Rabu, 25 Maret 2009
The Da Peci Code: Potret Keluarga Keturunan Arab di Betawi pada Awal Abad ke-21
oleh Asep Sambodja
Novel The Da Peci Code yang ditulis Ben Sohib ini diterbitkan oleh sebuah penerbit indie di Jakarta, yakni Rahat Books pada September 2006. Belum genap satu tahun, buku ini sudah mengalami cetak ulang yang keenam. Artinya, buku plesetan dari novel The Da Vinci Code karya Dan Brown ini cukup diminati. Persoalan yang diangkat dalam The Da Peci Code cukup sederhana, yakni persoalan peci, alat untuk menutup kepala.
Dalam novel itu, Ben Sohib menceritakan tentang seorang pemuda bernama Rosid yang hidup dalam keluarga keturunan Arab yang sudah bertahun-tahun tinggal di Condet, Jakarta Timur. Sebagai seorang laki-laki keturunan Arab, Rosid memiliki wajah yang khas Timur Tengah, berhidung mancung dan berperawakan tinggi. Hanya saja, yang membedakan Rosid dengan keluarganya adalah keinginannya untuk memanjangkan rambutnya yang keriting. Karena keinginannya itu pula Rosid tidak bisa memakai peci sebagaimana yang biasa dikenakan oleh keluarga muslim, termasuk keluarga keturunan Arab di Betawi.
Karena itu pulalah timbul konflik antara Rosid dengan ayahnya, Mansur al Gibran, yang ingin mempertahankan tradisi keislaman. Bagi Mansur, memakai peci adalah kewajiban bagi orang Islam, karena nenek-moyang mereka selalu memakai peci, apalagi kalau ada upacara atau kegiatan keagamaan. Sementara, Rosid berpendapat bahwa memakai peci hanyalah tradisi semata, bukan suatu kewajiban sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad, karena nabi sendiri tidak memakai peci, melainkan menggunakan serban (‘kain ikat kepala yang lebar—yang dipakai oleh orang Arab, haji, dan sebagainya’). Nabi juga tidak memaki sarung, melainkan jubah.
. Di sisi lain, keinginan Rosid untuk sekolah/kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ditolak mentah-mentah oleh ayahnya. Menurut sang ayah, kalau mau jadi seniman tidak perlu sekolah, cukup tidak mandi beberapa hari maka sudah jadi seniman. Akibatnya, Rosid tidak bisa sekolah dan tidak bekerja. Selama dua tahun ia hanya luntang-lantung sebagai pengangguran. Sementara Delia, gadis yang di lehernya bergantung tanda salib, jatuh cinta pada Rosid justru karena penampilannya yang lebih terbuka seperti itu.
Dengan demikian, selain persoalan peci yang menimbulkan konflik antara Rosid dengan ayahnya, persoalan perbedaan agama juga menjadi persoalan antara Rosid dengan Delia, mahasiswi IKJ jurusan Desain Grafis. Hanya saja, konflik antara Rosid dengan Delia lebih pada konflik batin dalam diri mereka berdua. Kedua anak muda ini sebenarnya memiliki pikiran yang terbuka, segala perbedaan bisa diatasi dengan cinta. Hanya saja, dalam novel ini, persoalan perbedaan agama belum menjadi persoalan yang penting di mata Ben Sohib. Pengarang, melalui tokoh Ustadz Abu Hanif (ayah Mahdi—sahabat Rosid), memberikan penjelasan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila mereka menikah kelak.
Ben Sohib mencoba membongkar tradisi penggunaan peci melalui The Da Peci Code ini. Mansur al Gibran yang mencoba mempertahankan tradisi penggunaan peci dan baju koko sebagaimana nenek moyangnya dulu gagal mewarisi pada anaknya, Rosid, yang telah melakukan internalisasi terhadap globalisasi. Rosid berpendapat bahwa yang perlu diteruskan adalah ajaran-ajaran nabi, keyakinan dan kepercayaan yang dibawa nabi, bukan tradisi nenek moyang. Dalam hal ini, Rosid menolak simbol-simbol agama yang justru memunculkan eksklusivitas dalam kehidupan yang majemuk/heterogen.
Melalui novel yang sangat sederhana ini pula, Ben Sohib mencoba memetakan adanya kelompok-kelompok Islam dalam masyarakat Betawi, yakni kelompok Radikal (Remaja Didikan Allah) yang dipimpin Lukman, kelompok Moderat (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat) yang dipimpin Hisyam, dan kelompok Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain) yang kesemuanya itu merupakan representasi dari masyarakat muslim yang tumbuh subur di Betawi. Lukman, misalnya, digambarkan sebagai alumni pesantren yang mengharamkan bid’ah, di antaranya dia menolak perayaan Maulid Nabi Muhammad, karena katanya “Nabi Muhammad tidak pernah merayakan ulang tahun.” Namun, argumentasi Lukman itu dimentahkan oleh tokoh Husein Wirakusuma, yang meminta Lukman membaca lagi Surat Al-A’raaf ayat 157. Inti ayat tersebut adalah penggambaran bagaimana sayangnya Allah swt. Kepada Nabi Muhammad.
Dalam satu fragmen dalam novel itu, ketiga kelompok ini bertemu di depan rumah Mahdi (nama ini bisa mengasosiasikan pada Imam Mahdi, mengingat aliran-aliran baru dalam Islam salah satunya karena persoalan Imam Mahdi ini, namun bisa saja tidak dimaksudkan demikian). Ketiga kelompok itu hadir ke rumah Mahdi—yang di dalamnya sedang dilakukan diskusi mingguan—karena ada isu bahwa di rumah Mahdi itu sedang dilakukan kegiatan yang berkaitan dengan aliran sesat. Ketegangan antara kelompok itu dengan masyarakat setempat disulut oleh provokator yang bernama Said, yang tidak lain adalah sahabat ayah Rosid sendiri. Gara-gara Said melempar kaca jendela rumah Mahdi itulah kerusuhan terjadi, namun kerusuhan itu bisa dipadamkan oleh aparat keamanan di Rukun Warga (RW) setempat.
Tokoh Said yang dihadirkan Ben Sohib dalam novel ini ditampilkan sebagai tokoh antagonis yang selalu mempengaruhi Mansur dalam menyelesaikan konflik dengan anaknya sendiri. Saidlah yang mengajak Mansur mendatangi “orang pintar” di Sukabumi agar bisa menyadarkan Rosid, sehingga Rosid menuruti apa kata orangtua. Namun, upaya itu gagal total. Rosid tetap akan memelihara rambut kribonya dan tak akan memakai peci.
Said pulalah yang meminta Mansur untuk mempertemukan anaknya dengan Ustadz Holid yang memiliki ummat yang besar. Namun, dalam debat terbuka di sebuah masjid, Rosid justru mempermalukan ustadz itu di hadapan murid-muridnya, karena tidak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis Rosid. Menurut Rosid, baju koko dan sarung yang dikatakan sebagai ciri keislaman itu sesungguhnya tidak demikian, karena baju koko itu dari Cina dan sarung itu dari India. Lebih lanjut Rosid mengatakan demikian (dalam bahasa Betawi):
“Kite ini terjebak ame simbol-simbol yang kite ciptain sendiri. Kalau ane kagak mau pake peci putih, kagak mau pake kain sarung, dan kagak mau pake baju koko, alasannye semue same aje, itu bukan ajaran Nabi Muhammad. Dalam agame-agame Ibrahimik, kayak Yahudi, Kristen, dan Islam, juge dalam sebagian agame non Ibrahimik, nutupin kepale itu emang termasuk dalam kesopanan. Malahan dalam Islam sebagian ade yang bilang itu sunnah….
Tapi perkare model, warna, motif, dan bentuknye, itu kaitannye ame budaye masing-masing. Jadi, model peci putih yang kayak dipake ama leluhur kite itu bukan ajaran agame, bukan sunnah, apalagi wajib. Itu cuma tradisi yang berkembang di mane leluhur kite hidup. Kesimpulannye, peci putih model leluhur kite itu setare ame blangkon atau penutup-penutup kepale yang lainnye, same-same sopan, same-same Islami. Same juga soal sarung….” (Sohib, 2007: 185-186).
Stuart Hall (dalam Budianta, 2007) mengatakan bahwa identitas budaya merupakan suatu produksi yang tidak pernah tuntas, selalu dalam proses, dan selalu dibangun di dalam—bukan di luar—representasi. Identitas bukanlah esensi, melainkan sejumlah atribut identifikasi yang menunjukkan bagaimana kita diposisikan dan memposisikan diri dalam masyarakat, karenanya tidak bisa tidak terkait dengan aspek budaya dan kesejarahan. Karenanya, identitas tidak bersifat statis, selalu dikonstruksi dalam ruang dan waktu, serta identitas bersifat kompleks dan majemuk.
Guru saya, Melani Budianta telah sangat bagus sekali menilai novel The Da Peci Code dalam artikelnya, “Aspek Lintas Budaya dalam Wacana Multikultural”. Saya kutip dua paragraf yang berkaitan dengan novel ini.
“Untuk kasus Indonesia, saya mengambil contoh novel The Da Peci Code karya Ben Sohib (2006), plesetan terhadap novel Dan Brown, The Da Vinci Code. Novel jenaka ini juga bicara tentang kemajemukan acuan budaya anak muda di kota Metropolitan [Jakarta]. Rosid, anak Betawi-Arab yang tinggal di Condet mengalami persoalan renggang generasi dengan orangtuanya, yang fanatic pada “tradisi leluhur” keluarga Al Gibran. Jika orangtuanya memutar lagu dangdut, percaya pada jampi-jampi, hidup antara sinetron, masjid, [toko], dan warung kopi, Rosid membaca novel terjemahan Ernest Hemingway, Kanzobure Oe, puisi Chairil Anwar, dan cerpen Hamsad Rangkuti, bercita-cita kuliah di IKJ, berpacaran [dengan Delia, gadis beragama lain] di cafĂ© Bakoel Koffie dengan gaya art deco, mengagumi tokoh-tokoh dunia seperti Che Guevara, Hugo Chavez, Ahmadinejad, dan memutar lagu “Maria-Maria” Carlos Santana. Bahasa menunjukkan identifikasi budaya tokohnya. Jika Abah [Mansur] dan komunitasnya berbicara dalam bahasa Indonesia dialek dan kosa kata Betawi (seperti maktub, gahar, gahwe) dan Arab (seperti syukron, syaiton, ahlan wa sahlan), Rosid dan teman-temannya berbicara dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa gaul (seperti bete, engeh) atau bahasa Inggris (seperti weekend, easygoing) dan sewaktu-waktu beralih kode (“It’s a good hair day! I love mum, bye!”).
Novel ini juga berbicara tentang pluralitas ideologi. Persoalan utama yang jadi sumber pertengkaran anak dan abah adalah pertanyaan, apakah peci putih benar-benar “tradisi leluhur” Arab yang tak terpisahkan dari keislaman ataukah sekadar produk budaya (dengan jeli Rosid menunjukkan bahwa peci yang serupa bertengger di kepala Paus orang Katolik, Nehru yang Hindu, dan orang Yahudi). Konflik antara ideologi yang esensialis dan fanatic, dengan sikap toleran yang “multikultural” jadi bahan satire, dengan plesetan akronim Moderat (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat), Radikal (Remaja Didikan Allah), dan Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain). Novel ini dapat diletakkan dalam suatu konteks, ketika terjadi sikap multikultural yang toleran sedang dalam persaingan hegemonic dengan ideologi-ideologi yang mengutamakan esensialisme, keaslian, dan kemurnian.” (Budianta, 2007).
Apa yang ditulis Melani Budianta di atas telah merangkum substansi novel The Da Peci Code karya Ben Sohib. Saya melihat bahwa apa yang dilakukan pengarang dengan melihat fenomena yang dilihatnya sehari-hari, yang sekaligus menjadi kegelisahannya, misalnya adanya aksi-aksi yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI), di antaranya merusak kafe-kafe dan menentang pluralisme dan dialog antar-agama, telah cukup tertangkap melalui novel ini. Bahkan message yang hendak disampaikan pengarang dapat tertangkap dengan jelas oleh pembaca.
Kita tahu bahwa ending atau akhir novel ini adalah kesadaran Mansur akan kesalahannya. Ia merasa bersalah telah memaksakan kehendaknya kepada Rosid. Mansur pun berang ketika mengetahui bahwa yang menjadi provokator kerusuhan di rumah Mahdi adalah Said. Ia pun menyerahkan Said kepada polisi untuk diselesaikan secara hukum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ben Sohib tengah merekonstruksi suatu kesadaran baru, yakni kesadaran multikultural sebagaimana yang dikatakan Melani Budianta. Bahwa sebenarnya sulit untuk mencari identitas budaya yang asli. Apa yang diyakini Mansur sebagai identitas budaya Islam, misalnya, seperti baju koko dan sarung itu, ternyata dilihat dari sejarahnya adalah pengaruh Cina dan India. Dan, sebagaimana dikatakan Stuart Hall, identitas budaya itu senantiasa berproses sesuai ruang dan waktu. Ben Sohib, melalui tokoh Rosid, hendak mengatakan bahwa yang terpenting adalah substansi ajaran agamanya, bukan pada simbol-simbol agama, seperti pakaian dan mode yang harus dilestarikan. Apakah Ben Sohib tengah mengarahkan pembaca menuju esensialis? Atau ia memperlihatkan tokoh Rosid beserta The Da Peci Code sebagai sebuah critical multiculturalism? Saya membacanya Ben Sohib ingin mengatakan bahwa sah saja seseorang memakai peci atau tidak, namun jangan sampai ada pemaksaan satu pihak terhadap pihak lain. Dalam hal ini, Ben Sohib tidak ingin Mansur al Gibran memaksakan Rosid memakai peci, meskipun Mansur adalah ayah Rosid sekalipun. Di akhir cerita, Mansur menyadari bahwa pemaksaan yang ia lakukan ternyata salah.
Nah, menyangkut persoalan substansi, sebenarnya ada persoalan yang lebih besar lagi yang perlu direnungkan setelah membaca The Da Peci Code, yakni persoalan perkawinan beda agama. Sayangnya, sekali lagi, hal ini tidak menjadi fokus perhatian Ben Sohib. Dalam kehidupan yang multietnis dan multiagama seperti di Jakarta ini, perkawinan beda agama itu seringkali terjadi. Bagaimana Ben Sohib memandang persoalan ini? Apakah ia akan mengikuti nasihat Ustadz Abu Hanif, yang menganjurkan agar sebaiknya Rosid mencari perempuan lain yang sama agamanya, seperti Nabila? Atau, apakah mereka akan menikah dengan tetap mempertahankan agamanya atau salah satu di antara mereka harus berpindah agama? Ini menjadi persoalan yang cukup serius. Namun, dalam novel ini, Rosid masih percaya pada cinta. Dengan cinta itu, ia ingin membangun jembatan untuk mengatasi perbedaan yang ada. Apakah nantinya jembatan itu akan kokoh atau terhempas terkena banjir, Rosid hanya bisa pasrah.***
Bibliografi
Budianta, Melani. 2007. “Aspek Lintas Budaya dalam Wacana Multikultural.”
Makalah untuk Seminar Kajian Wacana dalam Konteks Multikultural dan
Perspektif Multidisiplin. Depok: FIB UI.
Sohib, Ben. 2007. The Da Peci Code. Jakarta: Rahat Books.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar