Selasa, 27 Oktober 2009

Kronik Peristiwa Sastra dan Politik 1960-an:




oleh Asep Sambodja


1960
(1) Juli: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) memberikan hadiah sastra di bidang puisi kepada Ramadhan K.H. dan Hr. Bandaharo; di bidang cerpen kepada Trisnojuwono, Pramoedya Ananta Toer, dan Ajip Rosidi; di bidang novel kepada Toha Mohtar; dan di bidang drama kepada Utuy Tatang Sontani, Nasjah Djamin, dan Rustandi Kartakusuma.

(2) Agustus: Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi dilarang karena oposisi terhadap Demokrasi Terpimpin dan keterlibatan elite kedua partai tersebut dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

(3) 31 Agustus: Sidang Pleno II Lekra. Sidang pleno ini memantapkan Mukadimah Lekra dan sikap “Politik adalah panglima.”

(4) Harian Rakjat memberikan hadiah sastra di bidang esai kepada Pramoedya Ananta Toer dan Mia Bustam; di bidang puisi kepada Hr. Bandaharo, Dodong Djiwapradja, Chalik Hamid, dan S.W. Kuntjahjo; di bidang cerpen kepada Bachtiar Siagian; dan di bidang terjemahan kepada Agam Wispi, Muslimin Jasin, dan Huang Khuen Han.

1961
(1) Majalah Sastra terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, M. Balfas.

(2) Pramoedya Ananta Toer dipenjara karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia.

1962
(1) Presiden Soekarno mengangkat D.N. Aidit dan Njoto sebagai menteri-menteri penasihat tanpa portofolio.

(2) September: Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karangan Hamka dihebohkan sebagai jiplakan. Abdullah Said Patmadji dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Mustofa Luthfi Al Manfalutfi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Harian Rakjat dan Bintang Timur.

(3) 13-20 November: Konferensi Sastrawan Asia-Afrika II di Mesir. Delegasi Indonesia diwakili antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Joebaar Ajoeb.

(4) 16 November: Majalah Sastra memberikan penghargaan kepada karya sastra terbaik. Di bidang puisi diberikan kepada M. Saribi Afn, Piek Ardijanto Suprijadi, dan M. Poppy Hutagalung; di bidang cerpen kepada Bur Rasuanto, Motinggo Boesje, dan Virga Belan; di bidang drama dan cerita bersambung diberikan kepada B. Soelarto, Djamil Suherman, dan Usamah; di bidang kritik dan esai kepada Goenawan Mohamad, D.A. Peransi, dan Hartojo Andangdjaja.

(5) Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam.


1963
(1) 8 Maret: Sitor Situmorang menilai karya Chairil Anwar kontrarevolusioner.

(2) 22-25 Maret: Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia (LSI) diadakan di Medan. Terbentuk Pengurus Pusat LSI yang terdiri dari Bakri Siregar, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, Sobron Aidit, M.S. Ashar, S. Rukiah, Sugiarti Siswandi, dan Hr.
Bandaharo.

(3) Mei: Jumlah front intelektual PKI, Lekra, mencapai 100.000 orang.

(4) Mei: MPRS mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup.

(5) 17 Agustus: Wiratmo Soekito menyusun “Manifes Kebudayaan”. Sastrawan-sastrawan muda menolak seruan “Politik adalah panglima” yang didengungkan sastrawan Lekra.

(6) September/Oktober: “Manifes Kebudayaan” diumumkan.

(7) H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah menerbitkan Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik. Jakarta: Mega Bookstore.

(8) Soekarno dan Soebandrio menyerukan konfrontasi dengan Malaysia.

1964
(1) 27 Januari: Hamka dipenjara tanpa diadili. Ia dituduh hendak membunuh Presiden Soekarno dan Menteri Agama.

(2) 1-7 Maret: Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Ikrar Pengarang Indonesia”.

(3) 8 Mei: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”. Buku-buku sastrawan Manikebu dilarang.

(4) 24-25 Agustus: Konferensi Nasional II Lekra diadakan di Jakarta. Dalam konfernas ini dihasilkan sebuah resolusi yang antara lain berbunyi teruskan pengganyangan terhadap Manikebu.

(5) 27 Agustus-2 September: Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Resolusi KSSR”.

(6) Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.

(7) Jean-Paul Sartre menolak Hadiah Nobel.

1965
(1) September-Oktober: Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu mengambil alih kepemimpinan di
Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Sedikitnya 500.000 orang dibunuh. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil di Eropa. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerwani banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang.

(2) 30 November: Semua buku pengarang Lekra dilarang.

(3) Subagio Sastrowardoyo menerbitkan buku kumpulan cerpen Kejantanan di Sumbing.

1966
(1) Mei: Soeharto mendukung berakhirnya konfrontasi dengan Malaysia.

(2) Juli: Majalah Horison terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), dan lain-lain.

(3) Agustus: Muncul istilah “Angkatan 66”; istilah ini berasal dari H.B. Jassin.

(4) Majalah Budaya Jaya terbit. Redakturnya adalah Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Harijadi S. Hartowardojo.

(5) Taufiq Ismail menerbitkan buku Tirani dan Benteng.

1967
(1) Naskah drama Kuntowijoyo, Rumput-Rumput Danau Bento menjadi pemenang harapan Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.

(2) Slamet Sukirnanto menerbitkan buku puisi Jaket Kuning.

(3) Majalah Horison memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada Subagio Sastrowardoyo dan Sanento Juliman; di bidang cerpen kepada Umar Kayam, M. Fudoli, dan M. Abnar Romli.

(4) MPRS mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden.

(5) Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahdlatul Ulama (NU) ditekan oleh pemerintah. Sitor Situmorang dipenjara.

1968
(1) 2 Januari: Sanusi Pane meninggal dunia di Jakarta.

(2) 12 Oktober: Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara menyita majalah Sastra karena majalah ini memuat cerpen Kipanjikusmin, “Langit Makin Mendung”, dalam edisi Agustus. Pemimpin Redaksi Sastra H.B. Jassin diadili.

(3) 31 Oktober: Diskusi tentang Kritik Sastra diadakan di Jakarta.

(4) H.B. Jassin menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung. Berisi prosa dan puisi.

(5) Majalah Horison memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada Rendra dan Abdul Hadi W.M.; di bidang cerpen kepada Danarto, Julius J. Sijaranamual, Satyagraha Hoerip, dan Gerson Poyk.

(6) MPRS mengukuhkan Soeharto sebagai Presiden RI untuk lima tahun ke depan. Soeharto melakukan sentralisasi kekuasaan. Dari 25 provinsi yang ada, 17 di antaranya dipegang oleh perwira militer.

1969
(1) Iwan Simatupang menerbitkan naskah drama Petang di Taman dan novel Ziarah.

(2) Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi Duka-Mu Abadi. Bandung: Jeihan.

(3) Ajip Rosidi menerbitkan Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

(4) Umar Kayam menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

(5) Sentralisasi kekuasaan terus dilakukan; lebih dari 50% bupati dan walikota yang ada di Indonesia berasal dari militer.

(6) Transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto berakhir. Soekarno meninggal pada Juni 1970 dalam posisi sebagai tahanan rumah.

Citayam, 28 Oktober 2009

Mengoyak Puisi-puisi Asep Sambodja pada Notes Facebook



oleh Cunong Nunuk Suraja

Bukan Asep Sambodja kalau tidak dapat menyelaraskan wacana bacaan yang
terekam dalam memori kreatif dan ungkapan dalam karya kreatif pekerja penggiat sastra. Bukan Asep Sambodja kalau tidak menawarkan semacam penyucian diri atas apa yang telah mendaki dalam memori hasil studi kelayakan setiap karya kreatif para pendahulunya.

Dalam lima puisi yang terekam ini hampir semua menggunakan bayangan pikiran penyair yang ditulisnya, seperti Penembahan adalah salah satu judul drama, Mempertimbangkan adalah salah satu buku kumpulan esai yang membongkar tradisi suku, sedang judul yang lain merupakan harapan atau tanggapan aku lirik pada peristiwa Rendra.

Apa harapan aku lirik pada penokohan Rendra:

penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
yang lupa diri
yang rakus
dan tamak
(“Panembahan Rendra”)

kau tampilkan teater minikata
untuk melindungi kata
dari polusi mulut-mulut knalpot
dari bising kata
……
kau bikin perkampungan kaum urakan
di Parangtritis
membebaskan orang-orang berteriak
dan menangis
pada laut

berteriak melawan gelombang
dan angin selatan

melawan belenggu
diam membisu
(“Mempertimbangkan Rendra”)

untuk bicara apa adanya
menguak sarang laba-laba
di lembaga wakil kita
menguak pejabat-pejabat korup
dan suka melacur
dan sebagainya dan seterusnya
dan siap dipenjara
(“Kita Butuh Seribu Rendra”)

Demikian Asep Sambodja mencoba merintihkan pinta pada sosok Rendra dalam baris-baris puisinya.

Berikutnya menelusuri lima sajak Asep Sambodja seperti menggenggam Rendra sesaat Rendra dinyatakan telah mangkat. Seperti “Oedipus Berpulang”, drama gubahan dari karya Sophocles, peristiwa Rendra menjadi upacara yang melebar sampai dunia. Asep Sambodja dengan cerdiknya mengakalinya dalam bait yang menginfiltrasi sajak Chairil Anwar maupun cerita pendek yang menyerukan “rumah masa depan” yang berukuran satu centimeter kali tiga centimeter:

di Citayam, di Citayam
kau akan dikenang
sepanjang siang
sepanjang malam
selamanya kan kukenang
(“Di Citayam Rendra Bersujud”)

Asep Sambodja memang jeli dalam hal menginfiltrasi sajak dengan pengalaman lamanya yang menunjuk pada SDD yang menjadikan trauma kehidupan kampusnya yang senantiasa seperti ditabrakkan pada cermin yang memantulkan luka kreativitas yang berdarah karena harus meruncat diri dalam harakiri ruh puisi sang guru. Asep makin piawai meramu segi dan sigi yang lebih menancap pada imaji yang cukup menyeret nyaliku untuk tidak menuduh plagiat ataupun jiplakan atau contekan kreatif. Ungkapan beriku misalnya untuk menyontohkan kepiawaian Asep:

ketika penyair-penyair salon
bicara tentang konde dan sisir
dan bibir dan hati murung
dan tak tahu derita rakyat
Rendra bicara apa adanya
tentang DPR yang tertutup sarang laba-laba
tentang pendidikan yang jauh
dari persoalan kehidupan
tentang orang-orang kepanasan
tentang pelacur-pelacur Jakarta
yang disuruhnya mlorotin
moral dan duit dan celana pejabat
dan ia dipenjara
(“Kita Butuh Seribu Rendra”)

Bagi penggila Rendra seperti juga penggila Elvis, Beatles, Queen maupun group musik lokal akan dengan cepat menyahut begitu getar melodi intro atau overture sebuah lagu mendayu demikian kesan yang timbul pada sayatan pertama, ketika meraba-rabai kelima sajak yang kemungkinan lahir sewaktu. Asep memang jagonya seperti Bento (lagu Iwan Fals) yang dengan menyebut tiga kali namanya maka keajaiban akan terjadi, demikian juga sajak-sajak Asep yang bertebaran di facebook maupun mailing list dan blog (asal jangan terpeleset kata bahasa Inggris GoBlog!)

Tapi ada sebuah anomali dengan puisi Asep Sambodja yang buncit alias kelima sesuai falsafah Pancasila yang sakti, rukun Islam yang menuntut untuk melakukan ibadah ke tanah suci sekali seumur hidup demikian pula puisi yang kelima:

Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama
(“Makam Penyair”)

Dan ini sangat dekat dengan sajak yang baru muncul di FB:

Kepada Medy Loekito

bahwa kita akan mati itu sudah pasti
tapi siapa bersamamu menjengukku?
menjenguk rangkaku?

aku tahu ada nonny, anggoro, tulus…
ada endo, badri, arumdono…
tapi siapa yang bersamamu?
penyairkah?
penyihir? semacam peri?

bahwa kematian itu kepastian dalam hidup
malaikat pun tahu
penyair tua pun tahu
tapi apa yang kau berikan padaku
lewat belaian jemarimu itu?
lentik jarimu itu?
apa yang kau ucapkan dalam diammu?

ada yang kau lekatkan di keningku
saat kau sedih katakan:
“mas asep sakit, bung saut sakit…”

hidup seperti sebuah puisi
yang harus segera diselesaikan

Citayam, 26 Oktober 2009

Begitu akrabnya kematian Subagio Sastrowardoyo atau Chairil Anwar yang selalu menantangi kematian. Penyair kelahiran kota bakso Solo atau kota ujung hidupnya pentolan teroris berwarganegara Malaysia Nurdin M. Top dan telah merambahi jalan pedang wartawan dan berlabuh di dermaga Fakultas Ilmu Budaya memang pantas diberi tanda dagang (trade mark) nJawani yang selalu “mikul duwur dan mendem jero” terutama pada peristiwa budaya Rendra berpulang. Walau Asep yang dosen Susastra FIB-UI ini cukup berani meluruhkan falsafahnya yang jauh dari nJawani:

hidup seperti sebuah puisi
yang harus segera diselesaikan

Retorika abadi aku lirik yang terasa di lidah Jawa yang sangat kejawen.

(Janjiku hanya mampu di sini Tuan Penyair!)
Bogor gemuruh dalam perutku yang sedang terganggu asam lambungnya (ataukah ini semacam satra perut?), sehingga menjadi langkah cepat bolak balik ke rest-room di dekat kamar tidur.

27 Oktober 2009

Sabtu, 24 Oktober 2009

Dua Penyair Indonesia Modern: Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto


Saut Situmorang


Nirwan Dewanto

oleh Asep Sambodja


Puisi Saut Situmorang:

surat bawah tanah

bukan rasa perih peluru yang membakar
darah kami yang memaksaku
menulis surat ini, kawan

bukan rasa takut di mata mata hitam itu
di suara jeritan jeritan kematian di sekitar kami
yang mengingatkanku padamu

bukan rasa puas di wajah wajah baret hijau baret merah itu
tangan tangan coklat yang kokoh yang kejam yang menggenggam
senapan senapan marah mereka
yang menembakku untuk mengangkat penaku, kawan

bukan matahari, matahari yang dingin dan buta itu
bukan kebiruan diam mencekam langit yang cuma menonton itu
bukan kebisuan yang tak termaafkan ini
yang membuat marah jiwa kami yang frustrasi

tapi kewajiban untuk berdiri tegak
melawan ketidakadilan binatang
kemunafikan bau kentut
dan kebenaran diri sendiri yang berkarat berlumut
yang membuat kami berani beraksi
rasa sakit yang tak tertahan di hati kami
yang terluka membuat kami sadar
dari candu politik sehari-hari

marah kami adalah marah kupu kupu
di malam bulan purnama
karena mawar merahnya ternoda
diperkosa ketawa pelacur pelacur tua ibukota

kawan, masih kudengar mereka menembak
dan menembak dan menembak
waktu akhirnya berhasil kuselesaikan
surat duka ini
sebagai saksi
bagi kita semua



Puisi Nirwan Dewanto:

Semu

Puisiku hijau
seperti kulit limau
Kupaslah, kupaslah
dengan tangan yang lelah
temukan daging kata
bulat sempurna, merah jingga
terpiuh oleh laparmu
Junjunglah urat kata dengan lidahmu
sampai menetes darah kata
manis atau masam
atau dendam yang lama terpendam
melukaimu ingin
kecuali jika
lidahmu hampa seperti angin
Puisiku putih kabur
seperti cangkang telur
Pecahkanlah, pecahkanlah
dengan tangan yang hampir alah
temukan cairan kata
meradang, bening sempurna
tak berinti
mampu mengalir ke seluruh bumi
Tapi kau mencari jantung kata
kuning yang kau anggap milikmu
dan pernah nyala di lidah ibumu
Maafkan aku
tak bisa kuceritakan diriku
dengarlah, cangkang telur atau kulit limau
hanya samaranku
Aku sayap kata
terbang sendiri, birahi sendiri
hingga hancur aku
kau tak bisa menjangkauku
jika pun kau seluas langit lazuardi
sebab kata sesungguh kata
tak bisa mengena
jika kau masih juga
separuh membaca
separuh buta

2005


Rendra pernah mengatakan bahwa di dunia persilatan tidak ada yang nomor dua, sementara di dunia persuratan tidak ada yang nomor satu. Hal-hal yang berkaitan dengan otot, kekuatan, seperti dalam dunia pencak silat, pemenangnya adalah yang bisa mengalahkan lawannya. Sementara dunia persuratan yang bergerak di bidang kebudayaan, yang ada hanyalah keberagaman. Demikianlah saya menilai penyair Saut Situmorang dan Nirwan Dewanto sama-sama memiliki ilmu yang tinggi di dunia persuratan, dunia perpuisian Indonesia modern.

Dari dua puisi yang saya perlihatkan di atas, kedua penyair ini memiliki gaya dan muatan isi yang berbeda. Bahasa yang dipergunakan Saut Situmorang adalah bahasa yang familiar dengan pengguna bahasa Indonesi, sementara bahasa yang digunakan Nirwan Dewanto adalah bahasa yang terekam dalam kamus bahasa Indonesia, namun terkadang tidak familiar bahkan oleh pengguna bahasa Indonesia sehari-hari.

Meskipun demikian, kedua penyair ini menciptakan makna dalam puisinya secara utuh. Keduanya sama-sama merahasiakan motif penciptaan puisi; penciptaan suatu karya. Dalam puisi “Surat Bawah Tanah”, Saut Situmorang pada mulanya merahasiakan proses penulisan surat bawah tanah itu. Namun, dalam baris-baris sajaknya kemudian terbaca bahwa ia menulis “surat duka ini” untuk dijadikan “sebagai saksi bagi kita semua”.

Dalam puisi “Semu”, Nirwan Dewanto merahasiakan kata-kata dalam puisinya. Ia menyebut “puisiku hijau seperti kulit limau” dan “puisiku putih kabur seperti cangkang telur”, namun dalam baris-baris puisinya, ia mengungkapkan bahwa “cangkang telur atau kulit limau hanya samaranku”. Penyair seperti memberi teka-teki kepada pembacanya. Meskipun ia mengaku “Aku sayap kata” yang “terbang sendiri, birahi sendiri”, Nirwan Dewanto merasa yakin bahwa pembaca “tak bisa menjangkauku”.

Ada yang terlintas ketika membaca kedua puisi penyair papan atas Indonesia ini. Pertama, ketika membaca puisi “Surat Bawah Tanah” karya Saut Situmorang, yang berkelebat dalam kepala saya adalah puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul “Mata Penyair”. Saya menilai kedua puisi itu memiliki visi yang sama, yakni mengungkapkan kejujuran dan melawan ketidakadilan. Penyair, dalam hal ini Saut Situmorang dan Subagio Sastrowardoyo, memiliki fungsi atau tugas mulia sebagai pembawa kabar derita; seolah-olah penderitaan rakyat itu berada di pundak kedua penyair itu.

Kedua, ketika membaca puisi “Semu” karya Nirwan Dewanto, yang berkelebat di kepala saya adalah puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” dan “Sajak-sajak Empat Seuntai”. Menurut saya, baik Nirwan Dewanto dan Sapardi Djoko Damono sama-sama bermain kata dan makna kata. Jika dalam puisinya Nirwan Dewanto mengatakan “kau tak bisa menjangkauku jika pun kau seluas langit lazuardi”, maka dalam puisi Sapardi Djoko Damono terbaca “jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan, sia-sia saja memahamiku.”

Jika dalam puisi Saut Situmorang yang menjadi “lawan” adalah penguasa atau penindas, maka yang menjadi “lawan” dalam puisi Nirwan Dewanto adalah pembaca dalam arti luas. Keduanya sama-sama mencoba sembunyi dari “lawan”-nya. Dari judul masing-masing puisi terbaca makna bahwa aku-lirik dalam puisi Saut Situmorang berada dalam posisi memperjuangkan kemerdekaan dari rasa takut. Sementara aku-lirik dalam puisi Nirwan Dewanto bersembunyi dari pemahaman publik. Ia seperti seorang empu atau begawan yang berada di menara mercusuar. Tak seorang pun diperbolehkan mendekatinya, apalagi memahaminya. Kalaupun ada yang ingin disampaikannya kepada pembaca, maka yang disampaikannya hanyalah semu. Hanya tipu daya. Bisa jadi hanya sekadar permainan kata belaka.

Yang menarik dari kedua penyair ini adalah muatan isi pada puisi mereka. Puisi Saut Situmorang terlihat jelas bermuatan politik. Ada relasi kuasa yang tengah bernegosiasi dan Saut Situmorang memposisikan dirinya berada di pihak korban, kaum tertindas. Sikap politik semacam ini muncul dalam puisi-puisinya yang mengangkat kasus Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir dalam Otobiografi. Kalaupun dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan Lekra yang berprinsip “Politik sebagai Panglima”, misalnya dibandingkan dengan puisi Putu Oka Sukanta dan Amarzan Ismail Hamid, maka puisi Saut Situmorang berada dalam garis politik seperti itu. Hanya saja persoalan yang diangkat sudah jauh berbeda, dan masing-masing penyair memiliki kekhasannya masing-masing.

Nirwan Dewanto sedikit banyak meneruskan garis politik sastrawan Manikebu yang apolitis. Prinsipnya “seni untuk seni” yang mengutamakan bentuk pengucapan. Apakah seorang pembaca seperti Anwar Holid mengerti atau tidak terhadap puisi itu, tampaknya itu tak menjadi soal. Puisi menjadi semacam klangenan yang meninabobokan. Jika kita perhatikan puisi-puisi Joko Pinurbo, tampak jelas ia memanfaatkan kata “celana” dan segala yang terkait dengannya untuk menghasilkan sebuah puisi yang memikat. Kalau kita perhatikan betul-betul puisi Nirwan Dewanto, ternyata ia memanfaatkan kata “payudara” atau “susu” untuk memikat pembacanya.

Joko Pinurbo bekerja keras mengolah kata “celana” yang tidak puitis itu menjadi puitis di mata pembaca. Nirwan Dewanto pun bekerja keras mengolah kata “payudara” dan “susu” dalam puisi-puisinya. Sedikitnya ada 13 puisi yang menggunakan kata “payudara” dalam buku Jantung Lebah Madu. Dan itu adalah pilihan. Bisa juga pencapaian. Joko Pinurbo mendapat berbagai penghargaan karena puisi “Celana”. Nirwan Dewanto juga dianugerahi penghargaan karena jasa kata “Payudara” dalam 13 puisinya.

Baik Saut Situmorang maupun Nirwan Dewanto layak diberi penghargaan. Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat, sebagaimana kata Chairil Anwar.

Citayam, 24 Oktober 2009

Jumat, 23 Oktober 2009

Catatan buat Pusat Bahasa



oleh Asep Sambodja

Saya tidak tahu, apakah Pusat Bahasa mengundang Remy Sylado, Riris K. Toha Sarumpaet, Mariana Amiruddin, dan Veven Sp. Wardhana dalam acara peluncuran 10 novel berbahasa Indonesia itu untuk mencaci-maki produk Pusat Bahasa itu atau untuk memprovokasi peserta diskusi agar bergairah membaca buku-buku tersebut. Yang terjadi, kedua sastrawan dan kedua pengamat sastra itu memberi kritik (untuk tidak mengatakan caci-maki) yang sangat pedas pada Pusat Bahasa.
Dalam acara diskusi “Sepuluh Novel Berbahasa Indonesia” yang diselenggarakan pada 22 Oktober 2009 di Pusat Bahasa itu diluncurkan 10 novel yang diterbitkan Pusat Bahasa. Ke sepuluh novel itu adalah Gandamayu, Cinta Perempuan Terkutuk (Putu Fajar Arcana), Arjunawijaya (Hamsad Rangkuti), Mengasapi Rembulan (Agus R. Sarjono), Rara Beruk (Suyono Suyatno), Kisah Tuhu dari Tanah Melayu (Abidah El Khalieqy), Mundinglaya Dikusumah (Gola Gong), Janji yang Teringkari (Imam Budi Utomo), Lubdaka yang Berkelebat (Yanusa Nugroho), Kundangdya (Oka Rusmini), dan Kakawin Gajah Mada (Kurnia Effendi).
Dalam diskusi tersebut, sastrawan Veven Sp. Wardhana mengatakan, kalau dilihat dari sudut industri kreatif, cover buku 10 novel itu tidak menarik. Ketika buku-buku itu diberikan kepada anak-anaknya, mereka bertanya, “Ini buku terbitan kapan? Tahun 50-an atau 60-an?” Dari segi industri kreatif ini, buku-buku tersebut akan “gulung koming” di pasaran buku; atau sekadar menjadi pajangan di rak toko buku.
Riris K. Toha-Sarumpaet mengatakan bahasa yang digunakan dalam buku-buku itu sangat jorok, dalam arti kesalahan ejaannya sangat mengganggu kenikmatan membaca. Selain itu, penceritaannya tidak menarik; masih seperti silsilah raja-raja, tapi kurang bercerita. “Untuk orang dewasa saja tidak menarik, apalagi untuk anak-anak,” kata Guru Besar FIB UI ini.
Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan, Mariana Amiruddin, mempertanyakan kenapa Pusat Bahasa mengangkat cerita-cerita lama itu di masa sekarang ini, kenapa bukan karya sastra yang mengangkat lokalitas dan persoalan-persoalan kontemporer. Karena, persoalan kontemporer pun menarik untuk diangkat dalam sastra, seperti peristiwa Mei 1998 dan tragedi 1965-1966.
Novelis dan penyair Remy Sylado menguliti novel-novel itu dari segi bahasanya, yang kekacauannya sangat “centang perenang”. “Penulis tampak sekadar menulis ulang cerita-cerita lama, dan menuliskannya secara sekadar pula. Editor bahasa maupun korektor bahasa juga tidak sungguh-sungguh memperhatikan bahasa, sehingga muncul kesalahan dan ketidakkonsistenan,” ujar Remy.
Redaktur Budaya Republika Ahmadun Yosi Herfanda yang menjadi moderator dalam acara itu tampak sibuk membela produk Pusat Bahasa itu, karena dia merupakan salah satu tim editornya. Ahmadun tampaknya menerima kritikan itu sebagai masukan dan berjanji (‘janji adalah utang yang harus dibayar’) akan memperbaiki buku-buku tersebut. Dad Murniah sebagai staf Pusat Bahasa yang juga penyelaras bahasa pun menampung kritik-kritik tersebut untuk memperbaiki buku-buku itu sebelum disosialisasikan kepada masyarakat.
Rasanya aneh kalau Pusat Bahasa masih memproduksi karya sastra dengan tingkat kesalahan bahasa yang sangat parah. Aneh sekali di mata masyarakat; kenapa Pusat Bahasa yang memproduksi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) masih melakukan kesalahan yang sangat fatal seperti itu? Apakah mereka tidak menggunakan KBBI dalam melakukan penyuntingan? Kalau benar seperti itu, apa kata dunia?
Saya paham ini adalah sebuah proyek. Tapi, sejatinya proyek itu jangan dikerjakan secara asal-asalan. Hasilnya kan terlihat kemudian, bahwa ternyata, dari segi bahasanya saja, produk itu sangat memalukan. Belum lagi dilihat dari segi ceritanya. Kalau sekadar menulis ulang cerita lama dengan kemasan baru, risikonya adalah karya itu bisa dicap sebagai plagiarisme kalau pengarang aslinya tidak disebutkan. Apatah lagi soal royalti. Bagaimana mungkin Pusat Bahasa mengambil karya nenek moyang kita begitu saja dan memproduksinya secara massal? Pramoedya Ananta Toer saja memaki-maki Taufiq Ismail sebagai plagiator karena mengambil karya-karya Pram berupa esai dari harian Bintang Timur dan dimuat begitu saja dalam Prahara Budaya tanpa minta izin pada Pramoedya. “Itu merampok namanya,” kata Pram.
Agar proyek itu tidak dikatakan plagiarisme, sebaiknya cerita-cerita lama itu tidak sekadar ditulis ulang, tapi sudah direkonstruksi bahkan didekonstruksi oleh pengarang yang baru. Contoh yang baik saya kira adalah novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma. Dia mendekonstruksi cerita Ramayana. Meskipun demikian, dia mencantumkan sumber-sumber referensinya.
Dalam diskusi itu, saya menyarankan kepada Pusat Bahasa, kenapa tidak mensosialisasikan karya-karya sastra yang sudah ada sekarang ini? Karya-karya Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Linda Christanty, Veven Sp. Wardhana, Sapardi Djoko Damono, A. Mustofa Bisri, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain yang sudah teruji kualitasnya itu yang diproduksi secara massal untuk dibagikan ke sekolah-sekolah?
Dalam sambutannya, Mustaqim (?) dari Pusat Bahasa mengatakan proyek ini untuk melestarikan nilai-nilai budaya ketimuran. Itu ungkapan yang klise. Nilai-nilai Timur seperti apa yang dilestarikan? Nilai-nilai Barat apa yang ditolak? Saya justru menyarankan kepada Pusat Bahasa agar tidak alergi dengan pengaruh dari luar. Nilai-nilai Islam itu adalah salah satu pengaruh dari luar. Begitu juga nilai-nilai Kristen, Hindu, Konghucu, dan lain-lain. Sistem pendidikan yang mendominasi sekarang ini pun pengaruh dari Barat. Jadi, jangan diulang-ulanglah ungkapan seperti itu. Kita kan tidak mau jadi kodok dalam tempurung kelapa busuk.

Citayam, 23 Oktober 2009

Senin, 19 Oktober 2009

Sikap Ajip Rosidi terhadap Lekra dan Manikebu



oleh Asep Sambodja

Sikap Ajip Rosidi sebagai sastrawan terhadap Lekra dan Manikebu sangat jelas, bahwa dia tidak mau masuk dalam pengkotakan semacam itu. Dari esai-esainya tampak jelas bahwa Ajip Rosidi (1995) anti kelompok kiri, namun ia tak mau melakukan perlawanan terhadap Lekra dengan membuat “perahu” Manikebu, karena akan mudah “diserang” pihak lawan. Ia ingin menjadi sastrawan yang bebas dari blok Lekra maupun blok Manikebu. Dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 karya Arief Budiman (2006), Ajip Rosidi diposisikan sebagai sastrawan independen.
Arief Budiman menyebutkan bahwa pada 1960-an, sastrawan-sastrawan Indonesia berada dalam empat kelompok, yakni pertama, sastrawan-sastrawan yang menjadi anggota Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Boejoeng Saleh, F.L. Risakotta, Amarzan Ismail Hamid, Sobron Aidit, Rivai Apin, dan sebagainya. Kedua, sastrawan-sastrawan yang menandatangani Manifes Kebudayaan seperti H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dan sebagainya. Ketiga, sastrawan-sastrawan yang bernaung di bawah partai politik, seperti Sitor Situmorang (LKN-PNI), Asrul Sani dan Usmar Ismail (Lesbumi-NU), dan sebagainya. Kelompok keempat adalah sastrawan independen seperti Ajip Rosidi, Trisnojuwono, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan K.H. dan sebagainya.
Dalam buku Sastera dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan, Ajip Rosidi (1995) menjelaskan bahwa Arief Budiman mendatangi Ajip Rosidi yang saat itu sedang berada di rumah Toto Sudarto Bachtiar di Jakarta. Arief Budiman meminta Ajip Rosidi dan Toto Sudarto Bachtiar untuk menandatangani pernyataan Manifes Kebudayaan, tapi keduanya menolak. Ajip Rosidi beranggapan bahwa langkah seperti itu berbahaya, karena tidak lagi merupakan langkah kebudayaan, melainkan sudah merupakan langkah politik, karena bagaimanapun pernyataan itu merupakan suatu pernyataan politik (Rosidi, 1995).
Ajip Rosidi memilih menjadi sastrawan yang bebas. Kebebasan yang dimaksud Ajip adalah kalaupun seniman dan sastrawan diwajibkan masuk suatu partai politik maupun lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah partai politik, hendaknya tetap mempertahankan independensinya (Rosidi, 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun bebas, bukan berarti tidak tahu politik. “Sebagai seniman, mereka harus percaya pada kekuatan hasil ciptaannya saja. Dan percaya, bahwa kekuatan hasil ciptaan dapat mengatasi segala kotak yang dibuat berdasarkan pandangan politik,” tulis Ajip Rosidi.
Sebagai salah satu pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) yang menghadiri rapat persiapan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesiaa (KKPI) di Balai Budaya, Ajip Rosidi menyarankan agar sastrawan-sastrawan Lekra diundang juga dalam kongres tersebut, dan bukannya diasingkan. Ternyata usul Ajip Rosidi ini tidak diterima oleh panitia KKPI.
Ketika KKPI diselenggarakan pada Maret 1964, Ajip Rosidi protes kepada panitia, kenapa sebuah konferensi pengarang diketuai oleh seorang yang sama sekali bukan pengarang, meskipun dia jenderal, yakni Mayjen Sudjono. “Itu merupakan suatu keganjilan yang merusak citra sastrawan,” ujar Ajip Rosidi (1995).
Ajip Rosidi sebenarnya tahu bahwa KKPI itu didukung penuh oleh Angkatan Darat, berkat lobi Bokor Hutasuhut dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Semua peserta yang datang dari daerah dibiayai oleh Angkatan Darat, terutama yang menandatangani Manifes Kebudayaan. Ajip Rosidi dan sastrawan-sastrawan dari Bandung yang datang ke KKPI itu sama sekali tidak dibiayai oleh Angkatan Darat karena tidak menandatangani Manifes Kebudayaan. Ajip Rosidi mengaku ia dibantu oleh pengusaha Rachmat Bustaman dan meminta honorarium pada Jacob Oetama dan P.K. Ojong untuk tulisannya yang akan dimuat di majalah Intisari.
Goenawan Mohamad (2002) dalam bukunya Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas menilai konferensi itu merupakan suatu kegagalan. Selain tidak membicarakan persoalan substansi Manifes Kebudayaan, tidak semua peserta yang hadir adalah sastrawan atau seniman. “Saya ingat salah seorang yang duduk di samping saya dalam rapat-rapat persiapan adalah seorang penyusun buku pelajaran tentang tata buku. Ada juga kemudian seorang perwira kedokteran AD, dan beberapa birokrat yang tak dikenal dari daerah,” kata Goenawan Mohamad (2002).
Sebulan setelah acara konferensi itu, Ajip Rosidi bertemu dengan Bokor Hutasuhut. Dengan bangga Bokor mengatakan bahwa Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) yang merupakan organisasi hasil bentukan KKPI yang baru berlangsung akan diterima oleh Ibu Fatmawati, istri pertama Presiden Soekarno. Bokor menganggap ini merupakan kemenangan politik, karena pihak Lekra telah merangkul Ibu Hartini, istri kedua Presiden Soekarno. Ajip Rosidi menilai bahwa tindakan itu berbahaya, “karena dengan demikian kita telah mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno,” tegas Ajip Rosidi (1995).
Pada 8 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan yang isinya melarang Manikebu. Pernyataan itu dimuat di berita Antara pada 10 Mei 1964.

Kami, Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi keutuhan dan kelurusan jalannya revolusi, dan demi kesempurnaan ketahanan bangsa, apa yang disebut Manifesto Kebudayaan yang disingkat menjadi Manikebu dilarang.
Sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran telah menjadi garis besar haluan negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan memberikan kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya revolusi maka segala usaha kita jalankan di atas rel revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan indoktrinasi lain-lainnya.

Tidak lama setelah pelarangan itu, Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo mengirim surat kepada Presiden Soekarno untuk meminta maaf. Ketika Ajip Rosidi bertanya kepada Trisno Sumardjo, kenapa mereka minta maaf sementara penandatangan Manikebu di daerah-daerah menjadi korban “pengganyangan”, Trisno Sumardjo menjawab, “Saya sendiri tidak tahu. Itu usulnya Bokor, jadi kami bertiga menurut saja.” (Rosidi, 1995).
Ajip sendiri curiga yang menulis pernyataan itu bukan Bung Karno, melainkan Njoto. Ia juga curiga Bung Karno tidak membaca pernyataan Manifes Kebudayaan itu. Tapi, kecurigaan semacam ini sulit dikonfirmasi kebenarannya. Pelarangan Manikebu itu meyakinkan Ajip Rosidi bahwa “pernyataan itu dikeluarkan Presiden Soekarno karena dia tersinggung setelah mendengar bahwa pihak KKPI mau mengunjungi Ibu Fatmawati yang ketika itu tetap resmi menjadi istrinya, tapi tidak mau tinggal lagi di istana setelah Bung Karno mengambil Hartini sebagai istri kedua,” (Rosidi, 1995).
Independensi Ajip Rosidi melemah ketika ia menyusun buku Laut Biru Langit Biru (1977) dan Puisi Indonesia Modern (1987). Di dalam kedua buku itu tidak terbaca lagi sastrawan Lekra seperti Boejoeng Saleh, Rivai Apin, ataupun Pramoedya Ananta Toer. Di zaman Soeharto, politik benar-benar jadi panglima dan bukan sekadar slogan lagi. Sastrawan-sastrawan Lekra dipenjara tanpa diadili, karya-karya mereka menjadi bacaan terlarang, dan sastrawan independen pun tidak menghiraukannya.

Citayam, 20 Oktober 2009

Senin, 12 Oktober 2009

Rivai Apin Menguak Teeuw



oleh Asep Sambodja

Kritikus sastra A. Teeuw (1978, 1989) menghajar penyair Rivai Apin berkali-kali dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 dan Sastra Indonesia Modern II. Teeuw tidak sekadar mengkritik, tapi juga terkesan “mematikan” salah satu penyair Angkatan ’45 yang telah menghasilkan buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir bersama Asrul Sani dan Chairil Anwar (1950) dan Dari Dunia yang Belum Sudah (ed. Harry Aveling, 1972). Berikut saya kutip pernyataan Teeuw tersebut.

“Rivai Apin ternyata ahli esai yang tidak begitu besar bakatnya seperti Asrul Sani, dan dia tidak juga penting sebagai penyair. Dari apa yang saya ketahui tentang sajak-sajaknya, maka karya-karya itu tidak lebih dari gejala pancaroba yang menarik minat sambil lalu saja”
(Teeuw, 1978).

“Dalam sajak-sajak Rivai, emosi merupakan objek dan bukan pendorong, dan oleh karena itu, bahayanya ialah bahwa sajak-sajak itu merosot menjadi seruan. Sudah tentu seruan-seruan ini kadang-kadang menggelikan hati, dan kadang-kadang seruan itu sesungguhnya meninggalkan kesan yang menggemparkan dan dari segi lahir menimbulkan persamaan dengan puisi sebenarnya. Selain itu jangan dilupakan bahwa pada tahun-tahun permulaan sastra Indonesia modern, sajak-sajak ini sesungguhnya menggemparkan, dan sudah pasti merupakan suatu pembaruan. Tetapi menurut pandangan saya, 20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup, dan sesungguhnya malah di Indonesia sajak-sajaknya mungkin telah dilupakan” (Teeuw, 1978).

“Terhadap Rivai Apin barangkali bisa dikemukakan alasan bahwa sejak semula ia memang tidak pernah tampil sebagai pengarang penting. Oleh karena itu, tidak terlalu aneh jika ia tidak pernah menghasilkan karya kreatif sebuah pun selama memainkan peranan yang penting di dalam Lekra” (Teeuw, 1989).

“Kekuasaan PKI tamat pada akhir yang berdarah dan penuh kekerasan, dan bersama dengan itu juga Lekra lenyap. Di antara ratusan ribu orang yang terbunuh atau ditahan ketika itu termasuk banyak pimpinan Lekra dan organisasi-organisasi sekutunya, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Bakri Siregar, dan Buyung Saleh” (Teeuw, 1989).

Benarkah puisi-puisi Rivai Apin sudah dilupakan di Indonesia? Kalau kita membaca Laut Biru Langit Biru dan Puisi Indonesia Modern yang dihimpun dan ditulis oleh Ajip Rosidi (1977, 1987), karya-karya Rivai Apin memang terlupakan atau dilupakan; salah satunya karena alasan politis. Bahwa Rivai Apin adalah sastrawan Lekra. Tapi, “ramalan” Teeuw bahwa “20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup” tidak benar sama sekali. Pada 2002, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menerbitkan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi dan memberi ruang pada puisi-puisi Rivai Apin untuk tetap hidup dan dibaca masyarakat Indonesia. Begitu pula pada 2008, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan menerbitkan Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang mau tidak mau memunculkan nama Rivai Apin kembali.
Dalam Taufiq Ismail (2002) ada tiga puisi Rivai Apin yang tidak dilupakan, yakni “Elegi”, “Dari Dunia Belum Sudah”, dan “Kebebasan”. Sementara dalam Yuliantri (2008), sebuah puisi Rivai Apin, “Sebagian Telah Didapat” masih terselamatkan. Saya katakan “masih terselamatkan” karena karya-karya sastrawan Lekra diberangus Rezim Orde Baru. Saya masih terheran-heran, kenapa Teeuw menganggap Rivai Apin sebagai penyair yang “tidak penting”? Ini mengingatkan saya pada petinggi Balai Pustaka di zaman kolonial Belanda seperti D.A. Rinkes, G.W.J. Drewes, dan K.A. Hidding yang menganggap karya Mas Marco Kartodikromo dan Semaun sebagai “bacaan liar” karena menggunakan “bahasa Melayu pasar” dan bukan “bahasa Melayu tinggi”. Persoalannya, penting untuk siapa dan tidak penting bagi siapa?
Saya ingin menginterpretasi sebuah puisi Rivai Apin yang—baik penyair maupun karyanya—saya anggap “penting”. Saya kutip puisi “Dari Dunia Belum Sudah” seutuhnya.


Dari Dunia Belum Sudah

Pagi itu aku dengar beritanya,
Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan

Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semuanya beku padu:
manusia benda dan udara, tapi memperlihatkan harga.

Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Yogya sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Syahrir…
Kami terus berbicara, atau ke teman, ke teman dan ke teman…
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.

Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan,
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
Buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan.
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
—yang periuknya selalu terbuka—Dan aku sudahkan keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita
di dalam kegelapan

Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding
kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.


Puisi di atas dikutip dari buku Tiga Menguak Takdir yang terbit pada 1950. Pesan yang ingin disampaikan Rivai Apin adalah adanya penangkapan-penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap pemimpin dan orang-orang republik. Penyair merasa gelisah karena Proklamasi Kemerdekaan yang telah didengungkan pada 17 Agustus 1945 mengalami ganjalan karena Belanda melakukan agresi militernya yang kedua pada 1948. Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan diduduki Belanda dan para pemimpin Republik Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim ditangkap. Kata “merdeka” yang menjadi impian bangsa Indonesia saat itu seperti tertutup kabut hitam. Dalam suasana yang tidak menentu itu Rivai Apin mengatakan dalam puisinya, “Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi, tapi telah mengejar pula ke dalam dunia yang belum sudah.” Dunia yang belum sempurna.
Teeuw mungkin tidak menganggap penting puisi itu. Tapi, bagi bangsa yang setengah terjajah atau 50% merdeka—istilah Heri Latief—peristiwa yang mencekam semacam itu penting dalam sejarah perjuangan. Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia telah membuat perasaan bangsa Indonesia buncah, kacau, kalut, dan gelisah, sehingga untuk berbicara dengan teman-teman sekalipun harus berbisik-bisik. Kegelisahan seorang “inlander” inilah yang ditangkap Rivai Apin dan diekspresikan dalam puisinya. Teeuw tampaknya alergi dengan puisi-puisi realisme sosialis. Dan karenanya ia menganggap puisi semacam itu tidak penting. Karena sejatinya puisi itu menusuk ke ulu hati penguasa Belanda saat itu.
Tertangkapnya trio founding father kita, Soekarno-Hatta-Syahrir dalam peristiwa pendudukan Yogyakarta adalah masa-masa yang mencemaskan bagi bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang telah didapat bagaikan bangunan istana dari pasir di tepi pantai yang sewaktu-waktu bisa hancur digerus ombak. Jadi, bagi kami, Rivai Apin adalah penyair yang penting dan patut diperhitungkan.

“Saya menilai tinggi Rivai Apin, karena ia pun mengalami revolusi batin, sehingga berhasil membebaskan diri dari liberalisme. Sebagai seorang bekas tokoh ‘Gelanggang’ dan humanisme universal, ia pun tidak akan segan-segan mengakui kekeliruan-kekeliruannya di masa lalu. Thing and rethink, shape and reshape, dan lahirlah Rivai Apin yang baru,” tulis Pramoedya Ananta Toer di Bintang Timur, 17 November 1963.

Citayam, 12 Oktober 2009

Sabtu, 10 Oktober 2009

Kenapa H.B. Jassin Membela Kipandjikusmin?



oleh Asep Sambodja

Ketika kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin mencuat pada 1968, sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sudah dipenjarakan oleh Rezim Soeharto. Dengan demikian, polemik yang ada berkaitan dengan cerpen itu murni persoalan internal sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sastrawan Lekra tidak bisa bicara, karena memang benar-benar dibungkam.

Bermula dari pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di majalah Sastra pada Agustus 1968. Cerpen itu menuai protes dari masyarakat, terutama dari kalangan yang beragama Islam. Karena, dalam cerpen itu ada personifikasi Tuhan dan ada gambaran mengenai Nabi Muhammad dan malaikat Jibril yang dinilai sangat menghina umat Islam. Pada 12 Oktober 1968, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyita majalah Sastra. Sepuluh hari kemudian, 22 Oktober 1968, Kipandjikusmin menyatakan mencabut cerpennya itu. Akhirnya, pada 24 Oktober 1968, karena kemarahan para alim ulama dan umat Islam, Kipandjikusmin meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam. Hal itu diucapkannya di Kantor Departemen Penerangan pada pukul 10.30 WIB (Pradopo, 2002).

Tapi, nasi telah menjadi bubur. Ada yang harus bertanggung jawab atas pemuatan cerpen tersebut. H.B. Jassin yang sudah meminta maaf kepada Budiardjo, Menteri Penerangan saat itu, tetap diajukan ke pengadilan. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sastra, mau tak mau H.B. Jassin harus mempertanggungjawabkannya. Hingga vonis hakim dijatuhkan, H.B. Jassin tidak mau menyebutkan siapa pengarang yang menggunakan nama samaran Kipandjikusmin itu.

Dalam buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Dahlan, 2004), disebutkan ada dua kemungkinan mengenai hal itu. Pertama, Kipandjikusmin adalah H.B. Jassin sendiri. Kedua, Kipandjikusmin adalah seorang penulis pemula yang tinggal di Yogyakarta dan tengah kuliah di sebuah universitas Islam. Dan, menurut catatan editor buku Pleidoi Sastra, kemungkinan yang kedualah yang mendekati kebenaran.

Kalau kita baca cerpen itu secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal, maka pesan kuat yang hendak disampaikan Kipandjikusmin adalah kritiknya terhadap Presiden Soekarno, Soebandrio, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Dalam pembacaan saya, Kipandjikusmin tidak menjelekkan agama Islam. Yang dijelekkannya adalah Rezim Soekarno, yang saat itu telah dilengserkan dan ditahan Rezim Soeharto (Sambodja, 2006).

Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihat Pradopo, 2002).

Menurut Bur Rasuanto, cerpen “Langit Makin Mendung” merupakan versi lain dari cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. “Hanya saja, A.A. Navis berhasil mengangkat persoalan ke dalam karya sastra bermutu tinggi, sedangkan Kipandjikusmin tidak. Cerpen Kipandjikusmin tidak bermutu sastra, tetapi tidak menghina Tuhan dan Islam,” ujar Bur Rasuanto (Pradopo, 2002).

Ali Audah (dalam Damono, 1987) menilai cerpen “Langit Makin Mendung” tidak menghina agama, karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen semacam itu. “Saya berpendapat nilai sastranya rendah.”

Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).

Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).

Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermutu tinggi (Damono, 1987).

Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.

Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.

Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.

Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.

Citayam, 10 Oktober 2009

Jumat, 09 Oktober 2009

Sejarah Sastra Indonesia Modern Versi Bakri Siregar



oleh Asep Sambodja

Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 karya Bakri Siregar (1964) memperlihatkan bahwa subjektivitas penulis sejarah—termasuk sejarah sastra Indonesia—senantiasa tampak dalam buku yang dihasilkannya. Bakri Siregar merupakan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang juga menjabat sebagai Ketua Akademi Sastra dan Bahasa “Multatuli” Jakarta dan Guru Besar Sastra Indonesia Modern di Universitas Peking. Pascaperistiwa G30S 1965, Bakri Siregar termasuk sastrawan Lekra yang ditahan tanpa diadili dan baru dibebaskan pada 1977. Menyusul penahanannya adalah dilarangnya buku sejarah yang ditulisnya itu. Hingga kini, tidak akan ada buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 2 dari sang penulis, karena Bakri Siregar telah meninggal pada 19 Juni 1994.

Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 ini berisi masa awal sastra Indonesia, masa Balai Pustaka, hingga masa Pujangga Baru (1930-an). Sebenarnya topik pembicaraan belum masuk periode 1960-an, namun dalam pengantarnya Bakri Siregar telah menyinggung konsep kesenian Lekra dan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Maklum, buku ini ditulis pada 1964, sehingga semangat zaman pada waktu itu terekam dalam buku ini. Bisa jadi juga karena Bakri Siregar adalah pimpinan pusat Lekra yang saat itu mengganyang sastrawan-sastrawan Manikebu, sehingga secara sadar maupun tak sadar terungkapkan dalam buku tersebut.

Mengenai cakupan khazanah sastra Indonesia, saya sangat sependapat dengan Bakri Siregar. Bahwa pengertian sastra Indonesia itu mencakup naskah-naskah Melayu di Indonesia hingga akhir abad ke-19. Perlu saya tambahkan bahwa selain naskah-naskah Melayu juga naskah-naskah Jawa Kuno. Selain itu, karya sastra yang menggunakan bahasa daerah di Indonesia juga termasuk di dalamnya. Dalam bahasa A. Teeuw, karya sastra semacam ini dinamakan “sastra di Indonesia”. Bakri Siregar juga memasukkan karya sastra yang berbahasa Melayu Tionghoa ke dalam khazanah sastra Indonesia. Hanya saja, saat ia menulis buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1, ia merasa kesulitan mendapatkan bahan-bahan itu. Kini, penerbit besar Gramedia telah membukukan karya sastra Melayu Tionghoa hingga 10 jilid—dari 25 jilid yang direncanakan. Tentu saja karya sastra Indonesia yang lahir sejak awal abad ke-20 semuanya masuk dalam khazanah sastra Indonesia.

Zuber Usman (dalam Siregar, 1964), mengatakan bahwa Abdullah bin Abdulkadir Munsji yang hidup di abad ke-19 merupakan penutup zaman lama dan Abdullah dapat diumpamakan sebagai cahaya fajar zaman baru yang mulai menyingsingkan sinarnya di ufuk zaman itu. Tampaknya Bakri Siregar enggan memasukkan Abdullah sebagai tokoh awal sastra Indonesia modern karena setelah membaca memoarnya, Hikayat Abdullah, Bakri Siregar menilai sikap Abdullah yang dalam batas tertentu mempunyai segi positif dalam mengkritik kaum bangsawan Melayu dan praktik onar para raja, tapi di sisi lain Abdullah terlalu memuji dan kagum pada penjajah Inggris dengan menamakan mereka tokoh-tokoh kemanusiaan yang ikhlas dan bijaksana. Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia.

Menurut Bakri Siregar ada tiga sastrawan yang menjadi tokoh awal sastra Indonesia modern. Mereka adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam Effendi. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia secara tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal. Dua karya Mas Marco yang menonjol adalah Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka (1924). Karena isinya berupa kritik terhadap imperialisme Belanda dan antifeodalisme, karya-karya Mas Marco dilarang pemerintah kolonial Belanda. Sebagai sastrawan dan juga wartawan yang revolusioner, Mas Marco sering keluar masuk penjara, dan meninggal di tanah pembuangan Digul.

Semaun menghasilkan novel Hikayat Kadirun pada 1924. Dalam novel tersebut, Semaun membayangkan kehidupan dalam masyarakat masa depan yang lebih baik dari keadaannya saat itu. Masyarakat masa itu yang digambarkan adalah masyarakat yang berada dalam belenggu penjajahan. Dengan demikian, apa yang dianggap baik di hari depan oleh penulis, dianggap musuh oleh penjajah. Pada 1932, Semaun menyumbangkan artikel dalam Ensiklopedi Kesusastraan yang terbit di Moskow. Semaun antara lain menulis, “Hikayat Kadirun didasarkan untuk melawan rezim penjajah Belanda. Roman ini disita dan setelah pemberontakan tahun 1926/1927 dipandang sebagai buah ciptaan kesusastraan di bawah tanah. Oplah sastra revolusioner sangat terbatas, tidak lebih dari 1.500-2.000 buah. Buku-buku itu dicetak di percetakan Partai Komunis dan serikat buruh.” (Siregar, 1964).

Rustam Effendi menulis lakon Bebasari pada 1926. Lakon ini berisi sindiran terhadap penjajah dan menggelorakan semangat pemuda dan rakyat. Simbol-simbol wayang digunakan Rustam Effendi untuk mengkritik penguasa. Rahwana, misalnya, melambangkan sifat bengis kaum penjajah. Sementara Bebasari melambangkan cita-cita kemerdekaan. Bebasari mengatakan di akhir lakon, “Asmara sayap usaha yang tinggi/ Asmara kepada bangsa sendiri.”

Ketiga tokoh awal mula sastra Indonesia versi Bakri Siregar itu mendapat kendala di zaman Belanda. Karya-karya ketiga sastrawan revolusioner itu dilarang oleh Belanda. Bahkan Kepala Balai Pustaka A. Rinkes menyebut karya mereka sebagai bacaan liar. Tentu saja, karena isinya memang menyuarakan antiimperialisme. Sayangnya, di zaman Orde Baru yang dipimpin Soeharto, karya Mas Marco Kartodikromo dan Semaun juga dilarang hanya lantaran mereka komunis. Jadi, karya mereka tidak saja dilarang Belanda, tapi juga dilarang Soeharto.

Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 itu, Bakri Siregar juga menjelaskan adanya beberapa pengaruh dari luar terhadap perkembangan sastra Indonesia modern. Pertama, pengaruh Hindu dan Islam, yang mempengaruhi awal-awal perkembangan sastra Indonesia. Dalam artikel “Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia” (Sambodja, 2005), saya telah menjelaskan bahwa pengaruh Hindu memusat di Jawa dan pengaruh Islam memusat di Sumatera. Hal ini terlihat dari naskah-naskah berbahasa Melayu dan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno. Kedua, sikap revolusioner yang muncul dalam karya-karya sastra Indonesia awal itu merupakan pengaruh dari Uni Soviet dan Tiongkok; antara lain melalui karya Maxim Gorki, tokoh realisme sosialis, dan Lu Hsun, pelopor sastra Tiongkok modern.

Ketiga, pengaruh dari Barat, terutama Belanda, yakni komunitas De Tachtigers yang menginspirasi sastrawan-sastrawan Pujangga Baru. Sastrawan Eduard du Perron dan Hendrik Marsman sangat mempengaruhi perkembangan kepenyairan Chairil Anwar. Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1860) yang menulis buku Max Havelaar juga mempengaruhi sastrawan revolusioner Indonesia. “Kalau bukuku diperhatikan dengan baik, dan disambut dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku menentang pemerintah,” tulis Multatuli.

Bagaimana dengan Manikebu? Bakri Siregar mengatakan, “Dalam meniadakan dan membendung semangat revolusi, mereka mengemukakan konsepsi humanisme universal, sejalan dengan usaha neokolonialisme dalam mempertahankan kepentingan di Indonesia, menganjurkan eksistensialisme (‘filsafat iseng’ dan ‘filsafat takut’), serta memupuk individualisme dan pesimisme, menjadikan sastrawan dan seniman kosmopolit dan antipatriotik, tanpa menyatukan diri dengan perjuangan bangsanya.” (Siregar, 1964: 13-14).

Citayam, 9 Oktober 2009

Buya Hamka dan Tuduhan Plagiat Itu



oleh Asep Sambodja

Tahun 1962 adalah tahun yang berat bagi Buya Hamka. Sebab, pada September 1962, Abdullah Said Patmadji menuduh Hamka sebagai plagiat. Ini adalah tuduhan yang sangat menyakitkan. Abdullah S.P. menilai Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka (1939) merupakan plagiat dari novel Al Majdulin karya sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Novel Al Majdulin atau Magdalaine atau Magdalena dalam edisi bahasa Indonesia itu merupakan novel saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Untuk memperkuat tuduhannya itu, Abdullah S.P. membuat idea strip berikut:

A: Magdalaine
B: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

1) A. Magdalaine menyurati Suzanne tentang kedatangan pemuda
Stevens (hlm. 3-4)
B. Hayati menyurati Khadijah tentang kedatangan pemuda
Zainuddin (hlm. 35)
2) A. Stevens tinggal di kamar atas rumah orangtua Magdalaine yang
sedianya kosong (hlm. 3-4)
B. Zainuddin tinggal di rumah bakonya yang tidak jauh dari rumah
orangtua Hayati (hlm. 35)
3) A. Perikatan janji prasetia antara Magdailaine dan Stevens “di
bawah naungan bunga tilia” disusul dengan adegan asmara di
danau (hlm. 37-40)
B. Pertemuan di waktu hujan “di bawah sebuah payung” disusul
dengan perikatan janji prasetia di sebuah danau (hlm. 47-51)
4) A. Hubungan asmara antara Magdalaine dan Stevens tidak disetujui
orangtua Magdalaine karena pemuda Stevens miskin dan diusir
(hlm. 52-56)
B. Hubungan asmara antara Hayati dan Zainuddin tidak disetujui
orangtua Hayati karena Zainuddin melarat dan diusir
(hlm. 52-56)

6) A. Suzanne mengecoh Magdalaine sehingga membenci Stevens
(hlm. 115-117)
B. Khadijah mengecoh Hayati sehingga membenci Zainuddin
(hlm. 83-86)

11) A. Perkawinan Magdailaine dengan Edward (hlm. 180-190)
B. Perkawinan Hayati dengan Aziz (hlm. 123-131)

14) A. Edward bunuh diri di sebuah hotel di Chicago (hlm. 241-243)
B. Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi (hlm. 175-176)
15) A. Magdalaine mati bunuh diri tenggelam di sebuah sungai
(hlm. 245-254)
B. Hayati mati karena kecelakaan tenggelam di laut bersama kapal
Van der Wijck (hlm. 177-180)
16) A. Stevens mati mendadak di atas kursi di depan pianonya
(hlm. 280-284)
B. Zainuddin mati mendadak di atas kursi di depan meja tulisnya
(hlm. 198-200)
+) A. Stevens dikubur di samping Magdalaine berdasarkan wasiat
Stevens.
B. Zainuddin dikubur di samping Hayati berdasarkan wasiat
Zainuddin.

Berdasarkan “temuannya” itulah Abdullah S.P. menuduh Hamka sebagai plagiat. Pramoedya Ananta Toer sebagai redaktur lembaran “Lentera” di harian Bintang Timur pun menuduh Hamka telah melakukan jiplakan mentah-mentah. Pramoedya menganjurkan agar Hamka meminta maaf kepada masyarakat pembaca Indonesia. Sejak Februari 1962 itulah Hamka menjadi bulan-bulanan Bintang Timur, terlebih latar belakang politik Hamka adalah sebagai anggota Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)—sebuah partai politik yang bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI) dilarang Presiden Soekarno pada Agustus 1960, karena elite kedua partai itu selalu bermusuhan dengan Soekarno selama bertahun-tahun; oposisi mereka terhadap Demokrasi Terpimpin dan keterlibatan mereka dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)—menjadikan persoalan ini bukan saja persoalan sastra, melainkan juga persoalan politik.

Kritikus sastra H.B. Jassin menolak tuduhan itu. Menurut Jassin (dalam Pradopo, 2002), yang disebut “plagiat” itu adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping “plagiat”, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.

Dalam hal roman Hamka itu, H.B. Jassin mengatakan bahwa karya itu bukan plagiat atau jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan “seluruh kepribadiannya”.

Vicente Cantarino (dalam Pradopo, 2002) mengatakan bahwa dalam sastra ada tradisi mentransformasikan karya-karya sebelumnya ke dalam karya sendiri dengan bentuk yang baru. Hal ini bukan merupakan jiplakan, sebab ide dan konsepnya milik sendiri, sementara karya sebelumnya sebagai “bahan”. Dalam hal ini, menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002) dalam buku Kritik Sastra Indonesia Modern, Hamka membuat transformasi dari karya Manfaluthi yang merupakan hipogramnya, dengan memasukkan pikiran-pikiran keislaman di dalamnya, mengubah jalan ceritanya, dengan penambahan-penambahan, semuanya disesuaikan dengan situasi Indonesia, Minangkabau khususnya, untuk menampilkan masalah adat, khususnya adat kawin paksa, dengan memasukkan pikiran-pikiran baru sesuai dengan ajaran Islam.

Hamka sendiri sebenarnya banyak diamnya. Ia menyerahkan persoalan itu kepada ahlinya. Kepada wartawan Berita Minggu (30 September 1962), Hamka mengakui bahwa memang ia terpengaruh dengan Manfaluthi. Dalam Gema Islam (1 Oktober 1962), Hamka mengatakan bahwa caci-maki dan tuduhan plagiat itu tidak akan menjatuhkan dia dan persoalan belum selesai. Ia mengharapkan agar Tenggelamnya Kapal Van der Wijck diteliti secara ilmiah oleh ahli sastra untuk menentukan apakah itu hasil curian, saduran, atau asli secara pasti. Hamka berharap dibentuk Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan ia bersedia memberikan keterangan (Pradopo, 2002).

H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah (1963) telah membukukan polemik itu dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik. Setelah membaca tulisan-tulisan yang menuduh Hamka sebagai plagiat maupun yang menolaknya, Umar Junus (dalam Hamzah, 1963) menyimpulkan bahwa pertama, Hamka menggunakan pola dan plot yang ada dalam karya Manfaluthi, tetapi ia mengisi tema dan idenya sendiri. Kedua, Hamka sangat terpengaruh Manfaluthi sehingga menyenangi dan menggunakan hal-hal yang sama dengan Manfaluthi, termasuk cara pengucapannya. Hal ini mungkin karena keaslian pengucapan belum menjadi mode pada masanya.

Dalam disertasinya, Rachmat Djoko Pradopo menilai bahwa persoalan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah persoalan plagiat atau jiplakan, melainkan masalah intertekstual, yakni transformasi dari satu teks ke teks yang baru.

Hamka sendiri bisa mengambil “hikmah” dari polemik itu. Bagaimanapun sebuah buku yang selalu menjadi bahan pembicaraan atau pergunjingan, pujian atau makian, akan selalu diburu orang. Pemberian cap “dahsyat” sebagaimana ucapan Sapardi Djoko Damono terhadap Saman maupun cap “plagiat” sebagaimana tulisan Abdullah S.P. terhadap novel Hamka, sama-sama membawa berkah bagi penerbit buku itu. Terkadang berkah bagi pengarang juga. Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan salah satu karya sastra Indonesia yang terbilang laku di pasaran. Hamka sendiri mengakui dalam cetakan keempat buku itu, bahwa belum berapa lama diterbitkan, buku itu sudah ludes. “Belum berapa lama tersiar, dia pun habis,” tulis Hamka. Saya sendiri membeli buku itu pada 1999—yang sudah merupakan cetakan ke-23. Kelarisan buku ini dapat disejajarkan dengan Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Saman Ayu Utami.

“Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi, kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak. Sesudah dia menutup mata, barulah orang akan insaf siapa sebetulnya dia…” (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, hlm. 212-213).
***

Citayam, 8 Oktober 2009

Amarzan Ismail Hamid dan Tahun Vivere Pericoloso



oleh Asep Sambodja

Ada yang menarik dari sastrawan Amarzan Ismail Hamid ini. Ia menulis puisi dan cerpen dengan judul yang sama, “Boyolali”. Keberpihakan Amarzan pada petani-petani yang ditembak mati sangat jelas dan tegas. Bahwa petani-petani itu menuntut haknya untuk memiliki tanah garapan sendiri sesuai dengan anjuran Presiden Soekarno.

Dalam cerpen semi esai “Boyolali” yang terhimpun dalam buku Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, Amarzan Ismail Hamid (2008) menulis demikian:

Kenyataannya demikianlah. Masih ada petani ditembak. Masih ada petani diteror. Masih selalu petani difitnah. Dan itu semua terjadi ketika Tavip sudah mengumandangkan di angkasa tanah air, menggugah setiap hati yang mau sungguh-sungguh memenangkan revolusi.
“Ketaon” tidak berdiri sendiri! “Ketaon” bukanlah suatu peristiwa kebetulan! “Ketaon” adalah rangkaian peristiwa yang sudah direncanakan untuk meneror kaum tani, untuk memprovokasi kaum tani, untuk menyerimpung landreform, menyerimpung UUPA dan UUPBH, menyerimpung Undang-undang pemerintah yang sah!
(Hamid, 2008).

Tavip yang dimaksud Amarzan dalam cerpen itu adalah Tahun Vivere Pericoloso (Tavip)—sebuah istilah dari Italia yang berarti ‘hidup menyerempet-nyerempet bahaya’. Tavip ini didengungkan Presiden Soekarno pada HUT ke-19 Republik Indonesia, 17 Agustus 1964, untuk melawan imperialisme.

Sementara “Ketaon” adalah suatu tempat di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, tempat tertembaknya tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo. Peristiwa penembakan ini terjadi pada 18 November 1964 di atas tanah milik tuan tanah Wirjowiredjo.
Amarzan sebagai cerpenis menilai penembakan itu merupakan upaya untuk mengkhianati landreform, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). Program landreform ini dicanangkan Presiden Soekarno untuk kepentingan kaum Marhaen (wong cilik), termasuk di dalamnya para petani. Sebab, menurut Bung Karno sebagaimana dikutip Amarzan dalam cerpen semi esainya, “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan omong besar tanpa isi.”

Program landreform mendapat dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, tidak mendapat dukungan dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI)—keduanya dianggap sebagai pendukung keberadaan modal asing di Indonesia. Program landreform itu juga mendapat penolakan dari pihak tuan tanah-tuan tanah yang merasa terancam dengan program tersebut dan dari Angkatan Darat yang merupakan lawan politik PKI.

Dalam buku Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, Andi Achdian (2009) kesepakatan blok politik Nasakom (Soekarno/PNI-NU-PKI) di tingkat elite tidak bekerja pada tingkat massa petani. Program landreform ini mengalami kegagalan karena birokrasi di tingkat bawah tidak berjalan dengan baik dan pada tataran massa rakyat pun terjadi radikalisasi. Dalam bahasa Daniel Hutagalung (dalam Achdian, 2009), “Blok politik Soekarno dengan Nasakom pun gagal mengkonstruksi hegemoni yang bersifat nasional. Kegagalan inilah yang membuat proyek politik Soekarno bisa dipatahkan di tengah jalan.’

Cerpen “Boyolali” Amarzan Ismail Hamid ini memperlihatkan bagaimana program landreform yang tidak berjalan mulus di tingkat bawah. Bahkan para petani yang merasa berhak untuk mendapatkan tanah melakukan aksi sepihak terhadap tanah milik tuan tanah—yang menurut PKI merupakan salah satu dari tujuh setan desa. Akibatnya, tuan tanah “memanfaatkan” militer untuk menghalau aksi sepihak yang dilakukan para petani itu. Dan, terbunuhnya tiga petani di Boyolali itu menjadi tragedi nasional.

Dalam puisi dengan judul yang sama, “Boyolali”, Amarzan memperlihatkan empatinya yang demikian besar pada ketiga korban penembakan itu. Dari 15 puisi Amarzan yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965, saya merasakan adanya suara yang khas. Dalam arti, suara yang dituturkan Amarzan dalam puisi-puisinya tidak meledak-ledak sebagaimana yang saya temui dalam sebagian puisi penyair-penyair Lekra. Bahwa pesannya antiimperialisme, mendukung revolusi, dan membela orang-orang kecil, hal itu juga sangat tampak dalam puisi-puisi Amarzan Ismail Hamid. Hanya saja, diksi yang digunakan Amarzan sangat khas seperti nyanyian. Berikut saya kutip puisi “Boyolali” secara lengkap.

Boyolali

I

Boyolali!
kembali suatu nama
dihujamkan dengan darah
ke jantung kaum tani

Menggigillah langit
menggigillah sawah dan ladang
padi di lumbung
ikan-ikan di kolam
sebab angin telah mengantarkan
berita busuk itu
kaum tani ditembaki
tiangprajangga kehidupan
--ditembaki:

Jumari
Partodikromo
Sonowiredjo
tiga dari jutaan bintang
Barisan Tani
rebah berdarah di atas tanah
kampung halaman

II

Boyolali!
kembali teladan indah
dinukilkan dalam sejarah
Barisan Tani
dan pahit bagai empedu
angin menyampaikan kabar berita
ke kota dan desa nusantara
telah ditembakkan senjata lagi
ke jantung kita
ke jantung ibu bapak kita
bergetar udara
menaruh kemarahan yang tersimpan
bergetar kenangan
ke tahun empat lima
ke desa dan lembah gunung
ke kaum tani yang menyongsong
menghangatkan dan menghidupi
revolusi!

Ditembaki!
ya, ditembaki!
lalu kemana kemerdekaan
kemana revolusi disembunyikan?

Jangan titikkan airmata, kawan!
inilah ujian sejarah
zaman yang menepis dari kandungannya
kawan dan lawan


III

Boyolali!
tembang mencatat
di malam sepi

kalau burung di dahan
sapi di kandang
bahkan harimau di hutan rimba
kenali ibunya yang memberi makan
siapakah sesungguhnya kalian
hei, tangan berdarah?
yang telah mengacungkan senjata
menghunjamkan peluru
ke jantung ibu bapak sendiri

tenggelam malam dalam kesepian yang menekan
tapi pelita-pelita di gubuk
unggun-unggun api di pematang ladang
tak habisnya menyaksikan
berita itu disampaikan
tak habis-habisnya menyaksikan
teladan itu dibangkitkan
dan tanah air
kau pun tak akan luput menyaksikan
suatu hari
--pembebasan!

1964

Meskipun di bagian awal puisi ini digambarkan adanya tragedi, namun pada bagian akhir harus dimunculkan rasa optimisme; harus dimunculkan harapan-harapan baru, dan tidak hanyut dalam duka lara. Karena, demikianlah kebanyakan sastrawan Lekra menjalankan konsep berkesenian mereka. Dalam hal ini, Amarzan Ismail Hamid (atau yang sekarang dikenal sebagai Amarzan Lubis di majalah Tempo) mencoba “Turba” (turun ke bawah) dengan menghayati penderitaan rakyat, penderitaan petani-petani Boyolali, dan mencoba mengintegrasikannya ke dalam dirinya. Dan, puisi “Boyolali” di atas merupakan proses internalisasi yang telah dijalani oleh Amarzan.

Citayam, 6 Oktober 2009

Sobron Aidit dan Buku yang Dipenjarakan


oleh Asep Sambodja

Bagaimanakah caranya agar kita bisa membaca buku-buku terlarang—terutama yang dilarang Rezim Orde Baru? Sobron Aidit (2006) dalam buku yang berjudul Buku yang Dipenjarakan: Memoar Orang Terbuang menjelaskan bagaimana temannya bisa membaca buku-buku terlarang itu. Pertama, orang itu harus memiliki surat tanda bebas G30S/PKI yang dikeluarkan oleh kelurahan dan militer setempat.
Kedua, untuk bisa membaca buku-buku terlarang—termasuk karya sastrawan Lekra—orang itu harus mengantongi izin dari Kepala Perpustakaan Nasional. Lalu, surat itu harus dikuatkan dengan izin dari Menteri Pendidikan Nasional (dulu namanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Kalau izin dari menteri itu sudah turun, harus mendapatkan izin dari Kejaksaan Agung. Tidak cukup sampai di situ; setelah mendapat izin dari Kejaksaan Agung, maka harus pula diteliti oleh Badan Intelijen Negara (BIN); apakah membahayakan negara atau tidak. Jika tidak, maka harus ada pula persetujuan dari Bakin sebagai eksekutor.
Kalau semua surat itu sudah lengkap, barulah diserahkan kepada Kepala Perpustakaan Nasional kembali. Dan, orang itu akan dibawa ke sebuah ruangan tempat penyimpanan buku-buku terlarang itu. Buku itu tidak boleh dipinjam, apalagi difotokopi. Buku itu hanya boleh dibaca di dalam ruangan itu. Dan, si pembaca dikunci dalam ruangan yang berjeruji itu. Jadi, sepanjang Orde Baru, yang dipenjara bukan hanya sastrawan-sastrawan Lekra saja, buku-bukunya pun dipenjara,
Kini sedikit demi sedikit buku-buku yang dilarang dan ditakuti Rezim Orde Baru itu sudah mulai bermunculan. Di antaranya terhimpun dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 dan Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Dalam kedua buku itu bisa kita temui karya-karya Sobron Aidit.
Dalam memoarnya yang lain, yakni Gajah di Pelupuk Mata, Sobron Aidit (2002) menjelaskan bahwa ia termasuk sastrawan generasi 1950-an. Sastrawan lain yang menulis di zamannya adalah Ajip Rosidi, S.M. Ardan, Rijono Pratikto, Sukanto S.A., W.S. Rendra, Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto, A.S. Dharta, Hr. Bandaharo, Agam Wispi, Aziz Akbar, S.W. Kuncahyo, Sabar Anantaguna, Boejoeng Saleh, Rivai Apin, dan Nyoto.
Puisinya yang dimuat dalam Gugur Merah memperlihatkan ideologinya yang sangat kental. Dalam puisi “Aku dan Keyakinan”, Sobron Aidit (2008) menulis demikian:

Otakku, hatiku, jantungku
Segalaku, hanya satu
Hanya partai
Itu saja

Dada kepalaku Marxis
Diriku Leninis
Berpadu dalam satu deretan

Sikap penyair seperti ini sangat jelas—sebagai sikap yang distingtif terhadap lawan partainya. Sikap yang jelas dan terbuka semacam ini disadari atau tidak bisa membuat repot sang penyairnya. Dalam memoar Buku yang Dipenjarakan, Sobron Aidit menceritakan bagaimana ia selalu diikuti oleh intel-intel selama ia berada di Indonesia pada 1990-an. Bahkan ketika Partai Rakyat Demokratik (PRD) dijadikan kambing hitam dalam peristiwa 27 Juli 1996, nama Sobron Aidit pun disangkutpautkan pula. Panglima TNI Feisal Tandjung menyebutnya sebagai Ketua Bagian Luar Negeri PRD. Padahal, menurut Sobron, itu tidak benar sama sekali.
Cerpennya yang berjudul “Dokter Tjoa” dalam buku Laporan Dari Bawah memperlihatkan bahwa Sobron Aidit (2008) mengutamakan pesan yang ingin disampaikan melalui cerpen tersebut. Dalam cerpen itu, Sobron ingin mengatakan bahwa orang yang patut dihormati itu bukan orang yang memiliki jabatan tinggi, melainkan orang yang mau peduli terhadap orang-orang kecil, meskipun orang itu keturunan China sekalipun. Gaya bercerita Sobron Aidit memang seperti orang yang mendongeng; tokoh-tokohnya tidak dibiarkan “berbicara sendiri”. Sebagian besar cerpennya menggunakan gaya penceritaan seperti itu, bahkan dalam memoar-memoarnya pun gaya seperti itu tetap dipergunakan Sobron Aidit.
Dalam buku Razia Agustus, Sobron Aidit (2004) tetap mempergunakan gaya bercerita yang mirip orang mendongeng. Pembaca hanya memiliki ruang sempit untuk berimajinasi dengan tokoh-tokohnya maupun dengan jalannya cerita. Namun, yang tampak menonjol dalam kumpulan cerpen Razia Agustus dan juga dalam memoar Gajah di Pelupuk Mata dan Buku yang Dipenjarakan adalah rasa hormat Sobron Aidit pada kakaknya, Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC Partai Komunis Indonesia. Berikut saya kutip tiga alinea dari cerpen “Razia Agustus”:

Sejarah menjadi lain. Belasan tahun sesudah itu Bang Amat dikabarkan gugur di dekat Boyolali dalam perjalanan penahanannya ke ibukota. Orang-orang bilang waktu itu “disembur logam panas.” Jangankan jasad, nisannya pun tak berjejak. Bang Amat yang hidupnya terutama untuk orang banyak, untuk rakyat, telah tiada. Ia benar-benar telah pergi, bukan menyamar, bukan lari ke luar negeri.
Sementara itu, banyak orang mengaku bahwa diri merekalah yang menghabisi nyawa Bang Amat. Seorang jenderal, misalnya, mengatakan di depan umum bahwa dialah yang menamatkan hidup Bang Amat. Tapi ada lagi serdadu lain yang mengatakan, bukan sang jenderal, namun justru sang serdadulah yang menembak abangku itu. Aku tahu betul, ia tak pernah jauh dari rakyat. Dan bersamanya pergi adalah ratusan ribu jiwa lainnya dalam suatu huru hara pembalasan dendam politik di tanah airku.
Abangku tersayang, tak kan kusua kembali. Kapan pun…. Namun aku memahaminya. Keprihatinannya yang mendalam atas nasib wong cilik pasti telah diwariskannya kepada siapa saja. Juga kepadaku, jauh hari sebelum peristiwa berdarah di tahun 1965 itu. Ketika pintu kamar pondokanku berirama ketokan dua-dua satu: Tok-tok… tok-tok… tok! (Aidit, 2004).

Bang Amat adalah panggilan Sobron Aidit kepada abangnya, D.N. Aidit. Bahasa yang digunakan Sobron Aidit sederhana, mudah dimengerti, namun memiliki kedalaman—sejauh kedalaman pengalamannya. Jadi, pengalaman hidup yang demikian matang membuat cerpen dan memoar Sobron Aidit terasa berisi.
Cerpennya yang berjudul “Prajurit yang Bodoh” dalam buku yang berjudul sama, saya pikir merupakan cerpen yang menarik. Karena, tokoh-tokoh dalam cerpen ini seperti “berbicara sendiri” kepada pembacanya. Ceritanya sangat sederhana, namun sangat mengena di hati pembaca. Seorang anak yang bernama Kasim, 12 tahun, yang berjualan kue mendapat tugas oleh ayahnya, Talip, seorang gerilyawan untuk menghitung kekuatan tentara fasis yang berada di sebuah bandara. Suatu hari, komandan tentara itu “keceplosan” menyebutkan jumlah prajuritnya, sehingga informasi ini sampai ke tangan gerilyawan. Dan, suatu malam, bandara itu dapat ditaklukkan dengan mudah oleh para gerilyawan. Itulah sindiran Sobron Aidit (2006) dalam cerpen “Prajurit yang Bodoh”.

Citayam, 5 Oktober 2009

Minggu, 04 Oktober 2009

Basuki Resobowo, Chairil Anwar, dan Lukisan Perempuan Telanjang



oleh Asep Sambodja

Saya mengenal nama Basuki Resobowo dari puisi Chairil Anwar yang berjudul “Sorga”. Puisi ini berkisah tentang keinginan aku-lirik untuk masuk surga, sebagaimana nenek-moyangnya menginginkan surga, karena menurut Masyumi dan Muhammadiyah, di surga itu ada sungai susu dan penuh bidadari. Namun, sang aku-lirik merasa ragu: apakah benar di surga ada bidadari? Dan, kalaupun ada, apakah “suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?”
Saya tidak tahu latar belakang penciptaan puisi itu. Begitu juga kaitannya puisi dengan pelukis Basuki Resobowo. Namun, setelah membaca Bercermin di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat karya Basuki Resobowo (2005), barulah saya tahu latar belakang penciptaan puisi “Sorga”. Sebelum menjelaskan latar belakang itu, ada perlunya kita membaca puisi Chairil Anwar ini secara utuh.

Sorga
buat Basuki Resobowo

Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?

Malang, 25 Februari 1947

Pada 1947, Basuki Resobowo mengadakan pameran lukisan di Jakarta. Basuki merasa bangga karena dia adalah pelukis pertama Indonesia yang memamerkan lukisan perempuan telanjang. Kebetulan Chairil Anwar mengunjungi pameran lukisan itu. Kemudian ketika Chairil Anwar dating ke Yogyakarta, ia menemui Basuki Resobowo dan berkata, “Bas, aku berhenti berdiri ada 10 menit di muka lukisan telanjang.”
Lalu Basuki Resobowo menceritakan bagaimana hubungannya dengan model itu. Chairil langsung memeluk Basuki dan berteriak, “Hebat kau Bas, semua yang kau ceritakan ada dalam lukisan itu.”
Dalam buku esai yang bergaya sastra ini Basuki Resobowo memang berbicara tentang banyak hal, termasuk model perempuan telanjang dalam lukisannya. Itu adalah kisah nyata. Perempuan itu adalah salah satu dari mbok-mbok bakul sayur dari desa yang berjualan di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Mbok-mbok bakul itu, termasuk Irah, sering beristirahat di sanggar pelukis Yogya di Alun-alun Lor. Irah ini berbeda dengan mbok-mbok bakul lainnya. Ia terlihat lebih genit. Hingga suatu malam, Basuki Resobowo menidurinya dan ia pasrah lega lila seperti Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem Linus Suryadi Ag.
Ketika Basuki Resobowo memintanya untuk menjadi model telanjang dalam lukisannya, Irah menjawab, “Ah, malu ditonton.”
Setelah dibujuk bahwa ia akan mendapat uang khusus untuk digambar telanjang, akhirnya ia mau menjadi model telanjang pelukis Basuki Resobowo. Saat Irah menjawab, “Iya boleh, saya mau.” Seketika itu pula Basuki Resobowo langsung mencium bibirnya.
Basuki menulis:

“Keesokan hari Irah dilukis telanjang di ruang dalam, tempat buat tidur. Di sini lebih aman karena bisa ditutup rapat, sehingga tidak ada orang yang bisa mengintip. Cahaya diambil dari atas dengan menggeser beberapa atap genteng.
Irah berdiri bulat di muka kita. Rasa malu masih ada, oleh karena itu berdirinya tidak tegap dan melongoskan mukanya ke kanan sambil memandang ke bawah tanpa arah tujuan. Untuk menghilangkan kekikukan dipilih sikap yang enak dan bebas. Dia berdiri bersandar pada satu kaki, sedang satu kakinya dilepas dari jejak berdiri. Kedua lengannya bebas terkulai melekat di badan menurut garis gemulai dari tubuh wanita dengan pinggang yang tertarik sedikit ke atas karena tersanggah oleh kaki yang menjadi sandaran berdiri.
Dari sudut penglihatan, adegannya mengingatkan adegan wanita dari relief-relief di Candi Borobudur. Sikap berdiri bersandar atas satu kaki dengan muka miring dan pandangan jauh tunduk ke bawah, adalah pola adegan ketimuran, bukan pola Yunani yang menjadi standar seni Barat.
Ketika dalam melukis sampai waktunya harus dengan cermat mengamat-amati tubuh model, perasaan saya tercengang oleh kulit dari wajah Irah yang penuh dengan rautan yang memperjelas rintihan hidup. Buah dada yang menggantung lelah, perut kembung yang melongsor ke bawah karena kehabisan urat-urat daya tahan, menjadi kesaksian getir hidup. Hanya kerlingan mata Irah yang masih mengajak kita mengubur rasa haru dan lari dalam ramah semalam.” (Resobowo, 2005).

Ah, Basuki Resobowo bisa saja! Peristiwa itu sudah lama berlangsung, saat Basuki Resobowo masih berusia muda. Dan ia menulis esai-esainya itu saat usianya 73 tahun. Betapa Basuki Resobowo masih mengingatnya dengan detail. Gara-gara lukisan perempuan telanjang itulah Basuki Resobowo dihadiahi puisi oleh Chairil Anwar. Puisi yang berjudul “Sorga”.
Cerita tentang lukisan perempuan telanjang—yang sekarang sudah hilang—itu hanyalah sebagian peristiwa yang diingat oleh Basuki Resobowo, yang mengakhiri masa tuanya di Amsterdam, Belanda. Ia menulis buku Bercermin di Muka Kaca ini karena ia mendapat surat dari istrinya yang menyebutkan bahwa sahabatnya, S. Soedjojono mengatakan “Melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan. Kalau mau melukis di mana saja bisa, tidak usah dikatakan kalau tidak berada di Indonesia sukar melukis.”
Basuki Resobowo yang masih konsisten dengan sikap kesenimanannya menolak pendapat Soedjojono itu. Baginya, berkesenian tidak bisa dipisahkan dari politik, karena seni tidak boleh lepas dari alam kehidupan di masyarakat. “Tanpa komitmen sosial tidak akan lahir seni lukis Indonesia modern dalam arti meninggalkan yang kolot (konservatif dan formalistis) serta melangkah ke pandangan baru yang sesuai dengan jiwa kehidupan yang menghendaki kebebasan dan kemartabatan manusia.” (Resobowo, 2005).
Masa tua Basuki Resobowo adalah hari-hari terakhir seorang bohemian yang hidup “menggelandang”. Ia bisa menerima dan membiarkan istri dan anaknya hidup “berjarak” dengannya, karena keluarga yang berhubungan dengan seniman Lekra atau PKI akan mengalami kesulitan hidup di Zaman Soeharto (1966-1998). Basuki bahkan tidak dikehendaki pulang ke Indonesia oleh istrinya, meskipun ia sangat ingin menginjakkan kakinya di Indonesia.
Ia meninggal di negeri asing dalam usia 82 tahun. Meminjam kata-kata Chalik Hamid, kematian seorang eksil atau emigran politik tidak ada yang menangisi.

Citayam, 2 Oktober 2009