oleh Asep Sambodja
Apa yang menyebabkan novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan dari dewan juri Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005 yang diketuai Prof. Dr. Riris K. Toha-Sarumpaet--yang juga Ketua Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat? Apakah karena bahasa yang digunakan Seno demikian memikat atau karena isinya --yakni pesan (message)-- yang luar biasa?
Kalau kita bandingkan novel Kitab Omong Kosong dengan novel Negeri Senja --karya Seno lainnya yang juga mendapat penghargaan KLA 2004-- akan tampak bahwa bahasa yang digunakan Seno dalam Negeri Senja sebenarnya lebih simbolik, lebih merupakan bahasa metaforis yang memperkuat makna tekstual novel tersebut.
Lantas, apa yang membuat Kitab Omong Kosong terpilih sebagai novel asli Indonesia terbaik pada 2005 lalu serta mendapatkan hadiah Rp 100 juta? Novel yang memiliki ketebalan 623 halaman ini ternyata memiliki message yang luar biasa. Dalam Kitab Omong Kosong, Seno mempertanyakan kembali nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan keadilan yang selama ini sudah dianggap mapan --sebuah sudut pandang yang menggunakan perspektif postkolonial, dengan mendekonstruksi sebuah sistem yang telah ada. Kebenaran, menurut Seno melalui salah satu tokoh utamanya, Satya, hanyalah sebuah dongeng. Kebenaran tidak bisa dipegang dan hanya bisa dikira-kira, dengan cara-cara yang disetujui bersama. Tapi, tetap saja [kebenaran itu] bersifat kira-kira, dan karena sifatnya yang kira-kira itu, maka sifatnya hanya untuk sementara (hlm. 166).
Dengan demikian, kebenaran yang ada adalah kebenaran relatif yang sangat bergantung kepada siapa yang mengemukakan dan adanya pengakuan publik mengenai hal itu. Kebenaran itu akan terus dipegang hingga ada yang membuktikan kekeliruannya. Karena itulah tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar, sebab kebenaran mutlak itu hanya melekat pada Tuhan.
Sama halnya dengan kebenaran, persoalan keadilan dan keindahan pun menjadi relatif dan sangat bergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan serupa itulah Seno Gumira Ajidarma mendekonstruksi kitab Ramayana karya Walmiki dan kemudian merekonstruksinya kembali menjadi Kitab Omong Kosong.
Setidaknya ada tiga hal yang didekonstruksi Seno dari kitab Ramayana Walmiki itu. Pertama, karakter Sri Rama--yang merupakan titisan Dewa Wisnu--dan Laksmana, yang digambarkan sebagai tokoh agung dalam Ramayana, berubah menjadi tokoh yang bengis, tidak mengenal rasa peri kemanusiaan, sekaligus memperlihatkan diri mereka sebagai sosok penguasa yang tidak bijak dalam Kitab Omong Kosong. Di tangan Seno, Rama dan Laksmana digambarkan sebagai orang yang telah terpengaruh oleh apa yang disebut Seno sebagai “gelembung Rahwana” sehingga menyebabkan keduanya, bahkan seluruh rakyat Ayodya, menjadi jahat atau pun menjadi tokoh antagonis dalam cerita itu.
Kedua, sebagaimana lazimnya karya seni produk postkolonial, Seno menggunakan perspektif baru dalam melihat persoalan kehidupan. Suara-suara yang selama ini terpinggirkan atau tersubordinasikan dimanfaatkan dengan baik oleh Seno dalam Kitab Omong Kosong. Suara kaum perempuan, misalnya, yang diwakili Sinta--tokoh yang demikian pasrah dalam Ramayana--keluar dengan deras bagaikan air yang membludak dari bendungan, sehingga sangat menusuk perasaan siapa saja (termasuk perasaan siluman yang digambarkan Seno juga memiliki hati). “Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima saja aku apa adanya, meski seandainya Rahwana telah memperkosa diriku? Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan jika aku telah berbuat seperti seorang pelacur kepada Rahwana, yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah aku seperti apa adanya,” gerutu Sinta (hlm. 26).
Ketiga, terkait dengan gugatan dari kaum pinggiran, Seno juga menggunakan manusia biasa, seperti Maneka (pelacur) dan Satya (penggembala) sebagai tokoh utama dalam novel ini. Sementara manusia agung (uebermensch) seperti Rama, Laksmana, dan bahkan Walmiki dihadirkan sebagai sasaran kritik atau gugatan suara-suara subaltern itu. Satya dan Maneka merupakan simbol orang-orang kecil yang selama ini menjadi korban dan ingin menuntut haknya.
Satya, misalnya, tidak berdaya setelah menyaksikan sendiri bagaimana pasukan berkuda yang dipimpin Laksmana dari kerajaan Ayodya membumihanguskan desanya di kerajaan Mantura. Ayah, ibu, saudara, tetangga, bahkan binatang-binatang ternak yang ada di desanya semuanya dibunuh oleh pasukan Laksmana.
Sementara Maneka adalah seorang perempuan yang sejak berumur sembilan tahun dititipkan ayahnya di sebuah rumah bordil. Apalagi pada punggungnya terdapat rajah atau tatto kuda--yang diyakini banyak orang sebagai penyebab malapetaka. Ketika Maneka berhasil dilarikan dari rumah bordil oleh Sarita, sahabatnya, yang tidak tega menyaksikan Maneka diperkosa oleh seisi kota setelah tahu ada rajah kuda di punggung Maneka, maka ia memantapkan diri untuk segera mengubah nasibnya. Jalan yang ditempuh Maneka adalah mencari Walmiki, tukang cerita dan penulis Ramayana—sebuah buku yang berisi banyak korban berguguran akibat perang. Dan, setiap kali Maneka bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, ia selalu mendapat petunjuk yang sama, bahwa Walmiki selalu berjalan ke arah matahari tenggelam.
Sejak itu pula Maneka yang ditemani Satya selalu berjalan ke arah senja. Tampak bahwa “senja” sering menjadi obsesi Seno Gumira Ajidarma dalam bercerita. Dan, bisa jadi, senja menjadi inspirasi karya-karyanya. Dalam beberapa karyanya, baik cerpen maupun novel, Seno memang sering memanfaatkan latar senja.
Lantas, apa itu Kitab Omong Kosong? Kitab ini lahir dari hasil perenungan Hanoman tentang hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam Kitab Omong Kosong ini, Hanoman dan Walmiki menjadi tokoh yang cukup penting, karena keduanya berkaitan langsung dengan pengembaraan Satya dan Maneka.
Walmiki demikian berarti bagi Maneka yang ingin mengubah nasibnya. Saat bertemu Walmiki, Maneka meminta agar Walmiki mengubah ceritanya agar ia tidak bernasib sial. Gugatan semacam ini juga keluar dari tokoh-tokoh figuran yang tampil sebentar dalam kitab Ramayana dan hanya untuk dimatikan oleh pengarangnya. Misalnya, Kapimoda, Trijata, Talamariam, Bubukshah, dan Gagang Aking. Terhadap semua gugatan itu, Walmiki mengatakan bahwa dirinya sudah lupa dengan tokoh-tokoh figuran semacam itu, apalagi tokoh yang hadir di tengah massa dan tidak memiliki karakter tertentu. Walmiki menjelaskan bahwa sebenarnya tokoh-tokoh itu, termasuk Maneka, bisa menentukan nasibnya sendiri. Kepada seorang tokoh yang tidak jelas karakternya, Walmiki mengatakan, “Tulislah ceritamu sendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi.”
“Aku tidak bisa menulis.”
Walmiki menjadi sangat jengkel. “Kalau begitu engkau sial! Sudahlah! Pergilah!” (hlm. 515).
Sementara tokoh Hanoman sangat berpengaruh dalam proses pencarian makna hidup yang dilakukan Satya, terutama karena Hanoman telah menulis Kitab Omong Kosong selama ia melakukan pertapaan. Hal itu dilakukan Hanoman setelah ia berbeda jalan dengan kebijakan politik Rama yang ingin menjadikan Ayodya sebagai kerajaan adidaya (super power), yang ingin mengkooptasi semua kerajaan yang ada di seluruh anak benua.
Nama kitab itu, Kitab Omong Kosong, tidak keliru sebagai kunci segala bidang dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan itu sebenarnya omong kosong saja. “Kalau ilmu pengetahuan hanya suatu cara menggambarkan kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri, sementara kenyataan itu sendiri tidak mungkin diketahui, maka ilmu pengetahuan itu sendiri menggambarkan apa kalau bukan kekosongan?” (hlm. 203).
Pada akhirnya, Maneka merasa yakin bahwa ia bisa mengubah nasibnya yang malang. Hal itu terjadi setelah Maneka bertemu Walmiki secara tak sengaja di suatu tempat, di sebuah padang rumput yang tak jauh dari Gurun Thar, tempat Maneka dihukum rajam oleh bandit-bandit Gurun Thar. Demikian pula dengan Satya, yang telah kehilangan segala-galanya, kini sangat paham bagaimana cara memaknai hidup setelah membaca Kitab Omong Kosong tulisan Hanoman yang terdiri dari lima bagian itu.
Isi Kitab Omong Kosong itu tercermin dari judul masing-masing bagian, yakni “Dunia Seperti Adanya Dunia”, “Dunia Seperti Dipandang Manusia”, “Dunia yang Tidak Ada”, “Mengadakan Dunia”, dan “Kitab Keheningan”--yang merupakan puncak pencapaian dari proses panjang pencarian makna hidup. Ternyata, di dalam kitab bagian kelima itu tidak ada satu huruf pun. Kosong. Dan, hanya berisi lembaran-lembaran daun lontar yang bersih tak berhuruf. Dengan kekosongan itu pula Satya dan Maneka membaca dunia, membaca alam semesta.
Seno Gumira Ajidarma yang dalam Kitab Omong Kosong “mengidentifikasikan” dirinya sebagai Togog, mengatakan bahwa ia “tahu diri betapa cerita ini tidak menarik, dibuat dengan ngawur, tergesa-gesa, terkantuk-kantuk, berlari dari kota ke kota, tanpa pernah mau belajar, ditulis tanpa perenungan, berpura-pura pintar, padahal tidak ada isinya sama sekali…. Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca, karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka (hlm. 619). Sebuah epilog yang nakal, tapi bikin penasaran.
Ironis, sekali-sekali kita memang harus mendengar suara Togog dan tidak harus mendengar suara Semar terus. Harapan seperti itu memang selayaknya kita renungkan. Namun, dalam hal Kitab Omong Kosong ini, sebaiknya kita jangan percaya dulu dengan apologi Togog. ***
Senin, 15 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar