Jumat, 09 Oktober 2009

Sobron Aidit dan Buku yang Dipenjarakan


oleh Asep Sambodja

Bagaimanakah caranya agar kita bisa membaca buku-buku terlarang—terutama yang dilarang Rezim Orde Baru? Sobron Aidit (2006) dalam buku yang berjudul Buku yang Dipenjarakan: Memoar Orang Terbuang menjelaskan bagaimana temannya bisa membaca buku-buku terlarang itu. Pertama, orang itu harus memiliki surat tanda bebas G30S/PKI yang dikeluarkan oleh kelurahan dan militer setempat.
Kedua, untuk bisa membaca buku-buku terlarang—termasuk karya sastrawan Lekra—orang itu harus mengantongi izin dari Kepala Perpustakaan Nasional. Lalu, surat itu harus dikuatkan dengan izin dari Menteri Pendidikan Nasional (dulu namanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Kalau izin dari menteri itu sudah turun, harus mendapatkan izin dari Kejaksaan Agung. Tidak cukup sampai di situ; setelah mendapat izin dari Kejaksaan Agung, maka harus pula diteliti oleh Badan Intelijen Negara (BIN); apakah membahayakan negara atau tidak. Jika tidak, maka harus ada pula persetujuan dari Bakin sebagai eksekutor.
Kalau semua surat itu sudah lengkap, barulah diserahkan kepada Kepala Perpustakaan Nasional kembali. Dan, orang itu akan dibawa ke sebuah ruangan tempat penyimpanan buku-buku terlarang itu. Buku itu tidak boleh dipinjam, apalagi difotokopi. Buku itu hanya boleh dibaca di dalam ruangan itu. Dan, si pembaca dikunci dalam ruangan yang berjeruji itu. Jadi, sepanjang Orde Baru, yang dipenjara bukan hanya sastrawan-sastrawan Lekra saja, buku-bukunya pun dipenjara,
Kini sedikit demi sedikit buku-buku yang dilarang dan ditakuti Rezim Orde Baru itu sudah mulai bermunculan. Di antaranya terhimpun dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 dan Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Dalam kedua buku itu bisa kita temui karya-karya Sobron Aidit.
Dalam memoarnya yang lain, yakni Gajah di Pelupuk Mata, Sobron Aidit (2002) menjelaskan bahwa ia termasuk sastrawan generasi 1950-an. Sastrawan lain yang menulis di zamannya adalah Ajip Rosidi, S.M. Ardan, Rijono Pratikto, Sukanto S.A., W.S. Rendra, Ramadhan K.H., Nugroho Notosusanto, A.S. Dharta, Hr. Bandaharo, Agam Wispi, Aziz Akbar, S.W. Kuncahyo, Sabar Anantaguna, Boejoeng Saleh, Rivai Apin, dan Nyoto.
Puisinya yang dimuat dalam Gugur Merah memperlihatkan ideologinya yang sangat kental. Dalam puisi “Aku dan Keyakinan”, Sobron Aidit (2008) menulis demikian:

