oleh Asep Sambodja
Pujangga besar Indonesia asal Jawa, Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873) telah menorehkan aforisme yang demikian kuat dalam bait ketujuh Serat Kalatidha (‘Zaman Rusak’), yang isinya sudah diketahui banyak pembaca, bahwa mengalami zaman edan, hati gelap kacau pikiran, mau ikut gila tak tahan, jika tak ikut tak kebagian, akhirnya kelaparan, sebenarnyalah kehendak Tuhan, seuntung-untungnya yang lupa, lebih untung yang ingat dan waspada.
Pernyataan Ronggowarsito yang kaya makna itu menjadi pembuka novel terbaru Seno Gumira Ajidarma, Kalatidha. Sebagaimana kita ketahui, prolog novel-novel Seno seringkali menjadi petanda yang penting bagi pembaca untuk menafsirkan teks tersebut secara utuh. Dalam Kitab Omong Kosong, misalnya, Seno memulainya dengan kalimat pembuka seperti ini: Pada punggung terbuka pelacur yang tidur tengkurap itu, terdapatlah lukisan rajah seekor kuda yang berlari. Suatu malam kuda itu melompat lewat jendela, berlari ke luar kota, menuju padang terbuka. Selanjutnya cerita bergulir dan mengalir dengan lincah mengikuti kuda yang berlari itu.
Dari pembacaan terhadap Kitab Omong Kosong, kita dapat mengetahui bahwa si pelacur itu, Maneka, berusaha memperbaiki nasibnya dengan melakukan perjalanan dari kota ke kota, yang pada akhirnya dengan ditemani Satya mencari sebuah kitab yang bernama Kitab Omong Kosong. Apa yang digambarkan Seno di awal Kitab Omong Kosong tersebut memberi ruang baru kepada pembaca, bahwa teks tersebut murni fiksi dan seyogyanya dinikmati dan dimaknai dengan pendekatan fiksi pula. Bahwa nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam karya sastra disampaikan pengarang secara simbolik, dan pembaca berhak memaknai bahasa simbolik dalam karya itu.
Demikian pula yang hendak disampaikan Seno melalui Kalatidha. Kutipan Serat Kalatidha di awal novel ini merupakan pintu gerbang yang dibuat Seno bagi pembaca yang hendak masuk ke dunia rekaannya. Kutipan tersebut sekaligus merangsang pembaca untuk memikirkan zaman rusak atau zaman edan di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Apa yang dimaksud Ronggowarsito dengan zaman edan dalam Serat Kalatidha? Apa pula yang dimaksud Seno Gumira Ajidarma dengan zaman rusak dalam novel Kalatidha?
Sudah cukup banyak ahli yang membahas Kalatidha Ronggowarsito, di antaranya sarjana Belanda, Th. Pigeaud, yang menyatakan bahwa kemasyhuran Ronggowarsito diperoleh dari karya-karyanya yang berbentuk tembang, yang berisi pikiran-pikiran falsafahnya tentang perkembangan kemajuan manusia. Sementara sastrawan Muhammad Yamin menyatakan, “Petunjuk-petunjuk Ronggowarsito terhadap dunia yang dianggap gila seperti termuat dalam kitab Kalatidha telah menjadi rujukan bagi mereka yang suka menyindir keadaan masyarakat pada suatu masa, dengan harapan kelak ada perbaikan di kemudian hari” (lihat Lima Karya Pujangga Ranggawarsita karya Kamajaya, AS).
Bahkan, sarjana Rusia, Villen Vladimir Sikorsky menilai karya-karya Ronggowarsito yang terbit pada 1880-an merupakan bagian penting dari proses panjang terbentuknya sastra Indonesia. Menurut Sikorsky, Ronggowarsito memperlihatkan terobosan baik di bidang pemikiran maupun kesusastraan. Dia telah mengupas masalah universal manusia Indonesia seperti kemiskinan, kemanusiaan, kondisi sosial, dan mengkritik pejabat, walau temanya hanya penentangan nilai-nilai tradisional Jawa saat itu. Pemikiran Sikorsky ini secara tidak langsung telah diadopsi oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan ketika menyusun kanon sastra, Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2001).
Lantas bagaimana dengan Seno? Apa yang dimaksudnya dengan zaman edan dalam novelnya itu? Dibandingkan dengan novel Seno Gumira Ajidarma sebelumnya, Negeri Senja, novel Kalatidha memang lebih transparan dalam mengungkapkan persoalan politik yang terjadi di Indonesia. Saya menilai, melalui Negeri Senja, Seno tengah bercerita kepada pembaca tentang sebuah negeri yang mataharinya nyangkut di cakrawala, sehingga di negeri itu yang ada hanya senja. Dalam situasi remang-remang semacam itu, tidak semua peristiwa dapat dikenali dengan jelas. Dan, dalam situasi seperti itu pula kekerasan politik sering terjadi. Dalam Negeri Senja, Seno memang mendongeng, namun dongeng yang diceritakan adalah dongeng politik.
Dalam Kalatidha, Seno pun masih mendongeng dengan tetap menggunakan kekuatan bahasa metaforisnya, yang dapat kita nikmati dalam karya-karyanya yang lain, namun sekali lagi dengan ungkapan yang lebih transparan. Zaman edan yang dimaksud Seno dalam Kalatidha adalah peristiwa politik 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang yang dicap sebagai PKI—termasuk keluarganya, yang bisa jadi tidak tahu-menahu tentang persoalan politik di tingkat elite.
Dan, perspektif yang dipakai Seno dalam mengungkap peristiwa politik yang hingga kini masih misterius itu adalah perspektif postkolonialisme, yang di antaranya mengadopsi pemikiran Michel Foucault tentang wacana dan kekuasaan. Dalam Kalatidha, ada seorang anak perempuan yang dianggap gila oleh masyarakat setelah seluruh keluarganya—termasuk kembarannya—mati terbakar di dalam rumah yang dikepung warga. Rumah beserta isinya itu dibakar karena sang kepala keluarga dianggap sebagai aktivis PKI. Sang anak perempuan yang selamat dari musibah itu tidak bisa menerima kenyataan seperti itu. Siapa yang pantas dianggap gila? Si anak yang tak mampu menalar tindakan warga yang membakar rumah beserta keluarganya itu atau warganya yang dengan tanpa berpikir panjang melakukan tindakan brutal menghabisi nyawa satu keluarga?
Ketika si anak perempuan itu tumbuh dewasa, dan ditangkap petugas rumah sakit jiwa, yang kemudian memandikannya untuk diberi seragam sebagai orang gila, ia menerimanya dengan terpaksa. Tapi, ketika petugas rumah sakit jiwa itu sadar bahwa secara fisik perempuan itu cantik, terutama ketika mereka memandikannya, dan mereka memperkosanya secara bergiliran, termasuk pimpinan RSJ itu, lalu siapa yang pantas disebut gila? Perempuan itu atau petugas rumah sakit jiwa?
Novel Kalatidha diangkat Seno dengan menggunakan perspektif seorang anak kecil yang terpesona pada kebun bambu yang berkabut. Anak kecil itu sama sekali tidak tahu-menahu tentang peristiwa 1965 itu, tapi ia dapat merasakan sendiri bagaimana nasib orang-orang yang diburu dan dibantai beramai-ramai. Ia juga tahu dari berita-berita koran yang terbit saat itu, yang berhasil dikliping oleh kakak perempuannya. Koran-koran itu, dalam penilaian tokoh utama, menggunakan bahasa yang sangat buruk dan pesan yang sangat jelas terbaca. Sadar atau tidak, media massa Indonesia saat itu telah diperalat penguasa untuk membenarkan sebuah pesta pembantaian.
Membaca novel Kalatidha, kita bisa menangkap message atau pesan yang sama dengan novel-novel Seno yang lainnya, yakni pesan yang disampaikan oleh orang-orang kecil yang terpinggir, tertindas, korban kekerasan politik, dan semacamnya. Suara-suara itu tentu saja menjadi bahan refleksi bagi pembacanya, minimal agar kebiadaban yang pernah terjadi di awal era Orde Baru tidak terulang lagi. Sedetik pun jangan! ***
Minggu, 31 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar