Rabu, 17 Februari 2010

Membaca Arahmaiani




oleh Asep Sambodja


Cita-cita

Waktu kecil aku ditanya
Cita-citaku apa
Kubilang mau jadi nabi
Bapak bilang: tidak bisa!
Anak perempuan boleh meraih cita-cita
Mencari ilmu ke Roma atau ke Cina
Mendapat gelar terhormat
Kemuliaan
Tapi bukan sebagai nabi
Itu hanya untuk anak lelaki

Sesudah dewasa
Aku ditanya
Kapan akan berkeluarga
Dan aku bilang: kapan-kapan saja
Sebab keinginanku untuk jadi nabi
Dan boleh mendapat wahyu
Belum juga sirna
Kalaupun aku harus punya lelaki
Mestilah ia seseorang yang
Ingin jadi tuhan


Yogyakarta, 2002
Arahmaiani

Arahmaiani adalah seorang seniman tulen. Seluruh tubuh dan ide yang bersarang di kepalanya adalah senjatanya untuk menciptakan sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi. Dobrakan pertama yang dilakukannya adalah ingin menjadi nabi. Ia bercita-cita menjadi nabi. Karena, sejak Nabi Muhammad diyakini sebagai nabi terakhir, maka tertutuplah peluang bagi perempuan untuk menjadi nabi. Karena, seluruh nabi adalah laki-laki. Kenyataan seperti ini rupanya menggelisahkan seorang Arahmaiani. Kenapa Tuhan tidak memberi kepercayaan kepada perempuan untuk menjadi nabi? Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang mengemuka dalam benak sebagian perempuan.

Sang Bapak, figur laki-laki, mengatakan: Tidak boleh! Perempuan tidak boleh menjadi nabi, meskipun masih dalam taraf cita-cita. Karena bercita-cita ingin menjadi nabi, sang perempuan juga berkeinginan kelak ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan. Meskipun bahasa yang digunakan Arahmaiani sangat lugas, saya melihat adanya dua kemungkinan interpretasi terhadap bagian akhir puisi ini. Pertama, keinginan untuk menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan menunjukkan ambiguitas sang perempuan itu, bahkan seperti ada bias gender. Semula ia ingin menjadi nabi agar sejajar dengan laki-laki. Namun, kemudian, ia ingin menikah dengan laki-laki yang ingin menjadi Tuhan, yang berarti posisi laki-laki itu tetap lebih superior dibandingkan dengan posisi perempuan, meskipun kelak ia menjadi nabi.

Kedua, hal itu bisa ditafsirkan sebagai laki-laki yang berkeinginan untuk mencapai tingkat kesalehan yang tinggi, mencapai kemakrifatan atau manunggaling kawulo-gusti sebagaimana pengalaman Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, atau Al Hallaj. Interpretasi kedua atas “ingin jadi Tuhan” ini adalah cita-cita untuk menggapai sifat keilahian. Dengan demikian, lelaki yang memiliki sifat keilahian itu mampu mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan dalam perilakunya, dalam kehidupannya.

Puisi ini secara tegas mendobrak oposisi biner yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki; melawan larangan sang bapak yang mengatakan nabi hanya untuk laki-laki. Di sisi lain, sang perempuan tetap mengidolakan laki-laki yang “lebih tinggi” nilainya dari dirinya. Kalau sang laki-laki hanya bercita-cita jadi nabi, maka hal itu menjadi tak istimewa lagi bagi sang perempuan. Karenanya, ia menginginkan laki-laki yang lebih tinggi posisinya.

Saya melihat, memang pada awalnya ada pemberontakan yang cukup mengejutkan dari seorang Arahmaiani. Namun, di ujung perjuangannya itu secara tak sadar (atau malah secara sadar?) ia sepertinya tetap mengukuhkan dominasi laki-laki.

Saya sekadar ingin menambahkan catatan ringkas saya ini: meskipun para nabi itu semuanya laki-laki, namun ibu dari para nabi (kecuali Nabi Adam) itu adalah perempuan.

Citayam, 17 Februari 2010
Asep Sambodja

Tidak ada komentar: