oleh Asep Sambodja
Ramadhan Kartahadimadja atau yang terkenal sebagai Ramadhan KH lahir dan meninggal pada tanggal yang sama, yakni 16 Maret. Ia lahir di Bandung, 16 Maret 1927 dan meninggal di Cape Town, Afrika Selatan pada 16 Maret 2006 pada usia 79 tahun. Warisan yang ditinggalkan Ramadhan KH sungguh luar biasa. Di bidang sastra, ia telah melahirkan buku kumpulan puisi Priangan Si Jelita (1956) yang menurut Sapardi Djoko Damono, penyair dan guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), merupakan puisi modern berbentuk kinanti terbaik yang pernah lahir di Indonesia.
Dalam buku yang berisi 21 puisi itu, Ramadhan KH sangat intens menggambarkan kehidupan sosial politik di Jawa Barat, yang saat itu diwarnai dengan berbagai kekerasan yang ditimbulkan pemberontakan Darul Islam di bawah pimpinan S.M. Kartosoewirjo—yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada Maret 1948—yang mengakibatkan suasana teror dan mencekam di wilayah Priangan (Jawa Barat). Dalam periode 1948 (saat Belanda menduduki Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu, dan menangkap Presiden Soekarno) hingga 1962 (saat Kartosoewirjo menyerahkan diri pada militer Indonesia dan dihukum mati pada tahun itu juga) situasi sosial dan politik di Jawa Barat tidaklah aman damai. Ini tergambar dari perasaan takut yang diidap banyak orang, termasuk Ramadhan sendiri, saat melakukan perjalanan antarkota Bandung, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Cirebon, karena sewaktu-waktu nyawa bisa melayang jika dihadang oleh gerilyawan Kartosoewirjo.
Dalam situasi seperti itu, Ramadhan sebagai penyair menulis, “Penyair paling setia/ mengajak sekali waktu untuk bersikap.” Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa konflik antara kelompok Kartosoewirjo dengan kolonial Belanda dan kemudian dengan militer Indonesia mengakibatkan penderitaan di pihak masyarakat yang sebenarnya tidak terlibat secara langsung dalam perebutan kekuasaan. Karena itu, sebagai penyair, Ramadhan pun sadar bahwa ia harus melibatkan diri dengan caranya sendiri; melawan dengan puisi.
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.
Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan
Dara!
bimbang hanya
mencekik diri sendiri!
Dara!
takut hanya
buat makhluk pengecut!
Ramadhan mengakui bahwa dalam menulis puisi, ia sangat terinspirasi oleh penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca. Dalam buku Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang disusun Pamusuk Eneste (1986), Ramadhan mengaku tergila-gila dengan sastrawan Amerika Latin seperti Miguel Angel Asturias, Pablo Neruda, J. Luis Borges, dan terutama sekali F.G. Lorca, karena persoalan sosial politik yang mereka ungkap dalam karyanya sangat relevan bila diaplikasikan di Indonesia.
Meskipun terasa adanya pengaruh Lorca dalam puisi Ramadhan, terutama tentang kecintaannya pada alam pegunungan Spanyol, vitalitas hidup para petani, dan hasrat cinta anak manusia di masa perang, namun menurut Harry Aveling, dalam Ramadhan (2003), puisi-puisi Ramadhan tetap mampu menampilkan keunikan dan kebanggaan pada dunia Ramadhan sendiri, yakni Jawa Barat pada era 1950-an.
Dapat dikatakan, Priangan Si Jelita merupakan karya masterpiece Ramadhan KH, karena setelah itu tidak ada buku kumpulan puisi yang diterbitkannya lagi. Ia lebih banyak menulis novel. Dari tangannya, telah lahir empat novel, yakni Royan Revolusi (1970), Kemelut Hidup (1976), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1990). Yang menarik, sebagian besar novel Ramadhan KH itu berbicara tentang korupsi, sebuah pilihan yang berani dan menunjukkan sikap Ramadhan yang sangat tegas terhadap korupsi. Sikap seperti ini muncul karena pengalamannya sebagai wartawan kantor berita Antara selama 13 tahun dan hubungannya yang demikian baik dengan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis, dan Dayat Hardjakusumah (orangtua group musik Bimbo), yang menurut Ramadhan sendiri “sangat cermat cara kerjanya, peka terhadap penderitaan lingkungan, dan menuntut kecepatan dalam bersaing dengan kantor berita lain.” (lihat Eneste, 1986).
Berthold Damshauser dalam Ramadhan (2003) menilai Keluarga Permana merupakan novel terpenting Ramadhan KH. Menurut kritikus sastra asal Jerman itu, untuk pertama kali dalam kesusastraan Indonesia masalah pernikahan antaragama diangkat menjadi tema sebuah novel. Dalam novel yang memenangkan sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1976 ini pernikahan seorang perempuan Muslim dengan seorang lelaki Katolik kandas karena baik pihak keluarga istri maupun pihak keluarga suami malu kepada tetangga dan kerabat tentang pernikahan ini. “Sikap ini menyebabkan terjadinya sejumlah konflik yang terlalu berat untuk dapat diatasi,” tulis Damshauser.
Novel Ramadhan yang lain, Ladang Perminus, yang membawa penulisnya meraih penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 1993, dinilai Berthold Damshauser sebagai tindakan yang cukup berani karena menggarap tema korupsi—yang berangkat dari kasus korupsi di perusahaan minyak Negara (Pertamina) pada 1970-an yang tersiar di harian Indonesia Raya—yang menyejajarkan nama Ramadhan KH dengan Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer.
Sementara Putu Wijaya (1990) mengkritik Ladang Perminus sebagai sastra propaganda, hitam putih, sastra bertendens, yang penuh pesan moral, meskipun di sisi lain Putu Wijaya juga melihat konsistensi Ramadhan dalam mengangkat kasus-kasus korupsi dalam novelnya. Itu memang merupakan pilihan pengarangnya. Kritikan tajam Putu Wijaya itu karena sebelumnya Ramadhan telah menghasilkan karya puisi yang demikian gemilang, Priangan Si Jelita, sehingga Putu merasa kehilangan intensitas bahasa dalam novel-novel Ramadhan. Yang terasa, kata Putu, hanya sederetan informasi yang disampaikan melalui satu perspektif saja.
Sebelum Ramadhan meninggal dunia, ia kesohor sebagai penulis buku biografi dan otobiografi yang andal. Namanya melambung tinggi saat ia diminta untuk menulis biografi (yang kemudian diolah menjadi otobiografi) Presiden Soeharto, yang saat itu (1980-an) tengah menjadi orang kuat di Indonesia, bahkan disegani di Asia Tenggara. Soeharto, melalui G. Dwipayana, meminta Ramadhan menuliskan biografinya karena kesuksesan Ramadhan menulis buku biografi Inggit Garnasih, Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981).
Menurut pengakuan Ramadhan, ia akan menulis biografi dengan enak kalau ia sendiri yang menginginkannya, biasanya berangkat dari kekaguman atau kesukaan Ramadhan terhadap tokoh yang akan ditulisnya. Dengan demikian, pengagum Oriana Fallaci ini akan menulis dengan penuh totalitas, seperti penulisan biografi Dewi Dja yang berjudul Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982), kemudian biografi E.A. Kawilarang dan Ali Sadikin.
Dalam wawancara dengan berbagai media massa, Ramadhan mengaku bahwa ia hanya bertemu dua kali dengan Presiden Soeharto dalam proses pembuatan buku itu. Selebihnya, ia hanya memberikan pertanyaan tertulis dan dijawab Soeharto dalam bentuk rekaman kaset. Karenanya, Ramadhan merasa tidak bisa menangkap feel atau perasaan Soeharto selama pembuatan buku itu. Selain itu, sebenarnya ia juga merasa takut salah menulis, mengingat orang yang ditulis masih menjadi presiden. Apalagi saat itu banyak pertanyaan kritis yang diajukan sesama sastrawan yang juga sahabat-sahabatnya, kenapa mau menulis biografi Soeharto?
Masyarakat tahu bahwa pada akhirnya buku itu akhirnya terbit juga. Judulnya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988). Memang betul, sebagaimana dikatakan Ramadhan, tidak tertangkap perasaan Soeharto dalam buku itu. “Ketika masih dalam pengumpulan bahan, saya minta kepada Pak Dipo (Dwipayana) supaya dibolehkan mengajukan pertanyaan sebebas-bebasnya. Kalau saya menanyakan sesuatu, supaya jangan ditanyakan kenapa saya menanyakan hal itu. Jangan dicurigai siapa di belakang saya, siapa yang membawa pertanyaan itu. Soalnya tujuannya cuma satu, supaya buku itu menarik. Dan Pak Dipo menagbulkan. Tetapi toh masih ada saja kekurangannya. Ketika pertanyaan itu diajukan, memang (jawabannya) tidak keluar dari Pak Harto. Minim sekali. Pikirannya, ucapannya, dan action-nya memang ya, tetapi perasaannya tidak. Itu sebabnya judulnya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, karena saya tidak berhasil mengorek perasaannya. Pak Harto aganya pandai menyimpan perasaan,” ujar Ramadhan kepada wartawan Media Indonesia, Djadjat Sudradjat.
Meskipun demikian, Amran Nasution (1989), wartawan Tempo saat itu, memuji buku ini masih lebih baik dari buku O.G. Roeder, The Smiling General, President Soeharto of Indonesia (1969). Bagaimanapun, jika menulis berdasarkan kemauan sendiri pasti jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan menulis atas permintaan orang lain, meskipun honornya sangat besar. Dalam menulis biografi Soeharto, misalnya, Ramadhan menerima sebuah mobil baru dan jaminan hidup layak selama dua tahun.
Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 dan meninggal pada 27 Januari 2008, sejumlah antitesa dari biografi Soeharto itu bermunculan, sedikit di antaranya adalah Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2004), Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965 (2006), dan Neraka Rezim Soeharto: Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru (2008). Apakah Kang Atun, panggilan akrab Ramadhan KH salah? Tentu tidak. Bahkan, Ramadhan telah berjasa menyumbangkan sumber sejarah dari perspektif Soeharto, sementara lawan-lawan politik yang menjadi korban Soeharto baru bisa bersuara setelah tidak ada pengekangan berekspresi. Sama halnya dengan Nugroho Notosusanto yang menuliskan sejarah nasional Indonesia dari perspektif penguasa saat itu.
Kini, tugas sejarawan yang memiliki nuranilah yang harus menulis ulang sejarah bangsa Indonesia. Tugas Ramadhan sudah selesai sampai di sini. Selamat jalan, Kang Atun. ***
Bibliografi
Budianta, Eka. 2004. “Dari Mata Ramadhan KH,” dalam On The Record. Jakarta:
Yayasan Lontar.
Eneste, Pamusuk. 1986. Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gunung
Agung.
_____. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Jamil, Taufiq Ikram dan Maria Hartiningsih. 1991. “Lebih Jauh dengan Ramadhan KH,”
dalam Kompas, 24 Februari.
Kleden, Hermien Y. 1994. “Wartawan, Novelis, Penulis Biografi,” dalam Matra,
November.
Maulana, Soni Farid, dkk. 2006. “Selamat Jalan, Kang Ramadhan KH,” dalam Pikiran
Rakyat, 17 Maret.
Nasution, Amran, dkk. 1989. “Dan Berkatalah Pak Harto kepada Bangsanya,” dalam
Tempo, 7 Januari.
Ramadhan KH. 1975. Priangan Si Jelita. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 2003. Priangan Si Jelita: Songs of Praise to Sunda, West Java; Priangan
la Jolie; Priangan, Herrliches Land. Magelang: Indonesia Tera.
Setiawan, Hawe. 2000. “Cermin Kaca Tokoh Indonesia,” dalam Detak, 20-26 Juni.
Sudradjat, Djadjat. 1992. “Ramadhan KH: Bang Ali Membangun Jakarta dari Nol,”
dalam Media Indonesia, 27 Desember.
Wikipedia Indonesia.
Wijaya, Putu. 1990. “Menggeber Korupsi Perminyakan,” dalam Tempo, 6 Oktober.
Kamis, 04 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar