Jumat, 23 Oktober 2009

Catatan buat Pusat Bahasa



oleh Asep Sambodja

Saya tidak tahu, apakah Pusat Bahasa mengundang Remy Sylado, Riris K. Toha Sarumpaet, Mariana Amiruddin, dan Veven Sp. Wardhana dalam acara peluncuran 10 novel berbahasa Indonesia itu untuk mencaci-maki produk Pusat Bahasa itu atau untuk memprovokasi peserta diskusi agar bergairah membaca buku-buku tersebut. Yang terjadi, kedua sastrawan dan kedua pengamat sastra itu memberi kritik (untuk tidak mengatakan caci-maki) yang sangat pedas pada Pusat Bahasa.
Dalam acara diskusi “Sepuluh Novel Berbahasa Indonesia” yang diselenggarakan pada 22 Oktober 2009 di Pusat Bahasa itu diluncurkan 10 novel yang diterbitkan Pusat Bahasa. Ke sepuluh novel itu adalah Gandamayu, Cinta Perempuan Terkutuk (Putu Fajar Arcana), Arjunawijaya (Hamsad Rangkuti), Mengasapi Rembulan (Agus R. Sarjono), Rara Beruk (Suyono Suyatno), Kisah Tuhu dari Tanah Melayu (Abidah El Khalieqy), Mundinglaya Dikusumah (Gola Gong), Janji yang Teringkari (Imam Budi Utomo), Lubdaka yang Berkelebat (Yanusa Nugroho), Kundangdya (Oka Rusmini), dan Kakawin Gajah Mada (Kurnia Effendi).
Dalam diskusi tersebut, sastrawan Veven Sp. Wardhana mengatakan, kalau dilihat dari sudut industri kreatif, cover buku 10 novel itu tidak menarik. Ketika buku-buku itu diberikan kepada anak-anaknya, mereka bertanya, “Ini buku terbitan kapan? Tahun 50-an atau 60-an?” Dari segi industri kreatif ini, buku-buku tersebut akan “gulung koming” di pasaran buku; atau sekadar menjadi pajangan di rak toko buku.
Riris K. Toha-Sarumpaet mengatakan bahasa yang digunakan dalam buku-buku itu sangat jorok, dalam arti kesalahan ejaannya sangat mengganggu kenikmatan membaca. Selain itu, penceritaannya tidak menarik; masih seperti silsilah raja-raja, tapi kurang bercerita. “Untuk orang dewasa saja tidak menarik, apalagi untuk anak-anak,” kata Guru Besar FIB UI ini.
Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan, Mariana Amiruddin, mempertanyakan kenapa Pusat Bahasa mengangkat cerita-cerita lama itu di masa sekarang ini, kenapa bukan karya sastra yang mengangkat lokalitas dan persoalan-persoalan kontemporer. Karena, persoalan kontemporer pun menarik untuk diangkat dalam sastra, seperti peristiwa Mei 1998 dan tragedi 1965-1966.
Novelis dan penyair Remy Sylado menguliti novel-novel itu dari segi bahasanya, yang kekacauannya sangat “centang perenang”. “Penulis tampak sekadar menulis ulang cerita-cerita lama, dan menuliskannya secara sekadar pula. Editor bahasa maupun korektor bahasa juga tidak sungguh-sungguh memperhatikan bahasa, sehingga muncul kesalahan dan ketidakkonsistenan,” ujar Remy.
Redaktur Budaya Republika Ahmadun Yosi Herfanda yang menjadi moderator dalam acara itu tampak sibuk membela produk Pusat Bahasa itu, karena dia merupakan salah satu tim editornya. Ahmadun tampaknya menerima kritikan itu sebagai masukan dan berjanji (‘janji adalah utang yang harus dibayar’) akan memperbaiki buku-buku tersebut. Dad Murniah sebagai staf Pusat Bahasa yang juga penyelaras bahasa pun menampung kritik-kritik tersebut untuk memperbaiki buku-buku itu sebelum disosialisasikan kepada masyarakat.
Rasanya aneh kalau Pusat Bahasa masih memproduksi karya sastra dengan tingkat kesalahan bahasa yang sangat parah. Aneh sekali di mata masyarakat; kenapa Pusat Bahasa yang memproduksi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) masih melakukan kesalahan yang sangat fatal seperti itu? Apakah mereka tidak menggunakan KBBI dalam melakukan penyuntingan? Kalau benar seperti itu, apa kata dunia?
Saya paham ini adalah sebuah proyek. Tapi, sejatinya proyek itu jangan dikerjakan secara asal-asalan. Hasilnya kan terlihat kemudian, bahwa ternyata, dari segi bahasanya saja, produk itu sangat memalukan. Belum lagi dilihat dari segi ceritanya. Kalau sekadar menulis ulang cerita lama dengan kemasan baru, risikonya adalah karya itu bisa dicap sebagai plagiarisme kalau pengarang aslinya tidak disebutkan. Apatah lagi soal royalti. Bagaimana mungkin Pusat Bahasa mengambil karya nenek moyang kita begitu saja dan memproduksinya secara massal? Pramoedya Ananta Toer saja memaki-maki Taufiq Ismail sebagai plagiator karena mengambil karya-karya Pram berupa esai dari harian Bintang Timur dan dimuat begitu saja dalam Prahara Budaya tanpa minta izin pada Pramoedya. “Itu merampok namanya,” kata Pram.
Agar proyek itu tidak dikatakan plagiarisme, sebaiknya cerita-cerita lama itu tidak sekadar ditulis ulang, tapi sudah direkonstruksi bahkan didekonstruksi oleh pengarang yang baru. Contoh yang baik saya kira adalah novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma. Dia mendekonstruksi cerita Ramayana. Meskipun demikian, dia mencantumkan sumber-sumber referensinya.
Dalam diskusi itu, saya menyarankan kepada Pusat Bahasa, kenapa tidak mensosialisasikan karya-karya sastra yang sudah ada sekarang ini? Karya-karya Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Linda Christanty, Veven Sp. Wardhana, Sapardi Djoko Damono, A. Mustofa Bisri, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain yang sudah teruji kualitasnya itu yang diproduksi secara massal untuk dibagikan ke sekolah-sekolah?
Dalam sambutannya, Mustaqim (?) dari Pusat Bahasa mengatakan proyek ini untuk melestarikan nilai-nilai budaya ketimuran. Itu ungkapan yang klise. Nilai-nilai Timur seperti apa yang dilestarikan? Nilai-nilai Barat apa yang ditolak? Saya justru menyarankan kepada Pusat Bahasa agar tidak alergi dengan pengaruh dari luar. Nilai-nilai Islam itu adalah salah satu pengaruh dari luar. Begitu juga nilai-nilai Kristen, Hindu, Konghucu, dan lain-lain. Sistem pendidikan yang mendominasi sekarang ini pun pengaruh dari Barat. Jadi, jangan diulang-ulanglah ungkapan seperti itu. Kita kan tidak mau jadi kodok dalam tempurung kelapa busuk.

Citayam, 23 Oktober 2009

Tidak ada komentar: