Sabtu, 13 September 2008

Ketika Anak-anak Menjadi Kupu-kupu

oleh Asep Sambodja

bunda
engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu

Kutipan sajak “Jalan Bunda” karya Abdurahman Faiz (kelahiran Jakarta, 15 November 1995) memperlihatkan dua hal sekaligus. Pertama, ada peran orangtua yang demikian besar dalam diri sang anak dalam melihat kenyataan di sekitarnya. Kedua, nilai-nilai yang diberikan orangtua tersebut menjadi bekal bagi sang anak untuk menyikapi kenyataan yang dihadapinya. Selain kedua hal di atas, karya sastra yang dihasilkan Abdurahman Faiz dan penulis cilik lainnya yang dibicarakan di bawah ini merupakan keunikan dan kemampuan yang mereka miliki.
Dalam buku Untuk Bunda dan Dunia (2004), Faiz tidak saja berbicara tentang hubungannya dengan keluarga, tapi juga tentang orang-orang yang bernasib malang atau kurang beruntung dibandingkan dengan dirinya. Hal ini juga menonjol dalam buku kumpulan cerpen yang diangkat dari catatan hariannya, Permen-permen Cinta Untukmu (2006). Faiz demikian peduli pada teman-teman kecilnya yang miskin. Dan, orang-orang yang dianggapnya sahabat adalah anak kecil yang berasal dari keluarga miskin namun memiliki semangat yang besar untuk maju. Ini, misalnya, dapat dilihat dari cerpennya yang berjudul “Kutitipkan Temanku: Calon Orang Penting di Negeri Ini!” dan “Teman Kecil Bernama L”.
Kekagumannya pada tokoh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat peduli pada kesejahteraan rakyatnya, serta kepedulian dan kepekaan Faiz terhadap wong cilik, merupakan aktualisasi dari nilai-nilai yang didapatnya dari orangtuanya, yakni Helvy Tiana Rosa dan Tomi Satryatomo. Pengaruh orangtua dalam arti yang positif juga tampak jelas pada Ghefira Nur Fatimah (kelahiran Bandung, 27 September 1996), yang mendapat piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena prestasinya menulis cerpen pada usia 7 tahun. Kumpulan cerpen yang dihasilkannya adalah Jalan-jalan ke Hutan (2004). Fira adalah putri kelima dari kiai kondang, K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Ninih Muthmainnah.
Sebagaimana terdapat dalam buku anak-anak yang lain, Aa Gym merasa perlu memberitahukan kepada pembaca bahwa kumpulan cerpen Jalan-jalan ke Hutan benar-benar ditulis oleh Fira dan tidak ada campur tangan orangtua. Kalau kita baca cerpen-cerpen Fira, keterpengaruhan orangtua itu tetap ada. Nilai-nilai agama yang diberikan Aa Gym dan Teh Ninih tampak dari idiom-idiom yang digunakan Fira. Namun, logika cerita dalam cerpen itu murni karya Fira sendiri. Hal ini tampak dari penggambaran yang ekstrim mengenai hukuman yang diberikan orangtua kepada seorang anak kecil yang tidak menghargai waktu: ia ditinggal oleh seluruh keluarganya ke London. Anak kecil yang bernama Jilba itu hanya diberi sedikit uang untuk biaya sekolah dan keperluan sehari-hari di rumah sendirian, karena seluruh keluarga akan tinggal di London selama-lamanya!
Hal yang sama juga dialami oleh orangtua Arifia Sekar Seroja (kelahiran Depok, 4 Juni 1995), Sunu Wasono dan Sri Hastuti Handayani. Suatu hari, Sunu Wasono yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) memperlihatkan cerpen-cerpen karya Fia yang masih berupa tulisan tangan kepada saya. Ada perasaan “sungkan” pada Sunu ketika ia memperbaiki karya anaknya yang belum paham paragraf dan pungtuasi. Memang, naskah Fia yang pertama masih berupa tulisan tangan yang sama sekali belum tersentuh oleh kaidah penulisan yang baik. Namun, dari tulisan-tulisan itu sudah terbaca bahwa Fia sedang bercerita.
Saya melihat campur tangan yang diberikan oleh orangtua Fia masih bisa dibenarkan karena tidak berbeda dengan tugas atau profesi seorang editor/penyunting di sebuah penerbit buku yang memang harus memperbaiki huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, bab demi bab, hingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang menarik. Hal semacam ini sudah lazim dilakukan di luar negeri. Makanya, kedudukan seorang editor di sana sangat dihormati, karena tugasnya tidak saja memperbaiki ejaan, tapi juga berhak merombak sebuah naskah menjadi tulisan yang baru sama sekali dan berbeda dari aslinya. Menurut Sapardi Djoko Damono, lahirnya novel The Old Man and the Sea karya Ernest Hemingway yang diterjemahkannya juga tidak terlepas dari campur tangan editor.
Karya pertama Fia dibukukan dalam kumpulan cerpen Gigi Kelinci (2004). Dari pengalamannya menerbitkan buku pertama tersebut, Fia—yang menjadi Juara I lomba dongeng tingkat nasional pada 2005—menulis karya-karya selanjutnya yang dihimpun dalam Ketika Potter Hilang (2005). Membaca cerpen-cerpen Fia, ada kesan bahwa Fia memiliki kebeningan hati dan kematangan jiwa anak-anak. Karya Fia memperlihatkan bahwa ia bisa memahami mana yang baik dan mana yang buruk, dan ia bisa menunjukkan sikap terhadap kedua hal tersebut, seperti yang terbaca pada cerpen “Peminjam Teladan” dan “Tukang Contek”. Selain itu, tanpa disadarinya, ia juga menciptakan konflik dalam cerita yang justru menimbulkan tawa pada pembaca dewasa. Dalam cerpen “Ketika Potter Hilang”, Fia mengisahkan kejadian setelah kucing-kucing kesayangannya memakan semua lauk di meja makan. “Peristiwa itu membuat bapakku tidak mau makan di rumah. Selama tiga hari bapak lebih suka makan di warung. Aku dan Mayang menangis, sedangkan ibuku tampak murung dan lesu. Aku menangis bukan karena bapakku tak mau makan di rumah, tetapi karena memikirkan nasib kucing-kucing yang dibuang itu” (Seroja, 2005: 4).
Penulis cilik lainnya yang menunjukkan sinar terang adalah Sri Izzati (kelahiran Bandung, 18 April 1995) dan Fathina Diyanissa Rukandi atau Dena (kelahiran Bandung, 18 Februari 1993). Sri Izzati yang pernah mendapat piagam penghargaan dari MURI sebagai Penulis Novel Tercilik sudah menghasilkan tiga novel, yakni Kado untuk Ummi (2003), Let’s Bake Cookies (2004), dan Hari-hari di Rainnesthood (2005). Dibandingkan dengan novel pertamanya, novel ketiga Izzati memperlihatkan pengaruh bacaan impor terhadap isi cerita yang disampaikannya. Hal ini tampak dari pemberian nama tokoh, setting, dan idiom-idiom yang digunakan Izzati.
Kenyataan semacam ini tidak hanya dialami Izzati, tapi juga penulis cilik lain seperti Ahmad Ataka Awwalurrizqi (13 tahun) yang khusus menulis cerita-cerita detektif berlatar Yogyakarta dan sudah dihimpun dalam Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter (2005). Penulis lainnya, Muhammad Faikar Widjanarko (10 tahun) dan Ali Riza (lahir 14 Oktober 1992) tidak saja memperlihatkan keterpengaruhan bacaan, tapi juga keterpengaruhan game—yang memang menjangkiti anak-anak sekarang ini.
Faikar yang menulis dalam bahasa Inggris ini bercerita tentang dua jagoan cilik, Jack dan Bob, yang harus membasmi dua naga, Blue Dragon dan Curse Dragon, yang akan menyerbu Draft Village. Kedua jagoan cilik itu bermimpi menjadi pahlawan bagi warga Draft Village. They wanted to defeat the evil dragons, save the village and become a hero (Widjanarko, 2004: 13). Langkah Faikar ini diikuti Ali Riza, yang kebetulan putra Lubna Assegaf dan Haidar Bagir, bos penerbit Mizan, Bandung. Karya pertamanya tampil dengan dua bahasa dalam satu buku, Kisah Tiga Pengembara atau The Tale of Three Travelers (2005).
Tampaknya, penulis cilik perempuan lebih memperlihatkan “keindonesiaan” dalam cerpen maupun novel mereka dibandingkan penulis cilik laki-laki tersebut, di antaranya, Silmi Sabila (kelahiran Bogor, 6 Desember 1994) yang menghasilkan Juara Sejati (2005), Qurrota Aini (kelahiran Malang, 25 Maret 1997) dengan Nasi untuk Kakek (2004), dan Dena yang menulis May Si Kupu-kupu (2004) dan The NoERu Group (2005).
Sebenarnya, apa yang hendak disampaikan oleh anak-anak itu? Bagaimana kalau mereka jadi “kupu-kupu” dan terbang ke tempat-tempat yang tak terpikirkan, bahkan tak terbayangkan oleh orangtua sedikit pun? Apakah orangtua akan membiarkan “kupu-kupu” itu terbang bebas di taman bunga? Atau, mereka akan menangkap kupu-kupu itu dan dipajang dalam insektarium karena kecantikan dan keberagaman warnanya?
Eva Maria Putri Salsabila yang biasa dipanggil Caca memiliki jawaban sendiri. Dalam Dunia Caca (2004), ia menulis, Dunia anak kecil tidak boleh membuat anak-anak kecil bete atau boring. Jadi, harus banyak hiburan meskipun itu di sekolah. Di sekolahnya harus ada arena untuk bermain seluas kebun binatang. Gurunya semua anak kecil, yang bergantian mengajar. Jadi, semua mendapat giliran untuk menjadi ibu dan bapak guru. Sehingga, pelajaran menjadi sangat asyik dan tidak membuat anak-anak pusing, sebab disampaikan sambil bermain, dengan guru yang suka bermain juga. (Caca, 2004: 39).
Nah, anak-anak pun ternyata memimpikan kebebasan. Pandangan orangtua seperti yang diungkap Haidar Bagir dan Asma Nadia (ibunda Caca) pun menggambarkan pandangan yang sangat maju, pandangan kaum poskolonial: bahwa setiap individu memiliki perspektif yang unik dalam melihat kehidupan. Asma Nadia selalu percaya bahwa semua anak lahir cerdas, dan yang harus dimiliki orangtua terhadapnya adalah keyakinan. Sementara Haidar Bagir mengutip Dustin Hoffman, bahwa mendengar apa saja yang diceritakan anak adalah salah satu tugas orangtua, meski kita tak selalu paham maksud anak-anak itu. Ketika anak-anak menjadi kupu-kupu, cukup bijaksana kalau kita menjadi bunga. ***

Tidak ada komentar: