oleh Asep Sambodja
Saya sangat yakin bahwa pembaca akan terkejut bila membaca pengakuan 10 perempuan korban perkosaan pasca 30 September 1965 yang dihimpun dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 (SPKT 65) karya Ita F. Nadia (2008: cetakan ketiga). Membaca pengakuan kesepuluh perempuan itu saya sampai pada titik kebimbangan: apakah yang ditulis oleh Ita F. Nadia itu fakta atau fiksi?
Kalau fakta, maka pengalaman traumatik yang dialami oleh perempuan-perempuan itu sangat sulit dipahami dengan bahasa hati nurani dan kacamata kemanusiaan. Jeritan kaum perempuan itu sudah melampaui batas imajinasi kita. Apa yang dialami Yanti, misalnya, yang ketika ditangkap pasca 30 September 1965 masih berumur 14 tahun, meruntuhkan pengetahuan kita akan peristiwa lubang buaya yang tertera dalam buku sejarah bangsa Indonesia.
Peristiwa lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha pada 1965, yang antara lain menyebutkan perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai penyiksa dengan tingkat kesadisan yang melewati batas—yakni menyiksa para jenderal dengan menyungkil matanya dan memotong kemaluannya sambil menari-nari telanjang—yang dulu dianggap fakta yang melatari permakluman atas pembantaian jutaan orang pada 1965/1966, kini terbaca sebagai fiksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam kehidupan berbangsa kita, terlebih kalau kita mengacu pada hasil visum et repertum yang terbaca oleh Ben Anderson (lihat Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia karya Asvi Warman Adam, 2004).
Kalau cerita atau pengakuan 10 perempuan itu dikategorikan sebagai fiksi, maka buku ini layak mendapat penghargaan sebagai karya fiksi terbaik, karena cerita yang disampaikan kesepuluh perempuan itu sangat menyentuh dan menggedor-gedor nurani pembacanya. Siapa pun yang membaca buku ini, apalagi perempuan, bisa dipastikan akan merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kembali kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, serta kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan China pada Mei 1998. Saya menilai buku SPKT 65 itu sebagai sebuah data yang berisi fakta-fakta yang perlu dibuktikan kebenarannya oleh sejarawan.
Dalam pengantar novel Lubang Buaya, Saskia Wieringa (2003), novelis itu menulis, banyak sejarawan masa kini berpendapat bahwa semua sejarah adalah fiksi. “Tidak ada fakta, hanya discourse yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan,” kata novelis yang juga antropolog itu. Kalau sejarah adalah fiksi, apakah fiksi juga berarti sejarah?
Saya tidak ingin terjebak dalam labirin telor ayam: mana yang lebih dulu di antara keduanya. Yang jelas, sedikit berbeda dengan Saskia, saya berpendapat bahwa sebuah karya sastra yang baik senantiasa merekam denyut nadi masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Sastrawan sebagai representasi masyarakatnya merekam dengan baik pikiran dan perasaan masyarakat sezamannya.
Lebih lanjut, Saskia Wieringa mengakui bahwa novel Lubang Buaya berangkat dari hasil penelitiannya pada 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuan-perempuan Gerwani. Hasil penelitian itu pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (1999). Tidak mengherankan jika ada fragmen dalam novel itu yang terbaca dengan jelas sama dengan pengakuan Yanti dalam buku SPKT 65.
Yang cukup mengherankan adalah adanya kesamaan fragmen dalam Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dengan pengakuan Darmi dalam buku SPKT 65. Dalam novel Seno itu, seorang gadis kecil menyaksikan pembakaran rumahnya dan pembunuhan seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, hanya karena ayahnya dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena gadis kecil itu tidak bisa menerima kenyataan yang dilihatnya, dan tidak mampu memahami peristiwa itu dengan akal sehatnya, akhirnya ia menjadi gila. Berangkat dari sinilah cerita Seno bergulir hingga menarik pembaca untuk segera menuntaskan pembacaan atas novel setebal 234 halaman itu.
Sementara dalam SPKT 65, Darmi yang saat itu menjadi penari istana di zaman Soekarno, tidak saja menyaksikan suami dan kedua mertuanya dibunuh dan rumahnya dibakar, melainkan ia mengalami penyiksaan mental yang luar biasa. Ia bukan anggota Gerwani, ia hanya penari, tapi suaminya anggota PKI. Gara-gara itulah ia diarak oleh orang banyak yang anti PKI dalam keadaan telanjang bulat, berjalan kaki mengelilingi desa, dan begitu sampai pada tahap pemeriksaan di pos tentara, ia disuruh menari di atas meja dalam keadaan telanjang bulat. Dan, jika ia menolak menari dan menolak diperlakukan tidak senonoh, maka tawanan lain akan dijadikan sasaran penganiayaan.
Selama 30 tahun di masa pemerintahan rezim Soeharto, setiap mendengar gamelan Bali, Darmi mengalami trauma yang luar biasa. Ia merasa bahwa tari adalah jiwanya, dan bunyi gamelan selalu memanggil-manggilnya untuk menari. Namun, bersamaan dengan bunyi gamelan itu, saat itu pula ia merasa takut dan membencinya. Ini akibat penganiayaan yang terjadi pasca 30 September 1965 yang dialaminya di Bali.
Dengan demikian, fakta yang terbaca dalam SPKT 65 lebih mengguncang nurani pembacanya dibandingkan dengan cerita dalam novel Lubang Buaya dan Kalatidha. Meskipun begitu, apa yang dihasilkan Saskia dan Seno tersebut memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi untuk mengungkap kabut politik yang terjadi di negeri ini, termasuk peristiwa pembunuhan massal 1965/1966 dan peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998.
Dalam diskusi novel Kalatidha di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, sejarawan Hilmar Farid mengatakan bahwa dalam menggambarkan korban kekejaman 1965/1966, Seno sengaja menggunakan tokoh aku yang gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkap kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Batas antara fakta dan fiksi menjadi hilang, kadang-kadang tokoh aku dalam Kalatidha menggambarkan kenyataan, kadang-kadang berada dalam dunia kabut yang tak terumuskan. Dalam pembacaan Hilmar Farid, sastra bisa menjadi medium untuk mengungkap fakta, kenyataan, dan kebenaran.
Sementara Melani Budianta, Guru Besar FIB UI yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, menambahkan bahwa fiksi seperti yang ditulis Seno tersebut berpeluang untuk menyembuhkan luka yang terjadi di masa lalu. Tokoh perempuan kembar dalam Kalatidha dibaca Melani sebagai metafora yang digunakan Seno untuk menggambarkan peristiwa 1965/1966.
Tokoh yang satu mati terbunuh, yang menyimbolkan masa lalu yang penuh kekerasan. Tokoh yang satu lagi menjadi gila karena tak mampu melihat kekerasan, yang menyimbolkan masa kini yang masih gagap melihat sejarahnya sendiri. Dilihat dari tataran mental psikologi, novel Kalatidha menampung atmosfir refleksi, kegilaan, perasaan marah dan dendam, bangkitnya belas kasih, pemulihan dari luka, dan transendensi. “Semuanya ada dalam novel itu,” kata Melani.
Meskipun dalam diskusi tersebut Seno mengakui bahwa Kalatidha merupakan novel pesanan, karena ada pihak yang memesannya untuk menuliskan peristiwa kekerasan itu, saya tetap menganggap bahwa Kalatidha merupakan novel Indonesia modern yang penting, yang menurut saya menjadi novel terbaik pada 2007, karena merefleksikan sebuah peristiwa yang tidak mungkin terlupakan oleh bangsa Indonesia: pembunuhan massal 1965/1966. Tapi, bukan hanya karena itu novel ini menjadi novel terbaik. Bahasa yang digunakan Seno sangat kuat. Ia seperti memainkan sebuah orkestrasi yang demikian indah, meskipun lagunya menyayat hati.
Novel Kalatidha mengajak pembacanya untuk mengungkap kabut politik yang menyelimuti sejarah nasional Indonesia. ***
Sabtu, 30 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar