oleh Asep Sambodja
Adakah keindonesiaan dalam sastra Indonesia? Persoalan ini menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan persoalan identitas; bagaimana suatu bangsa memproduksi karya sastra. Ciri-ciri seperti apa yang melekat pada karya sastra yang diproduksi oleh suatu kelompok masyarakat atau suatu bangsa bisa dituai dengan pendekatan sosiologis maupun pendekatan pascakolonialisme, misalnya.
Persoalan identitas inilah yang diangkat Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) dalam seminar internasional bertajuk “Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra” di Hotel Maharadja Jakarta, 7-10 Agustus 2006. Secara garis besar dapat dikatakan seminar ini dimaksudkan untuk mengetahui identitas Indonesia dalam sastra berbahasa Indonesia dan identitas Melayu dalam sastra berbahasa Melayu, yang tumbuh pesat di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kalau pertanyaan itu kita alamatkan kepada Seno Gumira Ajidarma, salah satu sastrawan Indonesia papan atas saat ini, maka jawabannya adalah tidak ada. Menurut Seno, tidak ada identitas dalam kesenian. Dengan kata lain, persoalan identitas dalam karya sastra itu tidak penting. Yang penting adalah makna. Adapun alasan Seno adalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini kita tidak bisa mengasingkan diri dari perkembangan budaya mondial, tidak bisa menghindari arus globalisasi. Karena itu, makna universalitaslah yang perlu mendapat perhatian dari pembaca sastra dalam menganalisis suatu karya sastra.
Saya setuju dengan Seno dalam hal adanya nilai-nilai universal dalam suatu karya sastra, sebab pada akhirnya nilai-nilai universal itu tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan lokal. Dalam arti suara-suara lokal pun bermuatan nilai-nilai universal. Namun, saya tidak setuju apabila persoalan identitas dalam karya sastra dikatakan tidak penting. Karena, bagaimanapun, sebuah karya sastra merupakan representasi dari komunitas masyarakatnya, representasi dari bangsanya. Memang, kita tidak bisa pungkiri bahwa kebudayaan kita—termasuk di dalamnya berupa produk budaya seperti karya sastra—tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan yang datang dari luar. Akan tetapi, keterpengaruhan itu sama sekali tidak bisa menghilangkan kekhasan budaya tempatan.
Kita ambil contoh novel Kitab Omong Kosong karya mutakhir Seno Gumira Ajidarma. Novel ini mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2005, yang dewan jurinya diketuai Riris K. Toha-Sarumpaet, yang juga Ketua Umum HISKI Pusat. Kemenangan ini mengakibatkan Seno mendapat hadiah Rp100 juta. Jadi, tak bisa disangkal bahwa Kitab Omong Kosong merupakan novel Indonesia terbaik pilihan dewan juri KLA pada 2005.
Kalau kita analisis novel tersebut secara mendalam, maka akan tampak dengan jelas keterpengaruhan budaya India pada pengarangnya. Kita tahu bahwa budaya India sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-4 masehi, bersamaan dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia. Seno yang hidup di abad ke-21 dapat dikatakan masih terpengaruh dengan kebudayaan India tersebut.
Bagaimana bentuk keterpengaruhan itu? Seno Gumira Ajidarma masih menggunakan kisah Sri Rama dalam Kitab Omong Kosong. Tokoh-tokoh penting dalam Ramayana karya Walmiki seperti Sri Rama, Dewi Sinta, Laksmana, Rahwana, dan Hanoman muncul sebagai motor penggerak cerita dalam Kitab Omong Kosong. Bahkan Walmiki sendiri juga tampil dalam novel Seno sebagai salah satu tokoh yang memiliki peran penting.
Namun, meskipun ada keterpengaruhan budaya luar, novel ini masih memperlihatkan kekhasannya, yakni kekhasan Seno sebagai representasi manusia Indonesia dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Pertama, sebagian besar karakter atau watak tokoh yang ada dalam Ramayana tampil beda sama sekali dalam Kitab Omong Kosong. Sri Rama yang berwibawa dalam Ramayana tampil menjadi raja yang bengis dan penguasa diktator dalam Kitab Omong Kosong. Dewi Sinta yang tunduk pada titah Rama menjadi seorang istri, seorang perempuan, yang menggugat hak-haknya dan menuntut keadilan sebagai sesama manusia. Hanoman yang taklid pada Rama dalam Ramayana versi R.K. Narayan, tiba-tiba berani menentukan pilihan hidup sesuai hati nuraninya sendiri ketika melihat sikap Rama yang sudah dikuasai nafsu berkuasa—karena sudah dipengaruhi “Gelembung Rahwana”—sebagaimana diceritakan dalam Kitab Omong Kosong.
Kedua, tokoh utama dalam Kitab Omong Kosong adalah Maneka (pelacur) dan Satya (penggembala) yang merupakan representasi wong cilik atau orang kebanyakan, dan bukan manusia agung (uebermensch) dari kalangan istana. Sebagaimana yang juga terlihat dalam karyanya yang lain, seperti Saksi Mata dan Negeri Senja, dalam novel ini pun Seno menggunakan sudut pandang (point of view) orang-orang marjinal untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, dan sikapnya sebagai pengarang. Inilah yang saya kira kekhasan yang melekat pada diri Seno. Keterpengaruhan budaya—apalagi ilmu pengetahuan—merupakan suatu keniscayaan, sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, bagaimana Seno memainkan tokoh-tokohnya dan bagaimana Seno bersuara melalui tokoh-tokohnya memperlihatkan sikap dan ideologi kepengarangannya.
Dalam Kitab Omong Kosong itu, Maneka mencari-cari Walmiki untuk mengubah nasibnya dari seorang pelacur menjadi perempuan baik-baik atau perempuan biasa. Satya pun mendapat bantuan dari Hanoman untuk terus mencari Kitab Omong Kosong, karena dalam kitab itu terdapat ilmu tentang kehidupan, kenyataan, dan kebenaran, yang sangat berguna bagi siapa pun yang membacanya. Kedua tokoh utama itu berhasil mewujudkan obsesi atau impiannya setelah melalui liku-liku kehidupan yang panjang dan melelahkan.
Keterpengaruhan itu bisa dijelaskan demikian: pengaruh budaya India yang masuk berabad-abad lalu, dan sudah menjadi semacam mitos atau kepercayaan di Indonesia, diserap oleh Seno Gumira Ajidarma untuk kemudian diekspresikan menjadi produk budaya yang baru sama sekali, terkadang melalui proses dekonstruksi. Karena, pengaruh yang masuk ke Indonesia itu tidak hanya dari India, melainkan juga dari Barat, semisal pemikiran eksistensialisme, feminisme, dekonstruksi, posmodernisme, poskolonialisme, spectrum oriented, pluralisme, multikulturalisme, dan masih banyak lagi, yang juga diserap Seno. Semua pengaruh itu, baik dari India (Timur) maupun Barat menyatu dalam diri Seno dan dituangkan kembali dalam Kitab Omong Kosong. Pertanyaannya kemudian, di manakah orisinalitas? Menurut hemat saya, orisinalitas itu melekat pada diri sang pengarang. Setiap pengarang memiliki gagasan, pikiran, perasaan, dan cara pengungkapannya yang khas.
Dengan demikian, kalau ditanyakan adakah keindonesiaan dalam sastra Indonesia? Maka, jawabnya: ada. Hanya saja, keindonesiaan atau identitas Indonesia itu tidak tunggal, melainkan sangat beragam sebagaimana dilambangkan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Hakikat Indonesia itu sendiri adalah keberagaman, plural, dan multikultural. Novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma itu barulah memperlihatkan satu ciri keindonesiaan dalam sastra Indonesia dari sekian banyak ciri keindonesiaan yang ada. Sementara kita meyakini every book has a voice. ***
Minggu, 31 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar