Minggu, 30 November 2008

Orang-orang Lekra Itu Cendekiawan Organik yang Dihilangkan Paksa dalam Gerakan Intelektual Indonesia



Wawancara Asep Sambodja dengan penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.


Apa yang melatarbelakangi Muhidin dan Rhoma melakukan penelitian dan kemudian menyusun buku Lekra Tak Membakar Buku?

“Lekra tak Membakar Buku” kami susun setelah melalui riset panjang tentang pers-pers yang hadir di Indonesia dari tahun 1908-2007. Dari riset ini kami temukan banyak hal yang unik dan menarik dari koran-koran Indonesia itu. Salah satunya kami bertemu dengan begitu banyak koran-koran kiri yang tumbuh dan tumbang dari masa ke masa. Salah satu koran yang kemudian cukup akrab dengan kami adalah Harian Rakjat. Koran milik Partai Komunis Indonesia ini cukup menarik dan unik dengan menyuguhkan banyak hal tentang budaya dan sastra, puisi/cerpen setiap terbitannya, film, senirakyat dan kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) difasilitasi dengan sangat mewah oleh Harian Rakyat. Keunikan inilah yang kemudian menarik-narik kami untuk meriset lembar budaya yang dimiliki Harian Rakjat.


Berapa lama Anda melakukan penelitian dan menyusun buku itu?

Ini sebetulnya buku sampingan. Karena secara bersamaan kami mengerjakan banyak sekali program penulisan/riset sejarah secara kolektif. Jadi selama 1 tahun kami melakukan riset Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Tanah Air Bahasa: Seratus Tokoh Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008 (berisi catatan tentang peristiwa hari ke hari yang tebalnya 1,7 meter), Almanak Abad Partai Indonesia, DIA.RI Partai Politik: Seratus Jalan Parlementer, dan Seabad Pers Perempuan 1908-2008. Selingan dari semua riset itu adalah trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, dan Laporan dari Bawah. Kalau dikalkulasi dalam hitungan matematis dari proses pencarian data, penulisan, edit dan cetak kira-kira memakan waktu 3,5 bulan (April-Agustus 2008).


Bisa diceritakan suka dukanya?

Proses penulisannya barangkali cukup unik. Muhidin awalnya sejak 3 tahun lalu berangan-angan ingin menulis tentang pembakaran buku Lekra yang ia ragukan bagaimana Lekra dan terutama sekali Pram yang berpikir sangat didaktik ihwal buku bisa melakukan pembakaran buku secara terbuka dan penuh sorak. Salah satu esainya DIBALIK BUKU Jawa Pos (“Lekra Membakar Buku?”) untuk memperingati 58 Tahun Lekra, ditanggapi dengan serius Taufiq Ismail yang menegaskan bahwa kabar Lekra membakari buku bukan soal remang-remang lagi, tapi terang-benderang, walau tak pernah bisa membuktikan seperti apa posisi Lekra dalam kobaran api itu. Tiga tahun berselang, bertemulah Muhidin dengan Rhoma Aria dalam tim Seabad Pers Indonesia yang memang Rhoma Aria bertugas mereview biografi koran-koran kiri/komunis yang terpilih dalam tabulasi riset. Termasuk Harian Rakjat. Nah dari diskusi yang ndak serius entah siapa yang mengawali keduanya kemudian bersepakat menulis tentang lembar kebudayaan Harian Rakjat dan Pembakaran Buku. Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah dan gampang untuk meriset koran-koran kiri. Kami mesti izin sana sini dan waktu yang diberikan cukup sempit, korannya pun dalam kondisi tak tertata dan dimakan rayap, bahkan dihiasi kotoran tikus yang aduhai baunya. Dalam waktu 3 hari (kira-kira waktu yang diberikan sebelum koran itu diangkut dan dipindah entah ke mana) kami bisa mengakses Harian Rakjat. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Pada hari ke-2 Muhidin tumbang di bawah kutukan cacar air. Karena korannya ndak lengkap kami harus mengumpulkan dari berbagai tempat dan lokasi. Setelah diverikasi barulah kami menulis. Proses inilah yang memakan energi cukup besar kurang lebih 18 jam setiap hari kami harus menulis, maklum karena buku ini ditulis oleh dua otak maka wajarlah ada sedikit-sedikit bumbu beda pendapat. Karena buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya kami lakukan sendiri. Karena anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan sebungkus rokok.

Kenapa Anda tertarik meneliti Harian Rakjat?

Sebetulnya kami tertarik dengan banyak media bukan hanya Harian Rakjat saja. Alasan utama sebetulnya pada posisi Harian Rakjat. Ia adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga sangat getol menyiarkan nyaris seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini hampir saja “dikutuk” menjadi koran budaya. Setelah menyigi dan membandingkan dengan koran Bintang Timur milik Partai Rakjat Nasional, Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.


Bagaimana dengan surat kabar atau majalah yang berafiliasi dengan PKI lainnya?

Banyak kok SK yang berbau kiri Selompret Masjarakat, Bintang Timur, Nyala, Mowo dsb. Bintang Timur sendiri, misalnya, sewaktu Kongres Lekra I, tak banyak tuh berita Lekra. Baru intensif kemudian pada Oktober 1962 sewaktu Pram masuk dalam barisan dan memunculkan lembar budaya Lentera.

Kenapa Anda memberi judul buku Lekra Tak Membakar Buku?

Mungkin ini soal minat. Kami berdua aktif di Indonesia Buku yang ideologinya adalah memang buku. Hahahaahahaha. Lagipula bab Pembakaran Buku inilah yang ditulis pertama kali. Bagian ini semacam lokomotif yang menarik bab-bab lainnya yang berturut-turut ditulis: seni musik, film, seni rupa, sastra, seni pertunjukan, mukadimah, seni tari, dan khotimah. Kalau bukan karena bab ini, barangkali tak ada buku ini. Jadi untuk memberi “penghormatan”, maka majulah bab ini menjadi judul buku yang diikuti judul kecilnya: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat.

Apakah itu tidak terlalu provokatif?

Masalah judul buku yang dipikirkan waktu itu adalah buat semenarik mungkin, dan buat orang ingin tahu isinya. Ndak ada niatan provokasi sama sekali.

Kenapa tidak menggunakan judul lain? Misalnya, Lekra dan Warga Sastra Dunia yang kesannya lebih netral?

Subbab “Warga Sastra Dunia” pun ditulis paling belakangan sebagai tambahan ketika melihat peran serta Lekra dalam Konferensi Sastrwan Asia-Afrika dalam dua kali event. Dan kali ketiga sebagai tamu pertemuan eksekutif KSAA di Bali. Dan soal netral, Lekra tak mengenal kata netral. Yang dia kenal adalah Politik adalah Panglima.

Apa reaksi Anda setelah mengetahui Gramedia tidak bersedia mendistribusikan atau menjual buku Anda?

Kaget saja sih. Tapi sudah terlatih ditolak (buku Muhidin M Dahlan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur selama 2 tahun ditolak oleh Gramedia setelah muncul reaksi negatif dari sebagian kalangan organ Muslim. Tapi setelah reda mereka baru terima lagi). Ya, anggap saja, Gramedia kan juragan buku. Di mana-mana saudagar buku tak mau usahanya digropyok oleh masayarakat lantaran benturan ideologi. Dari dulu.

Alasan apa yang membuat Gramedia melakukan hal itu?

Menurut distributor kami, Gramedia menolak karena ada “logo palu arit” dan alasan kedua SARA seperti yang tertera dalam surat perjanjian baku Gramedia dan suplier. Di mana ada unsur SARA-nya kami juga nggak tahu.


Kenapa Anda tidak bersedia mengganti gambar palu arit?

Kami sudah menutupi “palu-arit”nya dengan kertas yang dilakban. Jadi inilah edisi “Palu Arit yang Diperban”. Jelek sekali cover itu sekarang. Tapi paling tidak sebagai dokumentasi sejarah (buku), bahwa ada sebuah buku yang sampulnya babak-belur dipukuli saudagar buku….. hahahahah.


Pelajaran apa yang Anda dapati dari peristiwa ini?

Di mana-mana bahwa saudagar tetaplah saudagar. Walau pun itu saudagar buku. Jangan harap ada pemihakan ideologis. Ia akan membela sebuah kaum jika kaum itu bisa membikinnya kaya raya. Jika tidak, ya memang begitu watak saudagar.

Apa yang bisa dibanggakan dari sastrawan-sastrawan Lekra?

Orang-orang Lekra ini mewariskan kepada kita bagaimana harus berorganisasi yang kukuh. Semuanya dijalankan dengan mesin organisasi. Acuannya tentu saja bahwa dengan bersekutu dalam organisasi kita lebih kuat. Apalagi ancaman untuk situasi masa itu memang terang-benderang. Amerika menginvasi di mana-mana, termasuk Vietnam. Beberapa petinggi negara Asia-Afrika terbunuh di depan mata PBB seperti yang dialami Patricia Lumumba (Konggo). Hal lain adalah, jalan yang ditempuh oleh Lekra bukan jalan para pemabuk, orang-orang salon yang berjalan dan berkeliaran dalam masyarakat dengan langkah gontai nggak keruan. Garis kerja mereka ketat dan diputuskan lewat sebuah aturan main yang juga sangat ketat: konggres, konferensi nasional, pleno. Seluruh perkembangan kerja kolektif dievaluasi dalam pertemuan-pertemuan itu. Garis strategi ideologi kebudayaannya pun dirumuskan dengan jelas yang kemudian terangkum dalam kode: 1-5-1. Termasuk metode kerja seluruh bidang budaya yang digeluti yang kemudian menginsipirasi banyak insitusi sesudahnya untuk menirunya: Turba (turun ke bawah). Ada program Kuliah Kerja Njata, ABRI Masuk Desa…. Dan sebagainya. Bahkan di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) ada istilah Turba untuk menggambarkan pengurus besarnya mengunjungi pengurus-pengurus wilayah.

Barangkali orang-orang Lekra inilah potret nyata cendekiawan organik yang dihilangkan paksa dalam raut gerakan intelektual Indonesia.

Begitu saja dulu. Terimakasih.

Citayam, 30 November 2008

Jumat, 21 November 2008

Medy Loekito, Perlukah Seorang Ibu?






oleh Asep Sambodja



Prolog
Barangkali saya termasuk dalam kelompok yang diklaim Sapardi Djoko Damono sebagai pemburu amanat dalam membaca karya sastra, termasuk di dalamnya puisi. Tapi, saya punya alasan kuat kenapa kita harus menafsir, mengungkap makna, bahkan memberi makna pada “sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi”, seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad.
Pertama, saya sangat yakin bahwa dengan menulis puisi, ada sesuatu yang hendak disampaikan oleh penyair—sesuatu itu bisa pesan, tapi bisa juga gugatan atau protes tentang apa saja. Kedua, sesuai dengan jiwa atau hakikat puisi yang fiksionalitas dan multiinterpretasi, pembaca justru diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk menafsir. Dengan demikian, ketiga, minimal menghidupkan resepsi sastra yang sangat bergantung pada daya tangkap masyarakat pembaca terhadap karya sastra.
Tentu saja, tak dapat dipungkiri, ada sebagian puisi yang lahir dari penyair hanyalah permainan kata atau bahkan juga permainan bunyi. Saya tidak bisa mengerti, apa benar ada penyair yang hanya bermain kata-kata, tanpa menyelipkan makna dalam sajak-sajaknya. Dan terbukti bahwa puisi yang “abadi” adalah puisi yang sarat makna, seperti puisi “Zaman Edan” karya Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Berikut ini saya ingin memburu makna yang tersembunyi dalam sajak-sajak Medy Loekito yang terhimpun dalam kumpulan sajaknya yang pertama, Jakarta, Senja Hari.

Ibu
Membaca sajak-sajak Medy Loekito yang terhimpun dalam Jakarta, Senja Hari (Bandung: Angkasa, 1998), saya terantuk pada sebuah pertanyaan: perlukah seorang ibu bagi seorang manusia?
Sebuah sajak Medy Loekito yang berjudul “Kepada Rerumput Kecil” membawa saya pada pertanyaan lebih jauh lagi, berbahagiakah seorang anak dengan kasih sayang seorang ibu? Tidak itu saja, perlukah orangtua (ayah dan ibu) dalam kehidupan seseorang? Tapi, sebelum pertanyaan itu diteruskan dan sebelum pertanyaan-pertanyaan itu mendapatkan jawab, ada baiknya kita membaca sajak yang mengejutkan itu.

Kepada Rerumput Kecil

aku rimbun pohon kulindungi kau seperti jubah-jubah
kulumat hujan jadi embun kutangkap terik jadi cahaya
tiap kali setia kubawa berita gejolak dunia
yang kuintip lewat jari-jari pucuk daun tersayat
kubiarkan menjadi cerita Cinderella
hingga tidurmu senyum

Sebuah sajak yang menyentuh perasaan seorang “anak” ini, kita tahu, menggambarkan perjuangan maupun pengorbanan seorang ibu yang menyayangi dan melindungi anak-anaknya. Bahkan, kerasnya kehidupan di dunia (juga kehidupan di akhirat?—karena di sana pun masih ada sebuah kekerasan yang dinamakan neraka) disulapnya menjadi cerita Cinderella untuk (apalagi kalau bukan) meninabobokan sang anak.
Saya termasuk orang yang menghormati perjuangan, pengorbanan, dan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Terlebih pengorbanan yang diberikan adalah pengorbanan jiwa atau nyawa, seperti yang digambarkan Asrul Sani dalam sajak “Elang Laut” (lihat Mantera, Jakarta: Budaya Jaya, 1975).

Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya

Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?

Bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runjam
karang putih,
makin nyata.

Sekali ini jemu dan keringat
tiada akan punya daya
tapi topan tiada mau
dan mengembus ke alam luas

Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi

Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi
Satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara

Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala
senyap pula,
berkata pemukat tua:
“Anjing meratapi orang mati!”

Elang laut telah
hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak kemana dia
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan
berkata:
“Ibu kami tiada pulang.”

Sajak “Elang Laut” karya Asrul Sani yang saya kutip secara lengkap di atas seperti menegaskan bahwa tanpa kehadiran seorang ibu, anak-anak (bayi-bayi) akan jatuh membangkai, mati!
Benarkah tanpa seorang ibu, seorang anak bisa mati? Bukankah sering dikatakan orang bahwa kematian itu di tangan Tuhan? Kenapa Adam yang turun tanpa ayah dan ibu bisa hidup cukup lama dan berkembang biak? Demikian pula nabi Muhammad yang mengisi hidupnya di masa kanak-kanak sebagai yatim piatu? Apa yang diperlukan dari seorang ibu, kalau begitu.
Dan, kasih sayang yang diberikan kepada sang anak, pada akhirnya, menjadi beban yang tak terbayarkan atau terlunaskan, seperti yang diajarkan sejak kecil melalui lagu anak-anak ini:

kasih ibu kepada beta
tak terkira sepanjang masa
hanya memberi tak harap kembali
bagai sang surya menyinari dunia

Atau, memakai bahsa Medy Loekito, seorang ibu akan merajut mimpi-mimpi anaknya dengan segenap airmata bunda dan disuapinya lapar sang anak dengan jiwa yang lari ke awan-awan.

Anakku (1)

(anakku berusia sembilan tahun
cantik dan mungil seperti bunga rumput)

“Mama, apa bekal hari ini?”
maka kucium ia
dan kupintal rambut hitamnya dengan karet bekas
sambil kusisipkan cium-cium dan cinta-cintaku

“Mama, ulang tahunku esok
akankah ayah datang bawa baju baru?”
maka kurajut mimpinya
dengan airmata
dan semangat kenangan yang memudar

(anakku berusia sembilan tahun
cantik dan saleh seperti butir tasbih di masjid)

Dan sajak ini:

ketika dadanya kering dari air susu
disuapinya lapar anaknya
dengan jiwa
yang lari ke awan-awan
meremasnya jadi air-air susu
(“Pengemis Perempuan dan Anaknya”)

Jika benar lagu itu, bahwa seorang ibu “hanya memberi tak harap kembali”, kenapa harus ada kutukan pada Malin Kundang? Benarkah kutukan itu hanya balas dendam karena tidak adanya pengakuan? Atau dia tidak merasakan keberhasilan yang telah diraih Malin Kundang?
Apakah seorang anak yang dilempar di pinggir jalan atau ditelantarkan di depan pintu rumah panti asuhan atau bahkan dibunuh dengan cara aborsi bisa mengutuk orangtuanya?
Sajak “Kepada Rerumput Kecil” karya Medy Loekito di atas menjadi stimulus bagi pembaca untuk mencermati kembali peran seorang ibu terhadap anak-anaknya. Dan betapa bahagia memiliki ibu seperti yang digambarkan Medy. Tapi, sampai kapan kebahagiaan itu berlanjut.
Ketika sang anak sudah bisa berpikir dan mencoba mengenali diri sendiri, batas antara kasih sayang, mengarahkan, menganjurkan, menyarankan, dan melarang itu menjadi kian tipis dan terputus. Bisa jadi dengan alasan kasih sayang, seorang ibu melarang anaknya untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, dengan memberi saran atau anjuran, sang ibu sebenarnya melarang atau membatasi sang anak untuk menentukan pilihannya sendiri. Lihat sajak “Menatap Lukisan Anakku” yang saya kutip secara utuh.

Menatap Lukisan Anakku

(bergulir bulan dari bukit ke bukit)
“anakku, anakku,
jangan biarkan bukit melumat bulan
nanti gelita alam oleh tangisan langit”

(berdebam matahari di tepi kali)
“anakku, anakku,
jangan biarkan mentari ditelan kali
nanti gelita alam oleh gairah yang mati”

Hubungan manusia dengan manusia lainnya memang fluktuatif, kadang cinta kadang benci, kadang suka kadang sebel, atau di dunia politik bisa terjadi hari ini kawan besok jadi lawan, demi kekuasaan. Dari kisah Malin Kundang, sang ibu tidak lagi berperan sebagai sekadar ibu, tapi lebih sebagai penguasa yang memiliki hak prerogatif untuk menjadikan anaknya sebagai batu. Demikian pula dengan seorang sahabat nabi Muhammad yang mengalami sekarat yang panjang, tak mati-mati, karena ternyata tidak mendapat ridlo dari ibunya—lagi-lagi, seorang ibu sangat mendominasi atau menguasai, bahkan sampai ajal menjemput pulang.
Dalam sebuah artikel berjudul “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” (yang dihimpun dalam buku Sosok Pribadi dalam Sajak, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), Subagio Sastrowardoyo menilai bahwa pokok perhatian Rendra, dalam buku Ballada Orang-orang Tercinta, menyangkut soal-soal remeh yang masih dirasa gawat oleh orang yang berumur sekitar dua puluh tahun, seperti keinginan hendak berdiri sendiri lepas dari lindungan orangtua (“Ballada Petualang”, “Ballada Lelaki yang Luka”, “Anak yang Angkuh”) dan kemesraan hubungan antara anak dengan ibunya dibarengi dengan perasaan benci kepada bapak (”Tangis”, “Ballada Ibu yang Dibunuh”, “Ada Tilgram Tiba Senja”, “Anak yang Angkuh”, “Di Meja Makan”, “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”).
Sangat mengherankan kritik yang diberikan Subagio Sastrowardoyo terhadap sajak-sajak Rendra demikian terasa nyinyir, berbeda dengan tiga ulasannya yang lain terhadap Chairil Anwar, Sitor Situmorang, dan Toto Sudarto Bachtiar, yang juga terdapat dalam buku tersebut.
Sangat mengherankan pada proses kemandirian seorang manusia dianggap sebagai sesuatu yang remeh. Muncul pertanyaan spontan: masalah apa yang bukan persoalan “remeh”? Sastrawan Jerman sekaliber Gunter Grass saja masih mengangkat pesan-pesan dongeng kuno ke dalam novelnya, The Tin Drum, dalam konteks kekinian (lihat wawancara Arief Budiman dengan Gunter Grass dalam artikel “Gunter Grass -- Seorang Besar yang Sederhana”, yang dibukukan dalam Perdebatan Sastra Kontekstual, Jakarta: Rajawali, 1985). Dengan demikian, persoalan “remeh” dan “tidak remeh” menjadi relatif.
Rasa ingin lepas dari dekapan bunda, dan juga ayahnya, digambarkan Rendra dalam sajak “Ballada Lelaki yang Luka”, demikian penggalannya:

Lelaki yang luka
biarkan ia pergi, mama!
Akan disatukan dirinya
dengan angin gunung
sempoyongan tubuh kerbau
menyobek perut sepi.
Dan wajah para bunda
Bagai bulan redup putih
pergilah lelaki yang luka
tiada berarah, anak dari angin
Tiada tahu siapa dirinya
didaki segala gunung tua.
Siapa kan beri akhir padanya?
Menapak kaki-kaki kuda
menapak atas dada-dada bunda

Kesadaran akan hidup yang dijalani seorang diri dalam pengertian yang hakiki juga tampak dalam sajak Medy Loekito yang berjudul “Usia”—posisinya sebagai anak yang tumbuh dewasa secara “mekanis”, teringat kembali masa lalu (yang sedih atau gembira tetap saja menimbulkan penyesalan, berapa pun kadarnya).

aku lahir dan terperangkap
usia menjejali pelbagai situasi
menit ke hari ke abad
terkurung tak lagi mungkin punya harap
kapankah masa kanakku kembali?

Perhatikan pula sajak “Sketsa Bayang”: tidakkah kaupikir sungguh mengesalkan/ menjadi begitu penurut/ sendiri hilangkan pikir dari segala angan/ berangkat dewasa mengukur langkah/ untuk berkhir pada gelap. Gagasan sejenis juga terdapat dalam sajak “An Abstruse Obsession”, “Di Buaian Tua”, dan “Epilogue”.
Dalam sebuah sajak yang berjudul “Jika” (yang dimuat di majalah kebudayaan Genta Budaya edisi 8/III/September 2002), Medy bergelut dengan konsep waktu -- sesuatu yang bisa menjadikannya anak-anak dan bisa menjadikannya seorang ibu (orangtua).
Dalam sajak tersebut, Medy memang berperan sebagai aku lirik anak-anak, yang seandainya ada waktu ia ingin bermain boneka, tapi seandainya tak ada waktu, ia ingin memberi bunga mawar pada sang ibu. Sebagai pertanda bahwa konsep ibu demikian merasuk dalam jiwa Medy Loekito. Berikut saya kutip seluruh isi sajak “Jika”:

Jika

jika hari adalah waktu
kuingin ia punya boneka
dan mengajakku bermain

jika hari bukanlah waktu
kuingin ia punya mawar merah
untuk kuberikan pada ibu

Sajak minimalis (memanfaatkan sedikit kata untuk mendapatkan makna yang maksimal) seperti itu pada akhirnya menjadi gaya Medy dalam melahirkan karya-karya terbarunya. Dan kehadiran Medy dalam dunia perpuisian Indonesia cukup membawa ciri tersendiri, meskipun bukan sesuatu yang sama sekali baru, karena mirip sajak haiku Jepang atau gaya Sitor Situmorang saat menulis sajak “Malam Lebaran” atau Sutardji Calzoum Bachri saat menulis sajak “Luka” dan “Kalian”.
Medy terlihat begitu menonjol karena kebanyakan puisi yang lahir pada masanya cenderung menggunakan kata-kata yang berlebihan, atau menggunakan istilah Sutardji, “kebanyakan menggunakan kata-kata yang hingar bingar dalam ungkapan massal”.
Sosok “Ibu” memang cukup menonjol dalam sajak-sajak Medy. Bukan saja ibu yang menderita dan berdarah-darah dalam melindungi anak-anaknya, tapi juga sosok ibu yang memberi kasih sayang dan perhatian sewajarnya, seperti yang tampak dalam sajak “Ibu”.

Ibu

setiap pagi kautuang cinta-cinta ke dalam cangkir
terbaca dengan mudahnya pada asap dan hening teh
lalu dengan cinta mengalir dalam tubuh
kami mulai perlawatan
kumpulkan luka-luka dan kabar derita
sementara hatimu tak pernah ragu tak pernah pura-pura
pada keluh kesah kesedihan hati

petang hari setelah perlawatan
kau sisir luka-luka di baju kami
lalu lelaplah mata dalam tidur
sementara kau rajut jalinan cinta
untuk kau tuang esok
ke dalam cangkir-cangkir kami


Kota
Dalam kumpulan sajak Jakarta, Senja Hari, selain konsep ibu yang demikian menonjol dan menarik untuk dipahami, potret Jakarta sebagai kota metropolitan, megapolitan, bahkan kosmopolitan pun tergambar dengan baik dalam sajak-sajak Medy. Hanya saja, jangan berharap menemukan gemerlap kota Jakarta dalam buku ini. Yang tampak justru kemuraman dan sudut-sudut bau kota Jakarta. Medy membawa pembaca ke pelosok Jakarta “yang lain”—tapi justru sangat dekat dengan kenyataan sehari-hari, bukan Jakarta yang ada dalam impian kaum urban, bukan pula yang dimitoskan banyak orang sebagai kota yang bergelimangan cahaya.
Sajak “The Inferno” merupakan sebuah sajak Medy Loekito yang sangat menusuk. Kota (Jakarta) yang semula memikat banyak orang karena menawarkan berbagai lapangan kerja, telah berubah sebagai “ranjang bordil dan meja judi” yang menyisihkan “bunga-bunga”, menyisihkan orang-orang biasa.
Sudut pandang yang digunakan Medy dalam memotret wajah Jakarta adalah sudut pandang seorang manusia yang terasing dalam hiruk pikuk keramaian yang tak acuh pada manusia dan kemanusiaan. Ia senantiasa melihat keindahan alam yang sempat melintasi Jakarta dari tanah-tanah becek yang bau sampah, dari gubuk-gubuk.
Sajak-sajak yang berjudul “Jakarta (I)” hingga “Jakarta (XI)” (sonder VII dan VIII) serta beberapa sajak seperti “Jakarta, Senja Hari”, “Jalan-jalan di Jakarta”, “Jakarta dan Gelandangan”, dan “Berkatilah Jakarta, Tuhan” menunjukkan keangkuhan ibukota.
Gambaran Jakarta yang murung (tepatnya, realitas Jakarta dan bukan mitos Jakarta) bisa ditangkap dari kutipan sajak-sajak di bawah ini:

Jakarta, Senja Hari

di balik gubuk-gubuk
matahari bulat merah
direjam jembatan-jembatan beton

Jakarta (V)

setiap malam
kubaringkan gedung-gedung batu berhimpitan lelah
menjadi lahan berpetak-petak seperti sawah
lalu kutebar benih-benih penuh kasih
yang tumbuh menjadiu serigala-serigala
setiap pagi

setiap pagi
kubangunkan gedung-gedung batu berhimpitan kantuk
menjadi pusara-pusara makam maha luas
lalu kuukir nama-nama penuh cinta
yang tumbuh menjadi iblis-iblis
setiap malam

Selain itu juga terbaca ironi, persaingan yang tajam seperti di dalam rimba, dan wajah letih Jakarta:

berjuta kenangan terbantai setiap hari di sini
tak guna mencari hari-hari silam
kawan lama pun tak juga jumpa
(“Jakarta (IV)”)

tak lagi kumengerti kemana jalan-jalan ini mampu
berjuta manusia tersesat
bersama kucing-kucing, tikus, dan kecoa
berjalan atas terompah-terompah angkara
berebut piring-piring berisi airmata
(“Jalan-jalan di Jakarta”)

siapa yang tak menangis melihat Jakarta
ia seperti penderita kusta yang tak boleh mati
(“Berkatilah Jakarta, Tuhan”)


Mati
“It seems as though I were a galley-slave, chained to death; every time life moves the chains rattle and death withers everything - and that happens every minute.” Seorang eksistensialis Denmark, Soren Kierkegaard menghayati kematian seperti sesuatu yang mengerikan, karena ada latar belakang trauma yang terus-menerus, akibat kematian saudara-saudaranya secara beruntun. “Aku seperti budak yang terbelenggu pada maut atau kematian; setiap waktu hidup bergerak, maka bergemerincing rantai itu dan maut meluluhlantakkan segalanya—dan ini terjadi setiap menit.”
Sementara kematian bagi Medy Loekito bukan sesuatu yang membebani dan menakutkan, melainkan menjadi suatu “persemaian baru” bagi hidup yang akan datang, untuk melanjutkan “mimpi” di alam lain, atau sebagai salah satu mata rantai dalam sirkulasi kehidupan manusia, yang semula tidak ada kemudian ada dan kembali ke ketiadaan, dengan campur tangan Tuhan.

Tentang Mati
mati tak selalu tanah basah/ dan bunga pucat kehilangan warna, saudara/ kulihatlah langit yang terkubur dengan indahnya/ ditaburi awan jingga dan putih/ bermekaran di tangan Tuhan

Perhatikan pula sajak “Musim Gugur”, “Pemakaman”, “Akhir”, dan “Tulisan Pusara”, dimana Medy tidak lagi menganggap jasad sebagai sesuatu yang berarti, melainkan roh (yang bermekaran di tangan Tuhan)-lah yang penting, karena jasad itu nantinya hanya akan berserak di selangkangan cacing-cacing banci (“Tulisan Pusara”).Karenanya, penyair tak ingin ada airmata yang menetes, dan kematian tidak perlu ditangisi. Dan jangan titikkan airmata/di hari pemakaman, awal perlawatan baru (“Pemakaman”), jangan tangisi/kita pisah bukan lantaran nasib/hanya tak sengaja Tuhan dalam perjalanan ke kota (“Tulisan Pusara”).
Tiga sajak yang menggambarkan kematian dengan indah—sesuatu yang tidak menakutkan, karena mors certa, hora incerta (maut itu pasti, tak mungkin kita sangkal).

Pemakaman

di tanah sepi dimana dedaun bergurat pelangi/ disatukanlah segala yang fana/ kembali kepada bumi/ singkirkan catatan-catatan dunia/ simpan bayang-bayang hari lalu/ ke balik jendela rumah usang/ dan jangan titikkan airmata/ di hari pemakaman, awal perlawatan baru/ telah diikrarkan

Pesan

jika telah kau baringkan aku di tanah/ sesekali kenanglah/ lalu taburkan cinta-cinta dari hatimu yang tak pernah/ henti menetes/ agar padam bara neraka

The Epitaph (2)

(berjuta penyair terpendam di sini)/ siapa mau membeli puisi/koran-koran penuh reklame/ musik cuma menjual teknologi/ aku punya lapar/ tapi tak satu puisiku/ menjanjikan kenyang

Konsep neraka, mimpi, Tuhan, hidup di dunia lain, fana, dunia, nasib, telah menjadi susuatu yang akrab dengan penyair, sehingga tidak lagi menjadi hal yang angker. Gagasan yang sama dapat kita temui dalam sajak “Dan Kematian Makin Akrab” Subagio Sastrowardoyo, yang menyatakan, “kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi,” (Lihat Subagio Sastrowardoyo, Dan Kematian Makin Akrab, Jakarta: Grasindo, 1995).


Dalam “The Epitaph (2)”, Medy menggambarkan makam para penyair, yang ditakdirkan senantiasa hidup merana: sendiri, kesepian, dan cenderung mengikuti gaya hidup kaum sufi.


Epilog


Wanita Adalah Bumi
takdirlah wanita lahir sebagai bumi/ dirajam kaki-kaki jembatan kaki-kaki gedung/ dari lukanya tumbuh doa-doa/ berbuah anak-anak negeri


Tanpa perempuan, tanpa seorang ibu, tanpa ada bumi (tanah-air), kehidupan akan berhenti sampai di sini. Adam barangkali akan terus hidup menyendiri, menjadi penyair yang menulis elegi setiap hari, menulis puisi tentang kesepian demi kesepian, mati dalam kesendirian, dan tak akan ada sejarah.


Wanita adalah bumi, kata Medy, yang bisa ditanami apa saja, yang menahan luka semua siksa lelaki, dan selalu menghasilkan “anak-anak negeri”—cikal-bakal bangsa—bangsa yang ada di muka bumi.


Seorang eksistensialis kelahiran Oldenburg, Jerman, Karl Jaspers, sebagaimana dikutip Fuad Hassan dalam Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), menyatakan bahwa setiap manusia dalam situasinya sendiri-sendiri tampil dengan kekhususannya dalam mengamati dunianya. Karenanya tidak mungkin kita sampai pada penemuan esensi yang tunggal, universal, dan mutlak.


Demikian pula Medy Loekito yang memandang dirinya sendiri, kehidupan Jakarta di sekelilingnya, dan kematian, dengan sudut pandang yang sangat pribadi. Ada suatu waktu ia memerlukan keteguhan sebagai pohon besar yang rimbun, yang melindungi rumput-rumput kecil yang ada dalam jangkauannya.


Di sisi lain ia melihat sebuah masyarakat Jakarta yang busuk kehidupan rohaninya, meski secara kasatmata Jakarta seperti sebuah rumah kaca pada siang hari dan gemerlap lampu pohon cemara pada malam hari, sehingga bisa dimengerti bahwa dalam pandangan Medy Loekito, sosok ibu memegang peranan yang sangat penting—yang sesungguhnya tak terkatakan, tapi dapat digambarkan Medy dengan luar biasa dalam sajak “Ibu”; sementara anak-anak tidur terlelap, “kau rajut jalinan cinta untuk kau tuang esok ke dalam cangkir-cangkir kami.”


Ya, sesederhana itu kelihatannya. Tapi sesungguhnya di balik itu semua adalah perjuangan yang mengeluarkan keringat, darah, bahkan mempertaruhkan nyawa demi kelangsungan hidup sang anak. Dalam sebuah sajak yang berjudul “Sesungguhnya”, perjuangan seorang ibu itu dilampiaskan Medy dengan kata-kata, “aku begitu dendam kepada nasib yang membual.”


Citayam, Maret 2002


Selasa, 11 November 2008

Mengabadikan Sesuatu yang Kelak Retak





* Pengantar buku kumpulan cerpen mahasiswa Universitas Indonesia, Untukmu, Munir... (Jakarta: Bukupop, 2008)


oleh Asep Sambodja


Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

Puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” karya Goenawan Mohamad di atas cukup representatif untuk menggambarkan kenapa kumpulan cerpen Untukmu Munir… karya mahasiswa Universitas Indonesia (UI) ini dibuat. Kehadiran buku ini barangkali sama maknanya dengan Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005) yang disusun Zairin Salampessy dan Dino F. Umahuk sebelumnya.

Buku Untukmu Munir... yang lahir dari ruang kelas Penulisan Populer di UI ini bisa juga dianggap sebagai buku pelengkap atas terbitnya buku-buku yang mendokumentasikan peristiwa bersejarah dalam proses penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, seperti Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa (2004), Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi (2004), dan Api Dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir (2007).

Barangkali kasus pembunuhan Munir akan lenyap begitu saja dalam labirin penegakan hukum di Indonesia, kasus itu kelak akan “retak” dalam ingatan kita, seiring dengan lajunya waktu dan bertambahnya persoalan yang harus diselesaikan dengan segera. Ditambah lagi penegakan hukum di Indonesia masih teramat buruk, sehingga agak mustahil berharap kasus Munir—dan kasus-kasus sejenis—bisa diselesaikan secara adil di mata hukum.

Puisi Goenawan Mohamad itu ingin mengatakan bahwa sebuah karya seni, termasuk di dalamnya seni sastra, dapat “membikin abadi sesuatu yang kelak retak”. Dalam hal ini, kumpulan cerpen Untukmu Munir... mencoba “mengabadikan” sebuah peristiwa biadab yang pernah terjadi di negeri ini. Seorang anak muda yang berjuang keras menegakkan keadilan di Indonesia, yang membela kaum tertindas, dibunuh begitu saja oleh tangan-tangan kotor. Kalau ditanya untuk apa buku ini dibuat, jawabannya sangat sederhana, “Ya, buku ini ditulis untuk menambah mimpi buruk bagi pembunuh Munir. Gusti Allah mboten sare.”

Hampir semua cerpenis yang menyumbangkan karyanya dalam buku ini adalah perempuan. Hanya satu yang laki-laki. Kenapa demikian? Fakta menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) adalah perempuan. Laki-laki menjadi kelompok minoritas di FIB UI. Karena itu, wajar jika Guru Besar FIB UI Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan. Pendapat Sapardi itu tentu saja mengundang protes banyak kalangan. Namun, saya tidak hendak membahas persoalan itu dalam pengantar singkat ini.

Fakta lainnya adalah sebagian besar dari cerpenis itu menggunakan sudut pandang istri Munir, Suciwati. Mereka bisa masuk ke dalam diri Suci dan mencoba merasakan rasa sakit yang dideritanya. Sementara Zul Abrar, satu-satunya cerpenis laki-laki dalam kumpulan cerpen ini, menggunakan sudut pandang yang lain, yakni malaikat pencabut nyawa.

Terlepas dari jenis kelamin cerpenis dan sudut pandang yang mereka gunakan dalam menulis cerpen, yang menarik dari proses kreatif mereka adalah kepedulian mahasiswa pada persoalan-persoalan bangsa yang senantiasa berkelebat di depan matanya. Mungkin saja elite-elite politik yang berebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan secara mati-matian—yang mengakibatkan terbunuhnya Munir—merasa bahwa tindakan dan perilaku mereka tidak terpantau oleh mahasiswa, anak-anak mereka sendiri. Mungkin saja elite-elite politik itu merasa bahwa tindakan membunuh Munir merupakan kewajaran dalam politik. Tapi, kalau kita membaca cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku ini, ternyata anggapan mereka itu keliru.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip puisi Subagio Sastrowardoyo, yang saya anggap penting untuk diketahui oleh para mahasiswa. Bahwa menulis karya sastra juga merupakan upaya untuk menyuarakan kebenaran, mengungkap nilai-nilai luhur yang tertutup kabut politik, selain menghibur pembaca.

Mata Penyair

Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. “Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu,” kata penyair, “kecuali nyawaku ini yang teraniaya.”
Rakyat yang miskin merangsak ke muka. “Kami ingin matamu!” teriak mereka. “Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!”

Ada yang masih mau membela penyair itu. “Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!”
Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya. Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.

Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!

***

Senin, 03 November 2008

Kronik Sejarah Sastra Indonesia (1908-2008)




oleh Asep Sambodja


1908: Organisasi pemuda pertama, Boedi Oetomo, lahir pada 21 Mei 1908. Misinya mengubah struktur sosial. Suatu jabatan harus dipegang oleh ahlinya, dan bukan hanya dimonopoli kaum ningrat. Dalam kongres Jong Java di Yogyakarta, 5 Oktober 1908, dr. Tjipto Mangunkusumo mencita-citakan suatu pendobrakan masyarakat kolonial dan tradisional dengan segala kekolotan, statisisme, diskriminasi, dan tradisi yang menekan. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan gerakan yang lebih bersifat politik radikal (Kartodirdjo, 1993). Kesadaran kebangsaan mulai muncul sebagai dampak dari politik etik yang diserukan van Deventer.

1917: Penerbit Balai Pustaka berdiri pada 22 September 1917. Karya sastra yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan politik pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis berbeda jauh dengan isi aslinya. Novel Belenggu ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka. Novel-novel yang dicap sebagai “bacaan liar”, “novel picisan”, dan novel yang dinilai dapat meracuni masyarakat tidak bisa diterbitkan Balai Pustaka. Karena itu, karya-karya Marco Kartodikromo, Semaoen, Kwee Tek Hoay, Tan Boen Kim, dan Liem Wie Leng yang mengangkat tema-tema antiimperialisme dan menggunakan bahasa Melayu Rendah tidak diterbitkan Balai Pustaka.

1919: Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo terbit.

1920: Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar terbit. Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli terbit.

1922: Novel politik Hikayat Kadirun karya Semaoen terbit. Nur Sutan Iskandar menerbitkan Apa Dayaku karena Aku Perempuan. Buku puisi Tanah Air karya Muhammad Yamin terbit.

1924: Novel Rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo terbit. Buku Bebasari karya Roestam Effendi terbit.

1928: Dalam kongres pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928, pemuda-pemuda Indonesia mengeluarkan resolusi berupa Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa Indonesia. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis terbit. Nakah drama berbahasa Indonesia, Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin dipentaskan di kongres pemuda.

1933: Majalah Pujangga Baru terbit. Selasih menerbitkan Kalau Tak Untung.

1934: J.E. Tatengkeng menerbitkan Rindu Dendam.

1935: Esai Sutan Takdir Alisjahbana di majalah Pujangga Baru memicu Polemik Kebudayaan. STA menyarankan agar kebudayaan Indonesia diarahkan ke Barat. Polemik ini kemudian dibukukan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik Kebudayaan.

1936: Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana terbit. I Gusti Nyoman Panji Tisna menerbitkan Sukreni Gadis Bali.

1937: Amir Hamzah menerbitkan Nyanyi Sunyi.

1938: Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka terbit.

1940: Novel Belenggu karya Armyn Pane terbit. Novel Suwarsih Djojopoespito, Buiten het Gareel (‘Di Luar Jalur’) dilarang oleh pemerintah Belanda.

1941: Goenawan Mohamad lahir. GM mendirikan majalah berita Tempo pada 1971, membentuk Komunitas Utan Kayu (sekarang Komunitas Salihara), ikut mendirikan Yayasan Lontar. Pencetus Manifes Kebudayaan (Manikebu).

1942: Jepang masuk dan menjajah Indonesia. Pembentukan Keimin Bunka Sidhoso (Kantor Pusat Kebudayaan) melahirkan karya-karya seni yang bersifat propaganda untuk kemenangan perang Asia Timur Raya, serta antiAmerika dan sekutu-sekutunya.

1945: Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Tapi, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda ingin tetap menguasai Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka. Akibatnya, banyak seniman yang enggan menggunakan warna daerah, karena akan dicap sebagai antek-antek Belanda.

1946: Seniman dan sastrawan mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka pada 19 November 1946. Mereka adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Mochtar Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan Baharuddin M.S.

1948: Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus terbit.

1949: Buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar terbit. Chairil Anwar dijuluki sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh HB Jassin. Achdiat Kartahadimadja menerbitkan Atheis.

1950: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri pada 17 Agustus 1950. Lekra mengembangkan paham “seni untuk rakyat” dan “realisme sosialis” di lapangan kebudayaan. Pada 23 Oktober 1950, Asrul Sani mengumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Usmar Ismail menerbitkan Sedih dan Gembira.

1951: Majalah Basis terbit.

1952: Buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbit. Utuy Tatang Sontani menerbitkan Awal dan Mira. S. Rukiah menerbitkan Tandus.

1953: Sitor Situmorang menerbitkan Surat Kertas Hijau.

1954: Buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai karya HB Jassin terbit.

1955: Pemilihan Umum pertama digelar.

1956: Rendra menerbitkan Ballada Orang-orang Tercinta.

1959: Sepanjang 1950-an timbul pergolakan di daerah-daerah yang disebabkan ketidakpuasan perimbangan pusat-daerah. Sistem parlementer yang diterapkan mengakibatkan pemerintahan tidak pernah stabil. Soekarno menyerukan negara dalam keadaan perang. Ia juga membubarkan Konstituante pada Juli 1959. Dekrit presiden dikeluarkan. Dimulailah pemerintahan otoriterian Soekarno yang memberlakukan demokrasi terpimpin. Ajip Rosidi menerbitkan Cari Muatan.

1962: Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk karya Hamka dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Al Manfaluthi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Bintang Timur dan Harian Rakyat. Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam.

1963: Sastrawan-sastrawan muda melahirkan Manifes Kebudayaan sebagai jawaban menolak seruan “Politik sebagai panglima” yang dikumandangkan Lekra.

1964: Pada Maret 1964, para sastrawan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI). Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada 8 Mei 1964. Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.

1965: Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu, mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra dilarang. Harian Rakjat dan surat kabar yang berafiliasi dengan PKI dilarang terbit.

1966: Majalah sastra Horison terbit. H.B. Jassin mendeklarasikan Angkatan 66 dalam sastra Indonesia. Majalah Budaya Jaya terbit pada tahun yang sama. Buku Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail terbit. Buku ini terbit ulang secara komplet pada 1993.

1968: Cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panjikusmin terbit dan bikin heboh, karena dianggap menghina umat Islam. Pemimpin Redaksi majalah Sastra, H.B. Jassin diadili. H.B. Jassin juga menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Iwan Simatupang menerbitkan Merahnya Merah.

1970: Remy Sylado memperkenalkan puisi mbeling.

1971: Buku Sandhyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane terbit. Majalah Tempo terbit. Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi.

1973: Kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra Universitas Indonesia (UI), yakni M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, mendapat reaksi dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman yang memperkenalkan kritik ganzheit atau gestalt sebagai alternatif kritik analitik. Pada tahun ini pula Sutardji Calzoum Bachri mengeluarkan Kredo Puisi-nya. Dami N. Toda mengibaratkan Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar sebagai dua sisi mata uang. N.H. Dini menerbitkan Pada Sebuah Kapal.

1974: Sastrawan muda Bandung menggelar Pengadilan Puisi. Slamet Sukirnanto bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU).

1975: Asrul Sani menerbitkan Mantera.

1977: Ajip Rosidi menerbitkan Laut Biru Langit Biru.

1978: Iwan Simatupang mendapat penghargaan South East Asia Write Award (Hadiah Sastra ASEAN) dari pemerintah Thailand. Para sastrawan yang mendapat penghargaan serupa pada tahun-tahun setelahnya adalah Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Marianne Katoppo, Y.B. Mangunwijaya, Budi Darma, Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto, Gerson Poyk, Arifin C. Noer, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, Rendra, Seno Gumira Ajidarma, N. Riantiarno, Kuntowijoyo, Wisran Hadi, Saini K.M., Darmanto Jatman, Gus tf. Sakai, Acep Zamzam Noor, Sitor Situmorang, Suparto Brata, dan Hamsad Rangkuti.

1980: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer terbit. Buku itu diikuti dengan terbitnya Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Buku Potret Pembangunan dalam Puisi karya Rendra terbit.

1981: Buku Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terbit. Buku Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi terbit.

1982: Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia.

1984: Dalam sarasehan kesenian di Solo, 28 Oktober 1984, Ariel Heryanto memperkenalkan sastra kontekstual, yakni sejenis pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial historis kesusastraan yang bersangkutan.

1985: Claudine Salmon menerbitkan buku Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Ariel Heryanto menerbitkan Perdebatan Sastra Kontekstual.

1987: Linus Suryadi Ag. menerbitkan buku antologi puisi Indonesia secara lengkap, Tonggak. Yayasan Lontar berdiri.

1988: Dalam seminar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) di Padang, Subagio Sastrowardoyo mengusulkan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia.

1990: Pementasan Suksesi Teater Koma yang disutradarai N. Riantiarno dilarang. Sebelumnya, pada tahun yang sama, Teater Koma mementaskan Konglomerat Burisrawa yang mengkritik kartel bisnis raksasa di Indonesia.

1991: Nirwan Dewanto membacakan pidato kebudayaan dalam kongres kebudayaan keempat. Menurut dia, setiap manusia berpotensi untuk menciptakan kebudayaan. Ia mengusung semangat pluralisme dan multikulturalisme. Pidatonya dibukukan dalam Senjakala Kebudayaan.

1994: Majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik dibredel. Majalah Kalam terbit. Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan Beno Siang Pamungkas (Tegal) mengusung Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman dan menghujat “Pusat” dan “elit sastra nasional” sebagai sumber kekuasaan yang mendominasi “sastra koran”.

1995: D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya. Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan hadiah Magsaysay. Taufiq Ismail dan Mochtar Lubis memprotes pemberian penghargaan itu. Muncul polemik hadiah Magsaysay. AS Laksana menerbitkan buku Polemik Hadiah Magsaysay.

1996: Lahir Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI). Para penggeraknya adalah Ahmadun Y. Herfanda, Azwina Aziz Miraza, Diah Hadaning, Eka Budianta, Korrie Layun Rampan, Wowok Hesti Prabowo, Iwan Gunadi, Medy Loekito, dll.

1997: Penyair Wiji Thukul diculik dan dibunuh.

1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak mal yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah “sastra wangi”. Majalah Tempo terbit kembali.

1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955. PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia terpilih melalui sebuah gerakan politik yang dinamakan Poros Tengah, yang digelontorkan oleh Amien Rais. Gerakan Poros Tengah ini diambil untuk menghindari kebuntuan politik dan ketegangan yang dikhawatirkan akan menjadi benturan antara kubu Habibie (Islam) dan kubu Megawati (Nasionalis). Komunitas Bambu menerbitkan kumpulan puisi Menjelma Rahwana Asep Sambodja.

2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit. Penyair Karsono H. Saputra mendirikan penerbit Bukupop yang bertujuan memperluas pembaca dan pasar sastra dengan menerbitkan buku-buku sastra yang terjangkau oleh masyarakat luas.

2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gde Aryantha Soethama, Dorothea Rosa Herliany, Gus tf., Acep Zamzam Noor. Yayasan Multimedia Sastra (YMS) berdiri. YMS mengorganisasi sastrawan-sastrawan yang menulis karya sastra di internet. Tokoh-tokohnya: Medy Loekito, Saut Situmorang, Nanang Suryadi, Yono Wardito, Asep Sambodja, Tulus Widjanarko, TS Pinang, Anggoro, Ani Sekarningsih, Anna Siti Herdiyanti, Ben Abel, Cunong Nunuk Suraja, Deden Tristiyana, Dodi Iskandar, Donny Anggoro, Hadi Susanto, Heri Latief, Indah Iriani Putri, Kurniawan, Rukmi Wisnu Wardhani, Sutan Iwan Soekri Munaf, Tomita Prakoso, Winarti, Dimas Triwibowo, dan lain-lain. Buku kumpulan puisi Graffiti Gratitude terbit. Situs http://www.cybersastra.net/ mulai online.

2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.

2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo, Arief Budiman, Rendra, Frans Magnis Soeseno, Putu Wijaya, Taufiq Abdullah, Sutardji Calzoum Bachri. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.

2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.

2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.

2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.

2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia. Terbit buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 yang disunting Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Bersamaan dengan terbitnya buku ini, terbit pula buku yang disunting Rhoma dan Muhidin, yakni Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 dan Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Ramai bermunculan blog pribadi yang dibuat oleh para sastrawan, di antaranya http://puisiindonesiamodern.blogspot.com/