Otakku, hatiku, jantungku
Segalaku, hanya satu
Hanya partai
Itu saja

Dada kepalaku Marxis
Diriku Leninis
Berpadu dalam satu deretan

Sikap penyair seperti ini sangat jelas—sebagai sikap yang distingtif terhadap lawan partainya. Sikap yang jelas dan terbuka semacam ini disadari atau tidak bisa membuat repot sang penyairnya. Dalam memoar Buku yang Dipenjarakan, Sobron Aidit menceritakan bagaimana ia selalu diikuti oleh intel-intel selama ia berada di Indonesia pada 1990-an. Bahkan ketika Partai Rakyat Demokratik (PRD) dijadikan kambing hitam dalam peristiwa 27 Juli 1996, nama Sobron Aidit pun disangkutpautkan pula. Panglima TNI Feisal Tandjung menyebutnya sebagai Ketua Bagian Luar Negeri PRD. Padahal, menurut Sobron, itu tidak benar sama sekali.
Cerpennya yang berjudul “Dokter Tjoa” dalam buku Laporan Dari Bawah memperlihatkan bahwa Sobron Aidit (2008) mengutamakan pesan yang ingin disampaikan melalui cerpen tersebut. Dalam cerpen itu, Sobron ingin mengatakan bahwa orang yang patut dihormati itu bukan orang yang memiliki jabatan tinggi, melainkan orang yang mau peduli terhadap orang-orang kecil, meskipun orang itu keturunan China sekalipun. Gaya bercerita Sobron Aidit memang seperti orang yang mendongeng; tokoh-tokohnya tidak dibiarkan “berbicara sendiri”. Sebagian besar cerpennya menggunakan gaya penceritaan seperti itu, bahkan dalam memoar-memoarnya pun gaya seperti itu tetap dipergunakan Sobron Aidit.
Dalam buku Razia Agustus, Sobron Aidit (2004) tetap mempergunakan gaya bercerita yang mirip orang mendongeng. Pembaca hanya memiliki ruang sempit untuk berimajinasi dengan tokoh-tokohnya maupun dengan jalannya cerita. Namun, yang tampak menonjol dalam kumpulan cerpen Razia Agustus dan juga dalam memoar Gajah di Pelupuk Mata dan Buku yang Dipenjarakan adalah rasa hormat Sobron Aidit pada kakaknya, Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC Partai Komunis Indonesia. Berikut saya kutip tiga alinea dari cerpen “Razia Agustus”:

Sejarah menjadi lain. Belasan tahun sesudah itu Bang Amat dikabarkan gugur di dekat Boyolali dalam perjalanan penahanannya ke ibukota. Orang-orang bilang waktu itu “disembur logam panas.” Jangankan jasad, nisannya pun tak berjejak. Bang Amat yang hidupnya terutama untuk orang banyak, untuk rakyat, telah tiada. Ia benar-benar telah pergi, bukan menyamar, bukan lari ke luar negeri.
Sementara itu, banyak orang mengaku bahwa diri merekalah yang menghabisi nyawa Bang Amat. Seorang jenderal, misalnya, mengatakan di depan umum bahwa dialah yang menamatkan hidup Bang Amat. Tapi ada lagi serdadu lain yang mengatakan, bukan sang jenderal, namun justru sang serdadulah yang menembak abangku itu. Aku tahu betul, ia tak pernah jauh dari rakyat. Dan bersamanya pergi adalah ratusan ribu jiwa lainnya dalam suatu huru hara pembalasan dendam politik di tanah airku.
Abangku tersayang, tak kan kusua kembali. Kapan pun…. Namun aku memahaminya. Keprihatinannya yang mendalam atas nasib wong cilik pasti telah diwariskannya kepada siapa saja. Juga kepadaku, jauh hari sebelum peristiwa berdarah di tahun 1965 itu. Ketika pintu kamar pondokanku berirama ketokan dua-dua satu: Tok-tok… tok-tok… tok! (Aidit, 2004).

Bang Amat adalah panggilan Sobron Aidit kepada abangnya, D.N. Aidit. Bahasa yang digunakan Sobron Aidit sederhana, mudah dimengerti, namun memiliki kedalaman—sejauh kedalaman pengalamannya. Jadi, pengalaman hidup yang demikian matang membuat cerpen dan memoar Sobron Aidit terasa berisi.
Cerpennya yang berjudul “Prajurit yang Bodoh” dalam buku yang berjudul sama, saya pikir merupakan cerpen yang menarik. Karena, tokoh-tokoh dalam cerpen ini seperti “berbicara sendiri” kepada pembacanya. Ceritanya sangat sederhana, namun sangat mengena di hati pembaca. Seorang anak yang bernama Kasim, 12 tahun, yang berjualan kue mendapat tugas oleh ayahnya, Talip, seorang gerilyawan untuk menghitung kekuatan tentara fasis yang berada di sebuah bandara. Suatu hari, komandan tentara itu “keceplosan” menyebutkan jumlah prajuritnya, sehingga informasi ini sampai ke tangan gerilyawan. Dan, suatu malam, bandara itu dapat ditaklukkan dengan mudah oleh para gerilyawan. Itulah sindiran Sobron Aidit (2006) dalam cerpen “Prajurit yang Bodoh”.

Citayam, 5 Oktober 2009

Tidak ada komentar: