Selasa, 27 Oktober 2009

Mengoyak Puisi-puisi Asep Sambodja pada Notes Facebook



oleh Cunong Nunuk Suraja

Bukan Asep Sambodja kalau tidak dapat menyelaraskan wacana bacaan yang
terekam dalam memori kreatif dan ungkapan dalam karya kreatif pekerja penggiat sastra. Bukan Asep Sambodja kalau tidak menawarkan semacam penyucian diri atas apa yang telah mendaki dalam memori hasil studi kelayakan setiap karya kreatif para pendahulunya.

Dalam lima puisi yang terekam ini hampir semua menggunakan bayangan pikiran penyair yang ditulisnya, seperti Penembahan adalah salah satu judul drama, Mempertimbangkan adalah salah satu buku kumpulan esai yang membongkar tradisi suku, sedang judul yang lain merupakan harapan atau tanggapan aku lirik pada peristiwa Rendra.

Apa harapan aku lirik pada penokohan Rendra:

penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
yang lupa diri
yang rakus
dan tamak
(“Panembahan Rendra”)

kau tampilkan teater minikata
untuk melindungi kata
dari polusi mulut-mulut knalpot
dari bising kata
……
kau bikin perkampungan kaum urakan
di Parangtritis
membebaskan orang-orang berteriak
dan menangis
pada laut

berteriak melawan gelombang
dan angin selatan

melawan belenggu
diam membisu
(“Mempertimbangkan Rendra”)

untuk bicara apa adanya
menguak sarang laba-laba
di lembaga wakil kita
menguak pejabat-pejabat korup
dan suka melacur
dan sebagainya dan seterusnya
dan siap dipenjara
(“Kita Butuh Seribu Rendra”)

Demikian Asep Sambodja mencoba merintihkan pinta pada sosok Rendra dalam baris-baris puisinya.

Berikutnya menelusuri lima sajak Asep Sambodja seperti menggenggam Rendra sesaat Rendra dinyatakan telah mangkat. Seperti “Oedipus Berpulang”, drama gubahan dari karya Sophocles, peristiwa Rendra menjadi upacara yang melebar sampai dunia. Asep Sambodja dengan cerdiknya mengakalinya dalam bait yang menginfiltrasi sajak Chairil Anwar maupun cerita pendek yang menyerukan “rumah masa depan” yang berukuran satu centimeter kali tiga centimeter:

di Citayam, di Citayam
kau akan dikenang
sepanjang siang
sepanjang malam
selamanya kan kukenang
(“Di Citayam Rendra Bersujud”)

Asep Sambodja memang jeli dalam hal menginfiltrasi sajak dengan pengalaman lamanya yang menunjuk pada SDD yang menjadikan trauma kehidupan kampusnya yang senantiasa seperti ditabrakkan pada cermin yang memantulkan luka kreativitas yang berdarah karena harus meruncat diri dalam harakiri ruh puisi sang guru. Asep makin piawai meramu segi dan sigi yang lebih menancap pada imaji yang cukup menyeret nyaliku untuk tidak menuduh plagiat ataupun jiplakan atau contekan kreatif. Ungkapan beriku misalnya untuk menyontohkan kepiawaian Asep:

ketika penyair-penyair salon
bicara tentang konde dan sisir
dan bibir dan hati murung
dan tak tahu derita rakyat
Rendra bicara apa adanya
tentang DPR yang tertutup sarang laba-laba
tentang pendidikan yang jauh
dari persoalan kehidupan
tentang orang-orang kepanasan
tentang pelacur-pelacur Jakarta
yang disuruhnya mlorotin
moral dan duit dan celana pejabat
dan ia dipenjara
(“Kita Butuh Seribu Rendra”)

Bagi penggila Rendra seperti juga penggila Elvis, Beatles, Queen maupun group musik lokal akan dengan cepat menyahut begitu getar melodi intro atau overture sebuah lagu mendayu demikian kesan yang timbul pada sayatan pertama, ketika meraba-rabai kelima sajak yang kemungkinan lahir sewaktu. Asep memang jagonya seperti Bento (lagu Iwan Fals) yang dengan menyebut tiga kali namanya maka keajaiban akan terjadi, demikian juga sajak-sajak Asep yang bertebaran di facebook maupun mailing list dan blog (asal jangan terpeleset kata bahasa Inggris GoBlog!)

Tapi ada sebuah anomali dengan puisi Asep Sambodja yang buncit alias kelima sesuai falsafah Pancasila yang sakti, rukun Islam yang menuntut untuk melakukan ibadah ke tanah suci sekali seumur hidup demikian pula puisi yang kelima:

Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama
(“Makam Penyair”)

Dan ini sangat dekat dengan sajak yang baru muncul di FB:

Kepada Medy Loekito

bahwa kita akan mati itu sudah pasti
tapi siapa bersamamu menjengukku?
menjenguk rangkaku?

aku tahu ada nonny, anggoro, tulus…
ada endo, badri, arumdono…
tapi siapa yang bersamamu?
penyairkah?
penyihir? semacam peri?

bahwa kematian itu kepastian dalam hidup
malaikat pun tahu
penyair tua pun tahu
tapi apa yang kau berikan padaku
lewat belaian jemarimu itu?
lentik jarimu itu?
apa yang kau ucapkan dalam diammu?

ada yang kau lekatkan di keningku
saat kau sedih katakan:
“mas asep sakit, bung saut sakit…”

hidup seperti sebuah puisi
yang harus segera diselesaikan

Citayam, 26 Oktober 2009

Begitu akrabnya kematian Subagio Sastrowardoyo atau Chairil Anwar yang selalu menantangi kematian. Penyair kelahiran kota bakso Solo atau kota ujung hidupnya pentolan teroris berwarganegara Malaysia Nurdin M. Top dan telah merambahi jalan pedang wartawan dan berlabuh di dermaga Fakultas Ilmu Budaya memang pantas diberi tanda dagang (trade mark) nJawani yang selalu “mikul duwur dan mendem jero” terutama pada peristiwa budaya Rendra berpulang. Walau Asep yang dosen Susastra FIB-UI ini cukup berani meluruhkan falsafahnya yang jauh dari nJawani:

hidup seperti sebuah puisi
yang harus segera diselesaikan

Retorika abadi aku lirik yang terasa di lidah Jawa yang sangat kejawen.

(Janjiku hanya mampu di sini Tuan Penyair!)
Bogor gemuruh dalam perutku yang sedang terganggu asam lambungnya (ataukah ini semacam satra perut?), sehingga menjadi langkah cepat bolak balik ke rest-room di dekat kamar tidur.

27 Oktober 2009

Tidak ada komentar: