: Membaca Kota Tanpa Bunga Bambang Widiatmoko
oleh Asep Sambodja
Membaca sajak-sajak Bambang Widiatmoko yang terhimpun dalam Kota Tanpa Bunga (Jakarta: bukupop, Mei 2008) seperti membaca perjalanan hidup seorang pengembara. Banyak tempat dan nama yang telah mengisi album hidupnya. Namun, ada satu benang merah yang menyatukan sajak-sajak dalam buku puisi ini, yakni kegelisahan eksistensial seorang penyair Bambang Widiatmoko.
Sebagian besar puisinya mencoba berbicara tentang hidup dan kehidupan, serta mencoba memahami dan memaknainya. Mungkin upaya memberi makna tersebut akan sia-sia, namun ternyata hal itu perlu dilakukan untuk mengisi kekosongan batin dan mengisi waktu yang tersedia semasih kita hidup. Karena, hidup adalah menunggu.
Terus-terang, saya merasa nikmat membaca sajak-sajak Bambang Widiatmoko. Ada ketenangan dan keheningan, juga kebeningan nurani, yang mengemas kata-kata yang digunakannya dalam merekam sejarah perjalanannya. Puisi suasana semacam ini merupakan pilihan seorang penyair dalam mengekspresikan kegelisahannya. Bambang Widiatmoko tampaknya merasa nyaman dengan gaya pengucapan seperti itu, dan hal ini dipraktikkannya sejak 1980-an, ketika ia muncul bersama Linus Suryadi Ag., Suminta A. Sayuti, Ahmadun Yosi Herfanda, Eka Budianta, Kriapur, dan lain-lain.
Konsekuensi dari pilihan semacam itu adalah perasaan sendiri, sepi, sebatangkara, terasing, terpencil, terpinggirkan, gundah, galau, dan gelisah. Bukankah kegelisahan seperti inilah yang melekat pada kaum eksistensialis yang selalu mengibaratkan hidup di dunia seperti adam yang terusir dari surga? Demikian pula yang kita rasakan saat membaca sajak-sajak Bambang Widiatmoko. Hidup penuh dengan rahasia, teka-teki, tertutup kabut, serba tidak pasti. Yang pasti dalam hidup adalah ketidakpastian itu sendiri. Karena itu, wajar jika selama menunggu kematian—kepastian—setiap manusia akan mengalami masa-masa kegelisahan seperti itu.
Kegelisahan eksistensial Bambang Widiatmoko tergambar jelas dalam sajaknya, “Dunia Pantomim”. Puisi ini menggambarkan teka-teki kehidupan di dunia, yang menurut penyair seperti pantomim—yang berbedak tebal—yang melambangkan kepalsuan dan kemunafikan. Kehidupan yang diciptakan Tuhan ini diibaratkan penyair sebagai papan catur hitam putih, di dalamnya ada yang berperan sebagai pion, prajurit, menteri, raja, dan sebagainya. Yang menarik, penyair memposisikan dirinya sebagai rakyat yang tak berdaya karena tak mampu memutar kehidupan.
Dalam banyak hal rakyat memang tidak bisa berperan dalam perubahan zaman, terkadang tak mampu pula mengubah nasibnya sendiri. Bagi yang posisinya sebagai raja setidaknya memiliki kewenangan yang cukup luas untuk memperbaiki nasibnya. Dengan simbol papan catur itu pula penyair menggambarkan ketidakberdayaan pemain atau pelaku kehidupan itu sendiri. Terkadang sebagai “pemain” kita tak mampu menolak ketika perang saudara terjadi, karena ada tangan-tangan yang memainkan kita. Demikianlah, hidup tak selamanya berupa jalan lurus dan lepas dari masalah, karena kita seperti berada di atas gelombang yang akan membawa kita ke pelabuhan terakhir atau terhempas di batu karang.
Saya menduga, puisi “Aku Ingin Jadi Tuhan” merupakan klimaks dari kegelisahan itu. Berikut ini saya kutip seutuhnya:
Aku Ingin Jadi Tuhan
Aku ingin jadi tuhan
Yang berkuasa dalam jiwaku sendiri
Membangun masjid dalam jantung
Dengan kolam mataair yang
Memancar deras dari airmataku sendiri
Jika waktu shalat tiba
Terbata-bata aku mengumandangkan
Adzan yang hanya terdengar
Oleh gendang telingaku sendiri
Aku ingin jadi tuhan
Karena aku sering merasa malu
Dipermalukan oleh setan
Yang berenang dalam darahku
Aku ingin jadi tuhan
Karena aku sering merasa hidup
Sendiri dan sepi, seperti
Dalam kesendirian dan kesepiannya
Penyair merasakan bahwa dalam hidup ini ada yang menyutradarai segala lakon yang terjadi di dunia. Pergulatan yang dialami penyair membawanya pada kesadaran bahwa ia ingin menjadi Tuhan agar bisa menentukan nasibnya sendiri, serta terbebas dari godaan setan yang telah mengalir dalam darahnya. Tuhan yang saya tangkap dalam puisi itu bukanlah tuhan bagi orang lain, melainkan tuhan bagi dirinya sendiri, yang bisa dipahami jika kita juga memahami dengan baik puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M. Hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan yang sangat personal. Tuhan yang diyakini sebagian besar atau bahkan seluruh manusia di muka bumi ini bisa jadi berbeda-beda dalam imajinasi setiap manusia. Meskipun Tuhan itu satu, namun dalam kepala setiap orang, bentuknya pastilah berbeda-beda. Dengan kata lain, Tuhan yang tunggal itu bisa dibayangkan secara berbeda oleh orang lain, tergantung latar belakang budaya, agama, pendidikan, partai politik, dan sebagainya. Karena itu, jika Bambang Widiatmoko ingin menjadi Tuhan, maka, sekali lagi, Tuhan yang dibayangkannya itu tidak sama dengan Tuhan yang dibayangkan oleh Amir Hamzah atau Hamzah Fansuri atau Syekh Siti Jenar, misalnya. Hanya Bambang Widiatmoko dan Tuhanlah yang tahu tentang Tuhan yang dibayangkannya itu.
Anak Panah yang Salah Arah
Kalau kita membaca puisi “Mata Penyair” Subagio Sastrowardoyo dengan baik, maka kita akan sama-sama meyakini bahwa menjadi penyair adalah sebuah kutukan, bukan anugerah Tuhan. Karena, siapa pun yang menjadi penyair harus berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Dengan kata lain, menjadi penyair seperti yang diidealkan Subagio Sastrowardoyo itu harus jujur, harus berbicara dan bertindak sesuai dengan hati nurani.
Hampir semua puisi Bambang Widiatmoko berangkat dari kejujuran dan kebeningan nurani semacam itu. Karenanya, kita tidak bisa mengelak bahwa di sebagian besar sajaknya, terbaca nada kemurungan dan gelisah. Kemurungan seperti itu bisa berasal dari dalam dirinya sendiri maupun berasal dari luar dirinya.
Kemurungan yang berasal dari dirinya sendiri sedikit banyak telah dibahas di atas, karena berangkat dari kegelisahannya sebagai seorang manusia, yang mengembara, bertualang, yang kadang-kadang harus menunggu—apakah di pelabuhan, di bandara, atau di stasiun kereta—keberangkatan, kepergian. Begitu juga dengan perasaan sepi sendiri. Terkadang, penyair justru merasa kesendirian lebih memberi cahaya terang (“Jalan Simpang”). Atau, sebaliknya, ketika meninggalkan Candi Mendut yang hening dan sepi, penyair merasa dunia kian terasa sempit menyusut (“Candi Mendut”) karena kehidupannya di dunia harus berbagi dengan orang lain. Dengan sendirinya, kebebasannya dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Kemurungan yang berasal dari luar dirinya biasanya terjadi jika ada persoalan yang tidak bisa diterima oleh nuraninya. Dan, kebanyakan terjadi di kota-kota besar yang padat penduduk. Karena, semakin banyak orang, semakin banyak manusia, akan semakin banyak dan kompleks persoalan yang ditimbulkannya. Hal ini dapat digambarkan secara sederhana seperti ini: ketika Adam masih sendirian hidup di surga, paling-paling masalah yang ditemuinya hanyalah kesepian. Tapi, begitu diberi Hawa atau Eva, persoalan baru muncul; ada rasa cinta, ada dosa, dan ada hukuman: mereka berdua terusir dari surga.
Untuk menggambarkan kompleksitas persoalan di kota, Bambang Widiatmoko tidak sungkan-sungkan menggunakan kata ‘sperma’, ‘pelacur’, ‘binal’, dan sejenisnya, seperti yang terbaca dalam sajaknya, “Kota Bergoyang”, “Membongkar Yogya”, “Prajurit Pisang”, dan “Parangkusumo”. Penggunaan kata semacam itu sebenarnya sangat jarang muncul dalam sajak-sajaknya, karena penyair menggunakan kata-kata yang “terjaga”.
Pilihan kata sangat diperhatikan Bambang Widiatmoko, bahkan ‘kata’ itu sendiri memiliki makna yang dalam. Inilah yang menyebabkan dalam pemilihan dan penyeleksian kata itu muncul kata-kata puitis semacam “anak panah yang salah arah” (dalam puisi “Anak Panah”) ataupun “meninggalkan candi mendut, dunia kian terasa sempit menyusut” (dalam puisi “Candi Mendut”).
Adapun frase “anak panah yang salah arah” dalam puisi “Anak Panah” merupakan rahasia cinta penyair dengan kekasihnya. Mereka berdua berusaha untuk tidak mengkhianati cinta mereka dengan dusta. Hingga dalam kehidupan suami-istri, ketika mereka melakukan hubungan intim dan tak ada bercak darah, mereka menamakan hal itu sebagai “anak panah yang salah arah, dan patah”, meskipun mereka tetap saja gelisah. Tapi, frase atau aforisme itu bisa ditafsirkan lebih luas lagi, yakni adanya kesadaran pada diri penyair, bahwa sebagai anak panah, ternyata ia salah arah dan patah. Karena itu, kenyataan semacam itu menjadi media refleksi dan introspeksi. Metafora semacam ini mengingatkan kita pada Kahlil Gibran yang mengibaratkan anak seperti anak panah yang lepas dari busurnya, sehingga kita kenal kata-kata “anakmu bukanlah milikmu.”
LALU seorang Ibu dengan bayi dalam dekapan
Datang mengajukan sebuah pertanyaan:
Bicaralah pada kami tentang anak keturunan.
Maka jawabnya:
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri
Patut kauberikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian
Kau boleh berusaha menyerupai mereka
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Pun tidak tenggelam di masa lampau
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah
Sebab dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana dikasihiNya busur yang mantap.
(Kahlil Gibran, Sang Nabi, 1991: 22-24)
Kegelisahan itu muncul karena rasa rindu akan hadirnya anak di antara mereka, sehingga bisa menggantikan “boneka” sebagai pelipur lara (“Dua Belas Bulan”). Tapi, meskipun yang dirindukan itu belum kunjung tiba, mereka tetap memupuk rasa cinta (“Mendekatlah”, “Kekasih Menulis Sajak”, “Kado Buat Istri”).
Saya sengaja mengutip Kahlil Gibran di atas sekadar menunjukkan bahwa dengan bahasa yang bersahaja, pesan yang ingin disampaikan Kahlil Gibran dapat sampai dengan baik kepada pembaca. Meskipun menggunakan bahasa yang sederhana, kedalaman sebuah puisi pun bisa dicapai. Demikian halnya dengan sajak-sajak Bambang Widiatmoko yang sebagian besar menggunakan bahasa yang sederhana dan dalam. Salah satu contohnya adalah sajak “Baruga” yang bagi saya sangat utuh menggambarkan kehidupan manusia. Ada konsep ruang, waktu, jarak, ketidakpastian nasib, kesepian, kesendirian, memori, dan sikap pasrah dalam menjalani kehidupan.
Baruga
Lampu padam memperkeruh ruang
Kesenyapan menjalar demikian perlahan
Ada yang tertinggal seperti bayangan
Jam dinding selalu setia
Begitu juga kegelisahan
Menjaga jarak—menjaga kata-kata
Meski ada yang terlupa
Seperti layaknya sandiwara
Kehidupan mengalir seperti gelombang
Menuju pelabuhan atau terhempas di batu karang?
Serupa Kembang di Tengah Hutan
Penyair Bambang Widiatmoko sangat fasih menggunakan amsal atau perumpamaan. Dalam buku Kota Tanpa Bunga bertebaran amsal-amsal yang menurut saya membuka peluang bagi pembaca untuk menafsirkan ataupun membayangkannya lebih jauh sesuai kebebasan imajinasinya. Misalnya, “serupa kembang di tengah hutan” dalam puisi “Hutan Penghabisan”. Aforisme semacam ini sangat menarik dan justru menjadi ironi dalam sebuah puisi yang berbicara tentang rakusnya manusia hingga membabat habis hutan-hutan kita. Ekosistem menjadi rusak karena kita membakar hutan dengan semena-mena, tak terkontrol, hingga “kemarahan” penyair pun menyeruak, “biarlah lintah menghisap darah kita, karena kita pun menghisap semesta”.
Aforisme di atas juga bisa dilekatkan kepada penyairnya sendiri. Bahwa Bambang Widiatmoko itu seperti “kembang di tengah hutan”; kecantikan nuraninya senantiasa dikelilingi hutan rimba, mungkin juga hukum rimba, atau hiruk-pikuk kota yang tak seluruhnya terterima, terutama oleh keyakinannya. Tapi, sebagaimana kembang di tengah hutan, ia tak berdaya, paling banter menggerutu demi menjaga kebeningan hati nurani.
Sajak-sajak Bambang Widiatmoko yang bicara tentang kota hampir seluruhnya bernada murung. Tidak ada senyum dan tawa (“Sungai Airmata Semesta”). Yang ada hanya murung dan gundah. Kalau ada perempuan-perempuan kota yang tertawa, si penyair menafsirkannya sebagai luka jiwa (“Kota Bergoyang”). Jakarta yang menjadi ibukota Republik Indonesia ini muncul sebagai igauan dalam puisi Bambang Widiatmoko (“Igau”). Bahkan, Jakarta menjadi semacam penjara, seperti akuarium ketika banjir datang (“Akuarium”).
Dalam puisi “Kota Tanpa Bunga”, sebuah puisi yang ditujukan kepada penyair Wan Anwar dan juga menjadi judul buku puisi ini, Bambang Widiatmoko berhasil menghadirkan suasana muram dengan kata-kata yang puitis. Ada irama dalam puisi itu. Seperti sebuah elegi tentang kota yang menyisakan kenangan. Bunga atau kembang menjadi simbol akan sesuatu yang indah, suci, menyejukkan hati, dan semacam itu, namun tidak ada di kota yang dikunjungi penyair ini. Ada baiknya kalau kita baca utuh sajak ini.
Kota Tanpa Bunga
Kutemu kota tanpa bunga
Apalagi kata-kata, telah dipatuk burung gereja
Hanya deretan pohon asam tua
Pertanda dulu pernah jaya
Debu menyebar di alun-alun kota
Yang tampak tak tertata
Menghitung jejak yang tertinggal
Mungkin hanya sajak, lantas terinjak
Menemu malam, sepanjang jalan raya
Deretan lampu terukir Asmaul Husna
Barangkali menjaga tutur kata
Atau tempat kita berjanji, melangkah pergi
Benteng tua muncul di depan mata
Juga masjid dan menara
Menghitung peziarah, menghitung peminta-minta
Semua penuh harap, hatinya mengerjap
Kota tua berselimut doa
Tersandar di tepi dermaga
Bagai perahu tua sarat luka
Siap terkubur di samudera
Penyair melukiskan sebuah kota yang muram, tak tertata, gedung-gedung megah masih berdiri, namun terasa mati, masih ada pula hiasan-hiasan lampu yang mengingatkan manusia secara verbal akan jalan ilahi, namun tidak menyentuh substansi. Kota yang pernah berjaya di zaman Kerajaan Banten ini seperti menyisakan masa lalu yang semakin tua renta, tinggal pohon asam tua dan debu-debu di alun-alun kota. Sebuah kota yang siap terkubur di samudera.
Kita jangan berharap suasana ceria dari penyair. Hampir semua puisi yang lahir di dunia ini memang berbicara tentang duka derita. Sajak “Bantimurung” dalam buku ini merupakan kekecualian. Namun, hampir semua puisi Bambang Widiatmoko yang berbicara tentang kota cenderung muram dan murung (“Palangkaraya”, “Padang Palangkaraya”).
Ada kesadaran yang cukup kuat pada penyair ini akan kesementaraan hidup. Dalam perjalanannya dari kota ke kota, yang dibayangkannya adalah persinggahan sementara. Dan, tempat-tempat seperti pelabuhan, bandar udara, dan stasiun kereta api, serta bisa ditambahkan terminal kendaraan umum atau pangkalan ojek sekalipun, yang menjadi tempat pemberhentian sementara, seringkali ditafsirkan sebagai kehidupan manusia di muka bumi ini; karena ada yang datang dan pergi (“Pasar Terban”, “Ruang Tunggu Stasiun Tugu”). Ada perasaan gelisah dan ciut saat menunggu (“Ruang Tunggu Bandara Hasanuddin”, “Dorolonda”, “Tanjung Perak”, “Bandara Tjilik Riwut 1”, “Bandara Tjilik Riwut 2”). Ada kalanya kita harus pergi meninggalkan tempat itu. Pergi untuk sementara ataupun pergi untuk selamanya.
Memaknai Hidup
Dalam Kota Tanpa Bunga ini kita temui pelajaran yang sangat bermanfaat, minimal mengingatkan kita bahwa hidup “hanya menunda kekalahan” sebagaimana yang dikatakan Chairil Anwar. Namun, dalam hidup yang sementara itu, di mana kita tidak tahu kapan kita mati, Bambang Widiatmoko memberikan pesan alternatif yang barangkali menjadi cara terbaik bagi dirinya untuk mengarungi kehidupan, yang bisa menjadi pelajaran yang baik pula bagi pembaca.
Pasrah. Dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang bencana, penyair memberikan sebuah alternatif untuk menyikapinya, yakni pasrah. Dalam kebudayaan Jawa, konsep pasrah ini juga bisa diartikan sebagai nrimo (‘menerima’), tepatnya menerima nasib. Karena, bencana itu bisa datang kapan saja. Bencana bisa mengakibatkan kita terluka, bahkan mati. Dan, sebagaimana yang dikatakan penyair, kita tidak bisa bersembunyi dari kematian yang senantiasa mengintai. Oleh karena itu, cara yang terpuji adalah pasrah menerimanya. Karena, bagaimanapun, hidup terus bergulir seiring perjalanan waktu. Kita pun harus ikut mengalir.
Membaca. Sungguh menarik bahwa cukup banyak kata ‘membaca’ yang digunakan oleh Bambang Widiatmoko. Baik membaca dalam pengertian membaca buku maupun membaca dalam pengertian yang lebih luas, yakni membaca kehidupan. Dalam pengertian membaca buku, misalnya, banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan. Puisi-puisinya yang berbicara tentang “Perempuan Hikayat”—kalau tidak salah merupakan kado pernikahannya dengan seorang filolog UI, Mu’jizah—membuka wawasan kita bahwa dalam hikayat-hikayat itu, dalam naskah-naskah kuno, terdapat peradaban masa lalu yang bisa dijadikan pelajaran. Naskah-naskah kuno itu menyimpan pemikiran nenek-moyang kita yang sangat luar biasa. Sementara membaca kehidupan pun bisa ditafsirkan sangat luas. Ketika penyair sampai di Kertha Gosa, Bali, maka yang terbaca adalah penegakan keadilan yang berlaku di masa silam, yang sangat mungkin lebih baik dibandingkan dengan penegakan hukum di masa kini, yang sangat lentur akibat intervensi uang dan kekuasaan. Kehidupan sekarang pun bisa dibaca dengan seksama. Ada benarnya juga langkah yang diambil penyair ini, yakni mencoba membaca kehidupan, karena dalam agama Islam, ayat pertama yang diturunkan Tuhan adalah seruan untuk membaca, iqra.
Menulis. Menulis merupakan upaya menafsir kehidupan itu sendiri. Apa yang dilakukan penyair, yakni menulis puisi, merupakan upaya penyair menafsirkan kehidupan. Perjalanan yang dilakukan penyair dari kota ke kota akan kehilangan makna jika tidak dituangkan dalam puisi. Puisi-puisi yang terhimpun dalam Kota Tanpa Bunga merekam dengan baik pikiran dan perasaan Bambang Widiatmoko. Dan, artikel yang berjudul “Kegelisahan Eksistensial Seorang Penyair” ini merupakan upaya untuk menafsir atau menginterpretasikan puisi-puisi tersebut. Jika yang terbaca adalah kegelisahan eksistensial seorang Bambang Widiatmoko, maka bisa dikatakan bahwa ini hanyalah pembacaan dari satu perspektif saja, dari perspektif Asep Sambodja seorang. Pembacaan terhadap karya sastra memang memerlukan penafsiran yang terus-menerus. Tidak ada tafsir tunggal dalam sastra. Jika ada perbedaan penafsiran, maka keragaman penafsiran itu justru akan memperkaya sebuah karya. Sebagaimana yang kita baca akhir-akhir ini, banyaknya penafsiran terhadap novel Saman karya Ayu Utami justru membuat karya itu semakin bernilai. Semoga semakin banyak orang yang mengikuti jejak Bambang Widiatmoko, yakni menulis. Baik menulis puisi atau karya yang lain. Dan, semoga saja yang saya lakukan ini dilihat sebagai salah satu cara (bukan satu-satunya cara) menafsir sajak-sajak Bambang Widiatmoko.
Tuhan. Nietzsche pernah mengatakan “Tuhan telah mati”. Tapi, ia sendiri mati dalam keadaan gila dan sempat dirawat di rumah sakit jiwa sebelum meninggal. Firaun pun mengatakan Tuhan tidak ada, dan mengatakan dialah Tuhan, karena dia merasa bisa mematikan dan menghidupkan manusia, yang ditafsirkannya dengan menghukum mati satu tahanan dan membebaskan tahanan yang lain. Tapi, Firaun sendiri mati di tengah laut, bahkan jasadnya diawetkan hingga sekarang sebagai bahan pelajaran. Penyair Bambang Widiatmoko ingin menjadi Tuhan, namun sebagaimana yang telah saya katakan di atas, Tuhan yang dimaksudkannya adalah Tuhan yang berbeda dengan Tuhan orang kebanyakan. Percaya atau tidak, terpulang pada masing-masing manusia. Toh, meminjam istilah Gus Dur, tidak percaya pun Tuhan gak pateken. Malah dalam konteks tertentu, “Tuhan tak perlu dibela”. Dalam kaitan buku Kota Tanpa Bunga, sebagian besar puisinya dilatari dengan kesadaran adanya Tuhan. Bahkan, ketika penyair berada di rumah Sapardi Djoko Damono, yang terbayang adalah dosa, dan dia pun bersujud di sajadah yang berada di rumah kaca itu. Dalam surat Al-Insyiqaaq ayat 6 antara lain disebutkan, “akhir dari kehidupan adalah pertemuan dengan Tuhan”. Dan, dalam puisi “Kupu-Kupu”, penyair mengatakan, “Untung aku masih punya Tuhan.” ***
Bibliografi
Asyarie, Sukmadjaja dan Rosy Yusuf. 1984. Indeks Alquran. Bandung: Pustaka Salman.
Gibran, Kahlil. 1991. Sang Nabi. Terj. Sri Kusdyantinah. Cet. IX. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia.
Hassan, Fuad. 1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Herfanda, Ahmadun Yosi dkk. (ed.). 2006. Jogja 5,9 Skala Richter. Yogyakarta:
Bentang.
Sambodja, Asep dkk. (ed.). 2001. Cyber Graffiti. Bandung: Angkasa.
Sambodja, Asep. 2007. Ballada Para Nabi. Jakarta: Bukupop.
Suryadi AG., Linus (ed.). 1987. Tonggak 4: Antologi Puisi Indonesia Modern. Jakarta:
Gramedia.
Widiatmoko, Bambang. 2008. Kota Tanpa Bunga. Jakarta: Bukupop.
Rabu, 03 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar