Selasa, 23 September 2008

Kontroversi KLA 2008

oleh Asep Sambodja


Pada 20 September 2008, saya mendapat email (dari milis Apresiasi Sastra), yang berisi pengumuman hasil seleksi tahap pertama (Longlist) Khatulistiwa Literary Award 2008 dari Panitia KLA 2008. Ada 10 nomine di bidang prosa dan 10 nomine di bidang puisi.
Kesepuluh nomine di bidang prosa adalah Danarto (Kacapiring), Junaedi Setiyono (Glonggong), Dyah Merta (Peri Kecil di Sungai Nipah), Ayu Utami (Bilangan Fu), Mohamad Sobary (Sang Musafir), Mashuri (Hubbu), Lan Fang (Lelakon), E.S. Ito (Rahasia Meede), Helvy Tiana Rosa (Bukavu), dan Arswendo Atmowiloto (Blakanis).
Sementara 10 nomine di bidang puisi adalah Saut Situmorang (Otobiografi), Oka Rusmini (Pandora), Afrizal Malna (Teman-temanku dari Atap Bahasa), Sutardji Calzoum Bachri (Atau Ngit Cari Agar), M. Aan Mansyur (Aku Hendak Pindah Rumah), Binhad Nurrohmat (Demonstran Sexy), Nirwan Dewanto (Jantung Lebah Ratu), Hasan Aspahani (Orgasmaya), Wendoko (Sajak-sajak Menjelang Tidur), dan trio Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi (antologi puisi Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan). Pemenang utama masing-masing genre yang akan menerima uang Rp 150 juta itu akan diumumkan di Atrium Plaza Senayan, Jakarta Selatan, pada 13 November 2008.
Pada keesokan harinya, 21 September 2008, saya mendapat email (dari milis Penyair), yang berupa press release yang berisi penolakan Saut Situmorang atas Khatulistiwa Literary Award. Yang menarik dari rilis itu adalah, pertama, Saut Situmorang memperlihatkan sikapnya yang tegas, apa yang dilakukannya sesuai dengan ucapannya. Artinya, manusia ini tidak mencla-mencle. Jelas dan tegas. Kedua, penolakan itu disertai alasan-alasan yang cukup kritis, bahkan cenderung tajam.
Sebelumnya, melalui short message service (SMS), Saut Situmorang juga mengkritik tajam Sutardji Calzoum Bachri yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award 2008 dan mengantongi uang Rp 150 juta. Saya kira kenapa Saut Situmorang mengkritik Sutardji demikian keras cukup jelas alasannya, yakni penyandang dana Ahmad Bakrie Award adalah Aburizal Bakrie, pemilik PT Lapindo Brantas Inc., sebuah perusahaan yang kini menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo, Jawa Timur, karena tiga desa dan 15 pabrik tertutup lumpur—yang kini dinamai Lumpur Lapindo.
Uang dan idealisme. Itulah persoalan utamanya. Apakah kita akan memilih uang dengan mengabaikan idealisme? Atau kita akan mempertahankan idealisme dengan risiko miskin karena tak punya uang? Setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan ekstrem itu. Tapi, dunia tidak hitam putih. Manusia bahkan memiliki kebebasan untuk tidak memilih pilihan itu, meskipun pilihannya hanya dua.
Ada enam sastrawan yang telah menerima Ahmad Bakrie Award sejak penghargaan itu diberikan pada 2003, yakni Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kasus Lumpur Lapindo mencuat pada 2006, kegamangan antara menerima atau tidak menerima penghargaan berupa uang Rp 150 juta dari keluarga Bakrie itu mulai terjadi. Hal ini dirasakan Putu Wijaya dan juga Rendra, yang dalam pidato penganugerahannya tetap mengkritik tajam keluarga Bakrie agar bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo. Sementara Sutardji Calzoum Bachri, yang pada tahun yang sama juga menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Bintang Budaya Parama, menerima penghargaan itu dengan alasan ia tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh orang lain atau oleh suatu institusi.
Saya bersimpati dan mungkin juga berempati kepada para sastrawan yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award, karena sejauh ini nyaris tidak ada lembaga resmi yang memperhatikan nasib dan kehidupan sastrawan. Karya besar Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri mungkin hanya menghiasi ruang perpustakaan semata. Mereka tidak diperhatikan nasibnya oleh Negara, meskipun jasa mereka dalam memperkaya kebudayaan Indonesia demikian besar. Ketika ada lembaga yang memberi penghargaan dengan jumlah materi yang besar, dalam hati saya bersyukur, masih ada yang memperhatikan karya dan nasib sastrawan.
Sutardji berpegang pada apresiasi. Ya, apresiasi. Sastrawan tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh pembaca, siapa pun pembaca itu. Apakah dicaci-maki atau diberi uang jutaan rupiah. Keduanya merupakan wujud dari apresiasi.
Tapi, dunia ini tidak akan menjadi indah kalau tidak ada orang seperti Romo Frans Magnis-Suseno. Siapa pun yang memiliki hati nurani, pasti akan memberi hormat yang luar biasa pada Romo Magnis. Saya pun menaruh hormat yang dalam pada Romo Magnis, yang sama tingginya dengan hormat saya pada Romo Y.B. Mangunwijaya, penulis Burung-burung Manyar yang membela masyarakat girli di Kali Code Yogyakarta dan masyarakat korban pembangunan Waduk Kedungombo.
Kepada Sutardji, saya berempati, karena saya sadar, bahwa nama besar tidak selamanya diikuti dengan kemakmuran. Memilih penyair, sastrawan, dramawan, atau seniman sebagai profesi merupakan pilihan gila, karena dilihat dari perspektif ekonomi sama sekali tidak produktif. Jasa sastrawan besar, tapi tidak diberi reward yang besar pula. Itulah yang saya katakan nasib. Kalau sekarang Sutardji dapat Rp 150 juta, artinya nasib baik sedang berpihak kepada penyair. Mungkin dia bisa hidup 100 bulan lagi.
Kepada Romo Magnis, saya bersimpati, karena pelajaran yang Romo Magnis dan Romo Mangun berikan kepada saya itu sangat mahal harganya. Sama sekali tidak terukur dengan uang. Jauh lebih tinggi nilainya dari Rp 150 juta.
Saya sebenarnya juga bersimpati pada KLA (yang mulai hadir pada 2001). Apa dasarnya? Karena penghargaan yang diberikan lembaga yang dikomandoi Richard Oh ini memberikan penghargaan yang demikian cukup besar kepada sastrawan. Dari semula Rp 30 juta sekarang melambung menjadi Rp 150 juta.
Dan saya pernah tiga kali menjadi juri tahap pertama KLA, yakni pada 2003, 2005, dan 2007. Dari tiga kali menjadi juri tahap pertama, baru sekali saya menggolkan “jagoan” saya, yakni pada 2005, ketika Seno Gumira Ajidarma mendapat penghargaan Rp 100 juta dari KLA berkat novel Kitab Omong Kosong. Pada 2007, saya sekali lagi menjagokan Seno melalui novel Kalatidha, namun tidak lolos ke tahap berikutnya. Tapi, ketika majalah Tempo melakukan survey tentang buku fiksi dan nonfiksi terbaik pada 2007, saya tetap pada keyakinan saya, bahwa novel Kalatidha merupakan novel terbaik pada 2007.
Kalau saya dipilih panitia KLA menjadi juri tahap pertama pada 2008 ini, saya akan memasukkan Otobiografi karya Saut Situmorang sebagai nomine pertama untuk kategori puisi, terlepas apakah buku itu ada di list yang diberikan panitia atau tidak. Setelah itu diikuti Nirwan Dewanto, Hasan Aspahani, Oka Rusmini, dan Afrizal Malna. Karena apa? Alasan utama saya karena puisi-puisi Saut Situmorang itu sangat bergizi. Sebenarnya pula saya ingin melihat “pertarungan” antara Saut ‘the drunker master’ Situmorang melawan Nirwan ‘the monkey king’ Dewanto seperti dalam film The Forbidden Kingdom di mata para juri tahap kedua dan ketiga. Mungkin tidak ada pemenangnya, karena keduanya sama-sama jago, sama-sama memiliki ilmu kanuragan tinggi, tapi beda gaya.
Sayangnya saya tidak menjadi juri tahap pertama lagi, ya, sudah, tidak apa-apa. Itu artinya saya juga tidak dapat honor Rp 1 juta. Artinya lagi, itu bukan rejeki saya.
Terlepas dari itu, saya ingin memberi masukan, bahwa menilai novel maupun cerpen relatif mudah, karena novel yang ditulis sastrawan dalam satu tahun periode penilaian juri KLA, tidak akan muncul lagi pada tahun berikutnya. Demikian pula dengan kumpulan cerpen. Meskipun pengulangan munculnya cerpen yang sama dalam kumpulan cerpen di tahun berikutnya masih memungkinkan.
Nah, untuk menilai kumpulan puisi, ada pengecualian. Saya, misalnya, memiliki semua kumpulan puisi karya Saut Situmorang. Tapi, bisa jadi ada juri yang tidak memiliki buku Catatan Subversif atau Saut Kecil Bicara dengan Tuhan. Hal semacam ini bisa saja terjadi, apalagi kalau kumpulan puisi pertama dan kedua diterbitkan oleh penerbit indie dan tidak didistribusikan melalui jalur distribusi yang diatur dan didominasi oleh Toko Buku Gramedia. Contoh buku Saut memang masih bisa ditemui di Gramedia. Tapi, bagaimana dengan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit indie dan kemudian puisi-puisi yang ada di buku itu diterbitkan ulang ke dalam buku kumpulan puisi yang lebih komplet dan diterbitkan Grasindo, misalnya?
Dengan kata lain, harus fleksibel dalam menilai buku kumpulan puisi. Untuk diketahui, sayalah yang mengusulkan atau menominasikan buku Warna Kita karya Oka Rusmini pada 2007 dengan alasan mutu sajaknya yang bagus. Saya pula yang memasukkan buku Guru Matahari Abdurrahman Faiz ke dalam longlist pada 2005 karena memang tidak ada kriteria usia penyair. Ketika saya menganggap puisi Abdurrahman Faiz bagus, ya, saya nilai bagus, tanpa melihat usianya. Toh, ada penyair tua (maaf tidak saya sebutkan namanya) yang puisinya kurang bagus.
Kepada Saut, saya salut. Di mata saya, Saut adalah penyair besar Indonesia. Tapi, izinkan saya tetap bersimpati pada KLA yang memberi penghargaan cukup besar kepada sastrawan. Biarkan KLA menggunakan sistem penilaiannya sendiri. Biarkan pula Pena Kencana menggunakan sistem penilaian seperti Indonesian Idol, yang menggunakan SMS. Biarkan pula Yayasan Ramon Magsaysay menggunakan kriteria dan sistem penilaiannya sendiri. Sehingga, ketika Pramoedya Ananta Toer mendapatkan penghargaan Magsaysay pada 1995, kita tidak usah menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, seperti yang dilakukan Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan kawan-kawannya itu. Saya setuju dengan KH A Mustofa Bisri yang menolak ajakan Taufik Ismail untuk menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian penghargaan hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Padahal saya tahu, Gus Mus adalah sahabat baik Taufik Ismail.
Sastra Indonesia, insyaallah, akan sehat walafiat. ***

Tidak ada komentar: