Rabu, 03 September 2008

Goa Pertapa yang Terlupakan: Membaca "Rekuiem Kepompong" Warih Wisatsana

oleh Asep Sambodja


REKUIEM KEPOMPONG

Dari ulat pucat
terbanglah kupu-kupu riang
yang bukan lagi milikmu

Kepompong lengang
pondok lapuk
tak berpenghuni
goa pertapa yang terlupakan

Apa kini bedanya
dengan jasad si tua
yang mongering
menunggu hari baik
diperabukan anak cucu

lalu dari celah hening tanah
dari rabuk tubuh si mati
kecambah tumbuh
seolah doa yang pasrah
merambat ke langit
meraba arah akhir cahaya

atau relakan jadi sarang rayap
jadi rumah singgah ular tanah
yang gelisah
menunggu musim kawin terakhir

Maka genapkan hidup. Jangan ganggu
jangan usik tapa bisuku
Kelak siapa tahu; di bening kata
di sunyi bunyi, setiap kali berkaca
rupaku perlahan tiada
sirna sempurna bersama cahaya.



Puisi “Rekuiem Kepompong” karya Warih Wisatsana ini berbicara tentang kematian. Seorang manusia yang sudah tua biasanya sudah mulai gelisah karena sewaktu-waktu malaikat Izroil, malaikat pencabut nyawa, akan datang menjemputnya. Setiap manusia pasti akan mengalami mati. Yang tidak diketahui manusia adalah kapan saat yang tepat untuk mati, sehingga kita bisa mempersiapkan kematian itu.
Dalam puisi di atas, Warih Wisatsana menganalogikan kematian seseorang seperti kepompong yang ditinggal pergi oleh kupu-kupu. Ulat yang berada dalam kepompong itu menjelma kupu-kupu dan terbang ke alam luas. Kepompong merasa seperti tak berharga lagi, seperti goa pertapa yang terlupakan. Warih menganalogikan manusia yang renta itu dengan kepompong, karena dalam hitungan detik ruh atau nyawa itu akan lenyap ke dunia lain. Dan jasad manusia yang sudah ditinggalkan ruhnya akan menjadi bangkai, hanya menjadi seonggok daging yang tidak berharga.
Dalam analogi tersebut, penyair menggunakan kalimat, “Terbanglah kupu-kupu riang/yang bukan lagi milikmu”. Kepompong semula merasa ulat yang berada di dalam “jasad”-nya adalah miliknya. Namun, setelah menjelma kupu-kupu, ia bukan lagi menjadi milik kepompong. Ini mengingatkan kita pada kata-kata penyair Lebanon, Kahlil Gibran, yang mengatakan, “anakmu bukan milikmu”. Bahwa “nyawa” yang melekat pada diri kita saja tidak bisa kita miliki selamanya, apalagi yang namanya “anak” yang lahir dari rahim seorang ibu. Kupu-kupu yang terbang meninggalkan kepompong itu tidak bisa dimiliki kepompong lagi. Demikian pula nyawa manusia yang lepas dari jasadnya tidak bisa dimiliki lagi.
Dalam kondisi seperti itu, yakni dalam usia tua, manusia yang tidak siap mati pasti akan gelisah. Penyair menggambarkan si aku lirik dalam sajak itu semakin gelisah dengan membayangkan keadaan setelah mati. Kalau dia dikremasi, dan abunya dibuang ke tanah, mungkin akan menjadi rabuk bagi kecambah. Atau, kalau dia dikubur, jasadnya akan menjadi sarang rayap dan ular tanah, menjadi santapan lezat binatang-binatang yang hidup di dalam tanah.
Dalam pandangan kaum eksistensialis, kehidupan manusia di dunia ini ibarat Adam yang dikeluarkan dari taman firdaus atau surga. Ada semacam kecemasan yang melekat pada diri manusia, karena selalu merasa hidup dalam ketidakpastian; selalu dihantui dengan kematian. Dan, apabila kematian datang, maka pada saat itulah manusia merasa sesungguhnya dirinya hanyalah yatim piatu di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya dari kematian, bila ketentuan itu sudah tiba.
Penyair mengatakan, “jangan ganggu, jangan usik tapa bisuku.” Lagi-lagi, ini mencerminkan pandangan eksistensial bahwa kematian adalah sesuatu yang sangat individual sekali, dialami secara pribadi dalam kesendirian. Orang lain tidak bisa masuk ke wilayah “sunyi” ini.
Dalam merefleksikan kehidupan dan kematian itu, penyair menuturkan ada baiknya manusia itu menyempurnakan hidupnya, “genapkan hidup” semasih ada waktu. Dan ini terpulang kembali kepada masing-masing individu, jalan mana yang mau ditempuhnya. Goenawan Mohamad dalam puisi “Gatoloco” sebenarnya sudah mengingatkan, bahwa hakikatnya kehidupan manusia di dunia ini hanya mengantungi tiket ke dua jurusan. Tiket ke dua jurusan itu bisa kita tafsirkan sebagai ke surga atau neraka.
Tinggal kita yang memilih. Toh, hidup memang harus memilih. ***

Tidak ada komentar: