* Saya memerankan tokoh iblis dalam lakon "Perempuan di Persimpangan Abad" yang dimainkan Teater UI dalam acara Malam Puisi Nusantara di Panggung Seni Universiti Kebangsaan Malaysia, 16 Agustus 2008. Saya bertindak sebagai sutradara, penulis naskah, dan pemain. Para pemain lainnya yang mendukung pementasan ini adalah Ika Pratiwi, Dhini Hidayati, Zahratun Mutmainah, dan Dwi Siti Aisyah. Fotografer: Haris Setia Bangsawan. Donatur: Aulia Akbari (merangkap penata cahaya).
* Press Release yang saya kirim dan dimuat di Kompas.com:
Teater UI akan mementaskan monolog “Perempuan di Persimpangan Abad” di Malaysia pada 16 Agustus 2008. Pementasan itu digelar dalam acara Malam Puisi ASEAN 2008 yang diselenggarakan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di Panggung Seni UKM, Bangi, Selangor, Malaysia.
Lakon “Perempuan di Persimpangan Abad” ini diilhami oleh esai Benedict Anderson yang berjudul “Petrus Dadi Ratu” di majalah Tempo No. 6, Tahun XXIX, edisi 10-16 April 2000 dan buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia yang terbit pada 2007. Lakon tersebut bercerita tentang perempuan-perempuan korban perkosaan para serdadu pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965.
Berdasarkan testimoni perempuan-perempuan yang luput dari maut dan sakit jiwa itulah dibuat monolog “Perempuan di Persimpangan Abad” oleh Asep Sambodja, yang juga menyutradarai pertunjukan ini. Selain itu, lagu “Genjer-genjer” yang dinyanyikan Bing Slamet dan “Jalang” yang dinyanyikan grup musik Efek Rumah Kaca memberi ruh lakon ini. Adapun pemain yang memperkuat “Perempuan di Persimpangan Abad” adalah Ika Pratiwi, Zahratun Mutmaina, Dhini Hidayati, dan Dwi Siti Aisyah.
Pementasan ini sekaligus mencermati sejarah tergelap bangsa Indonesia yang terjadi pada 1965-1966. Dalam peristiwa tersebut, pasukan pengamanan Presiden Soekarno, yakni Pasukan Cakrabirawa melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira tinggi Angkatan Darat (yang disebut Dewan Jenderal oleh Pasukan Cakrabirawa) di Lubang Buaya, Jakarta. Setelah peristiwa itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dari peristiwa penculikan dan pembunuhan itu, melakukan aksi penumpasan terhadap pelaku pembunuhan itu. Soeharto mengklaim Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar keempat di Indonesia saat itu, berada di balik peristiwa berdarah itu. Dengan demikian, ia menuntut partai itu dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian bukan saja penangkapan dan pembunuhan terhadap elite-elite politik PKI, tetapi juga melukai seluruh anggota partai hingga ke “akar-akar”-nya.
Mereka yang tidak terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal itu juga menjadi korban. Banyak di antara mereka yang mati, masuk penjara tanpa diadili, dan gila. Nah, di antara korban itu ada yang masih bisa bertahan hidup hingga sekarang. Merekalah yang memberi pengakuan, karena perkosaan yang mereka alami tidak mungkin hilang dari ingatan. Pementasan monolog ini juga bisa ditafsirkan sebagai upaya “melawan lupa”.
Sebelumnya, pada acara Malam Puisi ASEAN yang digelar pada 30 Juli 2005, Teater UI mementaskan dramatisasi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri, dengan sutradara Anwari Natari.
Lakon “Perempuan di Persimpangan Abad” ini diilhami oleh esai Benedict Anderson yang berjudul “Petrus Dadi Ratu” di majalah Tempo No. 6, Tahun XXIX, edisi 10-16 April 2000 dan buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia yang terbit pada 2007. Lakon tersebut bercerita tentang perempuan-perempuan korban perkosaan para serdadu pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965.
Berdasarkan testimoni perempuan-perempuan yang luput dari maut dan sakit jiwa itulah dibuat monolog “Perempuan di Persimpangan Abad” oleh Asep Sambodja, yang juga menyutradarai pertunjukan ini. Selain itu, lagu “Genjer-genjer” yang dinyanyikan Bing Slamet dan “Jalang” yang dinyanyikan grup musik Efek Rumah Kaca memberi ruh lakon ini. Adapun pemain yang memperkuat “Perempuan di Persimpangan Abad” adalah Ika Pratiwi, Zahratun Mutmaina, Dhini Hidayati, dan Dwi Siti Aisyah.
Pementasan ini sekaligus mencermati sejarah tergelap bangsa Indonesia yang terjadi pada 1965-1966. Dalam peristiwa tersebut, pasukan pengamanan Presiden Soekarno, yakni Pasukan Cakrabirawa melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira tinggi Angkatan Darat (yang disebut Dewan Jenderal oleh Pasukan Cakrabirawa) di Lubang Buaya, Jakarta. Setelah peristiwa itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dari peristiwa penculikan dan pembunuhan itu, melakukan aksi penumpasan terhadap pelaku pembunuhan itu. Soeharto mengklaim Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar keempat di Indonesia saat itu, berada di balik peristiwa berdarah itu. Dengan demikian, ia menuntut partai itu dibubarkan dan dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian bukan saja penangkapan dan pembunuhan terhadap elite-elite politik PKI, tetapi juga melukai seluruh anggota partai hingga ke “akar-akar”-nya.
Mereka yang tidak terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal itu juga menjadi korban. Banyak di antara mereka yang mati, masuk penjara tanpa diadili, dan gila. Nah, di antara korban itu ada yang masih bisa bertahan hidup hingga sekarang. Merekalah yang memberi pengakuan, karena perkosaan yang mereka alami tidak mungkin hilang dari ingatan. Pementasan monolog ini juga bisa ditafsirkan sebagai upaya “melawan lupa”.
Sebelumnya, pada acara Malam Puisi ASEAN yang digelar pada 30 Juli 2005, Teater UI mementaskan dramatisasi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri, dengan sutradara Anwari Natari.
* Puisi yang didramatisasi:
PEREMPUAN DI PERSIMPANGAN ABAD
I
I
pada sebuah kalender
1965
Indonesia bermandi darah
Indonesia berdarah-darah
Jenderal-jenderal itu diculik dan dibunuh
Di lubang buaya
Bagai angin ribut
Badai itu datang
Badai itu datang
Badai itu datang
Siapa yang berani menyanyi
Pasti akan dikebiri...
Siapa yang berani menari
Pasti akan dieksekusi...
II
Genjer-genjer nang kadokan pating keleler...
Mboke tole teko-teko mbubuti genjer...
Aku Yanti, 14 tahun
Masih SMP
Aku tak tahu apa itu politik
Aku tak tahu apa itu dwikora
Yang aku tahu
Aku hanya mengikuti seruan Bung Karno
Kepada seluruh rakyat Indonesia
Untuk berlatih baris-berbaris
di lubang buaya
Di pagi buta
Para serdadu itu menangkapku
Dan menelanjangiku
Di tengah lapang
Setiap diinterogasi
Aku selalu menjawab tidak tahu
Karena benar-benar tidak tahu
Tapi mereka justru menyetrum
Kemaluanku
Hingga kuterjengkang
Dengan beringas
Mereka memperkosaku
Bergiliran
Aku Yanti, 14 tahun
Dipaksa mengatakan “ya”
Untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan
+ Apakah kamu yang membunuh jenderal-jenderal itu?
-- ya
+ Apakah kamu yang mencongkel-congkel mata mereka?
-- ya
+ Apakah kamu yang mengiris-iris penis mereka?
-- ya
+ Apakah kamu yang menyiksa sambil menari talanjang?
-- ya
+ Apakah kamu yang membuang mereka ke lubang buaya?
-- yaaaaaaaaaaaaaaaaa!
Lalu media massa
Memberitakan mitos
Yang tak pernah kulakukan itu
Dan sejarah mencatatnya!
Sebelum aku mati
Aku ingin sekali bertemu
Dengan keluarga para jenderal itu
Aku ingin mengatakan satu:
Bahwa aku bukan pembunuh jenderal-jenderal itu
Apalagi mengiris-iris kemaluan mereka!
“Bukan aku pembunuhnya...
Bukan aku...”
III
Aku Sudarsih
Ketika ditangkap, aku mahasiswa UGM tingkat akhir,
jurusan sastra Inggris
Aku aktif di organisasi mahasiswa CGMI
Ketika jenderal-jenderal itu dibunuh di lubang buaya Jakarta
Aku berada di Kertosono,
Kota kecil di Jawa Timur
Jelas, aku tidak terlibat dalam pembunuhan itu
Tapi serdadu-serdadu itu menangkapku
Dan aku dimasukkan ke penjara Solo
Dan tahu,
Apa yang terjadi di penjara Solo?
Setiap hari aku diperkosa
Dan saking banyaknya serdadu yang memperkosaku
Tak satu pun wajah pemerkosa itu yang kuingat
Tak satu pun!
Setiap dipanggil untuk “bon malam”
Aku sengaja tidak memakai celana dalam
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Karena aku tahu,
aku dipanggil untuk melayani nafsu seksual
Serdadu-serdadu biadab itu
Begitu masuk kamar pemerkosa itu,
Aku langsung telentang
Aku mematikan seluruh inderaku
Aku tak mau melihat
Aku tak mau mendengar
Aku tak mau merasakan
Karena hanya dengan cara itulah aku bisa melawan mereka!
Setiap mandi,
Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri....
Tapi, masih ada yang lebih menderita dariku
Namanya Prasti, temanku di penjara Solo
Ia baru saja melahirkan ketika ditangkap
Bayinya pun belum berumur seminggu ketika ia ditangkap
Hampir setiap hari ia diperkosa
Dan itu selalu mengakibatkan pendarahan hebat
Setelah kami sama-sama melayani nafsu seks para serdadu itu
Kami saling bertukar rasa sakit
Kami saling mengusap kepedihan
Dan penderitaan kami
Hingga timbul kasih sayang
Sungguh, aku tak tahu apa itu lesbian
Yang pasti aku mencintai Prasti
Di satu sisi, kami muak
Dan benci pada laki-laki
Di sisi lain, kami ingin
Mengembalikan harkat dan martabat kami
Sebagai perempuan
Sebagai manusia!
IV
Sejak 1965
Aku tak lagi suka menari
Meski menari adalah ruh dan jiwaku
Ya, aku tumbuh menjadi seorang penari istana
Aku sering menari di depan Bung Karno,
Atau di acara ulang tahun partai-partai politik
Dan organisasi massa
Aku jatuh cinta pada Nyoman
Seorang pemuda biasa yang pandai menari
Meski Nyoman dari kalangan sudra
Dan aku bangsawan, aku tetap cinta padanya
Meski adat tak bisa menerima
Aku tetap cinta padanya
Hingga aku dan Nyoman kawin lari
Meski kami hidup sederhana,
kami bahagia
Setelah jenderal-jenderal itu dibunuh
Di lubang buaya, Jakarta
Suara-suara itu sampai juga di Bali
Suara-suara itu membuyarkan ketenangan kami
+ Nyoman, keluar kau! Hei, PKI, keluar kau!
+ Bakar saja! Bakar saja rumahnya kalau dia tak mau keluar!
Suara-suara itu menusuk jantung kami
Aku takut
Aku sembunyi di semak-semak belakang rumah
Suara-suara itu benar-benar berbisa
Nyoman mati
Kedua mertuaku mati
Tombak menancap di dada mereka
Dan rumahku ludes terbakar
Aku berusaha mengecilkan tubuhku sekecil-kecilnya
Agar tak melihat kebiadaban itu
Tapi mereka menangkapku
Aku ditangkap
Ditelanjangi
Diarak keliling kampung
Tanpa sehelai benang pun!
Aku diikat di tiang Balai Desa
Tanpa baju
Tanpa makan
Tanpa minum
Tanpa kawan...
Sendiri
Lalu aku diinterogasi
Di pos keamanan
Aku disuruh menari
Karena mereka tahu aku penari
Aku disuruh menari di atas meja
Dalam keadaan telanjang
Gusti, apa arti manusia?
Aku menari
Tanpa hati
Dan tangan-tangan busuk para serdadu itu
Terus menggerayangiku
Setiap tepisan tangan yang kulakukan
Setiap kata “tidak” yang keluar dari mulutku
Berarti mati bagi tawanan lain
Ah, menari!
Aku kemudian dibebaskan
Karena terbukti aku tak bersalah
Aku Darmi
Aku hanya penari
Aku ditangkap dan disiksa
Karena suamiku PKI
Kini, setiap mendengar gamelan Bali
Jiwaku ingin menari-nari
Tapi, seketika itu juga aku membayangkan
Kebiadaban yang tak terkira...
V
Sejarah tak pernah mencatat
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
...
Catatan: Puisi ini terinspirasi dari buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 karya Ita F. Nadia. Naskah ini telah didramatisasi oleh Teater UI dan dipentaskan di Panggung Seni Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor, Malaysia dalam acara Malam Puisi Nusantara, 16 Agustus 2008. Terima kasih kepada Efek Rumah Kaca karena lagunya yang berjudul “Jalang” dikutip dalam puisi ini. ***
1965
Indonesia bermandi darah
Indonesia berdarah-darah
Jenderal-jenderal itu diculik dan dibunuh
Di lubang buaya
Bagai angin ribut
Badai itu datang
Badai itu datang
Badai itu datang
Siapa yang berani menyanyi
Pasti akan dikebiri...
Siapa yang berani menari
Pasti akan dieksekusi...
II
Genjer-genjer nang kadokan pating keleler...
Mboke tole teko-teko mbubuti genjer...
Aku Yanti, 14 tahun
Masih SMP
Aku tak tahu apa itu politik
Aku tak tahu apa itu dwikora
Yang aku tahu
Aku hanya mengikuti seruan Bung Karno
Kepada seluruh rakyat Indonesia
Untuk berlatih baris-berbaris
di lubang buaya
Di pagi buta
Para serdadu itu menangkapku
Dan menelanjangiku
Di tengah lapang
Setiap diinterogasi
Aku selalu menjawab tidak tahu
Karena benar-benar tidak tahu
Tapi mereka justru menyetrum
Kemaluanku
Hingga kuterjengkang
Dengan beringas
Mereka memperkosaku
Bergiliran
Aku Yanti, 14 tahun
Dipaksa mengatakan “ya”
Untuk sesuatu yang tak pernah kulakukan
+ Apakah kamu yang membunuh jenderal-jenderal itu?
-- ya
+ Apakah kamu yang mencongkel-congkel mata mereka?
-- ya
+ Apakah kamu yang mengiris-iris penis mereka?
-- ya
+ Apakah kamu yang menyiksa sambil menari talanjang?
-- ya
+ Apakah kamu yang membuang mereka ke lubang buaya?
-- yaaaaaaaaaaaaaaaaa!
Lalu media massa
Memberitakan mitos
Yang tak pernah kulakukan itu
Dan sejarah mencatatnya!
Sebelum aku mati
Aku ingin sekali bertemu
Dengan keluarga para jenderal itu
Aku ingin mengatakan satu:
Bahwa aku bukan pembunuh jenderal-jenderal itu
Apalagi mengiris-iris kemaluan mereka!
“Bukan aku pembunuhnya...
Bukan aku...”
III
Aku Sudarsih
Ketika ditangkap, aku mahasiswa UGM tingkat akhir,
jurusan sastra Inggris
Aku aktif di organisasi mahasiswa CGMI
Ketika jenderal-jenderal itu dibunuh di lubang buaya Jakarta
Aku berada di Kertosono,
Kota kecil di Jawa Timur
Jelas, aku tidak terlibat dalam pembunuhan itu
Tapi serdadu-serdadu itu menangkapku
Dan aku dimasukkan ke penjara Solo
Dan tahu,
Apa yang terjadi di penjara Solo?
Setiap hari aku diperkosa
Dan saking banyaknya serdadu yang memperkosaku
Tak satu pun wajah pemerkosa itu yang kuingat
Tak satu pun!
Setiap dipanggil untuk “bon malam”
Aku sengaja tidak memakai celana dalam
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Tidak perlu!
Karena aku tahu,
aku dipanggil untuk melayani nafsu seksual
Serdadu-serdadu biadab itu
Begitu masuk kamar pemerkosa itu,
Aku langsung telentang
Aku mematikan seluruh inderaku
Aku tak mau melihat
Aku tak mau mendengar
Aku tak mau merasakan
Karena hanya dengan cara itulah aku bisa melawan mereka!
Setiap mandi,
Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri....
Tapi, masih ada yang lebih menderita dariku
Namanya Prasti, temanku di penjara Solo
Ia baru saja melahirkan ketika ditangkap
Bayinya pun belum berumur seminggu ketika ia ditangkap
Hampir setiap hari ia diperkosa
Dan itu selalu mengakibatkan pendarahan hebat
Setelah kami sama-sama melayani nafsu seks para serdadu itu
Kami saling bertukar rasa sakit
Kami saling mengusap kepedihan
Dan penderitaan kami
Hingga timbul kasih sayang
Sungguh, aku tak tahu apa itu lesbian
Yang pasti aku mencintai Prasti
Di satu sisi, kami muak
Dan benci pada laki-laki
Di sisi lain, kami ingin
Mengembalikan harkat dan martabat kami
Sebagai perempuan
Sebagai manusia!
IV
Sejak 1965
Aku tak lagi suka menari
Meski menari adalah ruh dan jiwaku
Ya, aku tumbuh menjadi seorang penari istana
Aku sering menari di depan Bung Karno,
Atau di acara ulang tahun partai-partai politik
Dan organisasi massa
Aku jatuh cinta pada Nyoman
Seorang pemuda biasa yang pandai menari
Meski Nyoman dari kalangan sudra
Dan aku bangsawan, aku tetap cinta padanya
Meski adat tak bisa menerima
Aku tetap cinta padanya
Hingga aku dan Nyoman kawin lari
Meski kami hidup sederhana,
kami bahagia
Setelah jenderal-jenderal itu dibunuh
Di lubang buaya, Jakarta
Suara-suara itu sampai juga di Bali
Suara-suara itu membuyarkan ketenangan kami
+ Nyoman, keluar kau! Hei, PKI, keluar kau!
+ Bakar saja! Bakar saja rumahnya kalau dia tak mau keluar!
Suara-suara itu menusuk jantung kami
Aku takut
Aku sembunyi di semak-semak belakang rumah
Suara-suara itu benar-benar berbisa
Nyoman mati
Kedua mertuaku mati
Tombak menancap di dada mereka
Dan rumahku ludes terbakar
Aku berusaha mengecilkan tubuhku sekecil-kecilnya
Agar tak melihat kebiadaban itu
Tapi mereka menangkapku
Aku ditangkap
Ditelanjangi
Diarak keliling kampung
Tanpa sehelai benang pun!
Aku diikat di tiang Balai Desa
Tanpa baju
Tanpa makan
Tanpa minum
Tanpa kawan...
Sendiri
Lalu aku diinterogasi
Di pos keamanan
Aku disuruh menari
Karena mereka tahu aku penari
Aku disuruh menari di atas meja
Dalam keadaan telanjang
Gusti, apa arti manusia?
Aku menari
Tanpa hati
Dan tangan-tangan busuk para serdadu itu
Terus menggerayangiku
Setiap tepisan tangan yang kulakukan
Setiap kata “tidak” yang keluar dari mulutku
Berarti mati bagi tawanan lain
Ah, menari!
Aku kemudian dibebaskan
Karena terbukti aku tak bersalah
Aku Darmi
Aku hanya penari
Aku ditangkap dan disiksa
Karena suamiku PKI
Kini, setiap mendengar gamelan Bali
Jiwaku ingin menari-nari
Tapi, seketika itu juga aku membayangkan
Kebiadaban yang tak terkira...
V
Sejarah tak pernah mencatat
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
Orang-orang kalah
...
Catatan: Puisi ini terinspirasi dari buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 karya Ita F. Nadia. Naskah ini telah didramatisasi oleh Teater UI dan dipentaskan di Panggung Seni Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor, Malaysia dalam acara Malam Puisi Nusantara, 16 Agustus 2008. Terima kasih kepada Efek Rumah Kaca karena lagunya yang berjudul “Jalang” dikutip dalam puisi ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar