oleh Asep Sambodja
Sikap Ajip Rosidi sebagai sastrawan terhadap Lekra dan Manikebu sangat jelas, bahwa dia tidak mau masuk dalam pengkotakan semacam itu. Dari esai-esainya tampak jelas bahwa Ajip Rosidi (1995) anti kelompok kiri, namun ia tak mau melakukan perlawanan terhadap Lekra dengan membuat “perahu” Manikebu, karena akan mudah “diserang” pihak lawan. Ia ingin menjadi sastrawan yang bebas dari blok Lekra maupun blok Manikebu. Dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 karya Arief Budiman (2006), Ajip Rosidi diposisikan sebagai sastrawan independen.
Arief Budiman menyebutkan bahwa pada 1960-an, sastrawan-sastrawan Indonesia berada dalam empat kelompok, yakni pertama, sastrawan-sastrawan yang menjadi anggota Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Boejoeng Saleh, F.L. Risakotta, Amarzan Ismail Hamid, Sobron Aidit, Rivai Apin, dan sebagainya. Kedua, sastrawan-sastrawan yang menandatangani Manifes Kebudayaan seperti H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Taufiq Ismail, dan sebagainya. Ketiga, sastrawan-sastrawan yang bernaung di bawah partai politik, seperti Sitor Situmorang (LKN-PNI), Asrul Sani dan Usmar Ismail (Lesbumi-NU), dan sebagainya. Kelompok keempat adalah sastrawan independen seperti Ajip Rosidi, Trisnojuwono, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan K.H. dan sebagainya.
Dalam buku Sastera dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan, Ajip Rosidi (1995) menjelaskan bahwa Arief Budiman mendatangi Ajip Rosidi yang saat itu sedang berada di rumah Toto Sudarto Bachtiar di Jakarta. Arief Budiman meminta Ajip Rosidi dan Toto Sudarto Bachtiar untuk menandatangani pernyataan Manifes Kebudayaan, tapi keduanya menolak. Ajip Rosidi beranggapan bahwa langkah seperti itu berbahaya, karena tidak lagi merupakan langkah kebudayaan, melainkan sudah merupakan langkah politik, karena bagaimanapun pernyataan itu merupakan suatu pernyataan politik (Rosidi, 1995).
Ajip Rosidi memilih menjadi sastrawan yang bebas. Kebebasan yang dimaksud Ajip adalah kalaupun seniman dan sastrawan diwajibkan masuk suatu partai politik maupun lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah partai politik, hendaknya tetap mempertahankan independensinya (Rosidi, 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun bebas, bukan berarti tidak tahu politik. “Sebagai seniman, mereka harus percaya pada kekuatan hasil ciptaannya saja. Dan percaya, bahwa kekuatan hasil ciptaan dapat mengatasi segala kotak yang dibuat berdasarkan pandangan politik,” tulis Ajip Rosidi.
Sebagai salah satu pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) yang menghadiri rapat persiapan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesiaa (KKPI) di Balai Budaya, Ajip Rosidi menyarankan agar sastrawan-sastrawan Lekra diundang juga dalam kongres tersebut, dan bukannya diasingkan. Ternyata usul Ajip Rosidi ini tidak diterima oleh panitia KKPI.
Ketika KKPI diselenggarakan pada Maret 1964, Ajip Rosidi protes kepada panitia, kenapa sebuah konferensi pengarang diketuai oleh seorang yang sama sekali bukan pengarang, meskipun dia jenderal, yakni Mayjen Sudjono. “Itu merupakan suatu keganjilan yang merusak citra sastrawan,” ujar Ajip Rosidi (1995).
Ajip Rosidi sebenarnya tahu bahwa KKPI itu didukung penuh oleh Angkatan Darat, berkat lobi Bokor Hutasuhut dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Semua peserta yang datang dari daerah dibiayai oleh Angkatan Darat, terutama yang menandatangani Manifes Kebudayaan. Ajip Rosidi dan sastrawan-sastrawan dari Bandung yang datang ke KKPI itu sama sekali tidak dibiayai oleh Angkatan Darat karena tidak menandatangani Manifes Kebudayaan. Ajip Rosidi mengaku ia dibantu oleh pengusaha Rachmat Bustaman dan meminta honorarium pada Jacob Oetama dan P.K. Ojong untuk tulisannya yang akan dimuat di majalah Intisari.
Goenawan Mohamad (2002) dalam bukunya Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas menilai konferensi itu merupakan suatu kegagalan. Selain tidak membicarakan persoalan substansi Manifes Kebudayaan, tidak semua peserta yang hadir adalah sastrawan atau seniman. “Saya ingat salah seorang yang duduk di samping saya dalam rapat-rapat persiapan adalah seorang penyusun buku pelajaran tentang tata buku. Ada juga kemudian seorang perwira kedokteran AD, dan beberapa birokrat yang tak dikenal dari daerah,” kata Goenawan Mohamad (2002).
Sebulan setelah acara konferensi itu, Ajip Rosidi bertemu dengan Bokor Hutasuhut. Dengan bangga Bokor mengatakan bahwa Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) yang merupakan organisasi hasil bentukan KKPI yang baru berlangsung akan diterima oleh Ibu Fatmawati, istri pertama Presiden Soekarno. Bokor menganggap ini merupakan kemenangan politik, karena pihak Lekra telah merangkul Ibu Hartini, istri kedua Presiden Soekarno. Ajip Rosidi menilai bahwa tindakan itu berbahaya, “karena dengan demikian kita telah mencampuri urusan rumah tangga Bung Karno,” tegas Ajip Rosidi (1995).
Pada 8 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan yang isinya melarang Manikebu. Pernyataan itu dimuat di berita Antara pada 10 Mei 1964.
Kami, Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi keutuhan dan kelurusan jalannya revolusi, dan demi kesempurnaan ketahanan bangsa, apa yang disebut Manifesto Kebudayaan yang disingkat menjadi Manikebu dilarang.
Sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran telah menjadi garis besar haluan negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan memberikan kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya revolusi maka segala usaha kita jalankan di atas rel revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan indoktrinasi lain-lainnya.
Tidak lama setelah pelarangan itu, Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo mengirim surat kepada Presiden Soekarno untuk meminta maaf. Ketika Ajip Rosidi bertanya kepada Trisno Sumardjo, kenapa mereka minta maaf sementara penandatangan Manikebu di daerah-daerah menjadi korban “pengganyangan”, Trisno Sumardjo menjawab, “Saya sendiri tidak tahu. Itu usulnya Bokor, jadi kami bertiga menurut saja.” (Rosidi, 1995).
Ajip sendiri curiga yang menulis pernyataan itu bukan Bung Karno, melainkan Njoto. Ia juga curiga Bung Karno tidak membaca pernyataan Manifes Kebudayaan itu. Tapi, kecurigaan semacam ini sulit dikonfirmasi kebenarannya. Pelarangan Manikebu itu meyakinkan Ajip Rosidi bahwa “pernyataan itu dikeluarkan Presiden Soekarno karena dia tersinggung setelah mendengar bahwa pihak KKPI mau mengunjungi Ibu Fatmawati yang ketika itu tetap resmi menjadi istrinya, tapi tidak mau tinggal lagi di istana setelah Bung Karno mengambil Hartini sebagai istri kedua,” (Rosidi, 1995).
Independensi Ajip Rosidi melemah ketika ia menyusun buku Laut Biru Langit Biru (1977) dan Puisi Indonesia Modern (1987). Di dalam kedua buku itu tidak terbaca lagi sastrawan Lekra seperti Boejoeng Saleh, Rivai Apin, ataupun Pramoedya Ananta Toer. Di zaman Soeharto, politik benar-benar jadi panglima dan bukan sekadar slogan lagi. Sastrawan-sastrawan Lekra dipenjara tanpa diadili, karya-karya mereka menjadi bacaan terlarang, dan sastrawan independen pun tidak menghiraukannya.
Citayam, 20 Oktober 2009
Senin, 19 Oktober 2009
Sikap Ajip Rosidi terhadap Lekra dan Manikebu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar