oleh Asep Sambodja
Ini adalah kabar baik. Penerbit Alvabet berani menerbitkan novel Lady Chatterley’s Lover karya D.H. Lawrence yang terbit pertama kali pada 1928. Kira-kira setting suasana di Indonesia saat itu masih ingin merumuskan Sumpah Pemuda. Indonesia sendiri saat itu sudah memiliki novel Salah Asuhan Abdul Muis, Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Sengsara Membawa Nikmat Tulis Sutan Sati, Asmara Jaya Adinegoro, Emas Disangka Loyang E. Joram, dan Jeumpa Aceh H.M. Zainuddin.
Saya katakan penerbit ini berani karena ketika novel itu terbit pertama kali di Inggris (1928), novel ini langsung dilarang beredar. Kaum pagan mencerca Lawrence dengan stigma yang memojokkan, karena disejajarkan dengan pengarang buku cabul. Buku ini juga dilarang beredar di Amerika Serikat pada akhir 1920-an itu. Anehnya, edisi bajakannya beredar di toko-toko buku di New York dan Philadelphia, yang dijual dengan harga tinggi. Inilah yang membuat Lawrence mencak-mencak. Secara resmi, buku itu dilarang karena isinya yang sarat seks. Namun, buku ini beredar secara ilegal dan meraup keuntungan bagi pembajak dan pedagang buku, sementara penulisnya tidak mendapatkan keuntungan finansial sedikit pun. Menyedihkan!
Saya katakan kabar baik karena buku yang diterjemahkan Arfan Achyar dan dieditori Imam Muhtarom ini bahasanya sangat baik. Kalau kita membacanya dari halaman ke halaman, hingga menuntaskan 586 halaman, akan terasa mengalir bahasanya. Meskipun demikian, ada yang tidak enak, yakni harga buku ini nyaris Rp100.000. Di zaman sulit begini, buku seharga Rp100 ribu sangat menyesakkan dada. Tapi, apa boleh buat, karena buku ini penting, akhirnya saya beli juga.
Pada 1950, pengadilan di Amerika Serikat memutuskan bahwa buku ini tidak termasuk buku yang berkategori pornografi. Setelah terbungkam selama 20 tahun, akhirnya novel Lady Chatterley’s Lover ini bebas beredar di Amerika Serikat. Saya melihatnya keputusan pengadilan itu didasarkan pada perubahan pandangan masyarakatnya tentang seks dan seksualitas. Pada 1950 itu, Indonesia masih berusia sangat muda, baru lima tahun (balita). Pada saat itu, Pramoedya Ananta Toer baru muncul ke permukaan, dengan menerbitkan Perburuan, Dia yang Menyerah, dan Keluarga Gerilya.
Novel Lawrence ini memang sarat dengan seks. Ketika novel ini akan ditik, karena aslinya merupakan tulisan tangan, si pengetik, Nellie Morrisson, tidak sanggup meneruskan pekerjaan setelah bab 5 selesai. Karena, mulai bab ke-6 hingga bab 19, yang tergambar dengan gamblang adalah persoalan seks, hubungan intim antara Lady Chatterley dengan tukang kebunnya, Oliver Mellors. Baik pada siang hari maupun senja, atau malam hari. Baik di dalam gubuk maupun di tengah hutan. Baik di saat matahari bersinar maupun di bawah hujan. Bahkan di bawah hujan deras pun mereka menari dalam keadaan telanjang dan bersetubuh dengan penuh hasrat.
Kalau dikatakan ini novel cabul, mungkin tidak sepenuhnya benar. Saya menduga bahwa D.H. Lawrence tengah mendobrak sistem masyarakatnya yang sangat feodalistis. Kalangan aristokrat di Inggris sangat deskriminatif terhadap masyarakat di luar kasta atau kelasnya. Perlakuan terhadap masyarakat kelas pekerja sangat kejam. Para pekerja itu tak ada bedanya dengan budak atau hamba sahaya. Saya menduga, dengan menggunakan tokoh Oliver Mellors sebagai alteregonya, Lawrence ingin mendobrak budaya feodalistis itu.
Dalam novel, Oliver Mellors digambarkan sebagai anak seorang pekerja tambang. Kalau kita baca biografi Lawrence, ada kesejajaran di situ. Lawrence juga anak seorang pekerja tambang. Dan, di dalam novel itu, Mellors digambarkan sebagai seorang laki-laki yang sempurna, yang mampu memikat hati Lady Chatterley (Connie), istri majikannya.
Novel ini juga bisa ditafsir dari perspektif Connie sendiri. Sebagai seorang perempuan, yang suaminya lumpuh setengah badan dari perut ke bawah akibat perang, ia merasakan kehampaan. Sudah dua tahun Connie tidak berhubungan seks dengan suaminya, Clifford Chatterley. Suaminya paham akan hal itu, karenanya ia suka memanggil teman-teman dari kalangan bangsawan untuk menginap di istananya di Wragby. Bukan hanya tidur di rumahnya, tapi juga meniduri Connie. Tapi, Connie merasa ia dilecehkan. Connie akhirnya mendapatkan kelembutan justru dari seorang penjaga hutan, Oliver Mellors.
Novel ini sedikitnya sudah dua kali difilmkan, yakni versi Inggris (1981) dan Prancis (2007). Dalam versi Prancis, artis pemeran Lady Chatterley, Marina Hands, mendapat penghargaan sebagai artis terbaik.
Sekali lagi, ini kabar baik. Penerbit Alvabet berani menerbitkan Lady Chatterley’s Lover pada Desember 2008 ini. Padahal, di Indonesia, kita tahu UU Pornografi baru saja disahkan. Selamat buat Alvabet!
Citayam, 27 Desember 2008
Ini adalah kabar baik. Penerbit Alvabet berani menerbitkan novel Lady Chatterley’s Lover karya D.H. Lawrence yang terbit pertama kali pada 1928. Kira-kira setting suasana di Indonesia saat itu masih ingin merumuskan Sumpah Pemuda. Indonesia sendiri saat itu sudah memiliki novel Salah Asuhan Abdul Muis, Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Sengsara Membawa Nikmat Tulis Sutan Sati, Asmara Jaya Adinegoro, Emas Disangka Loyang E. Joram, dan Jeumpa Aceh H.M. Zainuddin.
Saya katakan penerbit ini berani karena ketika novel itu terbit pertama kali di Inggris (1928), novel ini langsung dilarang beredar. Kaum pagan mencerca Lawrence dengan stigma yang memojokkan, karena disejajarkan dengan pengarang buku cabul. Buku ini juga dilarang beredar di Amerika Serikat pada akhir 1920-an itu. Anehnya, edisi bajakannya beredar di toko-toko buku di New York dan Philadelphia, yang dijual dengan harga tinggi. Inilah yang membuat Lawrence mencak-mencak. Secara resmi, buku itu dilarang karena isinya yang sarat seks. Namun, buku ini beredar secara ilegal dan meraup keuntungan bagi pembajak dan pedagang buku, sementara penulisnya tidak mendapatkan keuntungan finansial sedikit pun. Menyedihkan!
Saya katakan kabar baik karena buku yang diterjemahkan Arfan Achyar dan dieditori Imam Muhtarom ini bahasanya sangat baik. Kalau kita membacanya dari halaman ke halaman, hingga menuntaskan 586 halaman, akan terasa mengalir bahasanya. Meskipun demikian, ada yang tidak enak, yakni harga buku ini nyaris Rp100.000. Di zaman sulit begini, buku seharga Rp100 ribu sangat menyesakkan dada. Tapi, apa boleh buat, karena buku ini penting, akhirnya saya beli juga.
Pada 1950, pengadilan di Amerika Serikat memutuskan bahwa buku ini tidak termasuk buku yang berkategori pornografi. Setelah terbungkam selama 20 tahun, akhirnya novel Lady Chatterley’s Lover ini bebas beredar di Amerika Serikat. Saya melihatnya keputusan pengadilan itu didasarkan pada perubahan pandangan masyarakatnya tentang seks dan seksualitas. Pada 1950 itu, Indonesia masih berusia sangat muda, baru lima tahun (balita). Pada saat itu, Pramoedya Ananta Toer baru muncul ke permukaan, dengan menerbitkan Perburuan, Dia yang Menyerah, dan Keluarga Gerilya.
Novel Lawrence ini memang sarat dengan seks. Ketika novel ini akan ditik, karena aslinya merupakan tulisan tangan, si pengetik, Nellie Morrisson, tidak sanggup meneruskan pekerjaan setelah bab 5 selesai. Karena, mulai bab ke-6 hingga bab 19, yang tergambar dengan gamblang adalah persoalan seks, hubungan intim antara Lady Chatterley dengan tukang kebunnya, Oliver Mellors. Baik pada siang hari maupun senja, atau malam hari. Baik di dalam gubuk maupun di tengah hutan. Baik di saat matahari bersinar maupun di bawah hujan. Bahkan di bawah hujan deras pun mereka menari dalam keadaan telanjang dan bersetubuh dengan penuh hasrat.
Kalau dikatakan ini novel cabul, mungkin tidak sepenuhnya benar. Saya menduga bahwa D.H. Lawrence tengah mendobrak sistem masyarakatnya yang sangat feodalistis. Kalangan aristokrat di Inggris sangat deskriminatif terhadap masyarakat di luar kasta atau kelasnya. Perlakuan terhadap masyarakat kelas pekerja sangat kejam. Para pekerja itu tak ada bedanya dengan budak atau hamba sahaya. Saya menduga, dengan menggunakan tokoh Oliver Mellors sebagai alteregonya, Lawrence ingin mendobrak budaya feodalistis itu.
Dalam novel, Oliver Mellors digambarkan sebagai anak seorang pekerja tambang. Kalau kita baca biografi Lawrence, ada kesejajaran di situ. Lawrence juga anak seorang pekerja tambang. Dan, di dalam novel itu, Mellors digambarkan sebagai seorang laki-laki yang sempurna, yang mampu memikat hati Lady Chatterley (Connie), istri majikannya.
Novel ini juga bisa ditafsir dari perspektif Connie sendiri. Sebagai seorang perempuan, yang suaminya lumpuh setengah badan dari perut ke bawah akibat perang, ia merasakan kehampaan. Sudah dua tahun Connie tidak berhubungan seks dengan suaminya, Clifford Chatterley. Suaminya paham akan hal itu, karenanya ia suka memanggil teman-teman dari kalangan bangsawan untuk menginap di istananya di Wragby. Bukan hanya tidur di rumahnya, tapi juga meniduri Connie. Tapi, Connie merasa ia dilecehkan. Connie akhirnya mendapatkan kelembutan justru dari seorang penjaga hutan, Oliver Mellors.
Novel ini sedikitnya sudah dua kali difilmkan, yakni versi Inggris (1981) dan Prancis (2007). Dalam versi Prancis, artis pemeran Lady Chatterley, Marina Hands, mendapat penghargaan sebagai artis terbaik.
Sekali lagi, ini kabar baik. Penerbit Alvabet berani menerbitkan Lady Chatterley’s Lover pada Desember 2008 ini. Padahal, di Indonesia, kita tahu UU Pornografi baru saja disahkan. Selamat buat Alvabet!
Citayam, 27 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar