Selasa, 11 November 2008
Mengabadikan Sesuatu yang Kelak Retak
* Pengantar buku kumpulan cerpen mahasiswa Universitas Indonesia, Untukmu, Munir... (Jakarta: Bukupop, 2008)
oleh Asep Sambodja
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
Puisi “Kwatrin tentang Sebuah Poci” karya Goenawan Mohamad di atas cukup representatif untuk menggambarkan kenapa kumpulan cerpen Untukmu Munir… karya mahasiswa Universitas Indonesia (UI) ini dibuat. Kehadiran buku ini barangkali sama maknanya dengan Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005) yang disusun Zairin Salampessy dan Dino F. Umahuk sebelumnya.
Buku Untukmu Munir... yang lahir dari ruang kelas Penulisan Populer di UI ini bisa juga dianggap sebagai buku pelengkap atas terbitnya buku-buku yang mendokumentasikan peristiwa bersejarah dalam proses penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia, seperti Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa (2004), Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi (2004), dan Api Dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir (2007).
Barangkali kasus pembunuhan Munir akan lenyap begitu saja dalam labirin penegakan hukum di Indonesia, kasus itu kelak akan “retak” dalam ingatan kita, seiring dengan lajunya waktu dan bertambahnya persoalan yang harus diselesaikan dengan segera. Ditambah lagi penegakan hukum di Indonesia masih teramat buruk, sehingga agak mustahil berharap kasus Munir—dan kasus-kasus sejenis—bisa diselesaikan secara adil di mata hukum.
Puisi Goenawan Mohamad itu ingin mengatakan bahwa sebuah karya seni, termasuk di dalamnya seni sastra, dapat “membikin abadi sesuatu yang kelak retak”. Dalam hal ini, kumpulan cerpen Untukmu Munir... mencoba “mengabadikan” sebuah peristiwa biadab yang pernah terjadi di negeri ini. Seorang anak muda yang berjuang keras menegakkan keadilan di Indonesia, yang membela kaum tertindas, dibunuh begitu saja oleh tangan-tangan kotor. Kalau ditanya untuk apa buku ini dibuat, jawabannya sangat sederhana, “Ya, buku ini ditulis untuk menambah mimpi buruk bagi pembunuh Munir. Gusti Allah mboten sare.”
Hampir semua cerpenis yang menyumbangkan karyanya dalam buku ini adalah perempuan. Hanya satu yang laki-laki. Kenapa demikian? Fakta menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) adalah perempuan. Laki-laki menjadi kelompok minoritas di FIB UI. Karena itu, wajar jika Guru Besar FIB UI Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan. Pendapat Sapardi itu tentu saja mengundang protes banyak kalangan. Namun, saya tidak hendak membahas persoalan itu dalam pengantar singkat ini.
Fakta lainnya adalah sebagian besar dari cerpenis itu menggunakan sudut pandang istri Munir, Suciwati. Mereka bisa masuk ke dalam diri Suci dan mencoba merasakan rasa sakit yang dideritanya. Sementara Zul Abrar, satu-satunya cerpenis laki-laki dalam kumpulan cerpen ini, menggunakan sudut pandang yang lain, yakni malaikat pencabut nyawa.
Terlepas dari jenis kelamin cerpenis dan sudut pandang yang mereka gunakan dalam menulis cerpen, yang menarik dari proses kreatif mereka adalah kepedulian mahasiswa pada persoalan-persoalan bangsa yang senantiasa berkelebat di depan matanya. Mungkin saja elite-elite politik yang berebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan secara mati-matian—yang mengakibatkan terbunuhnya Munir—merasa bahwa tindakan dan perilaku mereka tidak terpantau oleh mahasiswa, anak-anak mereka sendiri. Mungkin saja elite-elite politik itu merasa bahwa tindakan membunuh Munir merupakan kewajaran dalam politik. Tapi, kalau kita membaca cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku ini, ternyata anggapan mereka itu keliru.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip puisi Subagio Sastrowardoyo, yang saya anggap penting untuk diketahui oleh para mahasiswa. Bahwa menulis karya sastra juga merupakan upaya untuk menyuarakan kebenaran, mengungkap nilai-nilai luhur yang tertutup kabut politik, selain menghibur pembaca.
Mata Penyair
Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. “Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu,” kata penyair, “kecuali nyawaku ini yang teraniaya.”
Rakyat yang miskin merangsak ke muka. “Kami ingin matamu!” teriak mereka. “Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!”
Ada yang masih mau membela penyair itu. “Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!”
Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia sekelilingnya. Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar