oleh Asep Sambodja
Goenawan Mohamad adalah salah satu penyair penting Indonesia, karena dilihat dari segi isi, bentuk, maupun cara pengungkapan, sajak-sajaknya memiliki nilai yang tinggi. Penggunaan metafor yang orisinil dan kecermatan dalam pemilihan diksi membuat sajak-sajaknya menempati posisi terhormat dalam peta perpuisian Indonesia. Kepenyairannya mulai tampak pada awal tahun 1960-an, beberapa tahun setelah kemunculan Subagio Sastrowardoyo, Rendra, dan Ajip Rosidi. Ia muncul berbarengan dengan Sapardi Djoko Damono, yang sama-sama memiliki pasemon yang kuat dan permajasan yang efektif, meskipun ada perbedaan di antara keduanya.
Kelebihan Goenawan Mohamad dalam menciptakan sajak-sajak yang bermakna, dalam arti bisa bertahan dalam perubahan waktu yang lama, antara lain disebabkan wawasannya yang luas tentang banyak hal, sebagaimana Harry Aveling menyebut Goenawan was widely-read in socialist and socio-political writings saat membaca sajak “Internasionale”. Selain itu, kecakapannya sebagai wartawan membantunya untuk lebih peka dalam memandang soal-soal kemanusiaan, dan dapat membaca dengan jelas ketidakadilan dan kepincangan yang terjadi di masyarakatnya. Peka, sesuatu yang senantiasa ada dalam diri seorang intelektual.
Dalam pengantar buku kumpulan puisinya yang pertama, Pariksit, Goenawan Mohamad mengaku bahwa Pariksit dibuat sekadar memenuhi “keinginan kenes untuk memiliki sebuah kumpulan puisi seperti penyair-penyair lain, untuk mempunyai bekas yang gampang dilihat orang dalam pergantian waktu”. Tapi sejauh yang kita baca, terbukti langkah yang diambil Goenawan dengan menulis puisi lebih merupakan peninggalan jejak terra incognita ketimbang kekenesan seorang penyair. Ia, misalnya, menganggap musuh penyair bukanlah para kritisi, melainkan salah cetak. Dan ternyata penggunaan kata secara cermat dan hati-hati seperti itu menjadi salah satu kekuatan Goenawan Mohamad, yang mengaku mengikuti tradisi kepenyairan Chairil Anwar, yang menggali kata hingga ke kernwoord, kernbeeld, atau menganggap kata adalah segala-galanya dalam puisi.
Awal keberhasilan Goenawan Mohamad sebagai penyair ditandai dengan sajak panjangnya, “Pariksit”, yang berisi renungan tentang kematian. Sajak tersebut mendapat pujian dari kritikus sastra seperti M.S. Hutagalung dan A. Teeuw. Sajak yang ditulis saat Goenawan Mohamad berusia 22 tahun ini, oleh Teeuw dikatakan “menjadi salah satu di antara cahaya terang dalam persajakan modern Indonesia, menjadi suatu janji tentang apa yang bakal datang di tengah-tengah tahun kegelapan”. Burton Raffel pun menilai puisi Goenawan Mohamad memiliki tenaga gaib, keagungan sebuah misteri, dan nyanyi murni (pure songs).
Banyak kritikus sastra, kecuali A. Teeuw dan Sapardi Djoko Damono, yang terus-terang mengaku kesulitan memahami sajak-sajak Goenawan Mohamad, yang kini secara lengkap dihimpun dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Goenawan Mohamad: Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Karenanya, Sapardi Djoko Damono perlu berkali-kali mengutip sastrawan Inggris kelahiran Amerika Serikat, T.S. Eliot, bahwa puisi bisa dihayati (experienced) sebelum dipahami (understood).
Namun, kalau kita menjadikan manusia sebagai kunci dari segala misteri pengetahuan, sebagaimana yang dikatakan filsuf Rusia, Nicolas Berdyaev, bahwa the essential and fundamental problem is the problem of man – of his knowledge, his freedom, his creativeness, maka dengan mudah kita bisa memahami sajak-sajak Goenawan Mohamad.
Sajak-sajak Goenawan Mohamad yang terhimpun dalam Interlude, oleh sebagian besar kritikus sastra, merupakan sajak-sajaknya yang berhasil. Sajak “Tamu”, “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, dan “Gatoloco” menunjukkan kemampuan Goenawan Mohamad menciptakan suasana dramatik yang sangat kuat dalam puisi lirik. Ketiga sajak itu, menurut penilaian Sapardi Djoko Damono, “adalah yang paling kuat di antara sajak-sajak Goenawan, bahkan di antara sejumlah kecil sajak yang indah karya penyair Indonesia”.
Teeuw menilai sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” adalah contoh sederhana, tetapi mengagumkan, tentang pembayangan manusia sebagai homo significans, yang berusaha memberi arti kepada segala, dan yang selalu sibuk mengabadikan, baik dirinya sendiri maupun benda-benda dan kata-kata. Sajak “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” yang indah tersebut memperlihatkan upaya penyair untuk mengabadikan sesuatu yang kelak retak, yang bakal hancur, musnah. Sajak itu merupakan hasil pengelanaan pikiran Goenawan Mohamad tentang sebuah poci keramik, yang bisa ditafsirkan sebagai karya manusia atau bahkan kehidupan manusia itu sendiri. Kalimat puitis “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi” memiliki makna yang dalam, bahwa kita bisa memberi makna pada kehidupan yang sementara.
Teeuw menafsirkan sajak tersebut dengan menganalogikan, saat dunia nyata menghilang, sesuatu yang diberi harga oleh penyair mungkin akan kekal. Ketika dunia nyata Italia abad 13 dan Inggris tahun 1600 sudah hilang, kita masih bisa membaca Dante, Shakespeare, Gibran, Prapanca, Ronggowarsito, sebagai penyair besar yang membuat kekal yang sia-sia, membikin abadi yang kelak retak. Rene wellek dan Austin Warren dalam Theory of Literature pernah mengatakan, karya sastra memang dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filasafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.
Dalam sajak Goenawan Mohamad lainnya, “Pada Sebuah Pantai: Interlude”, kita juga mendapat gambaran yang sama, bahwa dalam dunia yang nyata, ruang rutin, alam yang makin praktis, si penyair bertugas, terpanggil, terpilih, atau bahkan terkutuk untuk memberi harga pada yang sia-sia, dengan cara apa pun, karena “kita memang bersandar pada mungkin” -- citraan intelektual yang menunjukkan sikap skeptis, khas Rene Descartes, yang banyak mendasari esei-esei Goenawan Mohamad.
Hal yang sama akan kita temui saat membaca “Gatoloco”. Dalam mitos Jawa dijelaskan bahwa Gatoloco adalah seorang ahli mistik yang menganut aliran ekstrem, yang memungkiri perbedaan antara Khaliq dan makhluk, serta menganggap dirinya setara dengan Tuhan. Dengan sombongnya Gatoloco menggembar-gemborkan bahwa Tuhan dan alam semesta tidak menjadi teka-teki lagi baginya. Dalam sajak Goenawan Mohamad ini, Gatoloco digambarkan kalah debat dengan Tuhan.
Dalam Suluk Gatoloco karangan Bagus Burhan atau Raden Ngabehi Ronggowarsito, Gatoloco (Gato = asal, Loco = ngomong) digambarkan sebagai seorang yang senang berdebat dengan para santri dan ulama, untuk menguji sejauhmana keislaman mereka. Karena Gatoloco pandai membolak-balik kata dengan perkataan yang kasar dan dibingkai dengan humor yang kasar pula, maka para santri merasa kuwalahan menghadapi Gatoloco. Semuanya tidak sanggup memenangkan perdebatannya dengan Gatoloco. Karena itu, tidak heran bila Gatoloco menganggap dirinyalah yang paling tahu tentang segala sesuatu.
Dalam sajak “Gatoloco”, Goenawan Mohamad ingin menggambarkan betapa tidak berharganya Gatoloco di hadapan Tuhan. Gatoloco yang suka berdebat dengan mengatasnamakan Tuhan, tertumbuk pada satu kesadaran baru, bahwa manusia hanyalah seorang pengembara, “seorang turis dengan karcis dua jurusan”. Tuhan yang selama ini diperjuangkan Gatoloco di seminar-seminar, pada akhirnya mengatakan, “Aku bukan milikmu” dan “kau tak bisa lagi memamerkanKu”, karena Gatoloco hanya memakai nama Tuhan untuk kepentingannya sendiri. Semata-mata untuk kepentingannya sendiri.
Tuhan sebagai sang maha sutradara dalam pertunjukan abadi di alam ini menjadi persoalan tersendiri bagi manusia yang diciptakanNya. Sajak “Meditasi’ merupakan sajak Goenawan Mohamad yang penuh gairah pencarian Tuhan yang maha gaib dan maha rahasia. Keterangan “dalam tiga waktu” yang tercantum dalam sajak tersebut menyiratkan proses kejadian manusia sejak lahir, masa kehidupan, dan mati.
Dalam fase kelahiran, Goenawan Mohamad menyadari bahwa manusia selalu berupaya mengungkap segala teka-teki kehidupan, yang dikatakannya sebagai “memburu kata”, untuk menunjukkan keberadaan atau eksistensinya sebagai manusia, etre-pour-soi seperti yang dikatakan Jean-Paul Sartre. Manusia tidak akan menjadi apa-apa sampai kemudian dia menjadi sesuatu yang dia bentuk sendiri. Sebab, sebelum “memburu kata”, manusia ibarat apa yang dikatakan Friedrich Nietzche sebagai das nicht festgestellte tier atau binatang yang belum sempurna buatannya.
Kehidupan, bagi Goenawan Mohamad, adalah sesuatu yang penuh dengan ketidakpastian, seperti yang tercermin dalam sajaknya, “Expatriate”. Kondisi semacam ini, situasi keberadaan manusia secara konkret di dunia ini, sebagaimana yang ia sadari, sudah terlempar ada di bumi ini. Martin Heidegger menyebut surga sebagai kecemasan yang mendalam, cemas akan berbagai hal yang melekat pada situasi keterlemparan manusia di dunia. Kehadiran manusia di bumi bukanlah atas kehendak manusia sendiri, melainkan kehendak Sang Pencipta.
Sajak “Expatriate” menggambarkan seorang manusia yang memulai kehidupannya di bumi. Ia merasa damai, meskipun sebenarnya ia banyak tak mengerti. Dalam sajak “Afterword”, kecemasan akan ketidakpastian hidup di dunia itu hanya bersifat permakluman. “Begitulah, kita mesti mengalah. Akhirnya langit toh hanya satu. Musim tak bisa lebih. Mengapa bertanya adakah warna di luar sana?”
Dan kematian, seperti kata William Barret, adalah sesuatu yang sangat individual, dialami secara pribadi dalam kesendirian, orang lain tidak bisa masuk ke wilayah ini. Ketika menghadapi kematian, semua manusia akan merasa bahwa dirinya sebenarnya hanyalah seorang individu yang yatim piatu. Dalam sajak “Buat HJ dan PG”, Goenawan mengisahkan seorang ayah yang ingin sekali menunda kematiannya gara-gara mendapat telegram dari anaknya yang hendak pulang dari rantau. Sang ayah menunjukkan potret anaknya saat diambil gambarnya pada tahun 1985 kepada malaikat, untuk memenuhi keinginannya menemui sang anak. Tentu saja sang malaikat tertawa, dan jadwal kematian tidak bisa ditawar. Ketika sang anak datang, sang ayah sudah terkubur rapi.
Sajak Goenawan Mohamad yang melukiskan tragedi kematian dengan baik adalah “Tamu”, satu-satunya sajak Goenawan yang tercipta pada 1965. Dari sajak ini, tampak sekali kecemasan aku-lirik dalam menghadapi kematian, meskipun ia memiliki firasat bahwa “tamu”-nya atau malaikat maut telah menentukan jadwal kematiannya, atau telah “menyandarkan senapang ke arah kertas penanggalan”.
Suasana sepi, murung, dan tak berdaya dibangun Goenawan dengan simbol-simbol yang orisinil, seperti malaikat yang dilambangkan dengan “pemburu dari kota yang membawa senapang” dan waktu yang dilambangkan dengan “kertas penanggalan”. Bagi Teeuw, sajak “Tamu” mengisyaratkan bahwa maut adalah teman manusia yang tidak dapat ditolak. Kematian bukan untuk disesali, melainkan harus diterima apa adanya, sebagaimana manusia tidak mampu menolak kehadirannya di dunia.
Setidaknya ada 15 sajak Goenawan Mohamad yang bermotif kematian. Dalam pandangannya, kematian bukanlah sesuatu yang mesti ditakuti dan disesali, seperti yang ditulisnya dalam sebuah catatan pinggirnya, “Agama memang mengajar banyak tentang mati dan kefanaan, tapi juga membisiki kita untuk berterima kasih karena karunia yang bernama hidup.”
Dalam menuangkan gagasannya dalam bentuk sajak, Goenawan Mohamad sering menggunakan bentuk sajak dramatik atau naratif. Barangkali dengan cara seperti itu lebih memudahkannya berkomunikasi dengan pembaca. Hal seperti ini dapat kita lihat dalam sajak-sajaknya yang menyoroti persoalan sosial, seperti “Cerita Buat Yap Thiam Hien”, “Der Prozess”, “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, “Aung San Suu Kyi”, “Misalkan Kita di Sarajevo”, dan “Zagreb”.
Sementara sajak-sajak lirik Goenawan Mohamad seperti “Kabut”, “Surat Cinta’, “Nina Bobok”, “Malam yang Susut Kelabu”, dan “Ranjang Pengantin, Kopenhagen”, membuktikan bahwa Goenawan Mohamad adalah seorang penyair lirik terkemuka. Dalam sajak-sajak lirik tersebut, yang diutamakan ialah lukisan perasaan penyairnya, sesuatu yang “tanpa waktu” seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad dalam buku terbarunya, Eksotopi. Dalam pengamatan Sapardi, saat banyak penyair lain menaruh perhatian pada puisi sosial pada tahun 1960-an, Goenawan Mohamad justru bertahan di puisi lirik.
Sajak lirik yang berisi suasana batin Goenawan Mohamad seringkali sulit ditafsirkan ataupun diinterpretasikan, namun enak dinikmati. Hal ini misalnya dapat kita temui dalam sajak-sajaknya seperti “Surat Cinta”, “Kabut”, dan “Barangkali Telah Kuseka Namamu”, sebab bagi Goenawan, “menulis puisi lebih sulit daripada menulis esai. Mungkin karena esai adalah ide, perasaan, dan kata-kata, sedangkan puisi adalah suasana hati, ide yang belum persis terumuskan.” ***
Rabu, 03 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar