Rabu, 25 Maret 2009

The Da Peci Code: Potret Keluarga Keturunan Arab di Betawi pada Awal Abad ke-21



oleh Asep Sambodja


Novel The Da Peci Code yang ditulis Ben Sohib ini diterbitkan oleh sebuah penerbit indie di Jakarta, yakni Rahat Books pada September 2006. Belum genap satu tahun, buku ini sudah mengalami cetak ulang yang keenam. Artinya, buku plesetan dari novel The Da Vinci Code karya Dan Brown ini cukup diminati. Persoalan yang diangkat dalam The Da Peci Code cukup sederhana, yakni persoalan peci, alat untuk menutup kepala.
Dalam novel itu, Ben Sohib menceritakan tentang seorang pemuda bernama Rosid yang hidup dalam keluarga keturunan Arab yang sudah bertahun-tahun tinggal di Condet, Jakarta Timur. Sebagai seorang laki-laki keturunan Arab, Rosid memiliki wajah yang khas Timur Tengah, berhidung mancung dan berperawakan tinggi. Hanya saja, yang membedakan Rosid dengan keluarganya adalah keinginannya untuk memanjangkan rambutnya yang keriting. Karena keinginannya itu pula Rosid tidak bisa memakai peci sebagaimana yang biasa dikenakan oleh keluarga muslim, termasuk keluarga keturunan Arab di Betawi.
Karena itu pulalah timbul konflik antara Rosid dengan ayahnya, Mansur al Gibran, yang ingin mempertahankan tradisi keislaman. Bagi Mansur, memakai peci adalah kewajiban bagi orang Islam, karena nenek-moyang mereka selalu memakai peci, apalagi kalau ada upacara atau kegiatan keagamaan. Sementara, Rosid berpendapat bahwa memakai peci hanyalah tradisi semata, bukan suatu kewajiban sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad, karena nabi sendiri tidak memakai peci, melainkan menggunakan serban (‘kain ikat kepala yang lebar—yang dipakai oleh orang Arab, haji, dan sebagainya’). Nabi juga tidak memaki sarung, melainkan jubah.
. Di sisi lain, keinginan Rosid untuk sekolah/kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ditolak mentah-mentah oleh ayahnya. Menurut sang ayah, kalau mau jadi seniman tidak perlu sekolah, cukup tidak mandi beberapa hari maka sudah jadi seniman. Akibatnya, Rosid tidak bisa sekolah dan tidak bekerja. Selama dua tahun ia hanya luntang-lantung sebagai pengangguran. Sementara Delia, gadis yang di lehernya bergantung tanda salib, jatuh cinta pada Rosid justru karena penampilannya yang lebih terbuka seperti itu.
Dengan demikian, selain persoalan peci yang menimbulkan konflik antara Rosid dengan ayahnya, persoalan perbedaan agama juga menjadi persoalan antara Rosid dengan Delia, mahasiswi IKJ jurusan Desain Grafis. Hanya saja, konflik antara Rosid dengan Delia lebih pada konflik batin dalam diri mereka berdua. Kedua anak muda ini sebenarnya memiliki pikiran yang terbuka, segala perbedaan bisa diatasi dengan cinta. Hanya saja, dalam novel ini, persoalan perbedaan agama belum menjadi persoalan yang penting di mata Ben Sohib. Pengarang, melalui tokoh Ustadz Abu Hanif (ayah Mahdi—sahabat Rosid), memberikan penjelasan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila mereka menikah kelak.
Ben Sohib mencoba membongkar tradisi penggunaan peci melalui The Da Peci Code ini. Mansur al Gibran yang mencoba mempertahankan tradisi penggunaan peci dan baju koko sebagaimana nenek moyangnya dulu gagal mewarisi pada anaknya, Rosid, yang telah melakukan internalisasi terhadap globalisasi. Rosid berpendapat bahwa yang perlu diteruskan adalah ajaran-ajaran nabi, keyakinan dan kepercayaan yang dibawa nabi, bukan tradisi nenek moyang. Dalam hal ini, Rosid menolak simbol-simbol agama yang justru memunculkan eksklusivitas dalam kehidupan yang majemuk/heterogen.
Melalui novel yang sangat sederhana ini pula, Ben Sohib mencoba memetakan adanya kelompok-kelompok Islam dalam masyarakat Betawi, yakni kelompok Radikal (Remaja Didikan Allah) yang dipimpin Lukman, kelompok Moderat (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat) yang dipimpin Hisyam, dan kelompok Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain) yang kesemuanya itu merupakan representasi dari masyarakat muslim yang tumbuh subur di Betawi. Lukman, misalnya, digambarkan sebagai alumni pesantren yang mengharamkan bid’ah, di antaranya dia menolak perayaan Maulid Nabi Muhammad, karena katanya “Nabi Muhammad tidak pernah merayakan ulang tahun.” Namun, argumentasi Lukman itu dimentahkan oleh tokoh Husein Wirakusuma, yang meminta Lukman membaca lagi Surat Al-A’raaf ayat 157. Inti ayat tersebut adalah penggambaran bagaimana sayangnya Allah swt. Kepada Nabi Muhammad.
Dalam satu fragmen dalam novel itu, ketiga kelompok ini bertemu di depan rumah Mahdi (nama ini bisa mengasosiasikan pada Imam Mahdi, mengingat aliran-aliran baru dalam Islam salah satunya karena persoalan Imam Mahdi ini, namun bisa saja tidak dimaksudkan demikian). Ketiga kelompok itu hadir ke rumah Mahdi—yang di dalamnya sedang dilakukan diskusi mingguan—karena ada isu bahwa di rumah Mahdi itu sedang dilakukan kegiatan yang berkaitan dengan aliran sesat. Ketegangan antara kelompok itu dengan masyarakat setempat disulut oleh provokator yang bernama Said, yang tidak lain adalah sahabat ayah Rosid sendiri. Gara-gara Said melempar kaca jendela rumah Mahdi itulah kerusuhan terjadi, namun kerusuhan itu bisa dipadamkan oleh aparat keamanan di Rukun Warga (RW) setempat.
Tokoh Said yang dihadirkan Ben Sohib dalam novel ini ditampilkan sebagai tokoh antagonis yang selalu mempengaruhi Mansur dalam menyelesaikan konflik dengan anaknya sendiri. Saidlah yang mengajak Mansur mendatangi “orang pintar” di Sukabumi agar bisa menyadarkan Rosid, sehingga Rosid menuruti apa kata orangtua. Namun, upaya itu gagal total. Rosid tetap akan memelihara rambut kribonya dan tak akan memakai peci.
Said pulalah yang meminta Mansur untuk mempertemukan anaknya dengan Ustadz Holid yang memiliki ummat yang besar. Namun, dalam debat terbuka di sebuah masjid, Rosid justru mempermalukan ustadz itu di hadapan murid-muridnya, karena tidak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis Rosid. Menurut Rosid, baju koko dan sarung yang dikatakan sebagai ciri keislaman itu sesungguhnya tidak demikian, karena baju koko itu dari Cina dan sarung itu dari India. Lebih lanjut Rosid mengatakan demikian (dalam bahasa Betawi):

“Kite ini terjebak ame simbol-simbol yang kite ciptain sendiri. Kalau ane kagak mau pake peci putih, kagak mau pake kain sarung, dan kagak mau pake baju koko, alasannye semue same aje, itu bukan ajaran Nabi Muhammad. Dalam agame-agame Ibrahimik, kayak Yahudi, Kristen, dan Islam, juge dalam sebagian agame non Ibrahimik, nutupin kepale itu emang termasuk dalam kesopanan. Malahan dalam Islam sebagian ade yang bilang itu sunnah….
Tapi perkare model, warna, motif, dan bentuknye, itu kaitannye ame budaye masing-masing. Jadi, model peci putih yang kayak dipake ama leluhur kite itu bukan ajaran agame, bukan sunnah, apalagi wajib. Itu cuma tradisi yang berkembang di mane leluhur kite hidup. Kesimpulannye, peci putih model leluhur kite itu setare ame blangkon atau penutup-penutup kepale yang lainnye, same-same sopan, same-same Islami. Same juga soal sarung….” (Sohib, 2007: 185-186).

Stuart Hall (dalam Budianta, 2007) mengatakan bahwa identitas budaya merupakan suatu produksi yang tidak pernah tuntas, selalu dalam proses, dan selalu dibangun di dalam—bukan di luar—representasi. Identitas bukanlah esensi, melainkan sejumlah atribut identifikasi yang menunjukkan bagaimana kita diposisikan dan memposisikan diri dalam masyarakat, karenanya tidak bisa tidak terkait dengan aspek budaya dan kesejarahan. Karenanya, identitas tidak bersifat statis, selalu dikonstruksi dalam ruang dan waktu, serta identitas bersifat kompleks dan majemuk.
Guru saya, Melani Budianta telah sangat bagus sekali menilai novel The Da Peci Code dalam artikelnya, “Aspek Lintas Budaya dalam Wacana Multikultural”. Saya kutip dua paragraf yang berkaitan dengan novel ini.

“Untuk kasus Indonesia, saya mengambil contoh novel The Da Peci Code karya Ben Sohib (2006), plesetan terhadap novel Dan Brown, The Da Vinci Code. Novel jenaka ini juga bicara tentang kemajemukan acuan budaya anak muda di kota Metropolitan [Jakarta]. Rosid, anak Betawi-Arab yang tinggal di Condet mengalami persoalan renggang generasi dengan orangtuanya, yang fanatic pada “tradisi leluhur” keluarga Al Gibran. Jika orangtuanya memutar lagu dangdut, percaya pada jampi-jampi, hidup antara sinetron, masjid, [toko], dan warung kopi, Rosid membaca novel terjemahan Ernest Hemingway, Kanzobure Oe, puisi Chairil Anwar, dan cerpen Hamsad Rangkuti, bercita-cita kuliah di IKJ, berpacaran [dengan Delia, gadis beragama lain] di cafĂ© Bakoel Koffie dengan gaya art deco, mengagumi tokoh-tokoh dunia seperti Che Guevara, Hugo Chavez, Ahmadinejad, dan memutar lagu “Maria-Maria” Carlos Santana. Bahasa menunjukkan identifikasi budaya tokohnya. Jika Abah [Mansur] dan komunitasnya berbicara dalam bahasa Indonesia dialek dan kosa kata Betawi (seperti maktub, gahar, gahwe) dan Arab (seperti syukron, syaiton, ahlan wa sahlan), Rosid dan teman-temannya berbicara dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa gaul (seperti bete, engeh) atau bahasa Inggris (seperti weekend, easygoing) dan sewaktu-waktu beralih kode (“It’s a good hair day! I love mum, bye!”).
Novel ini juga berbicara tentang pluralitas ideologi. Persoalan utama yang jadi sumber pertengkaran anak dan abah adalah pertanyaan, apakah peci putih benar-benar “tradisi leluhur” Arab yang tak terpisahkan dari keislaman ataukah sekadar produk budaya (dengan jeli Rosid menunjukkan bahwa peci yang serupa bertengger di kepala Paus orang Katolik, Nehru yang Hindu, dan orang Yahudi). Konflik antara ideologi yang esensialis dan fanatic, dengan sikap toleran yang “multikultural” jadi bahan satire, dengan plesetan akronim Moderat (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat), Radikal (Remaja Didikan Allah), dan Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain). Novel ini dapat diletakkan dalam suatu konteks, ketika terjadi sikap multikultural yang toleran sedang dalam persaingan hegemonic dengan ideologi-ideologi yang mengutamakan esensialisme, keaslian, dan kemurnian.” (Budianta, 2007).

Apa yang ditulis Melani Budianta di atas telah merangkum substansi novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Saya melihat bahwa apa yang dilakukan pengarang dengan melihat fenomena yang dilihatnya sehari-hari, yang sekaligus menjadi kegelisahannya, misalnya adanya aksi-aksi yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI), di antaranya merusak kafe-kafe dan menentang pluralisme dan dialog antar-agama, telah cukup tertangkap melalui novel ini. Bahkan message yang hendak disampaikan pengarang dapat tertangkap dengan jelas oleh pembaca.
Kita tahu bahwa ending atau akhir novel ini adalah kesadaran Mansur akan kesalahannya. Ia merasa bersalah telah memaksakan kehendaknya kepada Rosid. Mansur pun berang ketika mengetahui bahwa yang menjadi provokator kerusuhan di rumah Mahdi adalah Said. Ia pun menyerahkan Said kepada polisi untuk diselesaikan secara hukum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ben Sohib tengah merekonstruksi suatu kesadaran baru, yakni kesadaran multikultural sebagaimana yang dikatakan Melani Budianta. Bahwa sebenarnya sulit untuk mencari identitas budaya yang asli. Apa yang diyakini Mansur sebagai identitas budaya Islam, misalnya, seperti baju koko dan sarung itu, ternyata dilihat dari sejarahnya adalah pengaruh Cina dan India. Dan, sebagaimana dikatakan Stuart Hall, identitas budaya itu senantiasa berproses sesuai ruang dan waktu. Ben Sohib, melalui tokoh Rosid, hendak mengatakan bahwa yang terpenting adalah substansi ajaran agamanya, bukan pada simbol-simbol agama, seperti pakaian dan mode yang harus dilestarikan. Apakah Ben Sohib tengah mengarahkan pembaca menuju esensialis? Atau ia memperlihatkan tokoh Rosid beserta The Da Peci Code sebagai sebuah critical multiculturalism? Saya membacanya Ben Sohib ingin mengatakan bahwa sah saja seseorang memakai peci atau tidak, namun jangan sampai ada pemaksaan satu pihak terhadap pihak lain. Dalam hal ini, Ben Sohib tidak ingin Mansur al Gibran memaksakan Rosid memakai peci, meskipun Mansur adalah ayah Rosid sekalipun. Di akhir cerita, Mansur menyadari bahwa pemaksaan yang ia lakukan ternyata salah.
Nah, menyangkut persoalan substansi, sebenarnya ada persoalan yang lebih besar lagi yang perlu direnungkan setelah membaca The Da Peci Code, yakni persoalan perkawinan beda agama. Sayangnya, sekali lagi, hal ini tidak menjadi fokus perhatian Ben Sohib. Dalam kehidupan yang multietnis dan multiagama seperti di Jakarta ini, perkawinan beda agama itu seringkali terjadi. Bagaimana Ben Sohib memandang persoalan ini? Apakah ia akan mengikuti nasihat Ustadz Abu Hanif, yang menganjurkan agar sebaiknya Rosid mencari perempuan lain yang sama agamanya, seperti Nabila? Atau, apakah mereka akan menikah dengan tetap mempertahankan agamanya atau salah satu di antara mereka harus berpindah agama? Ini menjadi persoalan yang cukup serius. Namun, dalam novel ini, Rosid masih percaya pada cinta. Dengan cinta itu, ia ingin membangun jembatan untuk mengatasi perbedaan yang ada. Apakah nantinya jembatan itu akan kokoh atau terhempas terkena banjir, Rosid hanya bisa pasrah.***

Bibliografi

Budianta, Melani. 2007. “Aspek Lintas Budaya dalam Wacana Multikultural.”
Makalah untuk Seminar Kajian Wacana dalam Konteks Multikultural dan
Perspektif Multidisiplin. Depok: FIB UI.
Sohib, Ben. 2007. The Da Peci Code. Jakarta: Rahat Books.

Senin, 09 Maret 2009

Wowok Hesti Prabowo: Kenapa Tak Mengajukan Saja ke Pengadilan?



Pemimpin Redaksi djoernal sastra Boemipoetra Wowok Hesti Prabowo mungkin bisa dikatakan termasuk golongan putih (Golput). Karena, rambutnya putih, kumisnya putih, jenggotnya pun putih. Begitu menerbitkan Boemipoetra, dunia sastra Indonesia mengalami gonjang-ganjing. Ada yang terkejut, ada yang merasa risih, ada yang merasa disudutkan, ada yang mencaci-maki, ada yang menuduhnya sebagai lembaran fitnah, dan berbagai-bagai perasaan lainnya. “Kalau ada yang merasa difitnah, kenapa tak mengajukan saja ke pengadilan? Negara kita kan negara hukum,” katanya. Toh, alhamdulillah, jurnal yang dikerjakan dengan cucuran keringat itu masih terbit sampai sekarang. Banyak yang penasaran ingin membaca jurnal itu. Mungkin banyak pula yang penasaran sama Pemimpin Redaksinya, yang Golput itu, yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Penyair Buruh Indonesia. Berikut ini wawancara Asep Sambodja dengan Wowok Hesti Prabowo yang dilakukan melalui email.

Bisa diceritakan sejarah berdirinya Boemipoetra (BP)?

Ketika saya diwawancarai Media Indonesia (baca BP edisi 1) saya katakan bahwa dalam waktu dekat akan terbit jurnal sastra perlawanan bernama BP. Maka saya dan beberapa kawan dalam gerakan sastra buruh merancang BP. Kami ajak Kusprihyanto yang dulu bersama saya memotori gerakan Angkatan Sastra 2000. Juga kami ajak Viddy AD. Nama Boemipoetra kumaksudkan sebagai identitas yang tegas atas perjuangan kami, yaitu menolak segala bentuk penjajahan (terutama penjajahan budaya) di Indonesia. BP lebih menegaskan tentang pentingnya menggali akar budaya nusantara daripada mengimpor pikiran-pikiran budaya barat! Pada edisi 1 belum muncul Saut Situmorang. Baru pada edisi 2 Saut yang sepakat dengan perjuangan BP bergabung bersama kami.

Apa sebenarnya misi BP?

Misi BP sudah jelas melawan segala bentuk imperialisme/penjajahan di Indonesia, terutama penjajahan budaya. BP mengajak agar kebudayaan Indonesia kembali ke akar budaya nusantara yang sangat kaya.

Dalam boks redaksi ada nama Koesprihanto Namma. Apa peran dia dalam jurnal tersebut? Koes adalah tokoh gerakan sastra pedalaman, apakah konsep SP itu mempengaruhi sikap BP?

Kusprihyanto Namma berperan aktif terhadap karya-karya sastra yang akan dimuat di BP. Juga peran jaringannya terhadap BP. Kusprihyanto boleh dikatakan mewakili sayap “sastra Islam”. Pada beberapa edisi, Kusprihyanto sempat ragu masuk dalam redaksi BP. Tapi aku menganggapnya karena itu sikap rendah hati dia saja. Kus itu kawan lama saya di gerakan sastra. Sewaktu dia di RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman), saya di sastra buruh. Bukankah saya, Kus, dan Sosiawan Leak dulu dalam disertasi peneliti bule dinobatkan sebagai tokoh gerakan sastra Indonesia? hahaha

Bagaimana pula dengan peran Saut Situmorang?

Lha Saut kian memperkuat BP. Jaringan Saut sangat luas. Ia di BP juga bertanggung jawab penjaga gawang esai. Ia juga maskot BP, hehehe. Ia, Kus, dan aku selalu berada di depan menghadapi lawan dalam Perang Sastra BP vs TUK.

Dalam beberapa edisi dan tulisan, BP banyak menyerang TUK. Kenapa?

BP selalu menyerang TUK (kini juga Salihara) dan antek-anteknya karena kami melihat TUK dan Salihara adalah pintu gerbang masuknya inperialisme budaya di Indonesia. Tempat itu markas budak penjajah.

Dalam pembelaannya, orang-orang TUK selalu meminta bukti-bukti dan argumentasi. Bisakah tuduhan-tuduhan itu diperkuat dengan bukti-bukti?

Orang-orang TUK selalu minta bukti-bukti? Itu lagu lama! Juga mereka biasa bilang BP itu jurnal fitnah. Tapi ketika kami tanyakan tulisan mana yang mereka anggap fitnah, mereka tak berkutik. Kami menjamin tulisan-tulisan di BP tak satu pun berupa fitnah! Lha kalau orang-orang TUK menganggap BP itu tulisan fitnah, kenapa tak mengajukan saja ke pengadilan? Bukankah Negara kita negara hukum? Maka, bila kemudian banyak orang sadar bahwa yang ditulis di BP adalah kebenaran, ya memang demikian adanya. Mereka juga minta argumentasi? Lha mereka sendiri juga gak bisa berargumentasi ketika merasa dituduh hehehehehe.

Kenapa pula Goenawan Mohamad (GM) diserang? Bukankah dia cukup berjasa bagi sastra Indonesia? Bagaimana Anda menanggapi pernyataan GM bahwa serangan BP itu seperti coretan di kakus?

Kenapa GM diserang? Karena dia penjaga gawang TUK dan Salihara. Dia ideolog kaum pecundang itu! GM berjasa dalam sastra Indonesia? Bohong besar! Dia hanya seolah-olah merasa berjasa, seperti dia mencitrakan dirinya seolah-olah demokratis padahal dia anti-demokrasi, seolah-olah dia pro-rakyat tapi sejatinya dia anti-rakyat, dan lebih senang memanipulasi rakyat. Ini serius, rakyat harus tahu. Sejarah sastra harus diluruskan! GM menganggap serangan BP seperti coretan di kakus? Itu kan jawaban dari seorang pecundang yang tak bisa mengelak karena borok-boroknya diungkap. Sungguh jawaban yang sangat tidak cerdas, kekanak-kanakan, dan kerdil! Bukankah karya-karya kelompoknya yang biasanya mengumbar kelamin itu yang layak masuk kakus? Coba perhatikan apa saja yang biasa ada di dalam kakus? Alat kelamin, penutupnya dan tinja yang dibuang ke kakus bukan? Itulah sejatinya karya-karya mereka. Beda dengan BP: sarat dengan pikiran cerdas, idealisme, perlawanan-perlawanan itu kan tempatnya di ruang tamu atau ruang rapat! Bukan kakus!

Kehidupan sastra Indonesia seperti apa yang Anda impikan?

Kehidupan sastra yang saya impikan adalah kehidupan sastra yang sehat dan dinamis yang mengakomodir secara jujur karya-karya sastrawan yang tersebar di penjuru nusantara. Bukan kehidupan sastra yang penuh manipulasi dan tipuan-tipuan seperti yang diperagakan gank GM.

Mengapa memilih nama BP? Apakah ada makna di balik nama BP itu? Mengapa pula penulisannya menggunakan ejaan lama? Adakah idealisme di balik penggunaan ejaan lama itu? Atau hanya sekadar nostalgia?

Saya pilih nama boemipoetra karena nama itu sangat Indonesia. Semangatnya juga semangat sangat Indonesia. Akar budaya Indonesia sangat kaya, mengapa kita tak mau bekerja keras menggalinya tapi malah sibuk mengimpor dari Barat? Bukankah itu kemalasan berpikir? Atau sengaja agar budaya Barat itu untuk merusak ke-Indonesia-an kita. Kalau harus memakai ejaan lama dan ejaan kecil karena yang lama tidak selalu buruk, yang modern tidak selalu baik. Biasanya kaum boemipoetra itu orang-orang kecil yang jujur sebagai representasi rakyat Indonesia, itulah sebabnya ejaan boemipoetra pakai huruf kecil.

Kenapa dalam artikel atau esai justru menggunakan ejaan baru? Bisa dijelaskan mengenai hal ini?

Pada tulisan/esai memakai ejaan baru supaya kau tak kesulitan membacanya, hehehehehehe

Banyak pembaca yang terkejut dengan diksi yang digunakan oleh penulis-penulis BP. Bahkan ada yang menyebutkan terlalu “kasar”. Bisa Anda jelaskan mengenai penggunaan diksi seperti itu?

Diksi BP terlalu kasar? Anda harus melihat BP secara utuh. Ikuti pula dari edisi ke edisi. Pada edisi pertama memang sangat kasar(?). Itu kan taktik perang saja. Dan strategi kami terbukti berhasil: begitu BP terbit ramailah kesusastraan kita. Bila ada yang mempermasalahkan beberapa tulisan porno maka tujuan BP pun tercapai. Bahwa sastra Indonesia yang selama ini dianggap baik itu ternyata hanya porno dan harus dipermasalahkan. Begitulah cara BP ‘menembak’. Di BP, sudah kami rancang sekian persen karya kreatif yang kuat, sekian persen esai yang kuat, sekian persen ideologi perjuangan yang kuat, dan sekian persen gossip/hiburan sastra yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga orang membaca BP akan menjadi ‘kaya’, sadar, cerdas, berenergi, dan gembira.

Cukup banyak penulis yang menggunakan nama samaran. Beranikah Anda menyebutkan siapa saja di balik nama-nama samaran itu? Kenapa masih ada yang menggunakan nama samaran. Apakah ini pertanda sifat pengecut pada penulis itu atau ada maksud di balik penggunaan nama samaran itu?

Nama samaran itu dijaga kerahasiaannya sesuai permintaan penulisnya semata-mata karena sikap rendah hati penulisnya.

Apakah benar perjuangan BP akan diteruskan sampai TUK hancur? Kalau TUK hancur, bukankah itu juga merugikan aset budaya kita?

Perjuangan BP akan diteruskan bukan hanya bila TUK hancur tapi sampai Indonesia merdeka semerdeka-merdekanya.

Bisakah BP menerima perbedaan pandangan politik? Sejauhmana toleransi yang diberikan BP dengan adanya perbedaan politik semacam itu? BP mengatakan TUK dibiayai kapitalis Amerika. Bisakah BP memberikan data-data yang kuat mengenai hal itu?

BP jelas sangat bisa menerima perbedaan pandangan politik. Aku di Tangerang menentang Perda pelacuran yang sangat diskriminatif sampai mengajukan yudisial review ke MA. Saut juga sangat menghargai pluralisme. Di jajaran redaksi BP sendiri sangat plural. Saut sangat bangga dengan Marxisnya, saya sangat nasionalis, dan Kusprihyanto sekarang sangat Islam. Kawan-kawan yang lain masuk dalam satu dari tiga ideologi itu. Bukankah itu miniatur bertoleransi? Dan bukankah sikap kami yang berbeda dengan TUK juga bentuk dari pluralisme? Bagi kami, TUK bukan asset budaya, melainkan perusak budaya. Mereka yang lebih dulu menghancurkan kebudayaan Indonesia secara sistematis, maka mereka wajar bila harus dihancurkan pula.

BP sendiri dibiayai siapa? Berapa eksemplar BP dicetak setiap edisinya?

BP terbit dari hasil patungan pengurusnya, infak/sumbangan pelanggan/pembaca BP seperti Anda. Dicetak seribu eksemplar setiap edisinya, dan kami distribusikan ke pelosok nusantara.

Sebenarnya masih sangat banyak yang ingin saya tanyakan. Namun, untuk sementara sampai di sini dulu dan nantinya bisa kita lanjutkan lagi. Sebab, bagaimanapun munculnya BP ini sangat penting. Hanya saja, masyarakat sastra Indonesia juga memerlukan informasi mengenai BP secara lengkap, agar BP tidak dipandang sebelah mata atau disalahpahami. Atas kebaikan Mas Wowok menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, saya mengucapkan banyak terima kasih. Semoga BP semakin maju dan berkembang.

Demikian, salam, Wowok Hesti Prabowo (Negarawan Sastra Indonesia)

Citayam, 9 Februari 2009
Asep Sambodja