Jika penyanyi menggunakan kekuatan suara, maka penyair menggunakan kekuatan kata. Saya sangat setuju dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa kata adalah segala-galanya dalam puisi. Karena itu, jangan biarkan kata-kata itu hampa makna. Jangan biarkan kata-kata itu sekadar kata yang genit tapi kosong. Kamu boleh mengutip Warteg Boys: “Okelah kalau begitu.”

Citayam, 31 Januari 2010
Asep Sambodja



Narita yang baik,
Semakin lama puisi-puisimu semakin meyakinkanku, bahwa kau tidak sedang iseng menulis puisi. Kamu pasti mengerti, menulis puisi bukan sekadar menyusun kata-kata indah, namun juga memberi arti atau makna pada setiap katanya. Sepertinya tidak mudah, tapi sesungguhnya dapat dikatakan mudah, jika kita sepenuhnya mengungkapkannya dengan penuh kejujuran. Kau bilang, “ketulusan.”


Ya, tulus dan jujur pada diri sendiri. Politikus busuk tidak akan pernah bisa jujur bahkan kepada dirinya sendiri. Makanya, penyair tidak akan pernah diam melihat ketidakadilan di depan matanya. Penyair selalu gelisah menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di kesementaraan dunia ini.


Kali ini, bukan puisi-puisi yang bernada kritik sosial yang akan saya bicarakan, namun puisi-puisi religiusmu.


Puisi “Jalan Cahaya” yang kau tulis demikian dalam maknanya. Sebuah proses pencarian yang tidak didapat secara gratis. Setiap manusia di dunia ini sebenarnya memiliki bayangan (image) tentang Tuhan yang berbeda-beda. Ada yang ingin melihat Tuhan dengan mata kepalanya sendiri untuk bisa percaya pada eksistensi Tuhan. Ada yang melambangkan Tuhan dengan suatu benda tertentu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan itu ada. Ada pula yang harus percaya dan yakin begitu saja meskipun Tuhan tidak dipersonifikasikan. Bahkan ada yang tidak percaya pada Tuhan alias atheis. Nah, puisimu ini sangat jujur. Minimal menurut saya. Bahwa “aku mengira inilah jalan cahaya”. Artinya, jalan yang kau lalui itu bisa jadi merupakan jalan yang terbaik buatmu (aku-lirik) untuk menemukan cahaya. Artinya lagi, jalan itu adalah jalan yang sangat cocok dan pantas buatmu. Namun, belum tentu pas buat orang lain. Yang menarik bagi saya adalah persoalan keyakinan kau bawa atau kau masukkan ke wilayah pribadi, wilayah yang sangat personal, dan tidak kau desakkan pada orang lain. Bahkan kepadaku pun tidak. Ini sangat relevan dengan firman Tuhan yang mengatakan “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS 109:6).

Jalan Cahaya

jiwaku memanjat tebing sunyi
mencari celah dari gelak tawa dunia
seperti air meresap-resap
tiada mampu membendungnya

jiwa kecilku
tak henti bernada
terus melesat
menyempurna pada keagungannya

aku mengira inilah jalan cahaya
dibendung tak limbung
diterjang tak karam

jalan cahaya ada dalam rahasia
memanjat sulbi-sulbi jiwa
yang menanam biji bunga seroja

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Puisi “Yang Ada dan Tiada” memperlihatkan proses pencarianmu atas Sang Maha Kasih. Tidak berhenti pada pencarian semata, namun disertai pemahaman untuk saling mengerti dan saling menerima. Yang untuk mendapatkannya tidak begitu mudah, apalagi di zaman yang serba benda ini. Sebuah zaman yang didominasi oleh paham kapitalisme liberal. Ada kapital, semua bisa diatur. Maka, jalan yang kau tempuh adalah jalan sunyi. Hanya segelintir manusia yang sudi menekuri jalan sunyi itu; jalan menuju cahaya.

Yang Ada dan Tiada

tak ada yang mampu menyamai
yang paling tiada, kecuali
yang paling ada

karena yang paling ada
ialah
yang paling tiada
ia tak berawal
tak berakhir

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Tidak mengherankan jika dalam puisi “Perahu Asing” kau merasa seperti orang asing yang berada di tengah-tengah samudera zombie. Tahukah kau, apakah zombie itu? Zombie adalah mayat hidup. Dan tahukah kau, apakah mayat hidup itu? Mayat hidup adalah sejenis manusia. Tampaknya ia seperti seorang manusia, tapi sejatinya hatinya kosong. Manusia yang hidup di bumi namun tak punya tujuan, tak punya pegangan, tak ada keinginan untuk mencari cahaya. Nabi Nuh pun pernah dianggap gila, ketika ia mengembangkan teknologi perkapalan (sayang waktu itu Alfred Nobel belum lahir; kalau sudah lahir dan kaya raya berkat dinamit, pasti Nuh dapat Hadiah Nobel), ia dianggap gila. Orang-orang yang menekuri jalan sunyi senantiasa dianggap gila. Gila menurut siapa? Kalau yang bilang gila itu orang gila, biarkan saja.

Perahu Asing

perahuku menjelma dari kulit suara
mengangkut biji wicara
dari lautan makna
tertitah dari zat yang Maha Menatap

mendayung
aku membawanya pada lautan jiwa

orang menatapnya sebelah mata
sebagian lagi bertutur cela
ada juga yang menutup rapat telinga
asyik berakrobat dengan dayung-dayung
dan balok suara mereka

perahuku dicela tak berharga
dan aku dianggapnya pemantra gila

sedang perahukulah
yang bisa sampai berlabuh pada dermaga surya

Putri Narita Pangestuti
12 Februari 2010

Demikianlah.

Citayam, 13 Februari 2010
Asep Sambodja

Jumat, 26 Februari 2010

Dari Diskusi Buku Dua Penyair Lekra di FIBUI Depok




oleh Asep Sambodja

Buku Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S. merupakan wakil dari sastra Indonesia yang hilang. Demikian pendapat Hilmar Farid dalam Diskusi Buku Dua Penyair Lekra yang diselenggarakan oleh Departemen Susastra FIB UI bekerja sama dengan IKSI FIBUI dan Penerbit Ultimus Bandung di Auditorium Gd. IV FIBUI pada Kamis, 25 Februari 2010. Lebih lanjut Hilmar Farid mengatakan, minimal dari dua buku puisi ini bisa dijadikan skripsi oleh mahasiswa. “Kalau bisa menjadi tesis akan lebih baik,” katanya. Sebab, “kehadiran sastra Lekra sekarang ini menjadi keping-keping sastra Indonesia yang hilang.”

Thomas Rieger, pengamat sastra Indonesia dari Jerman yang menghadiri acara diskusi ini menekankan perlunya kita membicarakan kembali kanon sastra Indonesia. Sebab, menurut Thomas, ada fenomena menarik bahwa yang menjadi arus utama (mainstream) dalam sastra Indonesia itu objeknya hanya secuil dari keseluruhan korpus (data) yang ada. Ia mempertanyakan, kok begitu banyak pengucilan di Indonesia. Selain sastra Lekra, yang mengalami pengucilan lainnya adalah sastra Melayu Tionghoa yang secara kuantitas jumlahnya banyak sekali, juga sastra picisan.

Thomas menjelaskan bahwa sastra picisan banyak ditulis oleh sastrawan-sastrawan yang juga wartawan pergerakan, karenanya mereka dimusuhi Belanda. “Ada sebuah disertasi mengenai Balai Pustaka, bahwa mereka secara terencana memberlakukan penerbitannya sebagai upaya politik yang sadar menentang nasionalisme. Mereka (Belanda) juga menerbitkan dongeng-dongeng Eropa, seperti Kucing Bersepatu Lars, tapi sudah dimanipulasi dari cerita aslinya. Dan dongeng ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia dan dipolitisasi. Jadi, memang ada kanonisasi kolonialisme. Sudah saatnya kita mengikis habis sisa-sisa kolonialisme,” urainya.

Wahyu Awaludin, mahasiswa Program Studi Indonesia yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengakui bahwa generasi seusia dia yang lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an tidak kenal dengan yang namanya Lekra. Ini disebabkan karena ada pihak yang mencoba menghilangkan atau menggelapkan sejarah. Ia sudah berusaha browsing di google dan twitter mengenai Lekra, namun informasi mengenai Lekra sangat minim. Demikian pula ketika ia mencari nama S. Anantaguna dan Sutikno W.S.

Fay, panggilan akrab Hilmar Farid, menjelaskan bahwa ketika ia masuk jurusan Sejarah FSUI (sekarang FIB UI) pada 1987, ia sudah mengenal Lekra, meskipun Lekra tidak diajarkan dalam sejarah sastra. “Saya cari bahan sendiri, karena saat itu buku-buku yang berbicara mengenai PKI, Lekra, kiri, dibekukan pemerintahan Orde Baru. Lekra memang tidak dikenalkan dan bahkan disingkirkan secara sistematis,” ujarnya. “Kenapa generasi sekarang tidak tahu, itu karena memang dibuat tidak tahu.”

Lilie Suratminto, dosen Program Studi Belanda, menyesalkan adanya pelarangan buku-buku Lekra. Ia menceritakan ketika masih duduk di Sekolah Dasar (SD), ia sudah disuruh gurunya membaca Atheis, Cerita dari Blora, Layar Terkembang, dan lain-lain. “Jadi, dulu kami membaca karya-karya para sastrawan dari kelompok manapun, dan saya merasa bahwa semuanya berisi hal-hal yang baik,” katanya. “Sayang sekali kalau sekarang ini hal-hal yang semacam itu masih dilarang.”

Menurut Fay, sastra Indonesia tidak utuh kalau tidak membicarakan sastrawan Lekra. Demikian pula sastra Indonesia sebelum perang tidak akan utuh kalau tidak membicarakan Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan lain-lain. Lebih lanjut Fay mengatakan bahwa puisi-puisi Anantaguna dan Sutikno W.S. memiliki kekuatan. “Ada semacam the power of writing. Puisi-puisi yang lahir di penjara itu memiliki kekuatan dengan sendirinya.”

Fay melihat bahwa kedua penyair Lekra itu menulis puisi di penjara antara lain untuk menghibur diri mereka sendiri. Mereka ditahan, tidak diadili, tidak dijatuhi hukuman. Dan, begitu dilepaskan dari penjara hanya diberi selembar kertas yang menyatakan mereka tidak terlibat G30S. “Makanya puisi-puisi ‘Hari-hari Tak Punya Siang’ terasa begitu kuat. Saya yakin mereka menulis puisi tidak berharap mendapat hadiah sastra. Mereka hanya berdialog dengan diri mereka sendiri. Puisi-puisi ini merupakan kesaksian yang jujur,” tegas Fay.

Sunu Wasono yang menyoroti teks kedua penyair itu menemukan kekuatan puisi-puisi itu meskipun tidak dikaitkan dengan konteksnya. “Puisi ‘Nyanyian dalam Kelam’ menjadi semacam pendirian Sutikno W.S. dalam berpuisi. Sementara puisi-puisi Anantaguna memperlihatkan keberagaman bentuk,” ujarnya.

Sunu menilai puisi-puisi Lekra semacam ini perlu diterbitkan ulang, agar generasi muda bisa mengenal sastrawan-sastrawan Lekra kembali. Ia menceritakan bahwa ketika bekerja di PDS HB Jassin pada tahun 1980-an, ia memang pernah melihat adanya surat edaran dari Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)—sekarang Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)—yang isinya berupa seruan agar buku-buku kiri disingkirkan.

Putu Oka Sukanta sebagai moderator diskusi ini mengingatkan bahwa dulu pada 1960-an kesenian dan kebudayaan Indonesia pada umumnya menjadi besar bukan karena Lekra, melainkan karena kebudayaan Indonesialah yang besar, kesenian rakyatlah yang tumbuh, dan Lekra hanya menjadi pendorongnya. “Jadi, jangan menganggap bahwa dulu kesenian dan kebudayaan Indonesia itu besar karena Lekra. Bukan, nanti kita jadi ge-er.”

Putu yang juga seorang penyair yang merangkap sebagai ahli akupunktur ini menjelaskan bahwa setidaknya sastrawan Lekra itu sudah dibunuh tiga kali. Pertama, pasca peristiwa G30S, sastrawan Lekra dibunuh. Kalau tidak dibunuh, ditahan. Kedua, buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang. Ketiga, selamanya mereka menjadi tahanan, karena tidak pernah diadili. Dan, begitu bebas karena tidak terlibat G30S, KTP mereka harus dicap ET (eks tapol).

Putu juga memberi catatan, perlu ada penelitian lebih dalam lagi mengenai empat hal. Pertama, kenapa Lekra didirikan. Kedua, kenapa mereka memakai paham seni untuk rakyat. Ketiga, apa itu semboyan 1-5-1. Keempat, bagaimana hubungan antara Lekra dengan PKI.
Acara diskusi ini dimeriahkan dengan pemutaran film Tjidurian 19 karya sutradara Lasja F. Susatyo dan Muhammad Abduh Aziz, pertunjukan KIPAS (koreografer Madia Patra), pembacaan puisi Kinanti Munggareni, dan musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI. Sasina memusikalisasikan puisi “Lagu Tanpa Nada” karya S. Anantaguna dan “Dari yang Selalu Menjalinku” karya Sutikno W.S.

Hadir dalam diskusi ini adalah penyair S. Anantaguna, Sutikno W.S., Syarkawi Manap, Sudjatmiko, Svetlana Dayani, Koesalah Subagyo Toer, Truly Hitosoro, Bilven Sandalista, Melody Violine, I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, dan ratusan pengunjung yang memenuhi ruang auditorium.

Citayam, 25 Februari 2010
Asep Sambodja

Rabu, 17 Februari 2010

Membaca Arahmaiani




oleh Asep Sambodja


Cita-cita

Waktu kecil aku ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak bisa!
Anak perempuan boleh meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma atau ke Cina
Mendapat gelar terhormat
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai nabi
Itu hanya untuk anak lelaki

Sesudah dewasa
Aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang: kapan-kapan saja
Sebab keinginanku untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus punya lelaki
Mestilah ia seseorang yang
Ingin jadi tuhan


Yogyakarta, 2002
Arahmaiani

Arahmaiani adalah seorang seniman tulen. Seluruh tubuh dan ide yang bersarang di kepalanya adalah senjatanya untuk menciptakan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi. Dobrakan pertama yang dilakukannya adalah ingin menjadi nabi. Ia bercita-cita menjadi nabi. Karena, sejak Nabi Muhammad diyakini sebagai nabi terakhir, maka tertutuplah peluang bagi perempuan untuk menjadi nabi. Karena, seluruh nabi adalah laki-laki. Kenyataan seperti ini rupanya menggelisahkan seorang Arahmaiani. Kenapa Tuhan tidak memberi kepercayaan kepada perempuan untuk menjadi nabi? Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang mengemuka dalam benak sebagian perempuan.

Sang Bapak, figur laki-laki, mengatakan: Tidak boleh! Perempuan tidak boleh menjadi nabi, meskipun masih dalam taraf cita-cita. Karena bercita-cita ingin menjadi nabi, sang perempuan juga berkeinginan kelak ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan. Meskipun bahasa yang digunakan Arahmaiani sangat lugas, saya melihat adanya dua kemungkinan interpretasi terhadap bagian akhir puisi ini. Pertama, keinginan untuk menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan menunjukkan ambiguitas sang perempuan itu, bahkan seperti ada bias gender. Semula ia ingin menjadi nabi agar sejajar dengan laki-laki. Namun, kemudian, ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan, yang berarti posisi laki-laki itu tetap lebih superior dibandingkan dengan posisi perempuan, meskipun kelak ia menjadi nabi.

Kedua, hal itu bisa ditafsirkan sebagai laki-laki yang berkeinginan untuk mencapai tingkat kesalehan yang tinggi, mencapai kemakrifatan atau manunggaling kawulo-gusti sebagaimana pengalaman Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, atau Al Hallaj. Interpretasi kedua atas “ingin jadi Tuhan” ini adalah cita-cita untuk menggapai sifat keilahian. Dengan demikian, lelaki yang memiliki sifat keilahian itu mampu mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan dalam perilakunya, dalam kehidupannya.

Puisi ini secara tegas mendobrak oposisi biner yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki; melawan larangan sang bapak yang mengatakan nabi hanya untuk laki-laki. Di sisi lain, sang perempuan tetap mengidolakan laki-laki yang “lebih tinggi” nilainya dari dirinya. Kalau sang laki-laki hanya bercita-cita jadi nabi, maka hal itu menjadi tak istimewa lagi bagi sang perempuan. Karenanya, ia menginginkan laki-laki yang lebih tinggi posisinya.

Saya melihat, memang pada awalnya ada pemberontakan yang cukup mengejutkan dari seorang Arahmaiani. Namun, di ujung perjuangannya itu secara tak sadar (atau malah secara sadar?) ia sepertinya tetap mengukuhkan dominasi laki-laki.

Saya sekadar ingin menambahkan catatan ringkas saya ini: meskipun para nabi itu semuanya laki-laki, namun ibu dari para nabi (kecuali Nabi Adam) itu adalah perempuan.

Citayam, 17 Februari 2010
Asep Sambodja

Sabtu, 13 Februari 2010

Setelah Bertemu Ibrahim, Moses Menjadi Mohammed



Setelah Bertemu Ibrahim, Moses Menjadi Mohammed:
Konstruksi Identitas dalam Monsieur Ibrahim karya Eric-Emmanuel Schmitt

oleh Asep Sambodja dan Hendra Kaprisma

Konstruksi menjadi istilah penting untuk memahami identitas melalui kaca mata kajian budaya. Hubungan antara dunia dan sistem simbolik secara kritis dibongkar agar dapat dipahami secara mendalam. Kepentingan serta strategi kebudayaan dipandang sebagai konstruksi yang membentuk definisi identitas. Eksplorasi terhadap masalah-masalah persepsi dan pengetahuan tidak dapat terlepas dari pengertian ideologis dan politis. Masyarakat turut berperan dalam menciptakan makna yang berlaku, sebagaimana dipaparkan Benedict Anderson (1983: 15), “Communities are to be distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which they are imagined.” Dalam hal ini, citra memainkan peran penting untuk membentuk identitas. Citra menopang sebuah ideologi budaya, yaitu citra tentang realitas yang diciptakan oleh budaya untuk melegitimasi dirinya sendiri dan untuk memproduksi identitas tertentu bagi subjek-subjeknya. Citra tidak merefleksikan dunia, melainkan membentuknya menurut syarat-syarat tertentu (Cavallaro, 2001: 73). Oleh karena itu, identitas yang saat ini tampak bukanlah sebuah hakikat atau substansi yang final (Hall, 2003: 99). Hal tersebut yang menjadi konsep acuan dalam menganalisis novel Monsieur Ibrahim and the Flowers of the Koran karya Eric-Emmanuel Schmitt (2003).
Dalam novel ini dikisahkan persahabatan antara Moses (yang biasa dipanggil Momo) dengan Monsieur Ibrahim. Persahabatan ini terjalin begitu saja karena Momo sering belanja dan mengutil di toko kelontong milik Monsieur Ibrahim. Apa yang menyebabkan kedua orang itu bisa bersahabat meskipun usia mereka jauh berbeda? Salah satu penyebabnya adalah sifat kebapakan yang diperlihatkan oleh Monsieur Ibrahim. Ayah Momo adalah seorang pengacara yang sibuk, sehingga tidak sempat memperhatikan Momo. Karena itulah sikap kebapakan
Monsieur Ibrahim bisa menggantikan keberadaan ayahnya.
Dalam novel yang sarat humor ini, Eric-Emmanuel Schmitt yang memiliki latar belakang Yahudi memberikan warna identitas yang sangat jelas. Momo adalah anak 16 tahun keturunan Yahudi totok. Sementara Monsieur Ibrahim, kalau dilihat perawakannya, adalah keturunan Arab. Tapi, kepada Momo, Ibrahim mengatakan, “I’m not an Arab, Momo. I’m a Muslim.” Dialog-dialog yang meluncur dari kedua tokoh itu memperlihatkan bahwa pengarang ingin menghadirkan dialog terbuka antara Momo yang merepresentasikan Yahudi dan Monsieur Ibrahim yang merepresentasikan Islam. Dalam novel itu, Schmitt juga memperlihatkan adanya kesamaan antara Monsieur Ibrahim dengan Ayah Momo; sama-sama unik dan sama-sama merasa terasing.
Sebagai seorang keturunan Arab, Monsieur Ibrahim tinggal dan berdagang di perkampungan Yahudi di Rue Bleue. Artinya, ia tidak hidup di lingkungan muslim. Bahkan, ketika Momo mengatakan, “I thought that Muslims didn’t drink alcohol.” Ibrahim menjawab, “True, but I’m a Sufi.” Ini berarti bahwa seorang sufi tidak mengikuti aturan atau hukum syariat yang ketat sebagaimana yang diyakini kebanyakan kaum muslim lainnya. Bahkan, ketika menari tekke, Ibrahim menyebutnya sebagai ibadah; karena saat menari itu Tuhan merasuk dalam dirinya.
Sementara Ayah Momo merepresentasikan keturunan Yahudi yang termarginalkan. Menurut Ayah Momo, “Being Jewish is merely having memories. Bad memories.” Peristiwa pembantaian orang-orang Yahudi oleh NAZI Jerman tampaknya meninggalkan trauma yang luar biasa. Dan karena itu, ketika Momo bertanya apakah Ayahnya percaya pada Tuhan, dia menjawab, “No, I’ve never managed to believe in God.”
Kesamaan lain tokoh Monsieur Ibrahim (Islam-sufi) dengan Ayah Momo (Yahudi-totok) adalah keduanya dimatikan oleh sang pengarang. Ayah Momo mati bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta di daerah Marseille. Kemungkinan besar penyebab dirinya bunuh diri adalah pertama, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai lawyer. Kedua, ia masih trauma dengan kematian kedua orangtuanya; yang ketika itu dibawa pergi dengan kereta dan tak pernah kembali.
Tokoh Monsieur Ibrahim yang banyak memberikan pelajaran hidup kepada Momo juga mati karena usianya yang sudah tua. Pelajaran pertama dan utama yang diberikan kepada Momo adalah tersenyum. Ternyata, dengan tersenyum itu pula Momo seperti menjalani hidup barunya. Segalanya banyak yang berubah setelah ia banyak tersenyum, meskipun semula ia meragukan bahwa senyum itu hanya untuk orang-orang kaya saja, serta orang yang tersenyum adalah orang yang bahagia. Monsieur Ibrahim mengajarkan bahwa senyumlah yang membuat orang bahagia, bukan sebaliknya.
Selain itu, segala tindak-tanduk Monsieur Ibrahim seringkali disebutnya berdasarkan Alquran yang dihayatinya. Ia sangat yakin bahwa hidup dan matinya sudah sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alquran. Ini pula yang membuat Momo merasa penasaran. Demikian pula pelajaran mengenai kebersahajaan cinta. Bahwa “Your love for her belongs to you. It’s yours. Even if she refuses it, she cannot change it. She isn’t benefiting from it, that’s all. What you give, Momo, is yours forever. What you keep is lost for all time!
Setelah kematian ayahnya, Momo didatangi oleh ibunya (yang lama cerai dengan ayahnya dan sudah kawin lagi). Ketika sang ibu menanyakan identitasnya, Momo mengatakan, “They call me Momo. It’s a diminutive for Mohammed.” Ini bisa ditafsirkan bahwa setelah Ayah Momo (Yahudi) meninggal, dan setelah ia cukup lama bergaul dengan Monsieur Ibrahim (Islam-sufi), ia secara sadar (mungkin juga secara bergurau) mengubah identitasnya menjadi seorang Mohammed. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengambilan posisi (identitas) adalah “perang budaya” yang tak berujung. Ketegangan dilematis antaridentitas kerapkali didramatisasi melalui representasi yang problematic tentang sisi-sisi “lain” dalam konstruksi kebudayaan. Definisi identitas budaya menjadi kompleks dengan berbagai pertarungan makna yang terjadi. Proses pendefinisian identitas, baik individu maupun kelompok, bukanlah suatu esensi yang tetap, melainkan suatu pengambilan posisi. Pengambilan posisi tersebut tidak pernah selesai, sebagaimana dikatakan Hall (2003: 99), “…it is true that those positionalities are never final, they’re never absolute.
Identitas Moses telah hilang dan berganti Mohammed yang bisa menerima adanya perbedaan. “Moses left, Madame. He’d had enough of all of this. He didn’t have any good memories.” Kenapa pengarang akhirnya menghilangkan identitas Moses alias Momo di hadapan ibunya? Kenapa Ayah Momo mengidealkan anak laki-laki bernama Popol? Padahal, menurut ibunya, “I never had a child before Moses. I never had any Popol.” Siapakah Popol—manusia sempurna—yang diidolakan Ayah Momo? Bisa jadi itu merupakan obsesi Ayah Momo semata.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pengarang mematikan Monsieur Ibrahim (Islam) dan Ayah Momo (Yahudi) dan membiarkan Momo tetap hidup dengan identitas barunya: Mohammed, keturunan Yahudi yang bisa menerima dan memahami Islam. Paling tidak bisa memahami nilai-nilai keislaman. Karya Eric-Emmanuel Schmitt ini merupakan karya sastra multikultural yang memberikan makna baru bagi keberagaman dan kemanusiaan. Perspektif multikultural tersebut merupakan wujud perlawanan terhadap stereotip-stereotip konstruksi sosial budaya yang rasis dan esensialis. Pengarang memperlihatkan percampuran budaya, toleransi, dan identitas yang majemuk untuk mengatasi fanatisme agama, ras, dan kelompok tertentu. Hal itu diperlukan guna menyoroti perspektif monokultural yang dianggap kodrati oleh fanatisme kelompok masyarakat tertentu, yang sebenarnya adalah konstruksi. Dalam hal tersebut, karya sastra merupakan strategi toleransi untuk melihat keberagaman budaya sebagai identitas yang cair dalam masyarakat.

Daftar Acuan
Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. London and New York: Verso.
Cavallaro, Dani. 2001. Critical and Cultural Theory. London dan New Brunswick, NJ: The Athlone Press.
Hall, Stuart. 2003. “Cultural Studies and Its Theoritical Legacies,” The Cultural Studies Reader (ed. Simon During). London dan New York: Routledge.
Schmitt, Eric-Emmanuel. 2003. Monsieur Ibrahim and the Flowers of the Koran. Trans. Marjolijn de Jager. New York: Other Press.

Kamis, 07 Januari 2010

Keputusan Prambanan



Pengantar buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora Api 26 karya Chalik Hamid (ed.)

oleh Asep Sambodja

Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.” (Soe Hok Gie, 2005).

Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926 (Williams, 2003).

Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003), Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.

Kenapa Banten begitu bergolak, padahal PKI Banten merupakan cabang ke-37 (terakhir) yang baru dibentuk Comite Central PKI? Kenapa pula banyak warga Banten yang berbondong-bondong masuk PKI? Gubernur Jawa Barat W.P. Hillen melaporkan bahwa jumlah anggota PKI Banten telah mengalami kemajuan yang dramatis hanya dalam tempo tiga bulan. Dari yang semula 1.200 orang pada November 1925 menjadi 12.000 orang (termasuk 500 perempuan) pada Februari 1926 (Williams, 2003: 40).

Dalam merekrut anggotanya, PKI Banten terlebih dahulu merekrut ulama aktivis SI yang pro-PKI dan jawara (bandit lokal) yang selalu tidak menaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Dengan melibatkan ulama yang dihormati warga dan jawara yang ditakuti warga itulah jumlah anggota PKI Banten meningkat tajam. Selain itu, aktivis PKI di lapangan juga menjanjikan pembebasan pajak kepada para buruh dan petani jika mereka berhasil mengenyahkan imperialis Belanda. Residen De Vries (dalam Williams, 2003) sendiri mengakui bahwa pajak merupakan persoalan utama yang sangat menggelisahkan rakyat banyak, termasuk warga Banten.

Banten begitu antusias menyambut Keputusan Prambanan karena petani-petani Banten sudah memiliki pengalaman memberontak pada 1888 yang dipimpin Haji Wasid. Hanya saja, alasan pemberontakannya berbeda. Pemberontakan 1926 didorong oleh cita-cita ingin merdeka (meskipun belum terumuskan dengan baik), sementara pemberontakan 1888 disebabkan pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran) kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya secara keras-keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu (Noer, 1996: 25).

Dalam pemberontakan PKI Banten yang terjadi pada 12 November 1926 hingga beberapa hari kemudian itu, hanya satu orang Belanda yang dibunuh, yakni Benjamin, seorang pegawai kereta api di Menes, Banten. Yang lainnya adalah para Wedana, Asisten Wedana, dan polisi. Sedangkan di pihak pejuang Banten yang ditangkap sebanyak 1.300 orang (Williams, 2003). Ricklefs mencatat bahwa secara keseluruhan, akibat pemberontakan 1926-1927 yang terjadi di berbagai kota di Indonesia itu adalah 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim ke kamp penjara yang terkenal mengerikan di Boven Digul, Irian (Ricklefs, 2005). Di Banten sendiri, 4 orang divonis mati, 9 orang divonis seumur hidup, dan 99 orang dibuang ke Boven Digul, termasuk para ulama PKI Banten, seperti Tubagus K.H. Achmad Chatib, Tubagus H. Abdulhamid, K.H. Mohammad Gozali, Tubagus K.H. Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.

Kenapa pemberontakan itu gagal? Ada beberapa alasan yang menyebabkan gagalnya pemberontakan di Jawa pada 1926 dan Sumatera Barat pada awal 1927. Pertama, tidak ada kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu. Tan Malaka adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak keputusan itu, karena menurutnya pemberontakan itu masih sangat prematur (Zara, 2007). Lebih lanjut, Tan Malaka yang juga menjadi Wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk Asia Tenggara memberikan alasan penolakannya; yakni a. Situasi revolusioner belum ada, b. PKI belum cukup berdisiplin, c. Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, d. Tuntutan atau semboyan konkret belum dipikirkan, e. Imperialisme internasional bersekutu melawan komunisme (Soe Hok Gie, 2005). Penolakan Tan Malaka ini didukung oleh Jamaludin Tamin, Subakat, dan Suprodjo. Grup Tan Malaka ini dicap oleh anggota komunis lainnya sebagai kaum Trotsky, yakni kaum yang suka memecah belah partai.

Kedua, banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat. Orang-orang yang dicap sebagai pengkhianat bisa berasal dari lingkungan partai (PKI) sendiri maupun orang-orang dari kelompok Sarekat Hijau atau Sarekat Idjo. Dalam peristiwa Banten, orang yang paling dikenal sebagai pengkhianat adalah R. Oesadiningrat, mantan pegawai Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang juga kerabat Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat. Oesadiningrat inilah yang pada mulanya memprovokasi para ulama dan petani untuk bergabung ke dalam PKI. Tapi, menjelang pemberontakan 1926 meletus, Oesadiningratlah yang menunjukkan kepada Belanda ulama-ulama yang terlibat dalam pemberontakan itu. Bahkan sebelum pemberontakan terjadi, penangkapan terhadap ulama-ulama PKI sudah dilakukan secara intensif. Ini pula yang menjadi titik kelemahan pemberontakan Banten 1926. Ketika para pimpinan PKI dan ulama pro-PKI ditangkap, yang memimpin pemberontakan adalah para jawara. Sementara orang-orang Sarekat Hijau memang antek-antek Belanda tulen. Yang dirugikan dengan kehadirannya tidak saja pejuang-pejuang PKI, melainkan juga pejuang-pejuang SI nasionalis. Organisasi Sarekat Hijau ini kelihatannya bersifat Islam, kostumnya sangat islami, tetapi sebenarnya didirikan oleh pihak Belanda dengan maksud mengacaukan kalangan Islam sendiri (Noer, 1996).

Ketiga, sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda. Senjata-senjata yang mereka beli dengan cara swadaya masyarakat juga berhasil disita Belanda. Dengan demikian, rakyat Banten berjuang dengan persenjataan yang minim dan tanpa komando. Sementara musuh yang dihadapi memiliki persenjataan modern dan sangat terlatih.

Meskipun demikian, semangat perjuangan yang dikobarkan PKI pada 1925-1926 itu merupakan turning point dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat revolusioner ini baru mendapatkan hasilnya yang konkret 20 tahun kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945.

Dalam buku Gelora Api 26 ini para sastrawan Lekra merekam peristiwa pemberontakan 1926 itu dalam karya berupa cerpen dan puisi. Agam Wispi dan S. Anantaguna yang kita kenal sebagai penyair kuat Lekra, dalam buku ini menulis cerpen. Demikian pula dengan Sugiarti Siswadi, T. Iskandar A.S., dan Zubir A.A. yang dikenal sebagai cerpenis papan atas Lekra. Mereka pun menyumbangkan cerpen-cerpen mereka. Sementara penyair Chalik Hamid dan Nurdiana menyumbangkan puisi. Selain nama-nama yang telah disebut, sastrawan lain yang cerpennya dimuat dalam buku ini adalah A. Kembara (yang juga menulis puisi) dan A. Awiyadi. Dan penyair yang puisinya dimuat dalam buku ini adalah Alifdal, Anantya, Mahyuddin, dan M.D. Ani.

Kalau kita lihat dari perspektif sekarang, akan timbul sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: kekuatan apakah yang diberikan para sastrawan itu melalui antologi cerpen dan puisi Gelora Api 26 itu? Saya melihatnya sebagai sumbangsih sastrawan Lekra bagi sejarah bangsa dan negaranya. Dalam arti, sastrawan membaca peristiwa bersejarah itu dengan perspektif yang unik, yang otomatis memperkaya sejarah kebangsaan yang sudah ada. Kalau kita baca buku teks sejarah, maka yang kita dapatkan adalah data-data yang diperoleh dari arsip, artefak, dan berbagai peninggalan sejarah lainnya. Sementara sastrawan memberikan roh atau jiwa pada setiap peristiwa sejarah yang diangkat dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastrawan mencoba masuk, merasuk, dan memerankan salah satu tokoh atau pelaku sejarah dan mencoba menghidupkannya dengan perasaan dan pikiran imajinatif pengarangnya. Ia pun dituntut untuk menghidupkan tokoh-tokoh lain sezamannya demi membangun struktur cerita. Namun, sastrawan postmodern biasanya tidak mau takluk dengan konteks zaman seperti itu. Ia bisa mencipta secara arbitrer.

Saya sependapat dengan Bakri Siregar yang mengkritik cerpen “Rapat yang Penghabisan” karya Agam Wispi. Salah satu keunggulan Agam Wispi dalam cerpen ini adalah dimunculkannya tokoh seorang perempuan cantik bernama Upik Bisu. Ia cantik, tapi bisu. Dengan demikian Agam Wispi tidak saja menceritakan peristiwa pemberontakan yang terjadi di Sumatera pada awal 1927 saja, melainkan dalam proses kreatifnya ia menciptakan lahan penggarapan baru, tantangan baru, dengan menciptakan tokoh bisu dalam cerpennya. Apakah tokoh bisu itu benar-benar ada dalam kenyataan saat itu atau tidak, saya rasa pembaca tidak akan mempersoalkannya. Yang menarik adalah kemampuan Agam Wispi memainkan tokoh perempuan bisu itu dalam situasi yang penuh rahasia, menjelang rapat gelap yang hanya dihadiri oleh empat pentolan pergerakan. Dialog antara Udin, sang tokoh utama, dengan Upik Bisu dilakukan dengan isyarat-isyarat yang bisa dipahami dengan bahasa kemanusiaan. Saya sangat mengagumi kelihaian Agam Wispi sebagai seorang cerpenis sebagaimana saya mengagumi puisi-puisinya. Hanya saja, Bakri Siregar mengkritik kenapa tokoh Upik Bisu itu hanya diberi porsi yang sangat minim (Yuliantri, 2008). Ini bisa berarti bahwa Agam Wispi telah memikat hati pembacanya melalui tokoh perempuan bisu itu, sehingga membuat penasaran pembacanya.

Cerpen lainnya yang menarik adalah “Sel D” karya S. Anantaguna. Sel D adalah sel terakhir bagi “inlander” yang memberontak sebelum dibuang ke Boven Digul yang sarat dengan berbagai sumber penyakit. Ratmono, tokoh utama dalam cerpen itu, yang bekerja di lembaga “Drukkerij de Boer” di bawah pimpinan De Vries, melakukan pergerakan bawah tanah melawan kompeni. Informasi-informasi penting seperti hasil rapat gelap di Prambanan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan disampaikan kepada rekan-rekan sesama aktivis.

“Yah, meskipun semula kita belum menyetujui pemberontakan, tetapi Keputusan Prambanan, kata Pak Abdul Mutalib, bahwa rakyat sudah marah, karena pemerintah Belanda makin menggila. Penderitaan, tekanan, dan kekangan sudah tidak tertahankan lagi, sehingga meletus juga pemberontakan. Dalam keadaan seperti ini, jika partai komunis benar-benar mengabdi kepada rakyat, harus tampil ke depan. Partai kita adalah partainya kaum buruh dan kaum tani. Jika massa menghendaki merah, tetapi kita menginginkan kuning, berarti partai kita mengkhianati massa. Partai kita berdiri karena dikehendaki oleh massa, oleh kaum proletar dan kaum tani. Partai kita hidup dan matinya pun tergantung mereka. Apapun kesulitannya, risikonya, yang berontak harus dipimpin. Kita harus bersama-sama mereka, mati atau hidup’’. (“Sel D”).

Aksi yang dilakukan Ratmono itu diketahui oleh resersir (mata-mata Belanda). Ia pun ditangkap dan disiksa. Dan, karena ia tetap melawan saat diinterogasi, ia dimasukkan ke sel D. Cerpen ini sangat bagus dalam menggambarkan keteguhan seorang komunis. Ketetapan hatinya begitu kuat, dan keyakinannya begitu tinggi, sehingga seberat apapun siksaan yang dialaminya, dijalaninya dengan penuh ketabahan. Tokoh Abdul Mutalib, yang namanya sama seperti nama kakek Nabi Muhammad, yang ada dalam cerpen tersebut merepresentasikan kalangan Islam kiri. Kekuatan cerpen S. Anantaguna ini mengilhami A. Awiyadi yang mengangkat cerita yang sama dengan judul “Kesetiaan Seorang Komunis”.

Suasana perjuangan benar-benar tampak dan tampil dalam cerpen-cerpen karya sastrawan Lekra ini. Adanya rapat gelap, kekhawatiran dikuntit resersir atau mata-mata atau intel, pengkhianatan yang dilakukan teman maupun bangsa sendiri, sampai keteguhan menghadapi hukuman yang disertai siksaan terdapat dalam cerpen “Sabotase” karya Zubir A.A., “Sukaesih” karya Sugiarti Siswadi, “Dari Daerah Pembuangan” karya T. Iskandar A.S., dan “Kakek” karya A. Kembara. Perspektif yang digunakan para cerpenis itu adalah perspektif para pejuang yang berada di garis depan, bukan perspektif para priyayi yang duduk di kursi kekuasaan sembari menikmati kesengsaraan bangsanya. Bukan pula dari perspekif para pengkhianat seperti orang-orang Sarekat Hijau yang dibentuk Belanda. Tidak juga dari perspektif kolonial Belanda. Dengan demikian, atmosfir perjuangan sangat terasa dalam cerpen-cerpen tersebut. Perasaan geregetan karena ingin membunuh tentara Belanda, perasaan sakit karena dikhianati oleh teman sendiri, dan perasaan tak menentu saat melakukan rapat gelap dan hidup nomaden, semuanya hadir dan mengalir dalam karya-karya tersebut.

Bagaimana dengan puisi? Genre ini menuntut kepekaan dan kelihaian penyair dalam membaca suatu peristiwa. Yang ditangkap penyair dari sebuah peristiwa adalah sesuatu yang inti dan hakiki. Karena itu, kekuatan penyair terletak pada pilihan kata yang mewakili sebuah peristiwa. Jika cerpenis mencoba mengangkat suatu peristiwa dengan mendeskripsikan sebuah konflik yang menjadi pusat narasi, maka penyair ditantang untuk memilih diksi yang tepat, sehingga sebisa mungkin sebuah kata bisa mewakili sebuah peristiwa. Atau, dalam satu kata terdapat seribu makna. Dalam hal ini, penyair Chalik Hamid membidik seorang tokoh PKI ternama saat itu, Ali Archam. Sebagai tokoh PKI, dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Boven Digul dengan tuduhan menghasut pemogokan-pemogokan yang dilakukan para buruh. Yang membuat kawan-kawannya kagum adalah Ali Archam sama sekali tidak menyebutkan satu pun nama kawan seperjuangannya, meskipun untuk itu dia harus mendapatkan siksaan yang luar biasa beratnya. Ali Archam pun akhirnya mati di tanah pembuangan. Tapi, ia mati dengan rasa bangga. Berikut ini saya kutip puisi Chalik Hamid yang berjudul “Kepada Aliarcham” untuk memperlihatkan bahwa perjuangan yang dilakukan Ali Archam tidaklah sia-sia. Dan, penyair merekam dengan baik biografi pejuang kemerdekaan itu.

Kepada Aliarcham

1
di bawah kabut kemelaratan di kabupaten Pati
lahir seorang putra jantan di desa Asemlegi.

si putra jadi dewasa dipapah kasih bunda
lalu pemberontakan petani Rembang menggugah hatinya
internasionalisme membuka matanya
dan dimana-mana api menyala
pemberontakan tani melawan Belanda.

dan dia ucapkan selamat tinggal pada pesantren lama
pada saminisme yang menyedat dada.

2
hati meronta dan berlawan
karena beban berat tak tertahankan.

oih, betapa indahnya sorga kehidupan dalam perjuangan
di mana-mana rakyat bangkit berlawan
dengan senjata di tangan
tak takut pada tiang gantungan
tak peduli pada pembuangan
tak gentar maut mengancam.

alangkah teladan putra perkasa
dibusungkannya dada, ditegakkannya kepala
ditantangnya pemerintah kolonial Belanda.

3
Tanah Tinggi berpagarkan hutan belantara
pandangan tersuruk pada pohon-pohon raksasa
hidup terancam oleh binatang buas mencari mangsa.

dan kala malam menelan senja
udara dingin mendekap tubuh tersiksa
terasa dendam makin menyesak dada
terasa dendam makin menyala.

dalam pergulatan hidup dan derita
ia tunjukkan keteguhan jiwa:
“Suatu pemberontakan yang kalah
adalah tetap benar dan sah.
Kita terima pembuangan ini
sebagai risiko perjuangan yang kalah.
Tidak ada di antara kita yang salah,
karena kita berjuang melawan penjajah”. *)

dari pembaringan ditatapnya bintang
menahan perih tubuh telentang
betapa terasa nyeri oleh paru-paru yang berlobang.

Sungai Digul mengalir ke hilir
berpadu deru kapal dan air mendesir
di sini seorang patriot menghembuskan napas terakhir
namun ia adalah karang di tengah lautan
yang pantang tunduk kepada topan.

4
badai bisa mengamuk dan melanda
menerjang dan merusak segala
namun pahlawan tak bisa musnah
gugur dan jatuh bangkit kembali
setelah terpukul bangun kembali
karena ia adalah keharusan
yang lahir bersama zaman.

obor yang kau serahkan
terus kami nyalakan
dan akan kami persembahkan pada generasi kemudian
dari tangan ke tangan
dari hati ke hati
dan obor itu tak pernah mati.

*) Kata-kata Aliarcham yang diucapkan di hadapan kawan-kawan di pembuangan Tanah Tinggi, Papua.


Puisi di atas merupakan balada seorang Ali Archam. Penyair mengutip kata-kata kunci yang diungkapkan Ali Archam sebelum kematiannya. Semangat yang melekat pada pernyataan Ali Archam itulah yang tengah diabadikan oleh seorang penyair Chalik Hamid. Penyair lainnya yang telah memiliki gaya yang khas adalah Nurdiana, nama pena Suar Suroso. Puisi-puisinya dalam Jelita Senandung Hidup memperlihatkan pengendapan peristiwa-peristiwa bersejarah yang telah dilaluinya. Gaya ucapnya yang khas itu pula yang digunakan Nurdiana dalam merefleksikan peristiwa pemberontakan PKI Banten pada 1926, suatu peristiwa yang sangat heroik. Berikut ini saya kutip puisi “November Bulan Historis” karya Nurdiana selengkapnya.

November Bulan Historis

12 November tahun dua enam,
memancar sinar dalam kelam,
khatulistiwa gempita meronta,
berlambang Palu Arit rakyat bangkit,
angkat senjata melawan Belanda,
yang telah menjajah tiga abad,
penguasa kalap bermata gelap,
membantai pejuang anti penjajah.

Korban pahlawan di medan juang,
dari Banten hingga Silungkang,
di ujung senapan dan tiang gantungan,
gugur Egom, Dirdja, dan Hasan,
serta Si Patai dan Si Manggulung,
berpencaran makam pahlawan,
di Digul Ali Archam terpendam dalam,
bersama banyak kawan seperjuangan,
ribuan lagi dipenjarakan,
sekeluarga bersama bocah,
dibuang ke Digul, Tanah Merah,
Ternate dan Nusa Kambangan.

Tak kunjung usai kisah sejarah,
tahanan Digul Tanah Merah,
disiksa malaria, ular, buaya,
banyak penyakit, kencing berdarah,
duka nestapa ciptaan penjajah,
Digul menjadi neraka dunia,
pejuang tertempa bagai baja,
teguh tak luntur cita-cita.

Pejuang tangguh tak tertundukkan,
jasmani disiksa rohani perkasa,
seperlima abad hidup didera,
tetap setia untuk merdeka,
yang sempat pulang kampung tercinta,
jadi saksi kekejaman penjajah.

Betapa banyak pejuang tumbang,
pemberontakan tahun dua enam,
bagaikan obor nyala cemerlang,
bak mercusuar di alam kelam.

Pemberontakan tahun dua enam,
Sangkakala revolusi Indonesia!


Sastra sejarah semacam ini sangat penting artinya bagi para sejarawan. Kalau ditanyakan apakah karya sastra bisa menjadi sumber sejarah, maka jawabannya sudah pasti: bisa. Sastrawan yang berpaham realisme sosialis pasti sangat paham apa arti karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, karena sastrawan yang tergabung dalam Lekra sangat menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari suatu gerakan penyadaran rakyat, gerakan pencerdasan rakyat (Setiawan, 2003).

Karya sastra yang mereka ciptakan bukanlah hasil dari igauan atau lamunan semata, bukan pula hasil dari rekayasa angan-angan. Dalam proses kreatifnya, mereka sangat meyakini bahwa mencipta karya sastra itu yang penting adalah isinya. Jangan sampai mencipta karya sastra hanya unggul dalam bentuk, namun isinya hanya pepesan kosong. Rendra mengistilahkan penyair-penyair salon untuk mereka yang berkarya semata-mata demi keindahan kata-kata hampa. Apa yang dirasakan rakyat, apa yang dipikirkan rakyat, bahkan apa yang digelisahkan rakyat seyogyanya tertangkap dengan baik oleh para sastrawan. Dan segala perasaan, pikiran, dan kegelisahan itu kemudian dituangkan dalam karya sastra, baik prosa maupun puisi, setelah mengalami internalisasi atau pengolahan dan pengendapan dalam diri masing-masing sastrawan. Dengan demikian, bentuk artistik karya sastra akan melekat dan muncul dengan sendirinya pada kekhasan masing-masing sastrawan dalam berekspresi. Isi yang terdapat dalam karya sastra yang diekspresikan secara jujur oleh para sastrawan itulah yang dapat menjadi pintu masuk bagi para sejarawan menguak sejarah di masa silam.

Citayam, 3 Januari 2010

Bibliografi

Hamid, Chalik. 2008. Mawar Merah. Bandung: Ultimus.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Nurdiana. 2008. Jelita Senandung Hidup. Bandung: Ultimus.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Setiawan, Hersri. 2003. Aku Eks Tapol. Yogyakarta: Galang Press.
Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang.
Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di
Banten.
Yogyakarta: Syarikat.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku.
Yogyakarta: Merakesumba.
Zara, M. Yuanda. 2007. Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia: Orang-orang
Cerdas yang Mati di Tangan Bangsanya Sendiri.
Yogyakarta: Pinus.