Sabtu, 07 November 2009
Adakah Duka Lebih Duka yang Kita Punya, Anantaguna?
oleh Asep Sambodja
Pramoedya Ananta Toer (2003) dalam buku Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia mengatakan bahwa sajak “Potret Seorang Komunis” karya Sabar Anantaguna dan “Demokrasi” karya Agam Wispi merupakan prestasi sastra realisme sosialis yang telah mendapatkan bentuk dan pengucapan yang tepat. Pernyataan Pramoedya ini menggelitik saya untuk mengetahui lebih jauh tentang kepenyairan Sabar Anantaguna, sekaligus ingin mengetahui puisi seperti apa yang menjadi “selera” Pramoedya Ananta Toer itu. Dalam buku Gugur Merah yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), kita bisa menemukan kedua puisi tersebut. Namun, saya ingin memfokuskan pembicaraan pada puisi-puisi S. Anantaguna. Berikut puisi “Potret Seorang Komunis” yang dipuji Pramoedya sebagai “prestasi sastra realisme sosialis” itu.
Potret Seorang Komunis
Adakah duka lebih duka yang kita punya
kawan meninggal dan darahnya kental di pipi
tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati
Adakah tangis lebih tangis yang kita punya
badan lesu dan napas sendat di dada
tapi hasrat dan kerja berkejaran dalam waktu
Bila terpikir bila terasa bila kesadaran mencari dirinya
bila pernah ditakuti tapi juga disayangi
bila kalah pun berlampauan dan menang akan datang
adalah dada begitu sarat keinginan akan nyanyi
dan apakah yang aku bisa selain hidup
adalah bangga lebih bangga yang kita punya
di pagi manis daun berbisikan tentang komunis
begitu lembut begitu mesra didesirkan hari biru
Adakah cinta lebih cinta yang kita punya
sebagai kesetiaan yang berkibar di waktu kerja
Secara tersurat kita bisa melihat bagaimana permainan repetisi yang dilakukan S. Anantaguna menghasilkan keindahan bunyi dan irama, yang membuat puisi ini tampak cantik. Sementara secara tersirat bisa kita rasakan bagaimana penggambaran Anantaguna tentang seorang komunis. Kematian seorang komunis begitu menyisakan luka yang mendalam, sehingga timbul tanya: adakah duka yang lebih duka yang kita punya? Rasa duka itu timbul karena sesama orang komunis terjalin tali silaturahmi yang demikian kuat; sesama komunis adalah bersaudara. Puisi tersebut juga memperlihatkan ciri khas puisi sastrawan-sastrawan Lekra pada umumnya. Meskipun mereka berduka atas kematian sahabatnya, hingga tak terkatakan lagi, “adakah tangis lebih tangis yang kita punya”, mereka tidak boleh atau diharamkan untuk larut dalam kesedihan dan kepiluan itu. Tidak boleh sentimental. Tidak boleh cengeng. Karena itu, dalam puisi duka semacam itu harus tetap ada “hasrat” dan “kerja”. Sehingga terbaca di akhir puisi: adakah cinta lebih cinta yang kita punya, sebagai kesetiaan yang berkibar di waktu kerja?
Demikianlah potret seorang komunis yang saya tangkap dari puisi S. Anantaguna. Kalaupun harus menulis puisi tentang kematian, maka tidak melulu takluk pada kematian itu an sich, melainkan harus ada setitik harapan.
Dalam puisi “Demokrasi” karya Anantaguna, saya melihat sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat itu demikian melekat pada dirinya. Puisi ini mengingatkan saya pada novel A. Kohar Ibrahim (2008), Sitoyen Saint-Jean, yang merasa mendapatkan kehidupan yang benar-benar demokratis justru di negara Kerajaan Belgia; dan tidak ia dapatkan di negara yang menganut paham Suhartokrasi. Berikut saya kutip puisi “Demokrasi” S. Anantaguna:
Demokrasi
Lantangkan suaramu dan katakan kau bisa membantai bulan
Rakyat begitu merdu dan matahari begini tinggi
Lantangkan suaramu dan katakan kau bisa bikin demokrasi mati
Rakyat begitu cinta dan aku tak ada batasnya
Sorak, sorakkan keparauan—kesumbangan
tanahku tanah air dan nyanyiku adalah bumi
sorak, sorakkan kepahitan—kekalahan
bila gagang api kau todongkan aku ini api
Di sini, di sini aku berdiri
di sinilah ada aku, aku, aku, sebanyak bintang-bintang
di pohon para di batang padi
di debu kota di mana saja
Jangan coba sentuh aku jangan coba bunuh aku
karena matahari telah telanjur begini tinggi
Dalam puisi tersebut, Anantaguna menyatukan dirinya dengan demokrasi itu sendiri. Dan ia menantang kepada orang-orang, penguasa, tiran, diktator, atau siapa pun yang mencoba membunuh demokrasi untuk menaklukkannya. Niscaya tak akan bisa, karena vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam hal ini, saya teringat dengan ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed M.D. pada hari bersejarah 3 November 2009, “Siapa pun yang berusaha menghalangi arus rakyat, maka dia akan tergulung dan tergilas.” Demikian sejarah mengajarkan pada para penguasa untuk bersikap bijaksana dengan suara rakyat. “Rakyat begitu cinta dan aku tak ada batasnya.”
S. Anantaguna adalah salah satu penyair Lekra yang kuat dalam menyampaikan pesan namun tidak kehilangan greget kepenyairannya. Tidak salah kalau seorang Pramoedya Ananta Toer terpikat dengan puisi-puisi Anantaguna. Sebab, kalau kita perhatikan, puisi-puisi Anantaguna merupakan ekspresi dari hasil penyelaman dan penghayatan penyairnya yang masuk ke lubuk sanubari masyarakat. Dan selalu saja yang menjadi perhatian untuk dibelanya adalah rakyat kecil. Berikut ini saya kutip secara utuh puisi “Terlalu” yang memperlihatkan perhatiannya yang begitu besar pada rasa keadilan rakyat.
Terlalu
Terlalu banyak kisah
dan terlalu pendek waktu menulis sejarah
di pelabuhan aku lihat
kaki-kaki proletariat
bolak-balik di dermaga
bila dijumlah berpuluh kilo dilaluinya
juga lewat pundaknya
berjuta-juta kekayaan negara dan swasta
belum pernah dirasakan
Terlalu banyak kulihat
dan terlalu sedikit kertas untuk mencatat
di sawah ladang petani
mengabdi revolusi
bila dihitung betapa truk produksi padi
lewat tangannya juga
nasi pemimpin, jenderal, intelektual, semua
berhutang kepada keringatnya
Terlalu banyak kisah
dan terlalu sedikit kebenaran dalam buku sejarah
kepahlawanan proletariat
prajurit yang cacat
yang gugur di malam pekat
dan berapa rim sudah kertas terbuang
juga bermiliar-miliar kas negara keluar uang
koruptor bilang “pejuang”
Terlalu banyak kudengar
ratusan gadis jual diri karena lapar
mereka anak proletariat
anak petani keluar keringat
mereka pun membayar pajak sama berat
membayar merdeka dan revolusi dengan taat
si genit anak komprador kapasitas birokrat
gelandangan terlalu banyak waktu kantongnya padat
Ah dik, jangan keliru mengutuki tanah air
meski beribu drum tinta sudah mengalir
pengarang-pengarang gadungan risau hati humanisme
begitu takut kehilangan imperialisme
sarjana-soska bohong di universitas
aku pilih rakyat berjuang Indonesia bebas!
Bait pertama hingga keempat, penyair Anantaguna menggambarkan penderitaan buruh, tani, prajurit, dan kaum perempuan. Dalam bait-bait itu juga ada ironi. Buruh dan petani yang bekerja keras tidak mendapatkan penghargaan sesuai dengan yang mereka lakukan. Begitu pula dengan prajurit yang telah berjuang di garis depan, dan mengalami cacat akibat perang, hidupnya tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. Selama ini buku-buku sejarah hanya mencatat para penggede; padahal yang memberi mereka makan, kemudahan, dan kemewahan adalah orang-orang yang berada di bawah. Sistem kapitalisme seperti ini memang menyedot keringat kaum buruh, tani, prajurit, dan kaum proletar, kaum miskin kota dan kaum miskin desa, orang-orang yang senantiasa terpinggirkan.
Dan, penyair-penyair salon atau “pengarang-pengarang gadungan risauhati humanisme begitu takut kehilangan imperialisme,” pun “sarjana-soska bohong di universitas,” tegas penyair Anantaguna.
Apakah “sarjana-soska” itu? Menurut Ahmad Sujai, pengajar Sastra Rusia UI, soska yang dimaksud di situ sama seperti sosis. Jadi, ungkapan itu kurang lebih bermakna “sarjana yang bermental sosis”. Jika kita buka kamus bahasa Prancis, kita akan menemukan kata sans souci yang berarti “tidak peduli”. Jadi, kemungkinan penyair Anantaguna ingin mengkritik para sarjana dengan ungkapan “sarjana-soska” atau “sarjana yang tidak peduli” yang tidak memberikan ilmu kehidupan bagi mahasiswa.
Citayam, 8 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Terima kasih atas posting ini. Bisa saya jelaskan bahwa 'sos-ka' bukan sosis, melainkan sosialis kanan. Ini sebuah istilah yang digunakan pada saat itu untuk mengartikan orang-orang misalnya di Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang disebut 'sosialis kanan'. Yaitu orang sosialis yang anti komunis. Saya tahu ini karena penelitian saya memang ttg generasi kiri ini dan pembantaian massal dan kekerasan lainnya terhadap mereka tahun 1965-66.
Posting Komentar