Jumat, 09 Oktober 2009

Amarzan Ismail Hamid dan Tahun Vivere Pericoloso



oleh Asep Sambodja

Ada yang menarik dari sastrawan Amarzan Ismail Hamid ini. Ia menulis puisi dan cerpen dengan judul yang sama, “Boyolali”. Keberpihakan Amarzan pada petani-petani yang ditembak mati sangat jelas dan tegas. Bahwa petani-petani itu menuntut haknya untuk memiliki tanah garapan sendiri sesuai dengan anjuran Presiden Soekarno.

Dalam cerpen semi esai “Boyolali” yang terhimpun dalam buku Laporan Dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, Amarzan Ismail Hamid (2008) menulis demikian:

Kenyataannya demikianlah. Masih ada petani ditembak. Masih ada petani diteror. Masih selalu petani difitnah. Dan itu semua terjadi ketika Tavip sudah mengumandangkan di angkasa tanah air, menggugah setiap hati yang mau sungguh-sungguh memenangkan revolusi.
“Ketaon” tidak berdiri sendiri! “Ketaon” bukanlah suatu peristiwa kebetulan! “Ketaon” adalah rangkaian peristiwa yang sudah direncanakan untuk meneror kaum tani, untuk memprovokasi kaum tani, untuk menyerimpung landreform, menyerimpung UUPA dan UUPBH, menyerimpung Undang-undang pemerintah yang sah!
(Hamid, 2008).

Tavip yang dimaksud Amarzan dalam cerpen itu adalah Tahun Vivere Pericoloso (Tavip)—sebuah istilah dari Italia yang berarti ‘hidup menyerempet-nyerempet bahaya’. Tavip ini didengungkan Presiden Soekarno pada HUT ke-19 Republik Indonesia, 17 Agustus 1964, untuk melawan imperialisme.

Sementara “Ketaon” adalah suatu tempat di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, tempat tertembaknya tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo. Peristiwa penembakan ini terjadi pada 18 November 1964 di atas tanah milik tuan tanah Wirjowiredjo.
Amarzan sebagai cerpenis menilai penembakan itu merupakan upaya untuk mengkhianati landreform, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). Program landreform ini dicanangkan Presiden Soekarno untuk kepentingan kaum Marhaen (wong cilik), termasuk di dalamnya para petani. Sebab, menurut Bung Karno sebagaimana dikutip Amarzan dalam cerpen semi esainya, “Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan omong besar tanpa isi.”

Program landreform mendapat dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, tidak mendapat dukungan dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI)—keduanya dianggap sebagai pendukung keberadaan modal asing di Indonesia. Program landreform itu juga mendapat penolakan dari pihak tuan tanah-tuan tanah yang merasa terancam dengan program tersebut dan dari Angkatan Darat yang merupakan lawan politik PKI.

Dalam buku Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, Andi Achdian (2009) kesepakatan blok politik Nasakom (Soekarno/PNI-NU-PKI) di tingkat elite tidak bekerja pada tingkat massa petani. Program landreform ini mengalami kegagalan karena birokrasi di tingkat bawah tidak berjalan dengan baik dan pada tataran massa rakyat pun terjadi radikalisasi. Dalam bahasa Daniel Hutagalung (dalam Achdian, 2009), “Blok politik Soekarno dengan Nasakom pun gagal mengkonstruksi hegemoni yang bersifat nasional. Kegagalan inilah yang membuat proyek politik Soekarno bisa dipatahkan di tengah jalan.’

Cerpen “Boyolali” Amarzan Ismail Hamid ini memperlihatkan bagaimana program landreform yang tidak berjalan mulus di tingkat bawah. Bahkan para petani yang merasa berhak untuk mendapatkan tanah melakukan aksi sepihak terhadap tanah milik tuan tanah—yang menurut PKI merupakan salah satu dari tujuh setan desa. Akibatnya, tuan tanah “memanfaatkan” militer untuk menghalau aksi sepihak yang dilakukan para petani itu. Dan, terbunuhnya tiga petani di Boyolali itu menjadi tragedi nasional.

Dalam puisi dengan judul yang sama, “Boyolali”, Amarzan memperlihatkan empatinya yang demikian besar pada ketiga korban penembakan itu. Dari 15 puisi Amarzan yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965, saya merasakan adanya suara yang khas. Dalam arti, suara yang dituturkan Amarzan dalam puisi-puisinya tidak meledak-ledak sebagaimana yang saya temui dalam sebagian puisi penyair-penyair Lekra. Bahwa pesannya antiimperialisme, mendukung revolusi, dan membela orang-orang kecil, hal itu juga sangat tampak dalam puisi-puisi Amarzan Ismail Hamid. Hanya saja, diksi yang digunakan Amarzan sangat khas seperti nyanyian. Berikut saya kutip puisi “Boyolali” secara lengkap.

Boyolali

I

Boyolali!
kembali suatu nama
dihujamkan dengan darah
ke jantung kaum tani

Menggigillah langit
menggigillah sawah dan ladang
padi di lumbung
ikan-ikan di kolam
sebab angin telah mengantarkan
berita busuk itu
kaum tani ditembaki
tiangprajangga kehidupan
--ditembaki:

Jumari
Partodikromo
Sonowiredjo
tiga dari jutaan bintang
Barisan Tani
rebah berdarah di atas tanah
kampung halaman

II

Boyolali!
kembali teladan indah
dinukilkan dalam sejarah
Barisan Tani
dan pahit bagai empedu
angin menyampaikan kabar berita
ke kota dan desa nusantara
telah ditembakkan senjata lagi
ke jantung kita
ke jantung ibu bapak kita
bergetar udara
menaruh kemarahan yang tersimpan
bergetar kenangan
ke tahun empat lima
ke desa dan lembah gunung
ke kaum tani yang menyongsong
menghangatkan dan menghidupi
revolusi!

Ditembaki!
ya, ditembaki!
lalu kemana kemerdekaan
kemana revolusi disembunyikan?

Jangan titikkan airmata, kawan!
inilah ujian sejarah
zaman yang menepis dari kandungannya
kawan dan lawan


III

Boyolali!
tembang mencatat
di malam sepi

kalau burung di dahan
sapi di kandang
bahkan harimau di hutan rimba
kenali ibunya yang memberi makan
siapakah sesungguhnya kalian
hei, tangan berdarah?
yang telah mengacungkan senjata
menghunjamkan peluru
ke jantung ibu bapak sendiri

tenggelam malam dalam kesepian yang menekan
tapi pelita-pelita di gubuk
unggun-unggun api di pematang ladang
tak habisnya menyaksikan
berita itu disampaikan
tak habis-habisnya menyaksikan
teladan itu dibangkitkan
dan tanah air
kau pun tak akan luput menyaksikan
suatu hari
--pembebasan!

1964

Meskipun di bagian awal puisi ini digambarkan adanya tragedi, namun pada bagian akhir harus dimunculkan rasa optimisme; harus dimunculkan harapan-harapan baru, dan tidak hanyut dalam duka lara. Karena, demikianlah kebanyakan sastrawan Lekra menjalankan konsep berkesenian mereka. Dalam hal ini, Amarzan Ismail Hamid (atau yang sekarang dikenal sebagai Amarzan Lubis di majalah Tempo) mencoba “Turba” (turun ke bawah) dengan menghayati penderitaan rakyat, penderitaan petani-petani Boyolali, dan mencoba mengintegrasikannya ke dalam dirinya. Dan, puisi “Boyolali” di atas merupakan proses internalisasi yang telah dijalani oleh Amarzan.

Citayam, 6 Oktober 2009

Tidak ada komentar: